Teks tersebut merangkum konsep pendidikan menurut Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali memandang pendidikan bertujuan membentuk akhlak mulia dan menghilangkan akhlak buruk dengan menjadikan hati sebagai pusat pendidikan. Konsepnya meliputi tujuan pendidikan untuk kesempurnaan di dunia dan akhirat, kurikulum yang membagi ilmu menjadi agama dan intelektual serta teori dan praktik, serta metode pengajaran yang menek
1. 1
Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali dan relevansinya dengan
pendidikan Indonesia
Dhinda Vadya Izmi
Dhindavadya22@gmail.com
Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe
Jl. Medan B. Aceh, Alue awe, Kec. Muara Dua.
Abstract : Artikel ini mengkaji tentang Pemikiran pendidikan Al-Ghazali dan relevansinya
dengan pendidikan, Al-Ghazali adalah seorang pemikir dan ulama besar dengan hasil karya
dalam berbagai bidang ilmu seperti ilmu agama, filsafat, tasawuf, akhlak, politik, dan lainnya.
Karya terbesar Imam Al-Ghazali adalah kitab Ihya 'Ulum Ad-Din yang berkisah tentang
pendidikan. Al-Ghazali adalah proses tindakan yang sistematis secara sistematis untuk membawa
perubahan perilaku secara bertahap kebiasaan manusia Menurut Al-Ghazali, pusat yang dalam
Pendidikan adalah hati karena hati adalah hakekat seseorang karena materi manusia tidak berada
dalam unsur-unsur yang ada di tubuhnya tetapi ada di hatinya dan menunjukkan Orang-orang itu
teosentris, karenanya konsep pendidikan lebih diarahkan pada pembentukan akhlak mulia. Draf
Pelatihan Al-Ghazal dapat diwujudkan melalui pemahaman Pikirannya berhubungan dengan
aspek yang berbeda dengan pendidikan yaitu tujuan pendidikan, kurikulum, etika guru dan siswa
serta metode pembelajaran. Konsep pendidikan Dikembangkan oleh Imam Al-Ghazali sangat
penting untuk sistem Pendidikan di Indonesia sesuai dengan tujuan pendidikan, juga konsep guru
dan siswa, metode pembelajaran kurikulum saat ini, khususnya pengembangan karakter, di mana
aspek tingkat aplikasi diprioritaskan perkembangan mental, moral dan spiritual sehingga mampu
untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, jagalah akhlak yang baik berakal budi, berakal, berpengalaman, cakap,
kreatif, mandiri dan beradab negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Keyword : Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan, Relevansi Al-Ghazali dengan pendidikan
Sistem pendidikan Al-Ghazali.
2. 2
Pendahuluan
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali. Di kalangan
Barat dikenal dengan nama Algazel (Glasse,1996: 106). Kemahirannya berargumen dalam
menghadapi berbagai persoalan agama menyebabkan ia mendapat gelar “ Hujjatul Islam” dan “
Zainuddin”. Dilahirkan tahun 450 Hijriyah atau tahun 1058, seperempat abad sesudah wafatnya
Ibnu Sina di Thush, sebuah kota kecil di Khurasan (Iran). Pemikirannya yang luas menyebabkan
dirinya banyak mendapat perhatian tokoh baik yang pro maupun yang kontra. Diantara yang
mengagumi pemikirannya adalah Zwemmer yang memasukkan al-Ghazali kedalam empat tokoh
besar Islam yang dikagumi yaitu Muhammad SAW, Imam al-Bukhari, Imamal-Asy’ari dan al-
Ghazali.
Al-Ghazali adalah seorang pemikir dengan hasil karya dalam berbagai bidang ilmu
seperti ilmu agama, filsafat, tasawuf, akhlak, politik, dan lainnya. Karya terbesar dari imam Al-
Ghazali adalah kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din (Kebangkitan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) yang ditulis
sepulangnya dari Naisabur setelah sekian tahun berkelana sebagai seorang sufi pada saat berusia
50 tahun. Selain itu, hasil karyanya mencapai 300 buah, karena kemasyhurannya sehingga
digelari sebagai Hujjatul Islam (bukti kebenaran Islam) dan Zainuddin (hiasan agama). Al-
Ghazali banyak mengarang buku dalam berbagai disiplin ilmu.
Karangan-karangannya meliputi Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Teologi Kaum Salaf,
bantahan terhadap kaum Batiniah, Ilmu Debat, Filsafat dan khususnya yang menjelaskan tentang
maksud filsafat serta bantahan terhadap kaum filosof, logika, tasawuf, akhlak dan psikologi.
Kitab terbesar karya Al-Ghazali yaitu Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama). lmu
al-Ghazali menjadikannya besar dengan segala manfaat yang sudah diberikannya kepada dunia.
Oleh karenanya, tulisannya ini berusaha menjawab sebagian kecil dari kontribusinya dalam
bidang pendidikan, terutama menjawab bagaimana konsep pemikiran pendidikan al-Ghazali dan
relevansinya dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Ideologi dan Metodologi Pemikiran Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazal, semua ilmu dan pembelajaran berarti pencerahan, pengembangan dan
pengayaan konsep kehidupan kemudian menerapkannya (dalam implementasi) dengan cara
alamiah. Tujuan hidup Al-Ghazali adalah pengetahuan diri dan Tuhan Sains adalah alat,
perusahaan, dan perangkat untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Percaya diri berarti
menemukan orang yang sebenarnya di dalamnya, yaitu siapayang merupakan perwujudan moral
dan spiritual yang sempurna. sehingga ideologi Al-Ghazali mengarah pada kebangkitan kembali
pada budaya spiritual dan dinamika moral yang didukung oleh dimensi intelektual.
Ini menurut Al Quran menganggap kehidupan dunia sebagai sementara dan adalah alat untuk
mempersiapkan kehidupan di akhirat abadi Keyakinan akan akhirat adalah salah satunya Rukun
Iman dengan segala kebaikan dan kejahatan akan dibalas di akhirat. Oleh karena itu harus ada
banyak dari satu dalam ukuran untuk melakukan kebaikan sebanyak mungkin untuk
3. 3
mendapatkan buahnya di akhirat. Di sinilah filsafat etika Al-Ghazali masuk, menekankan bahwa
Alquran dan As-Sunnah bersama-sama memberi aturan sempurna untuk kehidupan moral di
mana tidak hanya ada hal-hal dasar, tetapi hal-hal sekunder dan tersier. Demikianlah Al-Ghazali
menekankan pemikiran tentang pendidikan karakteristik moral-keagamaan dengan mengabaikan
hal-hal Keduniawian karena merupakan alat untuk mencapai tujuan Kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Konsep Pendidikan dan Pemikiran Imam Al-Ghazali
Pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan
menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan
yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan yang progresif pada tingkah laku
manusia. Dalam pandangan Al-Ghazali, sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati
merupakan esensi dari manusia karena substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur
yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat
teosentris sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak
yang mulia.
Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat diketahui dari berbagai aspek berkaitan dengan
pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, kode etik guru/pendidik dan peserta didik,
dan metode pengajaran berikut ini.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan mencakup tiga aspek, yaitu aspek kognitif, yang meliputi pembinaan
nalar, seperti kecerdasan, kepandaian, dan daya pikir; aspek afektif, yang meliputi pembinaan
hati, seperti pengembangan rasa, kalbu, dan rohani; dan aspek psikomotor, yaitu pembinaan
jasmani, seperti kesehatan badan dan keterampilan. melalui sufinya, dimana tujuan pendidikan
menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat. Dalam hasil karya
utamanya yaitu kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din, disebutkan tentang tujuan pendidikan yang pada
dasarnya untuk mencapai dua sasaran yaitu:
insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT,
insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dari hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang
ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: Pertama, tercapainya kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. dan kedua, kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Kurikulum Pendidikan
Konsep kurikulum yang digagas al-Ghazali berkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu
pengetahuan. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
4. 4
dalamempat kategori. Pertama, klasifikasi ilmu syar’iyah (religi) dan ‘aqliyah (nalar/intelektual)
atas ilmu akhirat dan ilmu dunia. Di sisi lain terdapat ilmu ghairu syar’iyah (non religi) yang
dibedakan menjadi ilmu yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah), dan tercela
(madzmum). Kedua, klasifikasi ilmu teoritis dan praktis. Ketiga, klasifikasi pengetahuan menjadi
bagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang diperoleh
(hushuli). Keempat, pembagian ilmu menjadi fardhu ‘ain (wajib atas setiap individu umat Islam)
dan fardhu kifayah (wajib atas komunitas umat Islam).
Keempat kategori atau klasifikasi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Ilmu Religius dan Ilmu Intelektual
Ilmu religius meliputi ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, ilmu tentang akhirat atau
eskatologi, dan ilmu tentang sumber pengetahuan religius (Alquran, Hadits, ijma’,
dan atsar sahabat). Ilmu yang disebut terakhir pun masih terbagi lagi dalam dua kategori, yaitu
ilmu pengantar (muqaddimat) seperti ilmu bahasa, dan ilmu pelengkap (mutammimat) yang
terdiri dari ilmu Alquran dan cabang-cabangnya, ilmu hadits dan cabang-cabangnya,
dan tarikh Islam.
Sementara ilmu intelektual meliputi matematika (mencakup aritmatika, geometri, astronomi,
astrologi, dan musik); logika; ilmu alam yang mencakup ilmu kedokteran, meteorologi, kimia
dan mineralogi; serta ilmu metafisika yang meliputi ontologi, pengetahuan tentang mimpi, dan
lainnya.
b. Ilmu Teoritis dan Ilmu Praktis
Dalam kitab Maqashid al-Falasifah, ilmu filsafat atau ilmu tentang hikmah mencakup
teoritis dan praktis. Bagian teoritis menjadikan kondisi wujud dapat diketahui sebagaimana
adanya, sedangkan bagian praktis berkenaan dengan tindakan positif manusia demi terciptanya
kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Sementara dalam al-Risalah al-Ladunniyyah, al-
Ghazali memaparkan bahwa pengetahuan religius yang meliputi ilmu prinsip dasar (ushul)
sebagai pengetahuan teoritis, dan pengetahuan cabang (furu’) sebagai ilmu praktis.
c. Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli
Ilmu hudhuri, yang oleh al-Ghazali sering pula diistiahkan dengan ilmu mukasyafah, bersifat
langsung, serta merta, intuitif, suprarasional, dan kontemplatif. Sedangkan ilmu hushuli bersifat
tidak langsung, rasional, dan logis, yang diperoleh dari hasil belajar dan proses pembelajaran.
d. Ilmu Fardhu ‘Ain dan Ilmu Fardhu Kifayah
Menurut al-Ghazali, upaya klasifikasi ilmu ke dalam fardhu ‘ain dan fardhu kifayah sangat
tergantung kepada kondisi seseorang dan kebutuhan masyarakat di suatu tempat. Kategori
ilmu fardhu ‘ain meliputi ilmu agama, seperti Alquran dan hadis, dan pokok-pokok ibadah.
5. 5
Sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang harus ada demi esksintesi dunia. Ilmu
kedokteran sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan makhluk hidup. Begitu juga ilmu
matematika berperan penting dalam dunia perdagangan. Ilmu semacam ini harus dikuasai umat
Islam, walaupun tidak harus melibatkan setiap individu umat Islam.
Setiap klasifikasi ilmu di atas didasarkan pada aspek relasi antara manusia dan pengetahuan
serta berdasarkan pada pengalaman empiris al-Ghazali selama mengarungi hidup sebagai
ilmuwan sekaligus pendidik. Klasifikasi tersebut juga saling berkaitan sehingga memungkinkan
satu ilmu mempunyai klasifikasi lebih dari satu. Dalam pencermatan Abuddin Nata,
pengklasifikasian ilmu pengetahuan oleh al-Ghazali tersebut mengacu pada dimenasi manfaat
dan madharat. Lebih lanjut Abuddin Nata menyimpulkan bahwa mata pelajaran yang seharusnya
diajarkan dan masuk dalam kurikulum menurut al-Ghazali didasarkan pada dua
kecenderungan. Pertama, kecenderungan agama dan tasawuf. Dengan kecenderungan ini maka
al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini bertalian erat
dengan pendidikan agama. Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam
karya tulisnya, yang beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan
manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Pengklasifikasian ilmu oleh al-Ghazali tidak berarti ia menolak pentingnya mempelajari
segala macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Ia hanya menekankan perlunya
manusia membuat skala prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu agama dalam posisi
paling urgen. Hal ini didasarkan pada kesadaran al-Ghazali bahwa hanya pendidikan agamalah
yang mampu secara mengarahkan peserta didik untuk dekat kepada Allah.
Kode Etik Pendidik dan Peserta Didik
Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga membimbing, mengarahkan,
meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadi, peranan
guru sangatlah besar, bukan hanya mengajar, mentransfer ilmu, melainkan yang lebih penting
adalah mendidik. Pandangan al-Ghazali terhadap guru sangat idealistik. Idealisasi guru,
menurutnya, adalah orang yang berilmu, beramal, dan mengajar. Berangkat dari perspektif
idealistik tersebut, al-Ghazali menegaskan bahwa pendidik atau guru perlu menjaga etika dan
kode etik profesinya. Kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi guru (pendidik) meliputi
delapan hal berikut
3. Kode Etik Pendidik dan Peserta Didik
Dalam pandangan al-Ghazali, sentral dalam pendidikan adalah hati sebab hati merupakan
esensi dari manusia. Menurutnya, substansi manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang
ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris
sehingga konsep tentang pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.
Tugas guru tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga membimbing, mengarahkan,
meningkatkan, dan menyucikan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadi, peranan
6. 6
guru sangatlah besar, bukan hanya mengajar, mentransfer ilmu, melainkan yang lebih penting
adalah mendidik.
Pandangan al-Ghazali terhadap guru sangat idealistik. Idealisasi guru, menurutnya,
adalah orang yang berilmu, beramal, dan mengajar. Berangkat dari perspektif idealistik tersebut,
al-Ghazali menegaskan bahwa pendidik atau guru perlu menjaga etika dan kode etik profesinya.
Kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi guru (pendidik) meliputi delapan hal berikut.
Menyayangi peserta didiknya, bahkan memperlakukan mereka seperti perlakuan dan
kasih sayang guru kepada anaknya sendiri.
Guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah sehingga ia tidak
mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda jasa. Akan
tetapi, semata-mata mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada peserta didiknya, yang
meliputi nasihat tentang tahapan mencari ilmu (termasuk prioritas studi keilmuan yang
harus digeluti), serta nasihat tentang tujuan mencari ilmu yang berorientasi pada
pendekatan diri kepada Allah.
Mencegah peserta didik terjerembab ke dalam akhlak tercela melalui cara sepersuatif
mungkin dan melalui cara penuh kasih sayang, tidak dengan cara mencemooh dan kasar.
Kepakaran guru dalam spesialisasi keilmuan tertentu tidak menyebabkannya memandang
remeh disiplin keilmuan lainnya.
Guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat pemahaman peserta
didik.
Terhadap peserta didik yang berkemampuan rendah, guru menyampaikan materi secara
jelas, konkret, dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dalam mencernanya.
Guru mau mengamalkan ilmunya sehingga antara terjadi keterpaduan antara ucapan dan
tindakan guru.
Tidak hanya guru atau pendidik yang dituntut mematuhi kode etik, tetapi peserta didik
pun demikian. Ada sepuluh poin kewajiban, yang oleh al-Ghazali diistilahkann dengan wadlifah,
yang harus dipatuhi oleh peserta didik.
Mengutamakan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu itu
merupakan bentuk peribadatan hati, shalat rohani, dan pendekatan batin kepada Allah.
Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi, dan seyogyanya berkelana
jauh dari tempat tinggalnya.
Tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh dalam
segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya.
Penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran
dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi. Sebab hal
ini dapat mengacaukan pikiran, membuat bingung, dan memecah konsentrasi.
7. 7
Penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apa pun yang terpuji, tetapi bersedia
mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu yang dimaksud. Apabila
usia dan kesempatan mengizinkan, ia bisa mendalaminya lebih lanjut. Jika tidak, ia perlu
memprioritaskan disiplin ilmu yang terpenting untuk didalami. Meskipun demikian,
harus disadari bahwa ilmu-ilmu itu saling terkait, sehingga jangan sampai penuntut ilmu
menutup mata dan meremehkan disiplin ilmu lain yang tidak diketahuinya.
Penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan sekaligus,
akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
Penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar
menguasai tahap ilmu sebelumnya.
Penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat
memperoleh ilmu yang paling mulia
Tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan
keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya.
Penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju,
sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diutamakan.
Metode Pendidikan dan Pengajaran
Metode pendidikan agama menurut AlGhazali pada prinsipnya dimulai dengan hapalan
dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu
penegakan dalil-dalil dan keterenganketerangan yang menguatkan akidah. Dengan demikian
metode mengajar Al-Ghazali tidak mengikuti aliran tertentu, tetapi berupa satu model yang
diperoleh dari hasil pemikiran berdasarkan ajaran Islam.
Selanjutnya, prinsip metodologi pendidikan modern selalu menunjukan aspek ganda.
Suatu aspek menunjukan proses anak belajar dan aspek lainnya menunjukan aspek guru
mengajar dan mendidik.
A. Asas-asas metode belajar
Memusatkan perhatian sepenuhnya.
Mengetahui tujuan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari.
Mempelajari ilmu pengetahuan dari yang sederhana menuju yang komplek.
Mempelajari ilmu pengetahuan dengan sistematika pembahasan.
B. Asas-asas metode mengajar
Memperhatikan tingkat daya pikir anak.
Menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelasjelasnya.
Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang konkrit kepada yang abstrak.
Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan berangsurangsur.
8. 8
C. Asas metode mendidik
Memberikan latihan-latihan.
Memberikan pengertian dan nasihatnya.
Melindungi anak dari pergaulan yang buruk.
Secara teknis al-Ghazali menegaskan bahwa mempelajari ilmu agama harus dimulai sejak
dini. Pada mulanya anak-anak usia dini diajak menghafal dasar-dasar agama. Kemudian, seiring
perkembangan usia dan intelektualitas anak, pendidikan dilanjutkan dengan memberikan
penjelasan dan pengertian atas suatu materi. Anak didik diajak untuk memahami substansinya
dengan disertai argumentasi rasional. Pengajaran agama seperti ini diakui al-Ghazali memang
belum sempurna, dan harus diikuti dengan tindak lanjut secara gradual.
Relevansi Konsep Pendidikan Al-Ghazali dalam Sistem Pendidikan di Indonesia
Tujuan pendidikan nasional di Indonesia sangat relevan dengan tujuan pendidikan
menurut imam Al-Ghazali yang juga sangat menekankan pada aspek pengembangan intelektual,
moral, dan spiritual peserta didik yang mengacu pada nilai-nilai keabadian dan ketuhanan.
Mengacu kepada kedua tujuan pendidikan tersebut, sama-sama bertujuan untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki peserta didik yang mengacu pada nilai-nilai keabadian yaitu membentuk
peserta didik yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengedepankan moralitas
dan intelektualitas peserta didik.
Implementasi dari tujuan pendidikan tersebut sangat tercermin dari kurikulum yang sudah
diterapkan oleh pemerintah khususnya dalam implementasi kurikulum 2013 yang berbasis
karakter. Dimana konsep filsafat pendidikan Al-Ghazali yang mewarnai pemikirannya beracuan
pada konsep dasar etika yang lebih dikenal dengan “pendidikan akhlak’’.yang sejalan dengan
tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh Al-Ghazali yaitu membentuk insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat karena pendidikan menurut Al-
Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik.
Konsep pendidikan Al-Ghazali relevan untuk pendidikan umum dengan diterapkannya
pendidikan karakter, terlebih lagi dengan konteks pendidikan islam seperti pada konsep
pendidikan di pesantren, dimana tujuan dari pendidikan nasional tersebut diwujudkan dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang tidak hanya mengedepankan aspek spritual dan moral
semata tetapi juga sangat mengedepankan aspek intelektual peserta didik sehingga pada akhirnya
akan melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas secara spritual dan moral, tetapi juga
cerdas secara intelektual.
Terlebih lagi dalam konsep pendidikan islam di Indonesia yang sangat kental dengan
nuansa spiritual dengan mengedepankan nilai-nilai keabadian yang tercermin dari keragaman
dan kompleksitas mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik dengan
mengkombinasikan mata pelajaran umum seperti Sains, Matematika, PPKN, Sejarah, dan mata
pelajaran umum lainnya dengan mata pelajaran agama seperti mata pelajaran Al-Qur’an, Al-
9. 9
Hadist, Bahasa Arab, Ilmu Fiqh dan yang lainnya. Oleh karena itu, relevansinya dengan konsep
pendidikan Al-Ghazali sangat erat yang berkaitan dengan menumbuhkembangkan potensi yang
dimiliki oleh peserta didik yang tidak hanya mengembangkan aspek intelektualitas semata tetapi
juga mengedepankan aspek moral dan spiritual.
Adapun relevansi antara peran pendidk dan peserta didik dalam konsep pendidikan Al-
Ghazali dengan konsep pendidikan di Indonesia, baik pendidikan umum maupun konsep
pendidikan islam adalah peran pendidik sebagai penanggung jawab utama pengembangan
potensi peserta didik melalui kegiatan pembelajaran yang dilakukan sehingga seorang pendidik
harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang keahliannya dan harus menjadi guru yang
professional sebagaimana konsep guru professional yang dicanangkan Al-Ghazali sangat relevan
dengan tuntutan kompetensi seorang pendidik seperti yang tertuang pada UU Sisdiknas tahun
2003 yang menuntut seorang guru harus memiliki kompetensi yang professional pada aspek
pedagogik, sosial, keperibadian, dan keterampilan.
Demikian juga dengan peran peserta didik dalam proses pembelajaran memiliki peran
yang tidak kalah pentingnya dengan pendidik. Terlebih lagi dengan tuntutan kurikulum 2013,
dimana peserta didik dituntut untuk memperoleh pemahaman ataupun konsep melalui
pengalaman sendiri yang tentunya dengan bimbingan dari pendidik sehingga peran pendidik dan
peserta didik harus sesuai dengan porsinya masing-masing demi tercapainya tujuan pembelajaran
yang diharapkan.
Berkaitan dengan pendekatan dan metode pembelajaran dalam implementasi pendidikan
di Indonesia, pemilihan dan penentuan metode yang diterapkan dalam proses pembelajaran
mengacu pada beberapa aspek yaitu: (1) tujuan pembelajaran, (2) karaktersitik peserta didik, dan
(3) karakteristik materi yang diajarkan. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan Al-Ghazali
dalam konteks pendekatan dan metode yang diterapkan yaitu dalam hal pendekatan
pembelajaran lebih menekankan pada pemerolehan konsep melalui pembiasaan dan pengalaman
dengan pendidik sebagai penanggung jawab segala aktifitas pembelajaran dan memberikan
bimbingan kepada peserta didik untuk mengkonstruk pemahamannya, menumbuhkembangkan
aspek moralitas, intelektualitas, mental, dan spritual yang mengacu pada nilai-nilai keabadian
dan ketuhanan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad Iqbal, 2015. Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Ghazali, 2001. Mutiara Ihya` Ulumuddin. Terj Iwan Kurniawan. Mizan: Bandung.
Al-Ghazali, 2003. Tahafut al-Falasifah, Yogyakarta: Islamika.
Ali Maksum, 2003. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
“Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr. Yogyakarta: Puskata Pelajar.
10. 10
Arifin M, 1991. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986. Konsep Pendidikan AlGhazali, Jakarta: Guna Aksara.
Mahmud, 2011. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia.
Nata Abuddin, 1997. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nata Abuddin, 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ramayulis dan Nizar, Samsul, 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: PT Ciputat
Press group.
Shafique Ali Khan. Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Bandung: CV Pustaka Setia.
William F. O’Neill, 2001. Ideologi-ideologi Pendidikan, alih bahasa: Omi Intan Naomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zaenuddin, 2009. Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Malang: UIN
Malang Press.
Zainuddin dkk, 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara.
Zakiah Daradjat, 2001. Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Zuhairi, 1991. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara