Proposal ini membahas penelitian tentang penerapan pendekatan kontekstual (CTL) untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi teorema Pythagoras di kelas VIII SMP. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan pemahaman konsep matematika siswa setelah diterapkannya pendekatan CTL. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi guru untuk mengajar konsep teorema Pythagoras secara efektif dan meningkatkan
1. Proposal Penelitian
Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Materi
Teorema Pythagoras Kelas VIII SMP
Disusun Oleh:
Djoko Abimanyu
06081381520051
Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sriwijaya
2017
2. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Matematika mempunyai berbagai macam cabang ilmu, salah satunya
adalah geometri. Menurut kartono (2012:5) “berdasarkan sudut pandang
psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual
dan spasial, misalnya bidang pola, pergerakan dan pemetaan”. Geometri tidak
hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga membantu
dalam pembentukan memori yaitu objek konkret menjadi abstrak. Sedangkan
menurut Kasmawati (Ozerem, 2014:960) mengatakan mempelajari geometri
merupakan komponen penting dari pembelajaran matematika, karena
memungkinkan peserta didik untuk menganalisis dan menafsirkan dunia
mereka tinggal serta melengkapi mereka dengan alat yang dapat diterapkan
dalam bidang selain matematika.
Van de Walle (1994:35) mengungkap lima alasan mengapa geometri
sangat penting untuk dipelajari. Pertama, geometri membantu manusia
memiliki apresiasi yang utuh tentang dunianya, geometri dapat dijumpai
dalam system tata surya, formasi geologi, kristal, tumbuhan dan tanaman,
binatang sampai pada karya seni arsitektur dan hasil kerja mesin. Kedua,
eksplorasi geometrik dapat membantu mengembangkan keterampilan
pemecahan masalah. Ketiga, geometri memainkan peranan utama dalam
bidang matematika lainnya. Keempat, geometri digunakan oleh banyak orang
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kelima, geometri penuh dengan
tantangan dan menarik. Bobango (1993: 148) menyatakan bahwa “tujuan
pembelajaran geometri adalah agar siswa, (1) memperoleh rasa percaya diri
pada kemampuan matematikanya, (2) menjadi pemecah masalah yang baik,
(3) dapat berkomunikasi secara matematis, dan (4) dapat bernalar secara
matematis”.
Di bangku sekolah, materi geometri tidak diajarkan secara khusus, namun
digabungkan dalam satu kesatuan mata pelajaran matematika. Materi
geometri dalam matematika SMP meliputi garis, sudut, bangun datar,
3. kesebangunan, bangun ruang, dan teorema Pythagoras. Dalam hal ini penulis
mengambil materi pembelajaran geometri yaitu teorema Pythagoras untuk
diteliti, karena di materi ini kebanyakan siswa kurang memahami konsep
teorema Pythagoras.
Berdasarkan hasil analisis Arif Priyanto, Suharto dan Dinawati
Trapsilasiwi dalam artikelnya yang berjudul Analisis Kesalahan Siswa dalam
Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Pokok Bahasan Teorema Pythagoras
Berdasarkan Kategori Kesalahan Newman di Kelas VIII A SMP Negeri 10
jember, persentase rata-rata yang menunjukkan kesalahan memahami soal
sebesar 46% dan hal tersebut tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan siswa
kurang mengerti konsep Teorema Pythagoras sehingga sering terjadi
kesalahpahaman siswa tentang apa yang diketahui dan ditanyakan pada soal.
Sedangkan menurut hasil penilitian Teuku Tanzil Shobari dalam jurnal
yang berjudul Kesulitan Belajar Siswa Dalam Pemecahan Masalah Berbasis
Model Polya Pada Materi Teorema Pythagoras Di Kelas VIII SMP N 1
Sawang Aceh Selatan, menunjukkan bahwa dari hasil analisis data bahwa dari
9 orang siswa yang dijadikan subjek penelitian, maka diperoleh jenis
kesulitan: (1) 59,99% siswa mengalami kesulitan dalam memahami masalah,
(2) 68,57 % siswa mengalami kesulitan dalam merancang strategi pemecahan,
(3) 78,09 % siswa mengalami kesulitan melaksanakan perhitungan, dan (4)
80,95 % siswa mengalami kesulitan dalam memeriksa kembali hasil
penyelesaian. Untuk 3 orang siswa yang mendapat nilai terendah, faktor
kesulitannya adalah kemampuan siswa yang rendah, dan siswa tidak
menguasai materi teorema pythagoras. Untuk 3 orang yang yang memperoleh
nilai sedang, faktor kesulitannya adalah siswa lemah dalam operasi hitung,
dan tidak menguasai materi sebelumnya. Sementara untuk 3 siswa yang
mendapat nilai tertinggi, faktor kesulitannya adalah kurangnya latihan dalam
menjawab soal dan tidak sepenuhnya menguasai materi. Dari hasil analisis
penelitian-penelitian diatas, terlihat bahwa kurangnya pemahaman konsep
siswa didalam materi teorema Pythagoras.
4. Dalam mempelajari matematika, pemahaman konsep matematika sangat
penting untuk siswa. Karena konsep matematika yang satu dengan yang lain
berkaitan sehingga untuk mempelajarinya harus runtut dan
berkesinambungan. Jika siswa telah memahami konsep-konsep matematika
maka akan memudahkan siswa dalam mempelajari konsep-konsep
matematika berikutnya yang lebih kompleks. Nana Sudjana (2011:24)
menjelaskan bahwa pemahaman merupakan tingkat hasil belajar yang lebih
tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh, perlu adanya mengenal atau
mengetahui untuk dapat memahami. Boediono (2009:4) menjelaskan bahwa
konsep matematika adalah semua hal yang berwujud pengertian-pengertian
baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian,
ciri khusus, hakikat dan isi materi matematika. Rohmah (2014) menyatakan
bahwa selama ini cara guru mengajar hanya menekankan pada penguasaan
konsep yang mengacu pada hafalan, siswa hanya dapat berhitung dan
menghafal rumus.
Kesalahan siswa dalam belajar matematika, mereka hanya menggunakan
teknik belajar menghapal untuk memahami suatu materi, tanpa memahami
konsepnya. Kesalahan ini yang sering terabaikan oleh guru, karena dengan
cara belajar siswa yang hanya menghapal suatu materi/rumus, itu akan cepat
terlupakan dari ingatan siswa. Dibandingkan dengan cara belajar siswa yang
memahami langsung konsep dari suatu materi, itu akan bertahan diingatan
siswa lebih lama. Inilah salah satu faktor yang membuat hasil belajar siswa
dalam pembelajaran matematika materi teorema Pythagoras tergolong rendah.
Dengan kata lain, guru selama ini lebih menekankan kepada pemahaman
prosedural dari pada pemahaman konseptual (Van de Walle, 2008).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah yang dialami siswa dalam
pembelajaran teorema Pythagoras yaitu dengan menerapkan pendekatan
kontekstual (CTL). Menurut Nurhadi (2004:4), pendekatan kontekstual atau
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu konsep belajar
yang dapat membantu guru menghubungkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi kehidupan sehari-hari siswa dan mendorong siswa membuat
5. hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Elaine B.
Johnson dalam Rusman (2010:187) mengatakan pendekatan kontekstual
adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang
mewujudkan makna. Ciri-ciri contextual learning adalah: (1) menggunakan
konteks yang nyata sebagai titik awal belajar, (2) menggunakan model
sebagai jembatan antara real dan abstrak, (3) belajar dalam suasana
demokratis dan interaktif, dan (4) menghargai jawaban informal siswa
sebelum mereka mencapai bentuk formal matematika.
Dalam kaitannya dengan teorema Pythagoras penerapan pendekatan
kontekstual dapat terjadi pada saat siswa mendapatkan kesempatan
menemukan makna dari teorema Pythagoras melalui model yang mereka
rancang sendiri. Sehingga siswa akan lebih aktif, karena mereka mengalami
sendiri penemuan dari makna teorema Pythagoras tersebut, bukan transfer
rumus belaka dari guru kepada siswa. Dengan pemahaman konsep yang baik,
itu akan membuat hasil belajar siswa akan jauh lebih baik. Belajar akan lebih
bermanfaat dan bermakna jika seorang siswa mengalami apa yang
dipelajarinya bukan hanya sekedar mengetahui. Belajar tidak hanya sekedar
menghafal tetapi siswa harus dapat menerjemah pengetahuan yang dimiliki
dengan cara mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki pada realita
kehidupan sehari-hari.
Bagi para guru, hal ini merupakan sebuah tantangan tersendiri. Selain
harus bisa mengajarkan materi pelajaran, guru mempunyai tugas untuk
mengubah pemikiran siswa tentang pembelajaran matematika itu sulit. Tanpa
adanya perubahan pemikiran ke arah yang positif, maka akan sulit bagi
seorang guru untuk bisa mencapai target pembelajaran yang sudah
dicanangkan.
Jadi berdasarkan uraian diatas maka penulis akan melakukan penelitian
untuk mengetahui perubahan hasil belajar siswa setelah diterapkannya
pendekatan kontekstual (CTL) pada materi matematika teorema Pythagoras.
Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian ini dengan judul
6. “Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Materi
Teorema Pythagoras Kelas VIII SMP ”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rincian
permasalahan yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Setelah
Diterapkannya Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pada
Materi Teorema Pythagoras?
1.3 Tujuan dan Kegunaan:
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat diketahui bahwa tujuan
dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk Melihat Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa
Setelah Diterapkannya Pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) Pada Materi Teorema Pythagoras.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang berkaitan dengan hasil temuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagi guru, penelitian ini dapat diterapkan oleh guru matematika untuk
mengajarkan konsep teorema Phytagoras dengan menggunakan
pendekatan kontekstual, agar pemahaman konsep yang diajarkan dapat
diserap oleh siswa dengan baik.
2. Bagi siswa, dari penelitian ini dapat membuat pemahaman siswa terhadap
konsep teorema Phytagoras lebih mudah dimengerti.
7. BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembelajaran Matematika
Shahidayanti (2012) Pembelajaran matematika bagi para siswa
merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian
maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian-pengertian
itu. Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk
memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang
dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Siswa
diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk
memahami atau menyampaikan informasi misalnya melalui persamaan-
persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang
merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian
matematika lainnya.
Erman Suherman (2003:298) NCTM (National Coucil of Teachers of
Mathematics) merekomendasikan empat prinsip pembelajaran matematika,
yaitu :
a. Matematika sebagai pemecahan masalah.
b. Matematika sebagai penalaran.
c. Matematika sebagai komunikasi, dan
d. Matematika sebagai hubungan.
Matematika perlu diberikan kepada siswa untuk membekali mereka
dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif
serta kemampuan bekerjasama. Standar kompetensi mata pelajaran
matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdiri dari 4 aspek yaitu:
(a) bilangan, (b) aljabar, (c) geometri dan pengukuran, (d) peluang dan
statistika. Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dalam
pembelajaran matematika yang mencakup ke empat aspek tersebut diatas
adalah : (a) pemahaman konsep, (b) prosedur, (c) penalaran dan
komunikasi, (d) pemecahan masalah, dan (e) menghargai kegunaan
matematika.
8. Tujuan pembelajaran matematika pada pendidikan menengah menurut
Permendiknas No 22 Tahun 2006 (Depdiknas, 2006: 346) adalah agar
peserta didik memiliki kemampuan:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Tujuan umum pertama, pembelajaran matematika pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah adalah memberikan penekanan pada
penataan latar dan pembentukan sikap siswa. Tujuan umum adalah
memberikan penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika,
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam membantu mempelajari
ilmu pengetahuan lainnya.
Fungsi mata pelajaran matematika sebagai: alat, pola pikir, dan ilmu
atau pengetahuan (Erman Suherman, 2003:56). Pembelajaran matematika
di sekolah menjadikan guru sadar akan perannya sebagai motivator dan
pembimbing siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah.
Berdasarkan uraian diatas pembelajaran matematika merupakan proses
pembentukan pola pikir untuk memahami suatu materi. Didalam
pembelajaran matematika di sekolah siswa dibiasakan diberikan
9. permasalahan-permasalahan yang akan mereka terjemahkan ke dalam
bentuk persamaan-persamaan, model matematika, tabel, diagram, dll.
Tujuan dari pemberian pembelajaran matematika yaitu agar siswa
mempunyai kemampuan untuk memecahkan permasalahan matematika,
siswa juga dapat memaknai kegunaan matematika didalam kehidupan
sehari-hari, serta mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata.
2.2 Pendekatan Kontekstual
2.2.1 Pengertian
Elaine B. Johnson dalam Rusman (2010:187) mengatakan
pendekatan kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak
untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Menurut
Nurhadi (2004:4), pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching
and Learning (CTL) merupakan suatu konsep belajar yang dapat
membantu guru menghubungkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi kehidupan sehari-hari siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat.
Pembelajaran kontekstual sebagai terjemahan dari contextual
teaching and learning (CTL) memiliki dua peranan dalam
pendidikan yaitu sebagai filosofi pendidikan dan sebagai rangkaian
kesatuan dari strategi pendidikan. Sebagai filosofi pendidikan, CTL
mengasumsikan bahwa perana pendidik adalah membantu peserta
didik menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat
hubungan antara apa yang mereka pelajari di sekolah dan cara-cara
menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu peserta didik memahami mengapa
yang mereka pelajari itu penting. Sedang sebagai strategi, strategi
pengajaran dengan CTL memadukan teknik-teknik yang membantu
peserta didik menjadi lebih aktif sebagai pelajar dan reflektif
terhadap pengalamannya (Depdiknas, 2004).
10. Farhatin (2012) Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami
apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang
berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam
kompetensi mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam
membekali anak dalam memecahkan masalah dalam kehidupan
jangka panjang. Menurut de Lange, 1987 (dalam Zulkardi, 2002)
proses pengembangan ide dan konsep matematika yang dimulai dari
dunia nyata disebut matematisasi konseptual.
2.2.2 Karakteristik Pembelajaran Pendekatan Kontekstual (CTL)
Trianto (2009:111-120), menjelaskan bahwa pendekatan CTL
memiliki tujuh komponen utama, yaitu:
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan
berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-
fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata. Esensi dari teori
konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain,
dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka
sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi
proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan.
Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan
guru.
11. 2. Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan siswa
diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu
merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,
apapun yang diajarkannya.
3. Bertanya (Qustioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari
‘bertanya’. Questioning (bertanya) merupakan strategi utama
yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi
siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam
melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu
menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah
diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum
diketahuinya.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses
komunikasi dua arah. Seorang guru mengajari siswanya bukan
contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi
satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru kearah siswa,
tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang
dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa,
bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau
lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling
belajar satu sama lain. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan
masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh
teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang
12. diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta
informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
5. Pemodelan (Modelling)
Alam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya
model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Seseorang bisa ditunjuk untuk memodelkan sesuatu
berdasarkan pengalaman yang diketahuinya. Model dapat juga
didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya mendatangkan
seorang perawat untuk memodelkan cara menggunakan
thermometer untuk mengukur suhu tubuh pasiennya.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah
kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang
baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru,
yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan
sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian,
aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan
yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki
siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian
diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat
hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu,
siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya
tentang apa yang dipelajarinya. Kunci dari semua itu adalah
bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa
mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan
ide-ide baru.
7. Penilaian Autentik ( Authentic Asessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang
bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
13. Gambaran pembelajaran siswa perlu diketahui oleh guru agar
bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran
dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru
mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam
belajar, maka guru sesegera mungkin bisa mengambil tindakan
yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Data
yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (Assessment)
bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa.
Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada
upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning
how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak
mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.
2.2.3 Prinsip Pendekatan Kontekstual (CTL)
Mardapi (2004:14) menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip
dasar yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual,
yaitu sebagai berikut:
1. Menekankan pada pemecahan masalah (problem solving)
2. Mengenal kegiatan mengajar terjadi pada berbagai konteks
seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja (multiple contex)
3. Membantu siswa belajar bagaimana memonitor belajarnya
sehingga menjadi individu mandiri (self-regulated learned)
4. Menekankan pengajaran dalam konteks kehidupan nyata (life
skill education)
5. Mendorong siswa belajar dari satu dengan yang lainnya dan
belajar bersama-sama (cooperative learning)
6. Menggunakan penilaian autentik (autentik assesment)
Prinsip kegiatan pembelajaran kontekstual (CTL) diatas pada
dasarnya diarahkan agar siswa dapat mengembangkan cara
belajarnya sendiri dan selalu mengaitkan dengan apa yang ada
dimasyarkat, yaitu aplikasi dari konsep yang dipelajarinya.
14. Dalam Depdiknas (2002:20-21), proses pembelajaran dengan
menggunakan pembelajaran kontekstual diantaranya
mempertimbangkan karakteristik-karakteristik, yaitu:
1. Kerjasama
2. Saling menunjang
3. Menyenangkan dan tidak membosankan
4. Belajar dengan bergairah
5. Pembelajaran terintegrasi
6. Menggunakan berbagai sumber
7. Siswa aktif
8. Sharing dengan teman
9. Siswa kritis guru kreatif
10. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan karya siswa
(peta-peta, gambar, artikel).
2.2.4 Bentuk Pembelajaran Pendekatan Kontekstual (CTL)
Menurut Yulaelawati (2004:119) dijelaskan bahwa dalam proses
pembelajaran secara kontekstual, peserta didik akan melalui satu
atau lebih bentuk pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1. Relating (mengaitkan), belajar dalam konteks menghubungkan
atau mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman hidup.
2. Experience (mengalami), belajar dalam konteks penemuan
(discovery), dan penciptaan (invention).
3. Applying (mengaplikasikan), belajar dalam konteks bagaimana
pengetahuan atau informasi dapat digunakan dalam berbagai
situasi.
4. Cooperating (bekerja sama), belajar dalam konteks
menghubungkan atau mengkaitkan pengetahuan baru dengan
pengalaman hidup, dengan cara bersama-sama.
5. Transferring, artinya belajar dalam konteks pengetahuan yang
ada atau membina dari apa yang sudah diketahui.
15. Jadi dengan melihat penjelasan diatas, pendekatan kontekstual
(CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan fakta dalam kehidupan siswa.
Suatu materi akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila materi
tersebut langsung dialami dikehidupan sehari-harinya. Pembelajaran
kontekstual mengharapkan siswa untuk memperoleh materi
pelajaran meskipun sedikit tetapi mendalam, bukan banyak tetapi
dangkal.
2.3 Pemahaman Konsep
Konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita
mengklasifikasikan objek-objek atau peristiwa-peristiwa itu termasuk atau
tidak ke dalam ide abstrak tersebut (Herman Hudojo, 2003: 124).
Sedangkan konsep menurut Winkel (2004: 92) adalah satuan arti yang
mewakili sejumlah objek yang memiliki ciri-ciri yang sama. Konsep
matematika yaitu segala yang berwujud pengertian-pengertian baru yang
bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri
khusus, hakikat dan inti /isi dari materi matematika (Budiono, 2009: 4).
Pemahaman menurut Bloom (Winkel, 2004: 274) mencakup
kemampuan untuk menangkap makna dalam arti yang dipelajari.
Kemampuan memahami dapat juga disebut dengan istilah “mengerti”.
Seorang siswa dikatakan telah mempunyai kemampuan mengerti atau
memahami apabila siswa tersebut dapat menjelaskan suatu konsep tertentu
dangan kata-kata sendiri, dapat membandingkan, dapat membedakan, dan
dapat mempertentangkan konsep tersebut dengan konsep lain. Selain itu,
apabila anak memahami suatu konsep maka ia akan dapat
menggeneralisasikan suatu obyek dalam berbagai situasi lain yang tidak
digunakan dalam situasi belajar (S.Nasution, 2005: 164).
Kemampuan tersebut mencakup tiga hal yaitu, (a) translasi yang
mencakup penerjemahan pengetahuan atau gagasan dari bentuk abstrak ke
bentuk konkret atau sebelumnya, (b) interpretasi yang mencakup
kemampuan untuk mencirikan merangkum pikiran utama dari suatu
16. gagasan, serta (c) ektrapolasi yang mencakup kemampuan untuk
menterjemahkan, mengartikan serta menyelesaikan masalah.
Pemahaman konsep merupakan kompetensi yang ditunjukkan siswa
dalam memahami konsep dan dalam melakukan prosedur (algoritma)
secara luwes, akurat, efisien dan tepat. Adapun indikator yang
menunjukkan pemahaman konsep antara lain adalah:
a. Menyatakan ulang sebuah konsep.
b. Mengklasifikasi obyek-obyek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai
dengan konsepnya).
c. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep.
d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi
matematis.
e. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep.
f. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau
operasi tertentu.
g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
Dari uraian di atas pemahaman konsep adalah kemampuan menerima
dan memahami konsep dasar matematika serta menangkap makna yaitu
translasi, interpretasi, dan ekstrapolasi dari suatu ide abstrak/prinsip dasar
dari suatu objek matematika untuk menyelesaikan masalah matematika.
2.4 Teorema Pythagoras
Berdasarkan Kemendikbud revisi 2016, pada kurikulum 2013 teorema
Pythagoras dipelajari oleh siswa kelas VIII. Kompetensi dasarnya yaitu 3.6
Memeriksa kebenaran teorema Pythagoras dan tripel Pythagoras.
Pythagoras adalah seorang ahli matematika dan filsafat berkebangsaan
Yunani yang hidup pada tahun 569–475 sebelum Masehi. Sebagai ahli
metematika, ia mengungkapkan bahwa kuadrat panjang sisi miring suatu
segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat panjang sisi-sisi
yang lain. Untuk mengenang jasa beliau, maka dalil tersebut diberi nama
dalil Pythagoras (M. Mukti Aji & Nur Akhsin, 2005:28).
17. Pada setiap segitiga siku-siku, luas daerah persegi pada sisi miring sama
dengan jumlah luas daerah persegi-persegi pada dua sisi yang lain.
Pernyataan ini dinamakan Teorema Pythagoras.
Pembuktian teorema Pythagoras:
Luas daerah yang tidak diarsir pada gambar (7) adalah luas daerah persegi
ABCD – (4 × luas daerah yang diarsir).
𝑐2 = ( 𝑎 + 𝑏) × ( 𝑎 + 𝑏) − 4.
1
2
𝑎𝑏
𝑐2 = ( 𝑎 + 𝑏)2 − 2𝑎𝑏
Luas daerah yang tidak diarsir pada gambar (8) adalah luas daerah persegi
ABCD – (4 × luas daerah yang diarsir)
𝑎2
+ 𝑏2
= ( 𝑎 + 𝑏) × ( 𝑎 + 𝑏) − 4.
1
2
𝑎𝑏
𝑎2
+ 𝑏2
= ( 𝑎 + 𝑏)2
− 2𝑎𝑏
Ternyata dari kedua gambar tersebut daerah yang tidak diarsir memiliki luas
daerah yang sama, yaitu:
Dari gambar (7) : 𝑐2 = ( 𝑎 + 𝑏)2 − 2𝑎𝑏
Dari gambar (8): 𝑎2
+ 𝑏2
= ( 𝑎 + 𝑏)2
− 2𝑎𝑏
Jadi 𝒄 𝟐 = 𝒂 𝟐 + 𝒃 𝟐
bab a DD C C
C
C
B
b
A
b
a
a
𝐵2
𝐴2
b
b
b
a
a
a
𝐶2
22
C
C
C
C
BB AA
Gb. (8)Gb. (7)
18. Seperti contoh penerapan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) terhadap Teorema Pythagoras diatas, dengan guru
memberikan gambaran sebuah tangga yang terdapat dilantai sekolah. Guru
dapat menyatakan tangga yang disandarkan ke sebuah dinding sebagai sisi
miring, dinding itu sebagai sisi depannya, dan lantai dinyatakan sebagai
sisi samping.
Konkret Abstrak
A
B C
a
bc
19. BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemahaman konsep matematika
siswa, setelah diterapkannya pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL).
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
3.2.1 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman
konsep matematika siswa, setelah diterapkannya pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL).
3.2.2 Definisi Operasional Variabel
Pemahaman konsep adalah kemampuan menerima dan
memahami konsep dasar matematika serta menangkap makna yaitu
translasi, interpretasi, dan ekstrapolasi dari suatu ide abstrak/prinsip
dasar dari suatu objek matematika untuk menyelesaikan masalah
matematika.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa pada pelaksanaan
pembelajaran matematika dengan melihat indikator kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa. Adapun indikator yang
menunjukkan pemahaman konsep antara lain adalah:
a. Menyatakan ulang sebuah konsep.
b.Mengklasifikasi obyek-obyek menurut sifat-sifat tertentu
(sesuai dengan konsepnya).
c. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep.
d.Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi
matematis.
e. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep.
20. f. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau
operasi tertentu.
g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
3.3 Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII 2 yang terdiri dari
30 siswa.
3.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil 2017 dan bertempat di
SMP Srijaya Negara.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
a. Membuat rancangan penilitan
b.Melakukan pengurusan surat perizinan penilitan
c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
d.Membuat instrumen penelitian berupa lembar kerja siswa
(LKS) dan melakukan validasi.
3.5.2 Tahap Pelaksanaan
Setelah tahap persiapan selesai, selanjutnya peneliti melakukan
tahapan pelaksanaan pembelajaran, sebagai berikut:
Pendahuluan
a. Guru masuk kelas mengucapkan salam dan mengajak siswa
berdo’a sebelum memulai pelajaran. Dilanjutkan dengan
menanyakan kabar dan mengecek kehadiran siswa.
b. Dengan tanya jawab, guru mengingatkan siswa tentang
materi sebelumnya.
c. Guru memberikan motivasi pentingnya mempelajari materi
Teorema Pythagoras.
d. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai pada pertemuan kali ini.
21. Inti
a. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok diskusi.
b. Guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS), dan siswa
mengamati LKS yang telah dibagikan.
c. Siswa mulai menuliskan deskripsi terkait situasi nyata yang
berkaitan dengan materi teorema Pythagoras.
d. Setelah itu, siswa berdiskusi bersama teman kelompoknya
untuk membuat kesimpulan dari hasil yang mereka
dapatkan.
e. Lalu guru memerintahkan setiap perwakilan kelompok
untuk mempresentasikan hasil diskusi yang telah mereka
dapatkan. Dan kelompok lain memberikan tanggapan
terhadap kelompok yang presentasi.
Penutup
a. Setelah semua kelompok maju presentasi, guru bersama-
sama siswa membuat kesimpulan tentang materi yang telah
di diskusikan.
b. Guru memberikan tugas PR beberapa soal mengenai materi
teorema Pythagoras.
c. Guru mengakhiri kegiatan belajar dengan memberikan
pesan untuk tetap belajar.
3.5.3 Tahap Analisis Data
Pada tahap ini peneliti mengolah dan menganalisis data yang
diperoleh melalui observasi yang dilakukan selama tahap
pelaksanaan, serta hasil tes siswa yang dilakukan setelah selesai
materi pembelajaran.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
3.6.1 Observasi
Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara mengamati
langsung selama kegiatan pembelajaran. Observasi pada penelitian
22. ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui lebih lanjut proses
siswa saat menyelesaikan soal-soal tes kemampuan pemahaman
konsep matematis.
3.6.2 Teknik Tes
Tes merupakan pengumpulan data yang dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan pemahaman konsep siswa
setelah diterapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) pada materi pokok bahasan teorema Pythagoras. Kemampuan
pemahaman konsep matematis siswa didapat dari tes akhir setelah
selesai materi pembelajaran, soal yang digunakan berbentuk uraian.
Soal tes yang digunakan mengacu pada indikator pemahaman
konsep matematis.
3.7 Teknik Analisis Data
Setelah mengumpulkan data, penulis melakukan analisis data. Teknik
analisis data yang digunakan meliputi, analisis data observasi dan analisis
data tes.
3.7.1 Analisis Data Tes
Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa akan
dianalisis berdasarkan hasil tes. Setelah dilakukan tes untuk
mengukur kemampuan pemahaman konsep matematis siswa
didapatlah skor untuk masing-masing siswa.Skor tersebut
dijumlahkan dan kemudian dianalisis. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Mengkonversikan skor ke dalam nilai
Skor siswa dikonversikan menjadi nilai dalam rentang 0-100
menggunakan aturan sebagai berikut.
𝑇 =
𝐽𝑆
𝑆𝑀
𝑥 100
(DjalidanMudjiono, 2008: 103)
23. Keterangan:
T= Nilai Tes Siswa
JS = Jumlah Skor yang diperoleh Siswa
SM = Jumlah Skor Maksimum
2. Menentuan kategori kemampuan pemahaman konsep matematis
siswa
Setelah nilai untuk setiap siswa didapat, kemudian menentukan
kategori pemahaman konsep matematis tiap siswa, yaitu sebagai
berikut.
Tabel Tingkat Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Siswa
NilaiSiswa Kategori
85,00 – 100 SangatBaik
70,00 – 84,90 Baik
55,00 - 69,90 Cukup
40,00 - 54,90 Kurang
0 - 39,90 SangatKurang
(Modifikasi Arikunto : 2012)
3.7.2 Analisis Data Observasi
Observasi pengukuran aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
dalam pemahaman konsep teorema Pythagoras berdasarkan lembar
observasi aktivitas belajar siswa. Langkah-langkah analisis data
observasi sebagai berikut:
1. Observasi diberi tanda checklist pada lembar observasi sesuai
aktivitas yang telah terlaksana
2. Skor 1 untuk checklist pada kolom ada, dan skor 0 untuk
checklit pada kolom tidak ada
3. Untuk mendapatkan skor akhir secara keseluruhan digunakan
rumus:
24. 𝑁𝐴 =
𝑁
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚
× 100%
Keterangan:
NA = Nilai Akhir
N = Skor yang diperoleh
4. Nilai aktivitas siswa dikonversikan ke dalam tebel di bawah ini:
Tabel Kategori Skor Lembar Observasi Pelaksanan
Pembelajaran
Skor Kriteria
81 – 100 SangatAktif
61 – 80 Aktif
41 – 60 Cukup
21 – 40 Kurang
< 21 KurangSekali
(Arikunto dan Cepi, 2014:35) (dalam Sholika dan Sukartiningsih,
2015) dengan perubahan
25. DAFTAR PUSTAKA
Muhassanah, N. dkk. (2014). Analisis Keterampilan Geometri Siswa Dalam
Memecahkan Masalah Geometri Berdasarkan Tingkat Berpikir Teori
Van Hiele. Prodi Magister Pendidikan Matematika: Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Priyanto, A. dkk. (2015). Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal
Cerita Matematika Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Berdasarkan
Kategori Kesalahan Newman di Kelas VIII A SMP Negeri 10 jember.
Jember: Universitas Jember.
Husnul, K. (2013). Meningkatkan Hasil Belajar Geometri Dengan Teori Van
Hiele. Pendidikan Matematika: Universitas Negeri Yogyakarta.
Abdullah, K. (2015). Identifikasi Tingkat Berpikir Siswa Ditinjau Dari Teori Van
Hiele Dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Bangun Segi Empat.
Prodi Pendidikan Matematika FMIPA: Universitas Gorontalo.
Feriana, O., & Putri, R. I. I. Desain Pembelajaran Volume Kubus Dan Balok
Menggunakan Filling Dan Packing Di Kelas V. SMA NU Palembang:
Universitas Sriwijaya.
Farhatin, D. (2012). Pembelajaran Materi Luas Permukaan Balok Dan Kubus
Dengan Pendekatan Contextual Teacher Learning (CTL). Universitas
Sriwijaya.
Hasnawati. (2006). Pendekatan Contextual Teaching Learning Hubungannya
Dengan Evaluasi Pembelajaran. Universitas Negeri Yogyakarta.
Azka, F. (2005). Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Dan
Jigsaw II Terhadap Hasil Belajar Matematika Pokok Bahasan Teorema
Pythagoras Pada Siswa Kelas II Semester 1 SMP 10 Semarang Tahun
Pelajaran 2004/2005. Universitas Negeri Semarang.
Ikrima, R. D. (2015). Meningkatkan Pemahaman Siswa Tentang Teorema
Pythagoras Dalam Penyelesaian Bangun Datar. Jurusan Tadris
Matematika; Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulung Agung.
Sarjiman, P. (2006). Peningkatan Pemahaman Rumus Geometri Melalui
Pendekatan Realistik Di Sekolah Dasar. Universitas Negeri Yogyakarta.
26. Oktorizal., Elniati, S., & Suherman. (2012). Peningkatan Level Berpikir Siswa
Pada Pembelajaran Geometri Dengan Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik. Jurusan Matematika FMIPA UNP.
Shobari, T, T. (2015). Kesulitan Belajar Siswa Dalam Pemecahan Masalah
Berbasis Model Polya Pada Materi Teorema Pythagoras Di Kelas VIII
SMP N 1 Sawang Aceh Selatan. FKIP UNSYIAH.
Purnamasari, E, F. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematika Melalui Pendekatan Open-ended Bagi Siswa Kelas VIII
Semester Genap SMP Muhammadiyah 10 Surakarta Tahun 2013/2014.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Shahidayanti, T. (2012). Pengembangan Modul Pada Materi Segi Empat Untuk
Siswa Kelas VII SMP Berdasarkan Pendekatan Kontekstual Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Universitas Negeri Yogyakarta.
Dewiatmini, P. (2010). Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika
Pada Pokok Bahasan Himpunan Siswa Kelas VII A SMP Negeri 14
Yogyakarta Dengan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Students Teams Achievements Divisions (STAD). Universitas Negeri
Yogyakarta.
Kusumaningtyas, I, H. (2011). Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep
Matematika Melalui Pendekatan Problem Posing Dengan Pembelajaran
kooperatif Tipe Stad (Students Teams Achievements Divisions) Pada
Siswa Kelas Bilingual VIII C SMP N 1 Wonosari. Universitas Negeri
Yogyakarta.