Dokumen tersebut membahas tentang pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika materi Teorema Pythagoras. Dokumen menjelaskan pengertian Teorema Pythagoras, contoh soal, pendekatan kontekstual, dan teori belajar Piaget serta Bruner yang relevan dengan pembelajaran Teorema Pythagoras secara kontekstual.
Jurnal pendekatan ctl pada materi teorema pythagoras
1. Pendekatan Kontekstual Pada Pembelajaran Matematika Materi
Teorema Phytagoras
Oleh: 1. Djoko Abimanyu (06081381520051)
2. M. Ridho Ratu Berlian(06081381520039)
PENDAHULUAN
Kata Matematika tentu sudah tidak asing lagi didengar, Matematika merupakan salah
satu pelajaran yang sangat tidak disenangi oleh siswa di setiap sekolah. Hal ini karena adanya
pemikiran bahwa pelajaran ini adalah pelajaran yang sangat sulit karena bersifat abstrak.
Dalam pembelajaran Matematika diperlukan ketepatan dalam proses belajarnya. Kebanyakan
siswa dalam dalam belajar Matematika hanya menggunakan teknik menghapal, tanpa
memahami konsep dari suatu materi. Inilah yang menyebabkan seringnya terjadi
ketidakpahaman siswa dalam mempelajari suatu materi Matematika.
Berdasarkan hasil analisis Arif Priyanto, Suharto dan Dinawati Trapsilasiwi dalam
artikelnya yang berjudul Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita
Matematika Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Berdasarkan Kategori Kesalahan Newman
di Kelas VIII A SMP Negeri 10 jember, persentase rata-rata yang menunjukkan kesalahan
memahami soal sebesar 46% dan hal tersebut tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan siswa
kurang mengerti konsep Teorema Pythagoras sehingga sering terjadi kesalahpahaman siswa
tentang apa yang diketahui dan ditanyakan pada soal.
Siswa sering kali hanya menghapal rumus Teorema Pythagoras, tanpa memahami
konsep dari Teorema Pythagoras, sehingga siswa kurang bisa memaknai materi tersebut.
Teknik belajar dengan cara menghapal saja tidak akan membuat ingatan siswa bertahan lama,
sebaliknya bila siswa bisa memahami konsep materi dengan baik maka ingatannya terhadap
suatu materi dapat bertahan dengan lama.
Bagi para guru, hal ini merupakan sebuah tantangan tersendiri. Selain harus bisa
mengajarkan materi pelajaran, para guru mendapat tugas untuk mengubah pemikiran siswa
tentang pembelajaran Matematika. Tanpa adanya perubahan pemikiran ke arah yang positif,
maka akan sulit bagi seorang guru untuk bisa mencapai target pembelajaran yang sudah
dicanangkan. Oleh karena itu dalam penyampaian materi hal yang terpenting adalah guru
harus menekankan konsep terlebih dahulu. Jika seorang siswa tidak paham dengan konsep
suatu materi, maka seterusnya siswa itu akan gagal untuk materi selanjutnya.
2. Untuk membantu siswa dalam memahami konsep Teorema Phytagoras, maka guru
perlu mengaitkan Teorema Pythagoras kedalam kehidupan nyata. Hal ini sangat cocok
dengan pendekatan kontekstual, karena pendekatan kontekstual sangat menekankan
implemantasi suatu materi ke dalam kehidupan nyata. Misalnya siswa ditugaskan untuk
menghitung kemiringan tangga yang tersandar disebuah lantai sekolah. Hal ini tentunya akan
sangat membantu siswa dalam memahami konsep Teorema Pythagoras.
Didalam artikel ini penulis menggunakan tiga teori belajar, yaitu Teori Jean Piaget, dan
Teori Brunner. Teori Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil
kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi
diantara keduanya. Menurut Piaget anak kelas VIII SMP itu masuk ke dalam tahap operasi
formal (umur 11/12 ke atas), pada tahap ini ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis,
abstrak, dan logis.
Dasar pemikiran teori Bruner memandang bahwa manusia sebagai pemroses, pemikir
dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan
kepada dirinya. Didalam teori Bruner dalam tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif,
model ikonik dan model tahap simbolik. Jadi disini penulis akan mencoba mengaitkan
Teorema Pythagoras dengan Pendekatan Konteksual, Teorema Pythagoras dengan Teori
Belajar, dan Pendekatan Kontekstual dengan Teori Belajar.
3. I. Materi
Teorema Pythagoras
Teorema Pythagoras atau sering disebut Dalil Pythagoras adalah sebuah
teorema yang menunjukkan hubungan antarsisi pada segitiga siku-siku. Menurut
teorema ini, kuadrat sisi miring segitiga siku-siku merupakan jumlah kuadrat kedua
sisi lainnya.
Secara sistematis ditulis:
Dari teorema ini muncul lah istilah Triple Pythagoras. Triple Pythagoras
adalah tiga buah bilangan yang memenuhi rumus Pythagoras. Kuadrat bilangan
terbesar sama dengan jumlah kuadrat kedua bilangan lainnya. Atau jika kita
hubungkan dengan segitiga siku-siku, triple Pythagoras adalah panjang sisi-sisi
sebuah segitiga siku-siku.
Teorema ini sangat populer dalam bidang geometri, mungkin anda sudah
mempelajarinya sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan terus digunakan pada
tingkatan berikutnya. Misalnya pada materi dimensi tiga yang dipelajari pada jenjang
SMA, begitu pula pada materi trigonometri.
Meskipun nama teorema ini “Pythagoras”, bukan berarti Pythagoras yang
pertama kali menemukannya. Sebab teorema ini muncul dan digunakan jauh sebelum
masa kehidupan Pythagoras, seperti oleh matematikiawan India dan Babilonia. Nama
Pythagoras diabadikan sebagai nama teorema ini, karena dialah yang pertama kali
membuktikan kebenaran rumusa² + b² = c² secara matematis.
Ada banyak cara untuk membuktikan Teorema Pythagoras. Berikut adalah
contoh pembuktian dari Teorema Pythagoras.
A
C
B
𝐴2 + 𝐵2 = 𝐶2
4. Pembuktian Teorema Pythagoras
Perhatikan gambar berikut.
Persegi besar dengan panjang sisi (a + b) terdiri dari persegi kecil dengan sisi
c dan empat buah segitiga kongruen, sehingga:
( 𝐴 + 𝐵)2
= 𝐶2
+ 4.
1
2
. 𝑎. 𝑏
𝐴2
+ 𝐵2
+ 2𝑎𝑏 = 𝐶2
+ 2𝑎𝑏
Pada kedua ruas terdapat 2ab, sehingga bisa dieliminasi dan menyisakan:
Contoh permasalahan Teorema Pythagoras
1. Seorang anak akan mengambil sebuah layang-layang yang tersangkut di atas
sebuah tembok yang berbatasan langsung dengan sebuah kali. Anak tersebut
ingin menggunakan sebuah tangga untuk mengambil layang-layang tersebut
dengan cara meletakan kaki tangga di pinggir kali. Jika lebar kali tersebut 5
meter dan tinggi tembok 12 meter, hitunglah panjang tangga minimal yang
diperlukan agar ujung tangga bertemu dengan bagian atas tembok?
𝐴2 + 𝐵2 = 𝐶2
5. Penyelesaian:
Jika digambarkan sketsanya, akan tampak seperti gambar di bawah ini.
Di mana XY merupakan jarak kaki tangga dengan bawah tembok (lebar kali) dan YZ
merupakan tinggi tembok, maka panjang tangga (XZ) dapat dicari dengan teorema
Pythagoras yakni:
XZ = √(XY2 + YZ2)
XZ = √52 + 122
XZ = √25 + 144
XZ = √169
XZ = 13 m
Jadi, panjang tangga minimal yang diperlukan agar ujung tangga bertemu dengan
bagian atas tembok adalah 13 m.
II. Pendekatan Kontekstual
Contextual Teacher and Learning (CTL) adalah salah satu strategi
pembelajaran yang dikembangkan oleh The Washington State Consortium for
Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah,
dan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang pendidikan di Amerika Serikat. Salah
satu kegiatan dari konsorsium tersebut adalah melatih dan memberi kesempatan
kepada para guru dari enam propinsi di Indonesia untuk mempelajari pendekatan
kontekstual di Amerika Serikat (Priyatni, 2002:1).
Menurut Suyanto (2003:1) CTL dapat membuat siswa terlibat dalam kegiatan
yang bermakna yang diharapkan dapat membantu siswa mampu menghubungkan
pengetahuan yang diperoleh di kelas dengan konteks situasi kehidupan nyata.
Pembelajaran dengan peran serta lingkungan secara alami akan memantapkan
pengetahuan yang dimiliki siswa. Belajar akan lebih bermanfaat dan bermakna jika
6. seorang siswa mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya sekedar mengetahui.
Belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi siswa harus dapat mengonstruksikan
pengetahuan yang dimiliki dengan cara mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki
pada realita kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pengembangan CTL dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada aspek mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis baik dari segi berbahasa maupun bersastra akan membuat
pembelajaran lebih bervariasi.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan fakta dalam kehidupan siswa. CTL
lebih menekankan pada rencana kegiatan kelas yang dirancang guru. Rencana
kegiatan tersebut berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan
bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajari. Pembelajaran
kontekstual lebih mementingkan strategi belajar bukan hasil belajar. Pembelajaran
kontekstual mengharapkan siswa untuk memperoleh materi pelajaran meskipun
sedikit tetapi mendalam bukan banyak tetapi dangkal.
III. Teori Belajar
A. Teori Jean Piaget
Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil
kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil
interaksi diantara keduanya. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan
orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk anak kecil,
mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan untuk
menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan
yang sama bagi semua anak. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan
itu melalui suatu urutan tertentu tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke
tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif dipengaruhi empat aspek, yaitu
kematangan, pengalaman, interaksi sosial dan ekullibrasi. Kematangan merupakan
sebagai hasil perkembangan susunan syaraf. Pengalaman yaitu hubungan timbal balik
antara orgnisme dengan dunianya. Interaksi sosial merupakan pengaruh-pengaruh
yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkugan sosial. Dan ekullibrasi adalah
7. kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mampu
mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
1) Tahap sensorimotor : Umur 0 – 2 tahun.
(Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan
inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi
lahir sampai sekitar berumur 2 tahun. Tahap ini disebut tahap sensorimotor
oleh Piaget. Pada tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada
tindakan inderawi anak terhadapt lingkungannya, seperti melihat, meraba,
menjamak, mendengar, membau dan lain-lain.Pada tahap sensorimotor,
gagasan anak mengenai suatu benda berkembang dari periode “belum
mempunyai gagasan” menjadi “ sudah mempunyai gagasan”. Gagasan
mengenai benda sangat berkaitan dengan konsep anak tentang ruang dan
waktu yang juga belum terakomodasi dengan baik. Struktur ruang dan waktu
belum jelas dan masih terpotong-potong, belum dapat disistematisir dan
diurutkan dengan logis.Menurut Piaget, mekanisme perkembangan
sensorimotor ini menggunakan proses asimilasi dan akomodasi. Tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dikembangkan dengan perlahan-lahan melalui
proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak karena adanya
masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman dan situasi yang baru.
2) Tahap Pra operasional : Umur 2 -7 tahun.
(Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda
dan konsep intuitif)
Karakteristik anak pada tahap ini adalah Anak dapat mengaitkan
pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan pengalaman
pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak rela bila barang
miliknya dipegang oleh orang lain.Anak belum memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah yang membutuhkan pemikiran “yang dapat
dibalik (reversible).” Pikiran mereka masih bersifat irreversible.Anak belum
mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus, dan belum
mampu bernalar (reasoning) secara individu dan deduktif.Anak bernalar secara
transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum mampu membedakan
antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak seperti berbohong. Ini terjadi
8. karena anak belum mampu memisahkan kejadian sebenarnya dengan imajinasi
mereka.Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat
dan isi).Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa
yang mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam
kelompok yang hanya mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai mengerti
konsep yang konkrit.
3) Tahap operasi kongkret : umur 7 – 11/12 tahun.
(Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang
kejadian-kejadian konkret)
Karakteristik operasi konkret ini adalah Pada tahap ini seorang anak
mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan
objek yang dialami. Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan
dengan gambaran akan lingkunganitu.Anak mpada tahap ini mulai mulai dapat
melihat suatu objek atau persoalan secara sediki menyeluruh dengan melihat
apek-aspeknya. Ia tidak hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat
bersam-sama mengamati titik-titik yang lain dalam satu waktu yang
bersamaan.Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut
semakin besar atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget,
bila seorang anak telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak akan
mengalami banyak kesulitaan untuk membuat seriasi selanjutnuya.Menurut
Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi bermacam-maam
objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada
beberapa kemungkinan yang terjadi.
Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap praoperasi konkret
belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan, namun
pada tahap tahap operasi konkret, anak sudah dapat mengerti soal
karespondensi dan kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti
konsep tentang bilangan bagi anak telah berkembang. Pada umur 7 atau 8
tahun seorang anak sudah mengerti tentang urutan ruang dengan melihat
interval jarak suatu benda. Pada umur 8 tahun anak sudah sapat mengerti relasi
urutan waktu dan juga koordinasi dengan waktu, dan pada umur 10 atau 11
tahun, anak sadar akan konsep waktu dan kecepatan. Pada tahap ini,
pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan antara hal yang terjadi
dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk. Dalam pembicaraan sehari-hari,
9. anak pada tahap ini jarang berbicara dengan suatu alasan, tetapi lebih
mengatakan apa yang terjadi. Pada tahap ini, menurut Piaget masih ada
kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh. Pada tahap ini, anak
sudah tidak begitu egosentris dalam pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain
dapat mempunyai pikiran lain.
4) Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas.
(Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis)
Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir
dalam perkembangan kognitif menurut Piaget. Pada tahap ini, seorang remaja
sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal
berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil
kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu. Cara berpikir yang
abstrak mulai dimengerti. Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran
deduktif hipotesis, induktif sintifik, dan abstrak reflektif.
Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan yang
spesifik dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya jika premis-premis
yang dipakai dalam pengambilan keputusan benar. Alasan deduktif hipotesis
adalah alasan/argumentasi yang berkaitan dengan kesimpulan yang ditarik dari
premis-premis yang masih hipotetis. Jadi, seseorang yang mengambil
kesimpulan dari suatu proposisi yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan
dengan kenyataan yang real. Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat
mendeteksi adaanya pemikiran yang logis, meskipun para remaja sendiri pada
kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir mereka itu
logis. Dengan kata lain, model logis itu lebih merupakan hasil kesimpulan
Piaget dalam menafsirkan ungkapan remaja, terlepas dari apakah para remaja
sendiri tahu atau tidak.
Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih umum
berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Pemikiran ini disebut juga dengan
metode ilmiah. Pada tahap pemikiran ini, anak sudah mulai dapat membuat
hipotesis, menentukan eksperimen, menentukan variabel control, mencatat
hasi, dan menarik kesimpulan. Disamping itu mereka sudah dapat memikirkan
sejumlah variabel yang berbeda pada waktu yang sama. Menurut Piaget,
pemikiran analogi dapat juga diklasifikasikan sebagai abstraksi reflektif
karena pemikiran itu tidak dapat disimpulkan dari pengalaman.
10. B. Teori Bruner
Dasar pemikiran teori Bruner memandang bahwa manusia sebagai pemroses,
pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses
aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi
yang diberikan kepada dirinya.
Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses perolehan
informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima dan (3)
menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Menurut Bruner belajar Matematika
adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur Matematika yang
terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-
konsep dan struktur-struktur Matematika itu (Hudoyo 1990:48). Bruner, melalui
teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi
kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus
dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep Matematika.
Dengan demikian agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan
intelektual anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep
matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap
perkembangan kognitif/pengetahuan anak agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi
dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi
secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika
pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model tahapan yaitu model tahap
enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik.
1). Model Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara
langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak
belajar sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan
menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, pada
penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata.
2). Model Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan dimana
pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual
(visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret
yang terdapat pada tahap enaktif. Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan
berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui
11. serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan
mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
3). Model Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi
simbul-simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Pada tahap simbolik ini,
pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract
symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-
orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya
huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun
lambang-lambang abstrak yang lain.
Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah,
pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu
dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 3 kelereng
dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya ini
merupakan tahap enaktif). Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan dengan
menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang
digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya,
dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua ikonik,
siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual
dari kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa
melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-
lambang bialngan, yaitu : 3 + 2 = 5.
12. IV. Kaitan Antara Teorema Pythagoras denganPendekatanKontekstual
Dalam mempelajari materi Pythagoras, sebagian besar dari siswa hanya hapal
rumus dari Pythagoras tanpa memahami dari mana rumus tersebut. Siswa hanya
mengetahui bahwa Teorema Pythagoras itu adalah 𝑐2
= 𝑎2
+ 𝑏2
, akan tetapi mereka
tidak paham yang mana a, b dan c sehingga ketika mengerjakan soal-soal Pythagoras
siswa sering kali mengalami kekeliruan dalam memasukkan angka ke rumus
Pythagoras. Hal ini terjadi karena siswa tidak paham dengan konsep materi yang
diajarkan oleh gurunya disekolah. Ini lah yang menjadi tantangan semua guru, untuk
membuat siswa memahami materi tersebut.
Banyak yang dapat dilakukan guru agar siswa memahami konsep materi
Pythagoras. Salah satunya dengan mengaitkan materi dengan permasalahan yang ada
dikehidupan siswa, itu akan membuat siswa dapat lebih mudah memahami suatu
materi. Dalam materi phytagoras guru dapat menyatakan tangga yang disandarkan ke
sebuah dinding sebagai sisi miring, dinding itu sendiri merupakan sisi depannya, dan
lantai dinyatakan sebagai sisi samping. Dengan demikian, siswa dapat memahami
dengan jelas materi phytagoras melalui pengamatannya pada permasalahan yang
nyata.
Pendekatan kontekstual merupakan solusi yang dapat digunakan oleh para
guru bagaimana cara menekankan konsep Teorema Pythagoras, agar siswa dapat
mengerti apa yang dijelaskan oleh sang guru. Pendekatan Kontekstual memiliki
pengertian bahwa belajar akan lebih bermanfaat dan bermakna jika seorang siswa
mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya sekedar mengetahui. Belajar tidak
hanya sekedar menghafal tetapi siswa harus dapat mengkonstruksikan pengetahuan
yang dimiliki dengan cara mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki pada realita
kehidupan sehari-hari. Kegiatan dengan memberikan permasalahan tangga yang
disandarkan ke sebuah tangga dapat dikategorikan sebagai pendekatan konstektual.
Dalam pendekatan kontekstual, anak sudah harus dapat menyimpulkan hasil
dari pengamatan yang dilakukannya karena anak dapat mengaplikasikan pengetahuan
yang dimiliki pada realita kehidupan hanya jika ia dapat menyimpulkan
pengamatannya mengenai relita tersebut.
13. Kaitan Antara Teorema Pythagoras dengan Teori Belajar
1) Teori Jean Piaget
Teorema Pythagoras merupakan salah satu materi yang ada didalam
pembelajaran Matematika, materi ini sudah diperkenalkan kepada siswa sejak
kelas VIII SMP. Didalam materi ini siswa banyak dihadirkan permasalahan dalam
bentuk soal cerita, dan juga dalam soal materi bangun ruang. Siswa dituntut untuk
bisa menarik kesimpulan dari sebuah permasalahan tersebut. Selain itu, didalam
materi Teorema Pythagoras juga terdapat siswa juga harus dapat memahami
benda-benda abstrak yang sebelumnya belum pernah siswa ketahui.
Pada kelas VIII SMP siswa berusia kurang lebih 13 tahun, dan didalam teori
Jean Piaget pada usia tersebut anak berada pada tahap operasi formal, dimana
pada tahap ini seorang individu sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan
pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi, dan dapat mengambil
kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu.
2) Teori Bruner
Didalam Teori Bruner terdapat tiga model tahapan dalam pembelajaran, yaitu
(1) Model Tahap Enaktif (2) Model Tahap Ikonik, dan (3) Model Tahap Simbolik.
Bila dikaitkan antara contoh penerapan materi Teorema Pythagoras ke dalam
kehidupan nyata siswa (Pendekatan Kontekstual), kita dapat mengelompokkan
dari contoh tersebut ke dalam tiga model tahapan pembelajaran yang ada pada
teori Bruner.
Seperti contoh penerapan pendekatan kontekstual terhadap Teorema
Pythagoras diatas, dengan guru memberikan gambaran sebuah tangga yang
terdapat dilantai sekolah. Guru dapat menyatakan tangga yang disandarkan ke
sebuah dinding sebagai sisi miring, dinding itu sebagai sisi depannya, dan lantai
dinyatakan sebagai sisi samping.
14. Tahap Enaktif Tahap Ikonik
Kegiatan tersebut juga termasuk ke dalam tiga model tahapan pembelajaran
yang dikemukakan Bruner yaitu tahap enaktif dimana anak memanipulasi objek,
dan dari objek itu pembelajaran dapat memasuki tahap ikonik dimana anak dapat
memvisualkannya ke dalam bentuk gambar dan dalam kegiatan tersebut anak
memvisualkan tangga yang disandarkan ke sebuah dinding menjadi segitiga siku-
siku, dan tahap selanjutnya yaitu tahap simbolik, dengan menyimbolkan sisi
miring c, sisi depan b dan sisi samping a.
Kaitan Antara Pendekatan Kontekstual dengan Teori Belajar
1) Teori Jean Piaget
Jika melihat dari pengertian pendekatan kontekstual, jelas antara pendekatan
kontekstual dan teori Jean Piaget itu saling berkaitan. Karena pendekatan
kontekstual adalah salah satu strategi pembelajaran yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan fakta didalam kehidupan nyata,
agar siswa lebih mudah memahami materi yang diajarkan oleh gurunya.
Sedangkan menurut teori Jean Piaget, perkembangan kognitif siswa itu juga
dipengaruhi oleh pengalaman siswa.
Apabila seorang guru mengajarkan suatu materi dengan
mengimplementasikan ke dalam kehidupan siswa, maka dengan begitu dapat
membuat proses belajar dikelas menjadi lebih efektif, karena materi yang
diajarkan oleh guru sudah dialami dikehidupan sehari-hari siswa. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pendeketan kontekstual dengan teori Jean Piaget itu saling
berkaitan.
A
B C
a
bc
15. 2) Teori Bruner
Didalam teori Bruner terdapat tiga model tahapan pembelajaran yaitu, model
tahapan enaktif, model tahapan ikonik, dan model tahapan simbolik. Jika guru
mengajarkan materi dengan dengan menggunakan pendekatan kontekstual, maka
siswa dapat memilah dari materi yang diajarkan oleh gurunya, mana yang
termasuk ke dalam tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.
Contoh dari penerapan pendekatan kontekstual pada materi Teorema
Pythagoras sebuah tangga yang terletak disekolah. Dari contoh tersebut siswa
bisa memilah, bahwa contoh tersebut termasuk ke dalam tahap enaktif, karena
siswa memanipulasi sebuah segitiga siku-siku dengan sebuah tangga yang
tersandar didinding sekolah.
Setelah siswa memanipulasi segitiga ke dalam kehidupan nyata, baru lah
terpintas dipikiran siswa bahwa tangga itu berbentuk segitiga siku-siku, seperti
materi Teorema Pythagoras yang telah diajarkan gurunya. Tahap ini lah yang
disebut dengan tahap ikonik.
Setelah siswa mampu memanipulasi dan merepresentasikan tangga tersebut ke
dalam bentuk segitiga siku-siku, baru lah siswa dapat memberi simbol bahwa
tangga tersebut sebagai sisi miring, dindingnya sebagai sisi depan, dan lantai
sebagai sisi samping. Tahap ini lah disebut dengan tahap simbolik. Jadi antara
pendekatan kontekstual dengan teori Bruner juga saling berkaitan.
PENUTUP
Selama ini siswa hanya menghapal rumus teorema phytagoras saja tanpa memahami
konsepnya. Hal ini membuat ingatan siswa akan rumus itu tidak bertahan lama dan siswa
cepat melupakan rumus tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kontekstual, guru dapat
memberikan permasalahan nyata pada siswa misalnya meminta siswa untuk mengamati
tangga sekolah, dan memberi tugas pada siswa untuk menghitung panjang tangga tersebut.
Teorema Phytagoras dipelajari oleh siswa kelas VIII yang berusia kurang lebih 13 tahun dan
menurt Piaget pada saat usia tersebut sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran
teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari
apa yang dapat diamati saat itu. Bruner menyatakan ada tiga tahap belajar yaitu enaktif,
ikonik dan simbolik, tangga sekolah termasuk tahap enaktif. Berdasarkan pendapat Piaget
dan Bruner, Pendekatan konstektual sangat cocok diterapkan pada siswa dalam pembelajaran
materi Teorema Phytagoras.
16. Priyanto, Arif; Suharto; Trapsilasiwi, Dinawati. 2015. Analisis Kesalahan Siswa dalam
Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Berdasarkan
Kategori Kesalahan Newman di Kelas VIII A SMP Negeri 10 jember. Jember: Universitas
Jember