Pengertian penanaman modal kadangkala menimbulkan perbedaan penafsiran. Sebagian pendapat menyatakan bahwa pengertian penanaman modal secara langsung (direct investment) memiliki penafsiran yang sama dengan penanaman secara tidak langsung atau melalui pasar modal (indirect investment).
Be&gg, basrizal, hapzi ali, shareholders and the markets for corporate control, universitas mercu buana, 2017
1. Nama : BASRIZAL
NIM : 55117110002
Dosen : Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, MM, CMA
Mata Kuliah : Business Ethic and Good Governance
Banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menjual sebagian besar sahamnya ke pihak
asing seperti Indosat dan lainnya. Sementara perusahaan ini sangat strategis dan awalnya dibangun dari
sumber daya bangsa ini. Begitu juga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia yang
menggali sumber daya dan kekayaan bumi Indonesia tetapi sebagian besar sahamnya dimiliki asing
seperti Freeport misalnya.
[Anonim1, 2016] Pengertian penanaman modal kadangkala menimbulkan perbedaan penafsiran.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa pengertian penanaman modal secara langsung (direct investment)
memiliki penafsiran yang sama dengan penanaman secara tidak langsung atau melalui pasar modal
(indirect investment). Salah satu contoh perbedaan penafsiran pengertian penanaman modal terlihat pada
penyikapan terhadap pembelian 40% saham PT Indosat oleh perusahaan asing. Jika mengacu pada
Peraturan BAPEPAM-LK Nomor IX.H.1, perusahaan asing tersebut diwajibkan melaksanakan
penawaran tender. Permasalahannya, apakah perusahaan asing tersebut dapat memiliki saham lebih dari
49%. Sementara itu, jika mengacu pada Peraturan Presiden No.111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal, sektor telekomunikasi dan informatika penyeleggaraan jaringan telekomunikasi yang tetap,
kepemilikan modal asing maksimal 49%. Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka harus
dilihat pada pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penananam
Modal (selanjutnya disebut dengan UU PM).
Pada bagian Penjelasan umum alinea kelima UU PM disebutkan "Undang-undang ini mencakupi
semua kegiatan penanaman modal langsung di semua sektor" Selanjutnya, pada Pasal 2 disebutkan,
“ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah negara
Republik Indonesia”. Sementara itu, pada Penjelasan Pasal 2 UU PM menyebutkan bahwa yang
2. dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia” adalah
penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.
Ketentuan dalam UU PM yang juga dapat digunakan untuk menafsirkan pengertian tentang
penanaman modal adalah batasan berlakunya UU PM. Dalam UU PM tidak mencakup investasi yang
diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor minyak dan gas bumi, lembaga keuangan
non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara, investasi yang dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi portofolio
(pasar modal) dan investasi rumah tangga. Penafsiran di atas dipengaruhi oleh kebijakan penanaman
modal sebelumnya.
[Bambang Mudardi,2015] Pada Pasal 2 Keputusan Presiden R.I No.17 Tahun 1986 tentang
Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing Untuk Diberikan
Perlakuan Yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri. Syarat-syarat agar modal
asing mendapat perlakuan yang sama dengan modal dalam negeri adalah “perusahaan modal asing
minimal 75% (tujuh puluh lima persen) sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional, atau;
minimal 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dijual melalui pasar modal, atau; minimal 51% (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional dan yang dijual melalui
pasar modal, dengan ketentuan bahwa saham yang ditawarkan untuk dijual melalui pasar modal tersebut
minimal 20% (dua puluh satu persen). Jika memenuhi syarat tersebut, perusahaan modal asing diberikan
perlakuan sama seperti perusahaan yang dibentuk dalam rangka Undang-Undang No.6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat dinyatakan bahwa kebijakan penanaman modal
Indonesia pada masa sebelumnya sampai dengan lahirnya UU PM, memberikan pengertian yang
berbeda antara penanaman modal langsung dengan penanaman tidak langsung atau penanaman melalui
pasar modal. Dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum, maka dalam perubahan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal perlu dirumuskan perbedaan yang jelas dan tegas
pengertian penanaman modal yang secara langsung dengan penanaman modal melalui pasar modal.
Dengan demikian tidak terjadi multi tafsir terhadap pengertian penanaman modal.
Pelaksanaan Kewajiban Divestasi Saham pada PT Freeport Indonesia , empat bulan setelah UU
Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing disahkan, pemerintah kemudian menandatangani
kontrak pertambangan pertama dengan Freeport McMoran Copper & Gold Inc. dari Amerika yang
diafiliasi menjadi PT Freeport Indonesia. Kontrak tersebut dikenal dengan sebutan kontrak karya
3. generasi I. Kontrak Karya generasi I ini merupakan model awal Kontrak Karya dan menjadi permulaan
perkembangan Kontrak Karya. Model awal kontrak karya merupakan hasil rancangan PT Freeport
Indonesia. Awalnya menteri pertambangan menawarkan kepada Freeport konsep “bagi hasil”
berdasarkan petunjuk pelaksanaan kontrak perminyakan asing yang disiapkan waktu pemerintahan
Soekarno.
Sejak 1967, Kontrak Karya mengalami beberapa kali perubahan. Setiap perubahan dijadikan
dasar sebutan bagi generasi kontrak. Oleh karena itu, kita mengenal 8 (delapan) generasi kontrak karya.
Kontrak karya pertama ditandatangani pada tanggal 7 April 1967 (KK Gen. I No. 82/EK/4/1967) antara
pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Kontrak karya I ini berlaku selama 30 (tiga puluh)
tahun sejak produksi pertama kali pada tahun 1973 dimana modal 100% berasal dari investor asing yang
dalam hal ini adalah Freeport McMoran. Kontrak karya I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar,
karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport
selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Kontrak karya I
antara pemerintah dengan Freeport mencakup areal seluas 10.908 hektar selama 30 (tiga puluh) tahun,
terhitung sejak kegiatan komersial pertama. Kontrak Karya I mengandung banyak sekali kelemahan
mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan kelemahan utamanya adalah sebagai
berikut:
1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah
perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika
serikat. Dengan perkataan lain, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak
tunduk pada hukum Indonesia.
2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu
penandatanganan Kontrak Karya pada tahun 1967 di Indonesia belum ada undang-undang
tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang
lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke sungai Aikwa,
sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan
yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan
tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau
PPN.
4. 4) Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan
dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara
lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya
selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang
dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75% (empat puluh satu koma tujuh puluh lima
persen). Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran
royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5% (lima
persen).
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga kontrak karya I diperpanjang
menjadi kontrak karya II Kontrak karya II yang merupakan kontrak karya generasi ke V dilakukan
antara pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia pada 30 Desember 1991. Periode
berakhirnya Kontrak Karya II ini adalah tahun 2021, ditambah dengan kemungkinan dua kali
perpanjangan selama 10 tahun hingga 2041.
Di dalam kontrak Freeport, tidak ada satu Pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa
pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak Freeport walaupun jika Freeport dinilai
melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai kontrak. Sebaliknya,
pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan
pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Kontrak Karya I Freeport dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, royalti ,dan dividen sampai tahun
1976.
Beralihnya kontrak karya generasi I menjadi kontrak karya generasi V mewajibkan Freeport
mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan:
1) Pengalihan saham sampai dengan 51% (lima puluh satu persen) saham kepada
perusahaan/perorangan nasional dalam waktu 20 tahun;
2) Jika 20% (dua puluh persen) saham dijual di Bursa Efek Jakarta, kewajiban pengalihan
hanya sampai 45% (empat puluh lima persen), 25% (dua puluh lima persen) lagi dapat
dijual kepada peursahaan dan perorangan nasional;
3) Lima tahun setelah penandatanganan kontrak Freeport 20% (dua puluh persen) sahamnya
sudah harus dimiliki pihak nasional Indonesia.
5. Ketentuan divestasi saham kepada pemerintah secara umum berlaku untuk semua perusahaan
yang menandatangani kontrak karya Generasi V. Namun, pada saat itu semua perusahaan yang
menndatangani kontrak karya generasi V masih berada dalam tahap penyelidikan umum atau eksplorasi,
kecuali Freeport yang sudah berada dalam tahap produksi. Kontrak karya generasi V Freeport
menetapkan bahwa Freeport sudah harus mengalihkan sahamnya segera setelah penandatanganan
kontrak karya, selambatlambatnya lima tahun setelah itu.
Setelah melalui proses yang panjang, PT Freeport Indonesia akhirnya menyetujui untuk
dilakukan penyesuaian skema operasi dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
dan sampai saat ini masih belum terealisasi. Terkait dengan divestasi pada januari 2016 Freepot
akhirnya menyerahkan harga penawaran divestasi 10,64% saham senilai US$1,7 Milyar kepada
pemerintah. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengaku Freeport telah menyerahkan valuasi 100 persen
sahamnya dua hari lalu dengan nilai total US$16,2 miliar. Sehingga 10,64 persen saham yang wajib
dijualnya kepada pihak Indonesia sesuai PP Nomor 77 Tahun 2014 dengan harga US$1,7 miliar.
[Anonim2, 2014] Terkait dengan divestasi saham PT Freeport Indonesia, saat ini pemerintah
masih akan menawar harga saham PT Freeport Indonesia karena dianggap terlalu mahal. Hal ini
dikarenakan sebagian besar kekayaan yang ada dalam wilayah PT Freeport Indonesia merupakan milik
negeri ini. Pemerintah menargetkan akhir tahun 2016, kewajiban divestasi PT Freeport Indonesia sudah
terpenuhi. Pelaksanaan divestasi saham harus diakui tidak segampang ketika kita membalikkan telapak
tangan mengingat banyak sekali kendala di dalamnya. Peran dan komitmen Pemerintah menjadi hal
penting di dalam renegosiasi kontrak karya untuk mengusahakan agar kontrak lebih memberikan
manfaat kepada negara dari segi penerimaan negaranya ataupun pemberdayaan ekonomi sesuai dengan
amanah Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 mengingat hasil tambang merupakan kekayaan
alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan yang memiliki peranan penting dalam memenuhi hajat hidup
orang banyak sehingga pengelolaan tambang harus dikuasai oleh Negara.
Dari contoh 2 kasus di atas menurut saya hal tersebut terjadi karena adanya permasalahan
perekonomian (krisis ekonomi 1997/1998) di Indonesia pada saat itu, upaya untuk menstabilkan kondisi
keuangan dan meningkatkan devisa atau penerimaan Negara. Pemerintah mengambil kebijakan
privatisasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 ini diambil dari usulan yang diberikan
oleh pemerintah dan mendapat persetujuan dari DPR RI. Oleh karena itu kebijakan privatisasi
6. merupakan salah satu kebijakan ekonomi politik Indonesia yang diharapkan dapat membawa manfaat
yang besar bagi Indonesia, dalam hal ini penjualan saham PT.Indosat.
Semua kesalahan yang terjadi dalam Freeport Indonesia disebabkan oleh pemerintahan
Indonesia pada saat itu, karena sejak kontrak karya I yang ditanda tangani tanggal 7 April 1967 (KK
Gen. I No. 82/EK/4/1967) antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia, Kontrak Karya I
mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport yaitu: tidak
ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan Kontrak Karya pada
tahun 1967 di Indonesia belum ada undang-undang tentang Lingkungan Hidup, Freeport tidak wajib
membayar PBB atau PPN dan Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi,
serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Selama bertahun-tahun Indonesia mengalami ini
semua. Sejak dibawah pemerintahan Jokowi JK telah mencapai kesepakatan antara pemerintah dan
Freeport antara lain:
1. Landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan
berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).
2. Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan Nasional Indonesia.
Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
3. PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama 5
tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada 2022, kecuali terdapat kondisi force
majeur.
4. Stabilitas penerimaan negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding
penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum
yang terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.
Kritik saya dalam permasalahan banyaknya perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menjual sebagian
besar sahamnya ke pihak asing, antara lain:
1. Masih banyaknya kepentingan-kepentingan dalam menyusun perundang-undangan di negeri ini.
2. Tidak adanya pengetahuan tentang pasar modal/saham ditengah masyarakat Indonesia, sehingga
sebagian besar menggangap pasar modal/saham hanya untuk kalangan tertentu.
7. 3. Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menjual sebagian besar sahamnya ke pihak asing
dianggap bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945, pada pasal 33secara tegas melarang
adanya penguasaan sumber daya alam ditangan Perorangan atau Pihak-pihak tertentu. Dengan
kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya
alam.
Solusinya sehingga sumberdaya yang di miliki Indonesia sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
rakyatnya antara lain:
1. Untuk meluruskan tafsiran masyarakat Indonesia tentang pasar modal/saham, disarankan kepada
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk dimasukan
dalam kurikulum sekolah dari tingkat Sekolah Dasar. Sehingga masyarakat Indonesia bisa
memahami dan membantu perekonomian dalam negeri.
2. Perlu direvisi Undang-Undang yang sudah tidak relevan dengan permasalahan atau kemajuan
zaman ssat ini, sehingga bisa untuk membatasi langkah pihak asing untuk meguasai pasar di
Indonesia dan memberikan kesempatan kepada pemodal-pemodal dalam negeri untuk menguasai
pasar.
3. Indonesia bisa menjadi negara yang lebih baik dimana sumber daya manusianya dapat mengolah
sumber daya alam yang dimiliki dan dapat memulihkan perekonomian nasional secara efektif
atau lebih baik serta dapat mensejahterakan masyarakat secara global. Tanpa banyak
mengikutsertakan investasi asing sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri
DAFTAR PUSTAKA
Anonim1, 2016
http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/1068/1/Buku%20Pengaturan%20Penanaman%20Mod
al%20di%20Indonesia.pdf (Jakarta, 8 oktober 2017)
Bambang Mudardi,2015 https://media.neliti.com/media/publications/22770-ID-kepemilikan-saham-
perbankan-oleh-asing-sampai-99-wow.pdf (Jakarta, 8 Oktober 2017)
Anonim2, 2014 http://bisnis.liputan6.com/read/3076729/sri-mulyani-50-tahun-dimiliki-asing-ri-
akhirnya-kuasai-freeport (Jakarta, 8 Oktober 2017)