Dokumen tersebut merupakan tugas akhir mahasiswa dengan judul "Penerapan Good Governance di Baintelkam Polri". Ringkasannya adalah: Dokumen tersebut membahas sejarah Polri dan konsep Good Governance serta penerapannya di Baintelkam Polri. Dokumen tersebut juga berisi abstrak, pendahuluan, dan bab pertama tentang sejarah Polri.
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Be gg, basrizal, hapzi ali, penerapan ggg di baintelkam, univ.mercubuana, 2017
1. TUGAS UAS:
“PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI BAINTELKAM POLRI”
Disusun oleh :
NAMA : BASRIZAL
NIM : 55117110002
DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, MM, CMA
MATAKULIAH : BUSINESS ETHIC & GOOD GOVERNANCE
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS MANAJEMEN UNIVERSITAS
MERCUBUANA JAKARTA
2017
2. 1
GOOD GOVERNANCE GOVERNMENT
“BADAN INTELIJEN KEAMANAN POLRI”
Basrizal
Dosen Pengampu Prof. Dr. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, CMA
Magister Managemen, Universitas Mercu Buana
email : akbar_bintang12@yahoo.com
Abstrak
Konsep Good Governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh semua pihak yaitu
Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, namun demikian masih banyak yang rancu memahami
konsep Governance. Secara sederhana, banyak pihak menerjemahkan governance sebagai
Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan
manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah
satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain
adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani). Karenanya
memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah
(birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama.
Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya,
hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam menumbuhkan
kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan,
sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam
aktifitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap
jalannya aktifitas-aktifitas tersebut.
Kata kunci: Good Governance, Promoter, Baintelkam Polri;
Abstract
The concept of Good Governance has long been implemented by all parties, namely
Government, Private and Community, but there are still many who are ambiguous to
understand the concept of Governance. Simply put, many parties translate governance as
Governance. Governance here not only in terms of structure and management of institutions
called executives, because the government (government) is just one of three great actors who
form an institution called governance. Two other actors are private sector (private sector)
and civil society (civil society). Therefore understanding governance is to understand how the
integration of roles between government (bureaucracy), the private sector and civil society in
a commonly agreed game rule. Government agencies should be able to create a conducive
economic, political, social, cultural, legal and security environment. The private sector plays
an active role in fostering economic activities that will expand employment and increase
revenues, while civil society must be able to interact actively with various economic, social
and political activities including how to control the course of these activities
Keywords: Good Governance, Promoter, Baintelkam Polri;
3. 2
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah_Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Business Ethic &
Good Governance ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang
lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh
alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
makalah mata kuliah Business Ethic & Good Governance. Disamping itu, penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terealisasikan.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Penulis mengharapkan kepada semua pihak ataupun kepada semua para pembaca
agar dapat memberikan kritik dan saran terhadap makalah ini, agar kedepannya dapat penulis
perbaiki. Karena penulis sadar, makalah yang penulis buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya.
Akhir kata penulis mengharapkan agar supaya artikel ini bermanfaat bagi kita semua
khususnya bagi penulis sendiri dalam hal menambah wawasan penulis dalam pembahasan
makalah ini.
Jakarta, 19 Desember 2017
Penulis
4. 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Sejarah Polri
Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh
pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga
aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867
sejumlah warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan
mereka. Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen.
Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal(jaksa agung). Pada masa
Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi
lapangan), stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi
pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan
pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van
politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi,
asisten wedana, dan wedana polisi. Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara
tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara
Republik Indonesia saat ini.
Masa pendudukan Jepang, Pada masa ini Jepang membagi wiliyah kepolisian
Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian
Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di
Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin. Tiap-tiap kantor polisi di
daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu
didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa
dari kepala polisi.
Awal Kemerdekaan Indonesia (Periode 1945-1950), tidak lama setelah Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan
Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi
kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka. Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi
Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945
memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan
selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah
perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-
satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.
Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden
Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara
(KKN).
Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan
nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi,
sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Kemudian mulai
tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli
5. 4
inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini. Sebagai bangsa
dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas
sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya
“combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi
Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam
pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat,
penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap
Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil
presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri. Pada masa
revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian
di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin
Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar
Said (tanggal 22 Desember 1948).
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik
Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian
Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di
Yogyakarta. Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian
RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan
perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan,
dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri. Umur RIS hanya beberapa bulan.
Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni
1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara
bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari
adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat
kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Periode 1950-1959, Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan
diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara
tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden. Waktu
kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd
van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S.
Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi
Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah
setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang
memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan
Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi
semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan
nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi
P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut
Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji
pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan
perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri
relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
6. 5
Masa Orde Lama, Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan
Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian
banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti
dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai
keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi
kedudukan Menteri Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No.
154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda
Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No.
1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda
Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian
Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari
Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya
dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959
R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian,
sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15
Desember 1959. Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri
atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri
Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama
Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional. Tanggal 19 Juni
1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan
bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD,
AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL,
Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil
Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri
diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak). Kemudian Sebutan
Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan
langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan
Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai Alat
Negara Penegak Hukum, Koordinator Polsus, Ikut serta dalam pertahanan, Pembinaan
Kamtibmas, Kekaryaan dan Sebagai alat revolusi. Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal
6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu
tahun di Magelang. Sementara pada tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar
karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi memengaruhi
sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Masa Orde Baru, Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI
yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk
meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24
Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan
Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam
meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab.
Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama. Setelah Soeharto dipilih
sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M.
Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat
menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti
7. 6
kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya
tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Masa Reformasi, sejak bergulirnya reformasi pemerintahan 1998, terjadi banyak
perubahan yang cukup besar, ditandai dengan jatuhnya pemerintahan orde baru yang
kemudian digantikan oleh pemerintahan reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di
tengah maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam penuntasan reformasi, muncul pada
tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan Polri menjadi lembaga yang
profesional dan mandiri, jauh dari intervensi pihak lain dalam penegakan hukum.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan di sekitar presiden yang menginginkan
pemisahan Polri dan ABRI dalam tubuh Polri sendiri sudah banyak bermunculan aspirasi-
aspirasi yang serupa. Isyarat tersebut kemudian direalisasikan oleh Presiden B.J Habibie
melalui instruksi Presiden No.2 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari
ABRI.
Maka sejak tanggal 1 April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun
kemudian, keluarlah TAP MPR No. VI/2000 serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000
tentang Peran TNI dan peran POLRI, kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara
langsung dan segera melakukan reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat
dan professional. Pemisahan ini pun dikuatkan melalui amendemen Undang-Undang Dasar
1945 ke-2 yang dimana Polri bertanggungjawab dalam keamanan dan ketertiban sedangkan
TNI bertanggungjawab dalam bidang pertahanan. Pada tanggal 8 Januari 2002,
diundangkanlah UU No. 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri.
Isi dari Undang Undang tersebut selain pemisahan tersebut, Kapolri bertanggungjawab
langsung pada Presiden dibanding sebelumnya di bawah Panglima ABRI, pengangkatan
Kapolri yang harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, dibentuknya Komisi Kepolisian
Nasional untuk membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih Kapolri. Kemudian
Polri dilarang terlibat dalam politik praktis serta dihilangkan hak pilih dan dipilih, harus
tunduk dalam peradilan umum dari sebelumnya melalui peradilan militer. Internal kepolisian
sendiri pun memulai reformasi internal dengan dilakukan demiliterisasi Kepolisian dengan
menghilangkan corak militer dari Polri, perubahan paradigma angkatan perang menjadi
institusi sipil penegak hukum profesional, penerapan paradigma Hak Asasi Manusia,
penarikan Fraksi ABRI (termasuk Polri) dari DPR, perubahan doktrin, pelatihan dan tanda
kepangkatan Polri yang sebelumnya sama dengan TNI, dan lainnya. Reorganisasi Polri pasca
reformasi diatur dalam Perpres No. 52 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kepolisian Republik Indonesia.
1.2. Visi dan Misi Polri
Visi: Terwujudnya pelayanan keamanan dan ketertiban masyarakat yang prima,
tegaknya hukum dan keamanan dalam negeri yang mantap serta terjalinnya sinergi polisional
yang proaktif.
Misi:
1. Melaksanakan deteksi dini dan peringatan dini melalui kegiatan/operasi penyelidikan,
pengamanan dan penggalangan;
2. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, responsif dan
tidak diskriminatif;
8. 7
3. Menjaga keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas untuk menjamin keselamatan
dan kelancaran arus orang dan barang;
4. Menjamin keberhasilan penanggulangan gangguan keamanan dalam negeri;
5. Mengembangkan perpolisian masyarakat yang berbasis pada masyarakat patuh
hukum;
6. Menegakkan hukum secara profesional, objektif, proporsional, transparan dan
akuntabel untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan;
7. Mengelola secara profesional, transparan, akuntabel dan modern seluruh sumber daya
Polri guna mendukung operasional tugas Polri;
8. Membangun sistem sinergi polisional interdepartemen dan lembaga internasional
maupun komponen masyarakat dalam rangka membangun kemitraan dan jejaring kerja
(partnership building/networking).
1.3. Profil Baintelkam Polri
Peran Intelijen Keamanan dalam organisasi Polri merupakan peran yang sangat vital.
Kesuksesan Polri dalam menjaga stabilitas keamanan dalam negeri tidak lepas dari peran
intelijen dalam menunjang kegiatan operasional Polri. Adapun peranan Intelijen Keamanan
Polri meliputi :
1. Pendeteksi dan pemberi peringatan dini dalam penentuan kebijakan Pimpinan Polri;
2. Pengarah dalam penyelenggaraan kegiatan operasional dan pembinaan Polri;
3. Pengaman kebijakan Pimpinan Polri baik di tingkat pusat maupun kewilayahan untuk
kepentingan nasional;
4. Pencipta kondisi dalam mendukung pelaksanaan tugas pokok Polri untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri;
5. Penyelenggara pelayanan kepolisian di bidang Intelkam Polri; dan
6. Pengemban fungsi intelijen nasional.
Implementasi peranan Intelijen Keamanan tersebut baik dalam kegiatan maupun
operasi Kepolisian yang selalu mendahului, menyertai, dan mengakhiri, memerlukan suatu
kesinambungan dalam pembangunan dan pengembangan Intelijen Keamanan baik dari aspek
pembinaan maupun operasional. Peningkatan di bidang pembinaan intelijen keamanan
dilakukan dalam menjawab lemahnya regenerasi sumber daya manusia intelijen Polri melalui
rekrutment lulusan Akademi Kepolisian, melakukan kerjasama pendidikan umum dengan
Universitas Indonesia dalam program Kajian Stratejik Intelijen (S2), melakukan peningkatan
karir melalui pendidikan Sumber Inspektur Polisi (SIP) Khusus Intelkam, serta mengundang
para pakar dalam Joint Analysis.
Di bidang operasional, dalam rangka menjawab kebutuhan Polri akan intelijen maka
telah dilakukan peningkatan dukungan anggaran, melakukan berbagai kegiatan operasi
intelijen dalam rangka memelihara keamanan dalam negeri, serta peningkatan dukungan
operasional berupa pemutakhiran teknologi intelijen diantaranya melalui pembentukan ruang
detection centre dan commander centre serta pemenuhan alat-alat khusus intelijen.
9. 8
1.4. Visi dan Misi Baintelkam Polri
Visi : Menjadi Intelijen Keamanan yang berkemampuan pengindera dini dan
pencegah efektif, setiap gangguan keamanan dalam negeri yang akan merusak sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Misi:
1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia Intelijen Keamanan;
2. Mewujudkan Pelayanan Prima melalui Penerbitan SKCK, Ijin Keramaian, Senpi dan
Handak komersial yang transparan akuntabel guna menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap Polri;
3. Meningkatkan kegiatan deteksi dini setiap potensi gangguan keamanan dalamnegeri
secara cepat dan akurat;
4. memberikan peringatan dini dalam rangka antisipasi berkembangnya poptensi
gangguan dan ambang gangguan menjadi gangguan nyata
5. melaksanakan kegiatan cegah dini dalam rangka mereduksi setiap potensi gangguan
agar tidak berkembang menjadi ambang gangguan dan gangguan nyata;
6. mewujudkan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan Pemerintah dan
kehidupan masyarakat serta terjaminnya kepentingan negara/nasional;
7. Mewujudkan Intelkam Polri sebagai pusat informasi keamanan yang akurat, aktual
dan terpercaya dalam rangka mengamankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
8. Membangun Intelijen Keamanan beserta infrastrukturnya dalam satu sistem
terintegrasi dan tergelar dari tingkat pusat sampai tingkat kewilayahan yang didukung
oleh etika profesi intelijen;
9. Membangun sistem persandian Polri dalam rangka mengirim, menyimpan dan
menganalisis informasi Intelijen;
10. Membangun dan mengembangkan kerjasama dengan Badan Intelijen dalam dan luar
negeri sebagai salah satu wujud sinergi dalam upaya pemeliharaan keamanan.
1.4. Visi dan Misi Baintelkam Polri
10. 9
BAB II LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian Good Government Governance
United National Development Program (UNDP,1997) mendefinisikan governance
sebagai “penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-
urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses
dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, mematuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan-perbedaan diantara mereka”. Selanjutnya berdasarkan pemahaman kita atas
pengertian governance tadi maka penambahan kata sifat good dalam governance bisa
diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik atau positif. Letak sifat baik atau positif itu
adalah manakala ada pengerahan sumber daya secara maksimal dari potensi yang dimiliki dari
masing-masing aktor tersebut atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi
yang ingin dicapai. Governance dikatakan memiliki sifat-sifat yang good, apabila memiliki
ciri-ciri atau indikator tertentu. Secara rinci Bank Dunia memberikan 19 indikator good
governance, namun para akademisi biasanya tidak menggunakan kesemua indikator tersebut
untuk mengukur good governance.
Kata governance sering dirancukan dengan government. Akibatnya, Negara dan
pemerintah menjadi “korban utama”, bahwa pemerintah adalah sasaran nomor satu untuk
melakukan perbaikan-perbaikan. Badan-badan keuangan internasional mengambil prioritas
untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan di Dunia Ketiga dalam skema good governance
mereka. Aktivitis dan kaum oposan, dengan bersemangat, ikut juga dalam aktivitas ini dengan
menambahkan prinsip-prinsip kebebasan politik sebagai bagian yang tak terelakkan dari
usaha perbaikan institusi negara. Good governance bahkan berhasil mendekatkan hubungan
antara badan-badan keuangan multilateral dengan para aktivis politik, yang sebelumnya
bersikap sinis pada hubungan antara pemerintah Negara berkembang dengan badan-badan ini.
Maka, jadilah suatu sintesa antara tujuan ekonomi dengan politik.
Hingga saat ini istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki
arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara.
Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Sebenarnya “governance”
dalam literatur administrasi dan ilmu politik sudah dikenal hampir selama 125 tahun yang
lalu, sejak W.Wilson, menjadi Presiden USA ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut
kurang lebih 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu, governance hanya digunakan dalam
literatur politik dengan pengertian yang sempit. Wacana tentang “governance” diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia sebagai tata pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau
pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul dua dasawarsa belakangan, terutama
setelah berbagai lembaga donor internasional menetapkan “good governance” sebagai
persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Para pakar dan praktisi administrasi
negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah,
misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata
pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab
(LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih
(clean government). Bahkan pada tahun 1992, ada lembaga internasional Eropa telah
menggunakan keruntuhan Soviet , sebagai momentum untuk membenarkan sistem ideologi
liberal yang intinya adalah: (1) menjunjung tinggi nilai-nilai HAM khususnya hak dan
11. 10
kebebasan individu, (2) demokrasi, (3) penegakan Rule of Law, (4) pasar bebas dan (5)
perhatian terhadap lingkungan. Sejak itu pula good governance di negara penerima bantuan
dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan internasional.
Ada tiga pilar utama yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan
good governance, yakni: Negara/pemerintah (the state), masyarakat adab, masyarakat madani,
masyarakat sipil (civil society), dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik,
ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara
dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila
ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good
governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa
dan memiliki visi yang jelas
2.2. Prinsip-Prinsip Good Governance
Berdasarkan pengertian Good Governance oleh Mardiasmo dan Bank Dunia yang
disebutkan di atas dan sejalan dengan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur
Negara termasuk daerah adalah perlunya mewujudkan administrasi negara yang mampu
mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan maka menuntut penggunaan konsep Good governance
sebagai kepemerintahan yang baik relevan dan berhubungan satu dengan lainnya. Ide
dasarnya sebagaimana disebutkan Tangkilisan (2005:116) adalah bahwa Negara adalah
institusi yang legal formal dan konstitusional yang menyelenggarakan pemerintahan dengan
fungsi sebagai regulator maupun sebagai agent of change.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Good governance awalnya digunakan dalam
dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam
menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen professionalnya
maka diterapkan good corporate governance. Sehingga dikenal prinsip- prinsip utama dalam
governance korporat yaitu: transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas dan
responsivitas. (Nugroho,2004:216)
Transparansi bukan berarti ketelanjangan, melainkan keterbukaan, yakni adanya sebuah
sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari
korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat ke atas. Dari organisasi
manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dam dari dewan direksi kepada dewan
komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat.
Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara financial. Fairness agak sulit
diterjemahkan, karena menyangkut keadilan dalam konteks moral. Fairness lebih menyangkut
moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal
maupun eksternal.
Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks
ini penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika korporat, termasuk dalam hal
ini etika professional dan etika manajerial. Sementara itu Komite Governansi Korporat di
Negara-negara maju menjabarkan prinsip governansi korporat menjadi lima kategori, yaitu:
1. hak pemegang saham,
2. perlakuan yang fair bagi seluruh pemegang saham,
3. peranan konstituen dalam governansi korporat,
4. pengungkapan dan transparansi dan
5. tanggung jawab dierksi dan komisaris.
12. 11
Prinsip-prinsip Good Governance di atas cenderung kepada dunia usaha, sedangkan bagi
suatu organisasi public bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas menurut
UNDP melaui LAN yang dikutip Tangkilisan (2005:115) menyebutkna bahwa adanya
hubungan sinergis dan kontruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat disusun
sembilan pokok karakteristik Good Governance yaitu:
1. Partisipasi (Participation), Setiap warga Negara mempunyai suara dalam formulasi
keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang
mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi
dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Penerapan Hukum (Fairness), Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
3. Transparansi (Transparency), Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus
dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. Responsivitas (Responsiveness), Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan
harus mencoba untuk melayani setipa stakeholders.
5. Orientasi (Consensus Orientation), Good governance menjadi perantara kepentingan
yang berbeda untuk memeproleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam
hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Keadilan (Equity), Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Efetivitas (Effectivness), Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai
dengan apa yang telah digariskan dengan menggunkan sumber-sumber yang tersedia sebaik
mungkin.
8. Akuntabilitas (Accountability), Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, secor
swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada public dan lembaga-lembaga
stakeholder. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat,
apakah keputusan tersebut untuk kepentingan atau eksternal organisasi.
9. Strategi Visi (Strategic Vision), Para pemimpin dan public harus mempunyai
perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan
dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Prinsip-prinsip di atas adalah merupakan suatu karakterisitik yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan control dan pengendalian, yakni
pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar cara dan penggunaan cara sungguh-sungguh
mencapai hasil yang dikehendaki shareholders. Masyarakat menyelenggarakan Pemilu untuk
menentukan siapa yang menyelenggarakan Negara dan itu adalah pemerintah. Pemerintah
adalah ibarat manajer professional yang disewa oleh rakyat untuk menyelenggarakan
organisasi negara untuk sebesar-besarnya kemanfaatan rakyat. Penerapan good governance
kepada pemerintah adalah ibarat masyarakat mamstikan bahwa mandate, wewenang hak da
kewajibannya telah dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Disini dapat dilihat bahwa arah ke depan
dari good governance adalah membangun the professional government, bukan dalam arti
pemerintah yang dikelola oleh para teknokrat. Namun oleh siapa saja yang mempunyai
kualifikasi professional, yaitu mereka yang mempunyai ilmu dan pengetahuan yang mampu
mentransfer ilmu dan pengetahuan menjadi skill dan dalam melaksanakannya berlandaskan
etika dan moralitas yang tinggi.
13. 12
Berkaiatan dengan pemerintah yang dikelola siapa saja yang mempunyai kualifikasi
professional mengarah kepada kinerja SDM yang ada dalam organisasi public sehingga dalam
penyelenggaraan good governance didasarkan pada kinerja organisasi public, yakni
responsivitas (responsiveness), responsibilitas (responsibility), dan akuntabilitas
(accountability). Reponsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-
program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
(Tangkilisan,2005:177).
Berdasarkan pernyataan Tangkilisan di atas maka disebutkan bahwa responsivitas
mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh
organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan
dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan dinilai semakin baik.
Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan suatu organisasi public dalam menjalankan misi dan
tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang sangat
rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal
tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan
organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki
kinerja yang jelek.
Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu
dilakukan sesuai dengan yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi public itu
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan serta kebijaksanaan
oraganisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik. Sedangkan akuntabilitas mengacu
pada seberapa besar pejabat poltik dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat poltik
yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih
oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat. Dalam
konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidakanya
sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan
keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak tindak lanjut organisasi atas harapan dan
aspirasi pejabat politik maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik.
Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan
dan kegiatan organisasi public atau pemerintah seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya
harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Suatu kegiatan organisasi public memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau
kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berekembang dalam
masyarakat.
2.3. Pengaruh Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Good Governance terhadap Efektivitas
kerja
Kantor Dinas Jalan dan Jembatan salah satu lembaga pemerintah yang berfungsi untuk
melayani kebutuhan masyarakat di bidang transportasi khususnya jalan dan jembatan. Dalam
melayani masyarakat aparatur Dinas Jalan dan Jembatan dituntut untuk dapat melaksanakan
tugas dengan baik yakni efektivitas kerjanya harus tinggi. Tercapainya efektivitas kerja bukan
saja ditentukan dari banyaknya jumlah pegawai akan tetapi juga dipengaruhi oleh factor lain
seperti pengelolaan organisasi, pengendalian yang baik yang disebut dengan Good
Governance.
Pengelolan dan pengendalian yang baik dari suatu organisasi dalam hal ini organisasi
publik menyangkut pencapaian tujuan organisasi secara bersama-sama yaitu untuk
14. 13
menciptakan suatu penyelengaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung
jawab sejalan dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi baik secara politik
maupun secara administrative. Dengan pengertian lain Good Governance adalah proses
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel oleh organisasi-organisasi
pemerintah seperti organisasi public pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang mencakup
kepemimpinan, stuktur organisasi dan sumber daya manusianya.
Berdasarkan uraian di atas maka disebutkan bahwa apabila pemimpin organisasi public,
struktur organisasi dan sumber daya manusianya baik maka akan tercipta prinsip Good
Governance yang berpengaruh terhadap efektivita kerja pegawai dari organisasi itu sendiri.
Dengan demikian jelaslah pelaksanaan prinsip-prinsip Good Governance akan berpengaruh
terhadap efektivitas kerja pegawai.
15. 14
BAB III
METODOLOGI
3.1 Objek Penelitian
Objek penulisan ini adalah Baintelkam Polri
3.2 Data yang digunakan
Data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh penulis secara
langsung (melalui pengamatan di Baintelkam Polri).
3.3 Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data sekunder menggunakan studi kepustakaan yaitu
mengadakan penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-
laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas serta menggunakan metode
searching di internet, yaitu dengan membaca referensi-referensi berkaitan dengan masalah
yang dibahas dalam penulisan makalah ini.
Menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu
metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi
tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Teknik pengumpulan data
dengan cara ini dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung dengan pihak-
pihak yang memiliki kompetensi dan relevan dengan penelitian, sedangkan sumber data
sekunder didapatkan dari literatur berupa buku-buku, artikel maupun jurnal-jurnal yang
mempunyai hubungan dengan masalah dan objek penelitian.
16. 15
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Penerapan Good Governance Pada Polri
Upaya Polri dalam menerapkan Good Governance yaitu dengan Grand Strategi Polri
2005-2025 dengan tahapan sebagai berikut:
1. Tahap I Trust Building (2005-2009)
Membangun kepercayaan internal Polri dalam grand strategi merupakan factor penting
karena merupakan awal dari perubahan menuju pemantapan kepercayaan trust
building internal meliputi : kepemimpinan, sumber dana, sdm, orang yang efektif,
pilot project yang konsisten di bidang Hi-Tech, kemampuan hukum yang sarpas
mendukung Visi Misi Polri.
2. Tahap II Partnership Building (2010-2014)
Membangun kerja sama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan fungsi
kepolisian dalam penegakan hukum, ketertiban serta pelayanan, perlindungan,
pengayoman untuk menciptakan rasa aman.
3. Tahap III Service For Exellence (2015-2025)
Membangun kemampuan pelayanan public yang unggul, mewujudkan good
government, best practice polri, profesionalisme SDM. Implementasi teknologi,
infrastruktur matfasjas guna membangun kapasitas polri (capacity building) yang
kredibel di mata masyarakat nasional, regional dan international.
Dalam era kepemimpinan Kapolri Jendral Drs. H.M. Tito Karnavian, M.A.Ph.D
meluncurkan suatu terobosan berupa Motto Promoter (Profesional, Modern, Terpercaya).
Motto ini merupakan terobosan yang banyak dinilai positif dari berbagai kalangan. Terutama
dalam hal mendukung Grand Strategy Polri kurun waktu 2016 sampai dengan 2025 yaitu
Tahap Service for Excellence. Tahap ini kebutuhan masyarakat akan lebih mengharapkan
multi dimensional service quality yang efektif dan efisien ditengah globalisasi yang makin
canggih. Melalui terobosan Promoter diharapkan pelayanan Polri terhadap masyarakat akan
semakin baik. Adapun penjabaran Promoter sendiri adalah sebagai berikut :
1. Profesional adalah meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia Polri yang
semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan, serta
melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami,
dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya.
2. Modern adalah melakukan modernisasi dalam layanan publik yang didukung
teknologi sehingga semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk
pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang makin modern.
3. Terpercaya adalah melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas
dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel,
dan berkeadilan.
17. 16
11 Program Prioritas Kapolri, menuju Polri yang Profesional, Modern, dan Terpercaya
(Promoter) diantaranya:
1. Pemantapan reformasi internal Polri.
2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah bagi masyarakat dan berbasis
teknologi informasi.
3. Penanganan kelompok radikal prokekerasan dan intoleransi yang lebih optimal.
4. Peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan.
5. Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
6. Tata kelembagaan, pemenuhan proporsionalitas anggaran, dan kebutuhan min sarpras.
7. Bangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap kamtibmas.
8. Penguatan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).
9. Penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan.
10. Penguatan pengawasan.
11. Quick Wins
Dengan adanya program promoter tersebut semakin meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja Polri. Terutama ditengah perkembangan kejahatan yang berbasis
Teknologi Informasi. Ditengah tuntutan masyarakat yang semakin komplek dan sadar hukum,
program Promoter merupakan terobosan yang paling tepat
4.2. Penerapan Good Government Governance Pada Baintelkam Polri
[Rencana Kerja Baintelkam] Untuk terwujudnya organisasi intelijen keamanan polri
yang profesional dan memiliki standar good governance dan clean government serta
organisasi intelijen yang memiliki kemampuan deteksi aksi, yang telah dijabarkan dalam
program, rencana kerja dan kegiatan operasional organisasi, yang mampu menggambarkan
kegiatan untuk menjawab permasalahan yang akan muncul pada masa mendatang. Pada
pelaksanaan Renja Intelkam Polri tahun 2017 berjalan cukup baik yang ditandai dengan
kondisi Kamtibmas yang terkendali dan memberikan suasana kondusif kehidupan
masyarakat serta aktivitas Pemerintah. Peran Intelkam Polri Sebagai pelaksana tugas deteksi
aksi telah berjalan dengan baik, meskipun dalam kurun waktu tersebut masih terjadi beberapa
gangguan Kamtibmas dan konflik sosial yang terjadi di beberapa wilayah tertentu, yang masih
memerlukan penanganan secara khusus dan penyelesaian secara komprehensif bersama
instansi terkait.
Dalam penerapan good governance Baintelkam Polri berpedoman Rencana Strategis
Intelkam Polri tahap III tahun 2015-2019 menuju pelayanan unggul (Strive for Exellence)
antara lain:
1. Bidang organisasi sebagai bagian dari reformasi birokrasi dengan ditetapkannya
Perkap nomor 6 tahun 2017 sebagai pengganti Perkap nomor 21 tahun 2010 tentang
Susunan Organisasi dan tata Kerja Satuan Organisasi di lingkungan Mabes Polri
2. Tergelarnya Management Information System (MIS) Intelkam sebagai sarana sistem
pelaporan cepat tingkat Polda dan Baintelkam Polri, dimana kejadian yang menonjol
yang terjadi di wilayah dapat termonitor secara langsung di Mabes Polri.
3. Terlaksananya kegiatan tupoksi Intelijen melalui Lidik, Pam dan penggalangan serta
Operasi Intelijen guna menciptakan situasi yang kondusif.
4. Tergelarnya jaring komunikasi Sandi dan operasional persandian sebagai upaya
pengamanan informasi dari tingkat Mabes hingga Polres.
5. Tergelarnya sistem pelayanan secara Online dalam rangka penerbitan SKCK.
18. 17
6. Adanya kerjasama antar instansi/lembaga melalui joint analyst yang dilaksanakan
setiap bulan.
4.3. Internal Audit dan Kontrol pada Baintelkam Polri
Internal kontrol di Baintelkam Polri dilakukan oleh Inspektorat Pengawasan Umum
Polri (Itwaum Polri), audit/pemeriksaan dilakukan 2 kali dalam setahun yaitu semester I pada
bulan April dan semester II pada bulan Oktober, adapun bidang-bidang yang dilakukan audit
antara lain:
1. Bidang Perencanaan
Dilakukan audit untuk mengetahui apakah rencana-rencana yang telah disusun tahun
sebelumnya dan telah terdukung anggaran dan telah dilaksanakan sesuai dengan time-linenya.
2. Bidang SDM
Dilakukan audit apakah jumlah SDM sudah sesuai dengan beban kerja, apakah telah
dilakukan pelatihan guna meningkatkan ketrampilan/kemampuan SDM.
3. Bidang Sarana dan Prasarana
Dilakukan audit guna mengetaui ada atau tidaknya perubahan barang-barang
inventaris milik organisasi serta penambahan alat-alat inventaris Kantor
4. Bidang Penganggaran dan Keuangan
Dilakukan audit dalam penggunaan anggaran yang telah ditetapkan, apakah
penggunaannya dan pertangnggung jawaban keuangan telah sesuai dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku.
Dari hasil internal audit dan kontrol akan dilakukan perbaikan sesuai dengan saran dan
masukan dari pihak pelaksana audit dan kontrol sehingga kesalahan dan tindakan yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat diminimalisir dan perbaikan untuk
kedepannya serta menjadi pedoman untuk pemeriksanaan dari eksternal
4.4. Eksternal Audit dan Kontrol pada Baintelkam Polri
Eksternal Audit dan Kontrol pada Baintelkam Polri dilakukan oleh Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK), audit yang dilakukan oleh BPK lebih berfokus pada laporan
pertanggungjawaban keuangan baik anggaran yang sifatnya rutin (masuk ke dalam DIPA atau
sumber PNBP Baintelkam Polri) maupun anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan
Operasi intelijen mandiri, pada tahun 2015 dan 2016 Polri mendapat penilaian terhadap
laporan pertanggungjawaban keuangan dengan nilai Wajar Tanpa Penggecualian (WTP) dari
BPK.
.
19. 18
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Dari urian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penerapan good governance bagi Instansi Pemerintah dan Kementerian/Lembaga
wajib untuk dilaksanakan, mengingat pada era digital saat ini semua informasi sangat
mudah untuk dilihat atau diketahui masyarakat luas serta dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap Instansi tersebut dan menambah kepercayaan
investor untuk berinvestasi di dalam negeri.
2. Di Baintelkam Polri penerapan Good Government Governance telah dilaksanakan dan
akan terus ditingkatkan, hal tersebut dapat dilihat dari hasil produk-produk Intelijen
telah menjadi acuan atau pedoman fungsi Kepolisian lainnya atau Instansi diluar Polri
untuk mengambil kebijakan maupun keputusan.
3. Melalui pelayanan publik secara online yang transparan dan mudah diakses di
masyarakat yang ada di Baintelkam Polri khususnya Surat Keterangan Catatan
Kepolisian (SKCK) telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja Polri.
5.2 SARAN
a. Perlu diberikan reward /penghargaan kepada Instansi dari Pemerintah dan Satker dari
Kapolri atas peningkatan kinerja untuk menciptakan Pemerintahan yang baik dan
bersih (Good Government Governance).
b. Bagi Instansi, Kementerian/Lembaga yang telah melaksanakan Good Government
Governance supaya dipertahankan serta ditingkatkan kinerja untuk menjadi lebih baik
lagi serta ciptakan inovasi-inovasi baru dan berikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat.
c. Perlu dukungan dari masyarakat untuk mendukung program-program Pemerintah
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, serta berikan saran dan masukan
terhadap kinerja Pemerintah untuk menjadi lebih baik. Berpartisipasi dalam menjaga
Kamtibmas sehingga terciptanya situasi yang aman dan kondusif.
20. 19
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Polri, 2017, https://www.polri.go.id/, (diakses tanggal 18 Desember 2017)
3. United National Development Program (UNDP,1997)
4. Anonim1, 2017, http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-good-governance-
definisi.html, (diakses tanggal 18 Desember 2017)
5. Polri, 2017 https://promoter.polri.go.id/landing/, (diakses tanggal 18 Desember 2017)
6. Grand Strategi Polri 2005-2025
7. Rencana Kerja Baintelkam
8. Nugroho,2004:216, prinsip- prinsip utama dalam governance korporat
9. Tangkilisan,2005:177, pengertian Reponsivitas