Dokumen tersebut membahas sejarah singkat ilmu tafsir Al-Qur'an, mulai dari masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat hingga masa modern. Terdapat beberapa metode tafsir yang dijelaskan seperti tafsir bil ma'tsur yang mengutip Al-Qur'an dan hadis, serta tafsir bir-ra'yi yang bersumber dari pemahaman pribadi. Dokumen ini juga membedakan tafsir yang diperbolehkan dan yang dilarang.
2. - Menurut Bahasa:
Tafsir dari bahasa Arab yaitu
fassara-yufassiru-tafsiran. Yang
berarti penjelasan, pemahaman,
dan perincian.
Tafsir juga dapat diartikan al-idlah
wa al tabyin yaitu: penje-lasan dan
keterangan.
Menurut Az-Zarkasyi bahwa tafsir
adalah ilmu yang berfungsi untuk
mengetahui kumpulan Kitabullah
(Al-Qur'An) yang diturunkan ke-
pada nabi Muhammad SAW
dengan cara menjelaskan makna-
nya, hukumnya dan hikmahnya
yang terkandung dalam Al-Qur'an.
PENGERTIAN TAFSIR
3. Menurut Al-Suyyuti, pada masanya Nabi merupakan penafsir
tunggal dari al-Qur’an yang memiliki otoritas spiritual,
intelektual dan sosial. Sumber : Jalaluddin al-Suyuti,Al-Itqan fi
Ulum al-Qur’an, (Bairut : DKI, 2012) h.173
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa
Sallam juga memiliki bentuk-bentuk tersendiri. Bentuk-bentuk
penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi
wa Sallam diantaranya adalah menafsirkan ayat Al-Qur’an
dengan ayat Al-Qur’an yang lain, hal ini sesuai dengan riwayat
yang disampaikan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari
Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa tatkala turun ayat;
َينِذَّالواُنآمَملووا ُسِبليَمُهانيمِإَملُظِبَ
ُ
أَكِئولَُمُهلَُناألمَمُهو
َونُدتهُم
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman
mereka dengan kelaliman, mereka itulah orang-orang yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung pada
penekanan arti lafadz yang sesuai serta menambahkan qawl
(perkataan atau pendapat) supaya ayat al-Qur’an mudah
dipahami.
Sifat tafsir pada masa-masa pertama ialah sekedar
menerangkan makna dari segi bahasa dengan keterangan-
keteranagan ringkas dan belum lagi dilakukan istimbaṭ
hukum-hukum fiqih. Sunber : Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan
Tafsir, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009) 183.
As-Suyuthy dalam al-Itqan mengatakan bahwa sahabat
yang terkemuka dalam bidang ilmu tafsir ada sepuluh
orang, yaitu:
Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar al-Faruq, Utsman Dzun
Nurain, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah
ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-
Asy’ary, Abdullah ibn zubair. Sumber : Imam Jalaluddin as-
Suyuṭi,Al-Itqan fî Ulûm al-Qur’an, (Bairut : DKI, 2012) 587.
SEJARAH SINGKAT ILMU TAFSIR
Tafsir pada masa rasulullah saw & sahabat
4. TAFSIR MASA TABI’IN
Di era tabi’in juga terdapat tiga aliran besar dalam tafsir, yaitu :
1. Aliran Makkah yang diwakili oleh Sa’id ibn Jubayr (w
712/713M), Ikrimah (w 723 M), dan Mujahid ibn Jabr (w
722 ). Mereka semua berguru kepada Ibnu Abbas.
2. Aliran Madinah yang diwakili oleh Muhammad ibn Ka’ab
(w 735 M), Zayd ibn Aslam al-Qurashy (w. 735 M), dan Abu
Aliyah (w. 708 M). Mereka semua berguru kepada Ubay ibn
Ka’ab.
3. Aliran Irak yang diwakili oleh Al-Qamah ibn Qays (w 720
M), Amir al-Sha’by (w 723 M), Hasan al-Bashry (w 738 M),
dan Qatadah ibn Daimah al-Sadsy (w 735 M). Mereka
berguru kepada Abdullah ibn Mas’ud.
TAFSIR MASA TADWIN
Periode kodifikasi tafsir dimulai sejak munculnya pembukuan,
yaitu pada akhir kekhalifahan Bani Umayah dan awal
kekhalifahan Bani ‘Abbasiyah. Dalam periode ini tafsir
memasuki beberapa tahap:
1. Tahap Pertama. Pada tahap ini proses penyebaran tafsir
adalah melalui periwayatan. Sahabat meriwayatkan dari
Rasulullah Saw, sebagaimana sebagian Sahabat meriwayatkan
dari sebagian yang lain; lalu Tabi’in meriwayatkan dari Sahabat,
seperti halnya sebagian dari Tabi’in meriwayatkan dari sebagian
yang lain.
2. Tahap Kedua. Setelah masa Sahabat dan Tabi’in, tafsir
memasuki tahap kedua, yaitu ketika hadis Rasulullah Saw. mulai
dibukukan. Kitab-kitab hadis memuat banyak bab, dan tafsir
dijadikan satu bab tersendiri dalam kitab-kitab hadis. Pada waktu
itu, belum ada buku khusus tentang tafsir. Para penulis tafsir pada
tahap ini diantaranya adalah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H),
Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H),
Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah al-Basri (w. 205
H), Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu ‘Iyas (w.
220 H), dan Abdullah bin Humaid (w. 249 H), yang kesemuanya
pada dasarnya adalah imam dan tokoh tokoh ilmu hadis.
3. Tahap Ketiga. Setelah itu tafsir mulai dipisahkan dari Hadis,
sehingga ia menjadi ilmu tersendiri. Setiap ayat dalam al-Qur`an
diberi penafsiran, dan disusun sesuai susunan mushaf. Pekerjaan ini
dilakukan oleh beberapa ulama, diantaranya adalah Ibn Majah, Ibn
Jarir at-Tabari, Abu Bakar bin Munzir an-Nisaburi dan lain-lain.
4.Tahap Keempat. Pada tahap ini para penulis tafsir berpegang
pada metode periwayatan dari Rasul, Sahabat dan Tabi’in. Namun
pada tahap ini mulai ada perubahan dari segi sanad. Penulis tafsir
meringkas penulisan sanad dan menulis berbagai pendapat yang
diriwayatkan dari para mufassir pendahulu mereka tanpa
menyandarkan pendapat tersebut kepada orang yang
mengemukakannya. Maka, terjadilah banyak pemalsuan dalam
tafsir, riwayat yang sahih bercampur dengan riwayat yang cacat dan
mencantumkan isra`iliyyat.
5. Tahap Kelima. Terjadinya penulisan tafsir yang memadukan
antara pemahaman rasional dan tafsir metode periwayatan dari
Rasul, Sahabat dan Tabi’in. Hal ini berlangsung sejak masa
Abbasiyah hingga sekarang
SEJARAH SINGKAT ILMU TAFSIR
5. Tafsir Pada Masa Modern
Pergerakan tafsir selanjutnya mulai berubah arah dan metode. Tafsir kemudia berlanjut ke arah
kajian-kajian maudlu’i(tematik) dari segala sisi Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya. Dengan maraknya
kajian-kajian tematik, banyak karya-karya tafsir yang di hasilkan melalui pendekatan seperti ini.
Beberapa tokoh yang getol dengan kajian ini seperti Muhammad Syalthut, Kemudian Amin Al-
Khuli yang berusaha mengkaji Al-Qur’an lewat retorika bahasanya, di samping aspek sejarah
turunnya ayat. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir kontemporer yang melakukan terobosan-
terobosan dalam menafsirkan Al-Qur’an, baik itu dengan metode yang bisa di terima atau yang
masih di perselisihkan.Setiap masa perjalanan tafsir selalu di lingkupi oleh situasi dan kondisi yang
berada di sekitar mufassir. Metodepun akan terus berkembang dengan berbedanya cara pandang satu
mufassir dalam melihat kondisi dan situasi dengan mufassir lainnya. Tafsir akan terus bergerak
selama keilmuan itu sendiri masih terus bergerak serta kebudayaan manusia tidak jalan di tempat.
Sumber : Ma’mun Mu’min, Sejarah Pemikiran Tafsir, (Kudus; Nora Media Enterprise, 2011), Hlm.
67-68
SEJARAH SINGKAT ILMU TAFSIR
6. TAFSIR BIL MA’TSUR
Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip,atau
mengambil rujukan pada Al - qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta
tabi’in. Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat
yang digunakannya.
kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :
• - Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu JarirAthThabary)
• - Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
• - Tafsir Baqy Makhlad
• - Tafsir Ma’limutTanzil (Al Baghawy)
• - Tafsir Al – Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
• - Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
• - Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
• - Tafsir Ad Durrul Mantsur fitTafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
• - Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an (AbdurrahmanAtsa’libi)
Hukum Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani
karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka
bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam
memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu
ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui
bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang
hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin
diketahui oleh siapapun selain Allah.
TAFSIR BIR-RA’YI
Tafsir bir-ra’yi adalah metode penafsiran dengan cara ijtihad dan penyimpulan melalui pemahaman sendiri
serta penyimpulan yang hanya didasarkan pada ra’yu semata.
kiitab – kitab tafsir bir- ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud (diperbolehkan) dan yang
Mazhmum (terlarang /tercela).
Comtoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)
- Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
- Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
- Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
- Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
- Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
- Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
- Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)
Contoh kitab yang Mazhmum
- Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
- Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan Syi’ah
- Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
- Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
- Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
- Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
- Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al- zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari
golongan Zayidiyah
Hukum Tafsir Bir- Ra’yi adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka
tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini
seperti
“dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ [17]
:36) (Drs.Mudzakir AS,2011:489)
Sumber : As,Mudzakir.Studi Ilmu –Ilmu Qur’an.Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa,2011
7. TAFSIR ISYARI
Tafsir al-isyari adalah menakwilkan (menebutkan) ayat al-qur'an al-karim tidak seperti zahirnya, tetapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa dipahami oleh orang yang berilmu dan
bertakwa, yang terputus selaras dengan makna zahir ayat-ayat al- qur'an dari beberapa sisi syarhis (yang masyru '). sumber : muhammad amin suma,studi ilmu-ilmu al-qur'an,(jakarta:
pustaka firdaus, 2001), h. 97.
tafsir bi al-'isyari dapat dibedakan menjadi dua macam: tafsir bi al-'isyari al-maqbul dan tafsir bi al-'isyari al-mardud . Dikatakan sebagai tafsir bi al-'isyari al-maqbul atau al-masyru
'jika memiliki lima syarat yaitu:
1. Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur'an.
2. Mufassirnya tidak mengklaim satu-satunya penafsiran yang benar-benar berarti arti tersurat.
3. Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4. Tidak membantah dengan dalil syari'at dan argumentasi aqli.
5. Serta adanya pendukung dalil-dalil syari'at yang mendukung penafsirannya.
Jika diminta, tafsir al-'isyari al-mardud jika gaya penafsirannya menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-'isyari di atas. Sumber : Ahmad Izzan,Metodologi
Ilmu Tafsir, (Bandung: Buah Batu), 2011, h. 88.
Ada beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-'isyari, antara lain; Garaib al-Qur'an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H / 1328 M);
'Ara'is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur'an susunan Muhammad asy-Syairazi; dan Tafsir wa Isyarat al-Qur'an karya Muhyi al-Din Ibnu 'Arabi (w. 560-638 H / 1165-1240 M). Sumber :
Ahmad Izzan,Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Buah Batu), 2011, h. 90.
Ulama menentukan tafsir ini boleh, ditentukan beberapa persyaratan yaitu:
Tidak membantah dengan makna (zhahir) ayat, Maknanya sendiri shahih, Pada lafazd yang ditunjukan sebagai indikasi bagi (makna isyari) tersebut, Antara makna isyari dengan
makna ayat yang memiliki hubungan yang erat.
Sumber : Manna 'Khalil al-Qattan,Mubahist fi Ulumil Qur'an, Terj. Drs. Mudzakir AS, (Jakarta: Pustaka Lintera Antar Nusa, 1992, h. 496.
8. 1. TAFSIR SHUFI
Dalam I’jaz al-Quran, disebutkan bahwa tafsir sufi adalah penafsiran yang dilakukan
oleh para Sufi, yang pada umumnya dilingkupi oleh ungkapan mistik. Ibnu ‘Atha Al-
Iskandari mengatakan, tafsir sufi tidak mengubah makna lahiriyah teks induk al-
Quran, tetapi, menarik pengertian dari makna yang dimaksud oleh suatu ayat
menurut kezaliman bahasa.
Dalam tafsir sufi, seorang mufassir menafsirkan ayat dengan makna lain, tidak
sebagaimana yang tersurat dalam al-Quran pada umumnya. Oleh karena itu,
penafsiran tersebut tidak banyak dipahami, kecuali mereka yang hatinya telah
dibukakan dan disinari oleh Allah, dan termasuk golongan orang-orang yang saleh,
yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah, diantara
contoh tafsir sufi adalah kisah Nabi Khidir dengan nabi Musa as dalam Q.S.Al-Kahfi:
65.
Tafsir sufi disebut dengan tafsir Isyari, oleh karena itu tidak termasuk dalam ilmu hasil
usaha, atau penemuan yang dapat dicapai dari pembahasan dan pemikiran, tetapi
termasuk ilmu laduni, yaitu pemberian sebagai dari akibat dari ketakwaan, dan
riyadhah.
Tafsir sufi atau tafsir Isyari tidak dilarang oleh ulama asal memenuhi beberapa
persyaratan berikut:
Tidak bertolak belakang dengan makna dzahir al-Quran yang lahir, Maknanya itu
sendiri sahih, Pada lafadz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna) isyari
tersebut, Dan antara makna Isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.
Apabila keempat kriteria itu, diterapkan dalam penafsiran sufi, maka penafsirannya
dapat dijadikan tuntunan bagi umat dan merupakan istinbat yang baik.
Kepustakaan:
S. Agil Husin Al-Munawar dan. Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir.
(Dimas, Semarang, 1994). Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1995). Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terj,
Aminuddin, (Pustaka Setia: Bandung. 1999).
2. TAFSIR SYI’I
Tafsir syi’i adalah tafsir yang menekankan pada aspek batin al-qur’an, dalam ulum al-
qur’an tafsir seperti ini biasa di kenal dengan sebutan tafsir bathini, dari kalangan syi’ah
lebih menekankan penafsirannya pada aspek batin al-qur’an. Pengklasifikasian al-qur’an
menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin, merupakan prinsip terpenting dalam
penafsiran syi’ah, terutama syi’ah imamiyah. Bahkan, aspek batin dianggap mereka
sebagai aspek yang lebih kaya daripada aspek lahir.
Adapun metode yang dipakai kalangan syi’ah dalam menafsirkan al-qur’an, beragam.
Setiap aliran dalam syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-qur’an. Tapi
metode yang umum dipakai di kalangan syi’ah, yang banyak memakai pendekatan
metode takwil. Dan sebagaimana kita tahu bahwa, dalam syi’ah ada beberapa macam
aliran, diantaranya yaitu imamiyah dan zaidiyah. Yang setiap aliran tersebut mempunyai
metode-metode penafsiran masing-masing.
Tokoh-tokoh Tafsir Syi’i beserta Karya-karyanya
1. Tafsir Syi’ah oleh kelompok Syi’ah Istna Asy’ariyah
Tafsir ar-Raghib fi Ulum Al-Qur’an oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Amr al-
Waqidi, Tafsir Majma’ul Bayan oleh al-Thusi, Majma al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an oleh
Imam al-Tabrasi, Tafsir Al-Qur’an oleh Maula Sayyid Abdullah Bin Muhammad, Tafsir
‘alaul Rahman fi Tafsiral-Qur’an oleh Muahmmad Jawad bin Hasan An-Najafi.
2. Tafsir Syi’ah oleh kelompok Syi’ah Zaidiyah
Tafsir al-Shaghirah oleh Abu Ja’far Muhammad Mansur Al-Muradi Az-Zaidi, Tafsir
Ibnu ‘Aqdham oleh Ibnu ‘Aqdham, Tafsir al-Tsamratu Yani’ah oleh Syamsuddin Yusuf
bin Ahmad, Tafsir Muntahal Maram oleh Muhammad bin Husein bin Al-Qasimn, Tafsir
Fath al-Qadir oleh Imam Asy-Syaukani
Sumber : https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/sejarah-munculnya-syiah-dan-
corak-serta-metode-tafsir-syii/ Dikutip pada tanggal 20 Maret 2020 pukul 14.24 WIB
9. 3. TAFSIR LIBERALI (HEURMENETIKA)
Metode hermeneutika diyakini oleh golongan liberalis mampu menyelesaikan
permasalahan penafsiran ayat-ayat yang “tidak okomodatif” terhadapa isu-isu
kemanusian modern saat ini seperti kesetaraan gender, kebebasan beragama,
pernikahan beda agama atau tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan hak asasi
manusia secara umum. Sumber :Edward Maofur dan Zulkifli Yusoff, “Pengaruh
Liberalisme, 10.
Sebelum merumuskan kaidah baru dalam menafsirkan al-Qur’an yang sesuai dengan
konteks kemodernana, terlebih dahulu melakukan perubahan secara radikal mengenai
orientasi penafsiran al-Qur’an dari orientasi ke-Tuhan-an kepada orientasi kemanusiaan.
Hal ini untuk menghindari penafsiran al-Qur’an yang berorienntasi kepada “kepentingan”
Tuhan dan mengabaikan manusia sebagai objek diturunkan al-Qur’an. Bagi golongan
Islam liberal metode penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan konteks kemodernan
adalah metode hermeneutika. Hermeneutika adalah sebuah metode yang
mengkombinasikan teori-teori dalam disiplin ilmu al-Qur’an namun ditambah dengan
teori-teori sains kemasyarakatan modern. Sumber : Budhy Munawar Rachman,
“Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme di Indonesia”, Rekosntruksi
Metodologi Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
2002), 62-63.
Golongan Islam liberal memunculkan kaidah-kaidah baru dalam menafsirkan al-Qur’an
yang menguatkan metode hermeneutika mereka. Diantara kaidah-kaidah yang mereka
rumuskan adalah sebagai berikut:
1. Al-‘ibrah bi al-maqashid la bi al-alfaz
Kaidah baru ini menuntut para mufassir untuk melakukan pergeseran paradigma dari
menjadikan teks sebagai pusat perhatian tafsir untuk mencari ideal moral (maqashid
shar’iyyah) teks al-Qur’an. Dengan kaidah ini menghasilkan penafsiran al-Qur’an ala Islam
Liberal sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan dunia modern saat ini. Salah satu
penafsiran Liberalis tentang penghalalan judi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial
Berhadiah) karena membawa manfaat untuk perekonomian dan pembangunan Negara.
Sumber : Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta : Tinta Mas, 1986), 36-41.
2. Jawaz naskh al-juz’iyyah bi al-mashlahah
Kaidah ini memberikan otoritas kepada kemaslahtan untuk
membatalkan ketentuan-ketentuan legal spesifik dalam teks al-
Qur’an. Seperti membatalkan ayat-ayat hukuman karena
hukuman sifatnya relatif mengikuti perkembangan zaman.
Kemaslahatan di sini menjadi kontrol terhadap keberadaan
ayat-ayat al-Qur’an yang tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Hal ini didasarkan kepada keyakinan bahwa tidak ada
hukum Islam yang bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Menurut Islam liberalis, disinilah letak perbedaan yang
mendasar antara pendekatan tafsir liberalis dengan pendekatan
tafsir klasik yang kurang memperhatikan konsep kemaslahatan
dan hanya menjadikan mukalaf yang tidak berdaya dan menjadi
“hamba” teks. Sumber : Edward Maofur dan Zulkifli Yusoff,
“Pengaruh Liberalisme, 11.
3. Tanqih al-nushus bi al-‘aql mujma’alaih yajuz
Maksud dari kaidah ini adalah akal publik memiliki wewenang
untuk mengedit, menyempurnakan dan mengubah terhadap
ayat khusus atau ayat yang mengandung format hukum khusus
dalam pelaksanaannya. Menurut liberalis kaidah ini menjadi
solusi terhadap pertentangan antara pandangan umum di
masyarakat dengan tekstual dari ayat-ayat al-Qur’an. Proses
tanqih menurut liberalis kebutuhannya sangat mendesak untuk
saat ini kerena dalam realitanya banyak dijumpai ayat khusus
dalam al-Qur’an seperti waris yang tidak lagi diterima oleh
pandangan umum masyarakat.
4. GHORO’IB AT-TAFSIIR