Kodifikasi hadis dimulai pada abad ke-2 H oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun hadis-hadis agar tidak hilang. Pada abad ke-3 H, hadis-hadis disaring dan dibedakan status keabsahannya. Abad ke-4 H menghasilkan kitab-kitab hadis utama. Pada abad ke-5 H dan selanjutnya, hadis-hadis diklasifikasikan dan dikomentari.
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Mengkodifikasi Hadis
1. BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah
Al-Hadits sebagai rujukan hukum Islam yang kedua, memiliki sejarah yang unik
dibandingkan al-Quran. jika al-Quran sebagai rujukan yang pertama, maka tidak heran
jika penjagaannya sangat serius dan signifikan mulai awal diwahyukan. Beda halnya
dengan al-Hadits, yang pada awalnya terkesan kurang begitu mendapat perhatian,
terutama ditinjau dari segi penulisannya. karena memang pada awal-awal Islam,
penulisan al-Hadits dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya "Iltibas"
(pencampuran / kesamaran) dengan ayat-yat al-Quran. hal ini memang masuk akal,
dikarenakan umat Islam pada awal-awal Islam masih terbilang sedikit yang hafal al-
Quran ataupun ahli Qiraah. namun akan janggal, ketika alasan "Iltibas" itu tetap
dipertahankan, ketika umat Islam sudah banyak yang hafal, dan para ahli Qiraah sudah
tidak terhitung banyaknya.[1
1]
Keadaan seperti itu terus berlanjut, hingga akhir abad pertama. para ulama
(Tabi'in) mulai merasa khawatir, ketika al-Hadits tidak dilestarikan (dikodofikasikan).
Dalam makalah singkat ini, penulis ingin sedikit menguraikan berbagai fase perjalanan
"pengkodifikasian" al-Hadits.
B Rumusan Masalah
1 Bagaimana Pengertian Kodifikasi Hadits ?
2 Bagaimana Keadaan Hadits Abad ke II H ?
3 Bagaimana Keadaan Hadits Abad ke III H ?
4 Bagaimana Keadaan Hadits Abad ke IV H ?
5 Bagaimana Keadaan Hadits Abad ke V sampai sekarang ?
C Tujuan Pembahasan
Dalam makalah singkat ini, penulis ingin sedikit menguraikan berbagai fase
perjalanan " Pengkodifikasian Hadist Pada Abab ke II, III, IV, V Sampai Sekarang”.
1[1] Muhammad Bin Alwi al-Maliki, "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah. hlm 19-20.
1
2. BAB II
PEMBAHASAN
1 PENGERTIAN KODIFIKASI HADITS
Yang dimaksud kodifikasi ( Tadwinul Hadist ) adalah mengumpulkan,
menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun
yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi
dalam mushaf.
Antara kodifikasi (tadwin) hadist dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan.
Sebagaimana dikatakan Muhammad Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan
(tadwin) hadist Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul
Qur’an) . Dalam tadwin hadist, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Qur’an
dibentuk tim . Kegiatan penghipunan hadist dilakukan secara mandiri oleh masing-
masing ulama ahli hadist. Sekiranya penghimpunan hadist itu harus dilakukan oleh
sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat
hadist sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang
cukup berjauhan.
Di samping itu, hadist Nabi SAW tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab
yang memuat hadist Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama
penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot
kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat al-Qur’an yang dikenal
dengan Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan
hadist Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an.
2 KEADAAN HADITS ABAD KE II H
Alasan Kodifikasi al-Hadits
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk
yag bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa
wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu
al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
2
3. Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H.)[2
2] sebagai
(Khalifah kedelapan dari Bani Umayyah)[3
3] berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits
dengan beberapa pertimbangan :
a% Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir
lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya
kodifikasi al-Hadits.
b% Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari
hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi
golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik
ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya
Khilafah Ali bin Abi thalib.
c% Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah saw. dan
khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran,
telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan
telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari
beribu-ribu umat Islam.
Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan ulama yang memegang
kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits.
[4
4]
Beliau juga menginstruksikan kepada Wali Kota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin
Amr bin Hazm (177 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada Tabi'iy
wanita, 'Amrah binti Abdur Rahman al-Anshariyah[5
5].
)
2[2] bahkan Umar bin Abdul Aziz sendiri termasuk orang yang menulis al-Hadits, lihat Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib,
"Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu", Daru al-Fikr. tt.Beirut. hlm. 170
3[3] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.105
4[4] Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib, Opcit.. hlm. 172
5[5] dan al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar (107 H.). lihat Muhammad Bin Alwi al-Maliki,Opcit. hlm 22
3
4. "Tulislah padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti
Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada
dirinya maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari
'Aisyah r.s. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang
Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). beliau mengumpulkan dan menulis hadits-
hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-
tiap wilayah satu lembar. itulah sebabnya para ahli sejarwan dan ulama menganggap
bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertamakali mengodifikasikan hadits secara resmi
atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian
hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. bangunlah ulama-ulama pada
periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary (w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq
(w. 151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106
H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di
Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu al-Mubarak (w. 171
H.).
Oleh karena itu mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad kedua
H, sukar untuk ditetapkan siapa diantara mereka yang lebih dahulu. yang jelas bahwa
mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan al-Zuhry.
3% KEADAAN HADITS ABAD KE III H
Periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang
ketika itu pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. pada masa ini para
ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah
yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih,
dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian
masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka.[6
6]
6[6] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.109
4
5. Pada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda dengan abad sebelumnya. Abad
ini sampai dikenal dengan the golden age bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam,
terutama yang berkaitan dengan Hadits.
Para ulama bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa-fatwa
itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan statusnya.
Perkembangan semacam itu akibat tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah ilmiah
dalam rangka mencari hadits, Imam Al Bukhary lah yang mula-mula meluaskan daerah-
daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur,
Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang ia kunjungi.
Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah.
16 tahun lamanya al Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.
Pada abad ini banyak beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan
al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua buku
tersebut merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang
mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn al-
Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.
4) KEADAAN HADITS ABAD KE IV H
Pada priode ini penghimpunan hadist disertai pemeliharaan nya tetap dilakakukan
walau tidak sebanyak yang sebelumnya. Hanya saja hadist-hadist yang di himpun
tidaklah sebanyak sebelum priode ini.
Didalam era ini jenis kitab-kitab hadsit Nabi SAW. Mencakup sebagain besar kitab-kitab
hadist yang sifatnya mengumpulkan kitab-kit ab hadist yang telah dihimpun dalam kitab-
kitab hadist Nabi SAW sebelumnya.
Kegiatan periwayatan hadist pada priode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah
( lesensi/ sertifikat dari guru utnutk murid untuk mendapat izin meriwayatkan hadist ).
Sedikit sekali ulama’ yang melakukan seperti ulama’ Muqaddimin
Abad ke IV H ini merupakan abad pemisahan antara ulama’ Mutaqaddimin, yang
dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in
5
6. atau tabi’ tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan
ulama’ mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya
menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah
dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal
beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian
dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz
5) KEADAAN HADITS ABAD KE V SAMPAI SEKARANG
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu
mereka pada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar
(meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya.
Hadits dimasa abad V H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan
modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima lebih
luas, simple dan sistematis.
6
7. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kodifikasi ( Tadwinul Hadist ) adalah mengumpulkan, menghimpun atau
membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud
dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf.
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits tersebut, dapat kita tarik sebuah
kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa kita nikmati dari kitab-kitab hadits
susuanan para ulama, ternyata memiliki sejarah perjuangan yang besar, dan melalui
pelbagai pertimbangan yang sangat matang, hingga ungkapan "terima kasih" belaka,
penulis kira tidak cukup jika tanpa di seimbangkan dengan aksi nyata. paling tidak
mengembangkan wawasan lebih luas lagi, baik dari segi memahami kandungan hadits
ataupun metode pemahamannya.
7