Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Radikalisme sering tumbuh dari ketidakmampuan keluarga dan sekolah untuk mendidik anak-anak dengan pengetahuan agama yang benar dan konteks sejarah Nabi Muhammad yang lengkap. Keluarga, sekolah, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk mencegah radikalisme dengan memberikan pendidikan agama yang tepat dan mendukung keluarga.
1. HAIDAR BAQIR TTGRADIKALISME
MENCEGAH RADIKALISME DARI KELUARGA
Oleh: Haidar Bagir
BELUM lama ini, sebuah pengamatan menarik tentang radikalisme keagamaan,khususnya di
kalangan anak muda, diungkapkan Prof Oliver Roy, seorang ahli di bidang terorisme dan ‘jihad’ dari
Prancis. Daribanyak pengamatannya yang menarik, Prof Roy menunjukkan para pelaku teror,
termasuk dari kalangan muda yang paling rentan terbujuk rayu oleh kelompok-kelompok radikal,
justru bukanlah orang-orang yang penghayat-an agamanya kuat. Tak juga mereka memiliki
pengetahuan agama yang cukup. Bahkan, banyak di antara mereka yang tadinya ialah orang-orang
dengan masa silam yang gelap seperti pencandu narkoba, pelaku kegiatan seks bebas, dan sebagainya.
Umumnya perubahan atas diri anak-anak muda ini terjadi secara tiba-tiba. Dengan kata lain, ada
fenomena born-again, yang dicirikan ayunan bandul dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya.
Sebelumnya mereka ialah orang-orang yang jauh dari agama, lalu secara mendadak terkonversikan
menjadi penganut agama yang ekstrem atau radikal. Benar,yang menonjol sebagaipelaku saya
cenderung menyebutnya korban fenomena ini ialah anak-anak muda yang labil dan belum matang,
sekaligus memiliki temperamen dan semangat yang meluap-luap. Mudah diduga bahwa dalam
segenap ketidakmatangan dan kejahilan mereka akan ajaran agama,anak-anak muda ini mendapatkan
info-info instan yang menyesatkan dari guru-guru yang radikal, atau dari internet dan media sosial
yang mereka akses. Disisi lain, ada fenomena modern menyusutnya ketahanan keluarga di tengah
masyarakat. Problem terbesar ketahanan keluarga ini ialah berkembang pesatnya teknologi informasi
dan derasnya arus informasi yang dihasilkannya jika dibandingkan dengan kemampuan keluarga
dalam memberikan informasi alternatif sebagai bagian fungsi pendidikan yang harus
diselenggarakannya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa
institusi keluarga di zaman sekarang ini mendapatkan berbagai tekanan. Termasuk gempuran tuntutan
ekonomi yang makin meningkat, antara lain akibat makin complicated dan makin canggihnya
kemampuan dunia industri dalam menciptakan berbagai artificial needs (kebutuhan yang diada-
adakan atau dikesankan sebagai kebutuhan, meski sesungguhnya orang bisa hidup tanpanya).
Radikalisme di sekolah
Hal ini menuntut peningkatan pendapatan keluarga secara terus-menerus. Ayah yang menjadi salah
satu tulang punggung ketahanan keluarga terpaksa menghabiskan banyak waktunya di luar rumah
untuk bekerja. Halini terjadi bukan hanya di kalangan keluarga miskin, melainkan juga di keluarga
kaya. Belum lagi jika diingat makin beratnya kompetisi di dunia kerja atu di dunia bisnis pada
umumnya. Tantangan yang bahkan lebih besar lagi ialah kenyataan bahwa sekarang sudah mulai lebih
banyak kedua orangtua ayah dan ibu sama-sama bekerja. Saya tidak sedang mengkritik fenomena ibu
bekerja. Saya hanya mengungkapkan kenyataan tentang makin besarnya tantangan terhadap
2. kehidupan keluarga. Yakni, jika sebelumnya hanya ayah yang waktu dan energinya banyak terampas
di luar rumah yang berakibat pada menyusutnya waktu bagi komunikasi dengan anak sekarang hal
yang sama terjadi atas ibu.
Karena itu, ditambah persoalan besarnya pengaruh yang tak kadang negatif yang mungkin timbul dari
pergaulan dengan teman sebaya,keluarga akhirnya terpaksa menyerahkan pendidikan anak-anaknya
ke sekolah. Sebagian masalah tentu saja teratasi, tapi justru di sinilah problem besar bisa mengintai.
Apa pasal? Saya berani mengatakan tidak sedikit justru sumber-sumber pikiran radikal ke-agamaan
itu datang dari pendidikan agama di sekolah. Justru benih-benih radikalisme keagamaan tertanam
ketika anak mendapatkan informasi keliru dari guru agama. Mungkin disebabkan keterbatasan
wawasan guru, kesempitan pandangan, bahkan kadang-kadang kita tidak boleh terlalu naif juga
adanya kelompok-kelompok radikal yang secara sengaja ingin menyusupkan pikiran-pikiran
radikalnya lewat pengembangan lembaga pendidikan mereka sendiri, atau pengiriman guru agama
dari kalangan mereka ke sekolah-sekolah. Maklum, ketidakmatangan anak menjadikan mereka
sasaran.
Ingin saya sampaikan juga di sini, kalaupun kita tidak secara sengaja atau tidak ada kelompok-
kelompok yang secara sengaja berusaha memasukkan pikiran-pikiran radikal itu, dalam kenyataannya
setidaknya sebagian materi pengajaran agama,khususnya agama Islam (yang saya ketahui) di
sekolah-sekolah itu secara sadar atau bisa menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya pikiran-
pikiran radikal. Sebagai salah satu contoh, mari kita ambil pelajaran sirah atau biografi Nabi
Muhammad SAW, khususnya di sekolah. Sadar atau tidak, biografi nabi cenderung dipenuhi kisah-
kisah peperangan. Biasanya diceritakan bahwa, ketika di Makah nabi ditindas, kemudian nabi pun
berhijrah ke Madinah. Setelah memapankan diri di Madinah selama kurang lebih setahun, pada tahun
kedua setelah hijrah kaum Muslim di bawah pimpinan Nabi, terlibat dalam peperangan Badar
melawan invasi kaum kafir Quraisy dari Makkah. Setahun kemudian terjadilah perang Uhud, lalu
perang Khandaq di tahun keempat. Demikian seterusnya dikisahkan peperangan-peperangan hingga
saat-saat terakhir kehidupan Nabi.
Sirah Nabi Muhammad
Dengan demikian, saya khawatir, banyak anak-anak sekolah yang di benaknya terpikir bahwa
sebagian besar masa hidup nabi itu berperang. Padahal,menurut penelitian, jika dijumlahkan, seluruh
perang nabi itu memakan waktu total 800 hari. Penelitian lain yang mungkin tidak memasukkan hari-
hari persiapan-persiapan, atau mungkin juga tak memasukkan ekspedisi-ekspedisi (sariyah) yang tak
berujung pada peperangan malah mendapati bahwa jumlah total perangnya Nabi itu 80 hari. Padahal,
berapa lama karier kenabian Muhammad SAW? Nabi Muhammad SAW menjadi nabi kira-kira
selama 23 tahun, yakni sama dengan kira-kira 8.000 hari. Jika diterima bahwa total masa nabi ialah
800 hari, itu berarti hanya 10% dari masa kenabian Muhammad SAW yang terpakai untuk perang.
Apalagi, jika kita ambil penelitian yang menyatakan jumlahnya kurang-lebih 80 hari. Berarti hanya
1% dari karier kenabian Muhammad SAW yang terpakai untuk perang. Lalu, apa yang dikerjakan
nabi selama 90% atau bahkan 99% dari karier kenabiannya? Saya khawatir banyak di antara kita yang
3. tidak tahu. Saya khawatir, anak-anak kita, siswa-siswa kita di sekolah mengira sebagian besar masa
kenabian dihabiskan untuk perang. Padahal, semua orang yang mempelajari dengan sungguh-sungguh
biografi beliau, dengan mudah akan mendapati bahwa sebagian besar masa hidupnya dipakai untuk
mengajarkan akhlak mulia, dan memberikan teladan tentang hamba Allah yang tugasnya menebarkan
rahmat bagi semesta alam.
Nah, kalau pun suatu saat dalam hidupnya, seorang anak atau remaja terdorong untuk belajar lebih
banyak untuk belajar agamanya, tentang nabinya--yang amat mungkin akan dia upayakan dari internet
maka kemungkinan yang lebih besar ialah dia akan mendapati kesannya tentang Islam sebagai agama
hukum dan politik. Itu berarti Islam diyakini sebagai agama yang terkait dengan kekuasaan yang rigid
kalau tidak malah otoriter. Yang tak kalah memprihatinkan, obsesi terhadap perang dan kekuasaan
politik ini biasanya juga berimplikasi pada cara pandang penuh kecurigaan dan permusuhan kepada
kelompok-kelompok lain di luar agamanya. Para penganut paham seperti ini biasanya tak memiliki
kecenderungan lain dalam berhadapan dengan kelompok liyan, kecuali konflik yang saling
menghabisi. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama,tentu keluarga harus menyadari masalah
serius yang sedang kita hadapi ini, dan mencari jalan dalam setiap kendala yang ada untuk
memastikan kelancaran dan kedekatan komunikasi orangtua dan anak. Orangtua pun perlu membekali
diri dengan pengetahuan agama yang cukup bagi anak-anaknya,baik dengan secara langsung
mengambil peran pendidikan tersebut, atau mencarikan jalan lain. Kalau pun harus menyerahkan
peran ini ke sekolah, pastikan bahwa kita memilih sekolah yang tepat,lalu berupaya sebisanya untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah untuk memastikan bahwa materi pelajaran agama diberikan
dengan benar. Pengawasan yang memadai atas pergaulan anak, khususnya dalam kelompok-
kelompok keagamaan menjadi sangat krusial. Yayasan-yayasan pendidikan juga perlu mengevaluasi
pengelolaan pendidikan agama di lembaga-lembaga yang berada di bawahnya. Termasuk juga
kegiatan-kegiatan kerohanian sekolah dan mentoring, khususnya yang melibatkan pihak-pihak luar.
Kementerian Agama juga perlu memastikan bahwa pendidikan keguruan di sekolah-sekolah tinggi
agama telah menyiapkan para pendidik dengan pemahaman keagamaan yang benar. Juga menjadi
tugas Kementerian Agama untuk menyiapkan silabus dan buku-buku teks yang sesuai. Inisiatif
kementerian untuk menyusun dan menyebarkan buku-buku pelajaran agama Islam dengan tema
rahmatan lilalamin kiranya amat patut diapresiasi.
Akhirnya, pemerintah juga perlu mengambil peran. Caranya ialah dengan mengembangkan strategi
budaya serta pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang dapat memberi ruang lebih besar bagi
upaya pemberdayaan keluarga sebagai wahana pendidikan perilaku mulia, penuh kasih sayang,
toleransi, dan perdamaian bagi generasimuda bangsa.[]
Dimuat di Media Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016.