1. CARA ISLAM MENGATASI KRIMINALITAS REMAJA
Oleh : Dede Tisna
Ketua Lajnah Dakwah Sekolah (LDS DPP HTI)
Kekerasan dan pergaulan bebas menjadi potret buram kehidupan remaja saat ini. tawuran
antarpelajar, seks bebas, hamil di luar nikah, aborsi, perkosaan, pelecehan seksual dan peredaran
VCD porno, narkoba dan HIV/AIDS menjadi perkara yang lumrah di kalangan remaja saat ini.
Padahal remaja merupakan generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet kebangkitan
umat.
Kapiltalisme: Biang Kerok
Sederet potret buram remaja menjadi bukti kegagalan sistem Kapitalisme yang diterapkan, di
antaranya melalui sistem pendidikan generasi saat ini. Sistem pendidikan sekular kapitalis telah
menyita sebagian besar waktu dan tenaga siswa untuk mengabaikan aspek pembentukan
kepribadian yang kuat. Sekolah sebagai institusi pendidikan alih-alih mencetak remaja yang
berkualitas yang memiliki kepribadian yang kuat sesuai dengan tujuan pendidikan, namun justru
menghasilkan remaja yang menciptakan banyak masalah. Sekolah yang baik seharusnya mampu
membentuk kepribadian yang balk. Sebaliknya, sekolah yang buruk adalah yang abai terhadap
hal-hal tersebut. Inilah realita yang terjadi ini.
Sebenarnya Pemerintah telah menetapkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mewujudkan
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal.
Tentu, ini adalah sebuah tujuan yang sangat ideal, dan memang itulah yang diharapkan dari
sebuah proses pendidikan. Pendidikan harus melahirkan sosok manusia yang mempunyai
kepribadian khas yang muncul dari keimanan dan ketaqwaan yang tinggi serta memiliki
kemampuan berbasis kompetensi yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pendidikan diarahkan untuk menempa kepribadian siswa yang kuat dan mengembangkan potensi
keterampilan secara optimal.
Hanya saja, apabila kita menengok realita kehidupan para pelajar saat ini, tujuan ini terasa sangat
klise. Kalangan remaja sebagai output pendidikan saat ini jauh dari sosok manusia muttaqin
dalam makna hakikinya. Kini, alih-alih ada rasa bangga bila bertemu dengan gerombolan remaja
berseragam sekolah, yang ada adalah rasa was-was, khawatir menjadi korban tingkah polahnya
yang buruk, bak preman jalanan.
Dengan kurikulum sekular kapitalistik, para pelajar kian terbentuk menjadi pribadi yang kering
jiwanya, keras mentalnya, bahkan jumud dari mencari solusi berbagai persoalan yang
menimpanya. Kata iman dan takwa tidak lebih dari lips service. Kata 'iman' dan 'takwa' tidak
mewujud dalam kenyataan. Padahal sejatinya, apabila strategi pendidikan seiring dengan
tujuannya, maka akan dihasilkan target optimal, yaitu terbentuknya sosok generasi ideal. Namun,
fakta menunjukkan bahwa ada perbedaan antara konsep dan metode pelaksanaannya.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, nilai-nilai demokrasi dan HAM menjadi
acuan dalam proses pendidikan sehingga proses pembelajaran mengacu pada
1
2. target tercapainya nilai-nilai tersebut. Inilah fakta yang menunjukkan ada ketidaksesuaian antara
visi dan misi pendidikan. Visinya menjadi insan mu’min dan muttaqin, namun misinya melalui
penanaman nilai HAM dan demokratisasi. Akankah misi ini dapat mewujudkan visi pendidikan?
Ataukah memang visi pendidikan nasional sudah mengalami disorientasi? Bila benar, tentu tidak
salah jika kita mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional yang dicanangkan tersebut
hanyalah lips service saja.
Bila memang yang diinginkan adalah terbentuknya insan yang mu'min-muttaqin, relevankah bila
ditempuh dengan cara memberikan pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran saja dalam
satu minggu (2 jam dari 40 jam, hanya 5% dari pelajaran lainnya). Itu pun jika harinya tidak
libur dan gurunya tidak bolos. Lebih dari itu penyampaian pelajaran lebih bersifat teoretis,
kurang sisi implementatif, ditambah sarana praktik pendidikan agama yang sangat minim.
Karena itu, wajar jika kemudian para pelajar memposisikan pelajaran agama tidaklah berbeda
dengan pelajaran lainnya, yang hanya untuk dihapal karena akan keluar di soal ujian.
Belum lagi berbicara tentang kualitas guru. Sistem Kapitalisme, selain membebani guru dengan
setumpuk bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa, mereka juga dipusingkan dengan
beban hidup yang kian menghimpit, seiring dengan penghargaan Pemerintah yang jauh dari nilai
layak bagi insan pendidik ini. Walhasil, proses belajar mengajar hanya sekadar untuk memenuhi
kewajiban saja, tidak lebih dari itu. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan metode ajar
yang hanya mengedepankan transformasi ilmu saja dan mengabaikan transformasi perilaku
positif yang menjadi suri teladan. Lihat saja banyak berita tentang bagaimana perilaku guru yang
tidak memberikan contoh perilaku yang baik. Kasus guru yang berbuat kasar dengan
membentak. menempeleng, atau menendang terhadap muridnya adalah contoh betapa wajar jika
para siswa berulah anarkis, karena gurunya pun mengajarkan perilaku seperti itu.
Tidak dipungkiri pula bahwa dalam kurikulum pendidikan yang sekular kapitalistik ini, untuk
membentuk sosok pelajar yang mu'min-muttaqin hanya bertumpu pada materi agama. Adapun
pada pelajaran lain, tidak ada penanaman nilai kepribadian untuk menjadi mu'min-muttaqin.
Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan nasional kita tidak berbasis agama. Agama
ditempatkan jauh dari urusan pendidikan. Pendidikan di negeri ini menganut paham pemisahan
agama dari pengaturan urusan masyarakat (sekular). Akibatnya, terjadi dikotomi antara pelajaran
agama dan pelajaran umum lainnya. Pelajaran umum (non agama) berada di wilayah yang 'bebas
nilai', yang sama sekali tidak tersentuh standar nilai agama. Kalau pun ada hanyalah etik-moral
yang tidak bersandar pada nilai agama. Karena itu, wajar bila pembentukan kepribadian hanya
dibebankan pada pelajaran agama saja.
Lemahnya Peran Keluarga
Kehidupan kapitalistik yang berlaku saat ini tidak hanya menjadi pangkal persoalan pendidikan
di sekolah. Keluarga pun terkena imbasnya. Keluarga adalah basis pendidikan yang utama bagi
setiap insan. Namun, sistem Kapitalisme telah memaksa para orangtua abai dalam proses
pendidikan anak-anaknya. Kapitalisme telah menyebabkan beban hidup setiap keluarga terns
mencekik. Keluarga pun harus memutar otak mencari penghidupan. Dengan dalih mencapai
penghidupan yang layak inilah, ayah dan ibu sibuk bekerja siang dan malam. Akibatnya, anak
pun terabaikan.
2
3. Para ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya tidak sempat memberikan perhatian
dan kasih sayang yang paripurna. Bahkan untuk memberikan keteladanan sehari¬hari kepada
anaknya pun tak ada waktu karena sibuk di luar rumah, turut membantu suami mengepulkan
asap dapur. Akhirnya, para ibu banyak yang tidak lagi bisa memberikan arahan akan kehidupan
yang harus dicapai anak¬-anaknya. Begitupun dengan sosok ayah. Ia menjadi figur yang asing
bagi anak-anaknya.
Tanggung jawabnya untuk menjaga keluarga dari siksa api neraka sebagaimana perintah dari
Allah SWT, jelas terabaikan. Sempitnya waktu bersama anak membuat komunikasi menjadi hal
yang sangat mahal dalam keluarga. Anak pun terdidik dengan televisi, internet, HP dan media
eletronik lainya. Padahal dari media-media tersebutlah anak mendapatkan pengaruh buruk
tentang pergaulan bebas, hidup konsumtif, kekerasan dan aktivitas kriminal lainnya. Anak tidak
mengenal kasih sayang sejati dalam rumahnya. Perhatian justru didapat dari teman, geng, bahkan
komunitas lain di jalanan.
Solusi Tuntas
Potret buram remaja sebenarnya dapat dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang
mempengaruhi pemahaman dan perilaku remaja. Untuk itu dibutuhkan peran dari berbagai
unsur: sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Keseluruhannya bertanggung jawab dalam
membentuk kepribadian yang baik pada remaja, kepribadian yang dibangun di atas iman dan
takwa. Semuanya harus bersinergis untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan remaja.
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang melakukan pendidikan dan pembinaan
terhadap anak (generasi). Di sanalah pertama kali dasar-dasar keislaman ditanamkan. Anak
dibimbing orangtuanya bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi
kepada Sang Pencipta, Allah SWT.
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami).
Ayah dun ibunydah kelak yang menjudikan dirinya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (penyembah
api dan berhala) (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, at¬Tirmidzi, Abu Dawud dan anNasa'i).
Orangtua wajib mendidik anak-anaknya tentang perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai
dengan ajaran Islam. Bagaimana anak diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap
sopan-santun, kasih-sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih
cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka
gunakan. Dengan begitu, kelak terbentuk pribadi anak yang shalih dan terikat dengan aturan
Islam.
Allah SWT berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan
keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, Penjaganya
adalah para malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah atas apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS at-Tahrim
3
4. [66]: 6).
Masyarakat—yang menjadi lingkungan remaja menjalani aktivitas sosialnya ¬mempunyai peran
yang benar juga dalam mempengaruhi baik-buruknya proses pendidikan, karena remaja
merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini
sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja. Masyarakat
yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama, Serta
interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing-masing memandang betapa
pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi muda,
maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa
pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Perkara
yang akan membentuk pengaruh negatif pada remaja tentu akan dicegah bersama. Jika ada
sekelompok remaja terbiasa nongkrong dengan kegiatan yang tidak karuan, masyarakat setempat
seharusnya bertindak membersihkan lingkungan dengan mengajak kelompok remaja tersebut
mengalihkan kegiatan dengan hal yang lebih bermanfaat. Di sinilah peran penting masyarakat
sebagai kontrol sosial.
Peran paling penting dan strategis dalam membentuk kepribadian remaja ada pada negara
melalui pemberlakuan sistem pendidikan. Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan
pada asas akidah Islam yang akan menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan,
penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses beialar-mengajar,
termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/ kampus tempat remaja eksis di
dalamnya.
Paradigma pendidikan yang berasas akidah Islam harus berlangsung secara berkesinambungan
mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi yang pada ujungnya nanti diharapkan mampu
menghasilkan keluaran (output) peserta didik yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah
islamiyyah), menguasai tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (lptek dan keahlian).
Negara sebagai penyelenggara pendidikan yang utama haruslah menerapkan kurikulum .yang
menjamin tercapainya generasi berkualitas. Bukan hanya generasi yang, mengejar kemajuan
teknologi, tetapi juga membentuk kepribadian Islamnya. Negara juga wajib mencukupi segala
sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan secara layak. Atas dasar indah negara wajib
memiliki visi pendidikan yang fokus pada pembentukan generasi berkualitas dan menyediakan
pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Keblj'akan pendidikan bebas biaya akan
membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam
pendidikan. Dengan itu pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja,
dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri.
Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka ini haruslah yang
memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti
filosofi pendidikan generasi serta cara-cara yang harus dilakukan. Mereka harus menjadi teladan
bagi anak didiknya. Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan
generasi. Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya, tetapi juga seorang
pendidik dan pembina generasi. Agar para pendidik
bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi
4
5. mereka.
Lebih dari itu, negara juga wajib mengontrol dan menindak tegas hal-hal yang bisa merusak
generasi, terutama media yang memberi pengaruh buruk dalam pendidikan dan pembinaan anak.
Peran negara yang seperti ini tentu tidak akan terwujud dalam tatanan sistem yang kapitalis.
Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah-lah yang mampu melaksanakan peran
strategis ini. Oleh karena itu, berharap menghapus potret buram remaja dalam tatanan sistem
kapitalis saat ini hanyalah mimpi di siang bolong. Karena itu, sudah saatnya mencetak potret
cemerlang remaja dan generasi ini dengan tatanan terbaik dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT.
Hanya tatanan Islam dalam institusi Khllafah Islamiyah-lah yang mampu menghapus potret
buram remaja dan generasi ini menjadi potret cemerlang dan gemilang.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
5