R6C-Kelompok 2-Sistem Rangka Pada Amphibi dan Aves.pptx
Mengaitkan Aspek Teknis dan Sosial dalam Resistensi Antimikroba
1. Mengaitkan Aspek Teknis dan Sosial
dalam Resistensi Antimikroba
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD
Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Karantina Hewan – Kementerian Pertanian
FAO-FAVA-IVMA-VNU-WAAW2021
Role of Indonesian Veterinarians Tackling the
Antimicrobial Resistance – 24 November 2021
2. Kenapa perhatian tentang AMR
pada hewan?
Lebih 73% dari semua antimikroba
yang dijual di dunia digunakan
pada hewan.
Van Boeckel et al 2017, Science
3. Tren global penggunaan
antimikroba pada hewan
Version 1, 2010: Van Boeckel et al 2015, PNAS.
Version 2, 2013: Van Boeckel et al 2017, Science.
Version 3, 2017: Tiseo et al 2020, Antibiotics
90,000 ton
50.000 ton
10.000 ton
2.000 ton
2030
500 ton
2017
4. • Pada 2021, diestimasi ada 19,6 miliar ayam, 1,4 miliar
sapi, dan 980 juta babi yang dipelihara sebagai ternak
di seluruh dunia.
• Ini lebih banyak dari jumlah manusia dan semua satwa
liar yang ada di bumi kalau digabung.
• Sebagian besar (81%) ternak ada di negara berkembang.
5. • Konsumsi daging global telah meningkat lebih dari dua kali
lipat sejak 1990, mencapai 324 juta metrik ton pada
2020.
• Antara tahun 1990 dan 2020, volume daging unggas yang
dikonsumsi di seluruh dunia meningkat dari 34,6 juta
metrik ton menjadi lebih dari 130 juta metrik ton.
6. Ancaman Resistensi Antimikroba
• Resistensi antimikroba (AMR) adalah ancaman utama
bagi kesehatan dan ekonomi global, efek berbahaya
yang secara tidak proporsional dialami oleh mereka
yang tinggal di Negara Berpenghasilan Rendah dan
Menengah (LMICs), termasuk Indonesia.
• Upaya mengatasi masalah kompleks ini membutuhkan
respons multidisiplin dan multisektoral.
• Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi
pengakuan yang berkembang tentang peran penting
ilmu sosial dalam memahami dan mengintervensi
penggunaan antibiotik (AMU), pendorong utama AMR.
7. Bukan hanya masalah
medis/veteriner!
• Resistensi antimikroba (AMR) sering
dianggap hanya sebagai masalah
medis/veteriner, tetapi sesungguhnya
masalah ini merupakan tantangan
evolusioner yang dipercepat oleh
faktor sosial, budaya dan ekonomi
yang menyebabkan:
– penyalahgunaan,
– penggunaan berlebihan, dan
– ketidakpatuhan terhadap regulasi
tentang antimikroba
Resistensi
antimikroba
Masalah
sosial
Masalah
budaya
Masalah
ekonomi
Masalah
medis/
veteriner
Sumber: Minssen T. et al. (2020). Social, cultural and economic aspects of
antimicrobial resistance. Bull World Health Organ 2020;98:823–823A.
8. Kompleksitas resistensi
antimikroba
• Resistensi antimikroba (AMR) merupakan isu
kesehatan global yang mengalami eskalasi, karena:
– adanya saling ketergantungan antar faktor
pendorong yang kompleks dan dinamis;
– ketidakpastian (uncertainty) dan taruhan
keputusan yang tinggi;
– beragam faktor pendorong dan stakeholder
dengan beragam nilai dan kepentingan, dan
– berbagai aspek dan hasil (outcomes) multi
disiplin ilmu.
Sumber: Vedadhir A.A. et al. (2021). Soocial science research contributions to antimicrobial
resistance: protocol for a scoping review. Systematic Reviews (2020) 9:24.
9. Pendorong utama AMR
• Pendorong yang paling penting dari munculnya dan meningkatnya
AMR adalah konsumsi antibiotik (AMU). (Aarestrup, 2015).
• Bahkan jika AMU dilakukan secara tepat dan konservatif, tetap akan
mengarah pada pengembangan AMR (Ventola, 2015; Roope et al.,
2019).
• AMU adalah pendorong utama dari tekanan seleksi (selection pressure)
yang berkontribusi terhadap resistensi (Laxminarayan et al., 2013).
• Penyalahgunaan, termasuk penggunaan yang berlebihan, memainkan
peran signifikan dalam munculnya AMR baik pada manusia dan hewan
(WHO, 2012b; Holmes et al., 2016).
10. Penggunaan antimikroba
pada hewan
• Banyak bakteri telah mengembangkan cara resistensi
terhadap antimikroba, yang dapat menyebar ke bakteri
lain, sehingga dapat mengurangi efektivitas pengobatan
antimikroba berikutnya baik pada manusia dan hewan.
• Penggunaan antimikroba pada hewan memiliki
implikasi penting untuk AMR karena potensi
penularan resistensi antar-spesies.
• Penggunaan antimikroba pada hewan telah meningkat
pada level yang memprihatinkan dan menimbulkan
ancaman AMR baik pada hewan dan manusia.
11. Motivasi penggunaan
antimikroba
• Mekanisme yang mengarah ke
AMR bersifat biologis, tetapi
motivasi dibalik tingkat
penggunaan yang terjadi sekarang
dan metoda penggunaan
antimikroba baik pada manusia
dan hewan penghasil pangan
ditentukan oleh berbagai faktor
termasuk kekuatan individu,
psikologis, sosial, budaya, politik
dan ekonomi.
12. Ilmu sosial dan AMR
• Sebagian besar kontribusi ilmiah sosial pada isu AMR diterapkan pada
perspektif individu daripada perspektif nasional atau global.
• Namun, penatagunaan (stewardship)
yang efektif bergantung pada
perubahan perilaku (behavioral
changes) dan insentif kelembagaan di
tingkat mikro.
• Ada kebutuhan untuk juga memahami dinamika kebijakan dan hasil di
tingkat nasional dan global.
Sumber: Prof. Olivier Rubin, Roskilde University (2021). Why should we care about the ‘social stuff’?
13. Aspek perilaku
• Bagi keputusan pengobatan/terapi yang dibuat di peternakan (on-farm
decision), maka aspek perilaku (behavoir aspects) adalah sama
pentingnya dengan aspek teknis.
• Aspek-aspek perilaku seperti pengalaman sebelumnya dan ingin
menghindari risiko, memiliki pengaruh besar terhadap pengobatan/terapi.
• Pada dasarnya, peternak dan dokter hewan bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan tindakan-tindakan pencegahan penyakit dan dokter
hewan membuat peresepan dan/atau memberikan antimikroba.
• Dalam penerapan prinsip-prinsip penggunaan antimikroba yang bijak dan
bertanggung jawab, dibutuhkan perubahan perilaku dari dokter hewan
dan peternak.
Sumber: Speksnijder and Wagenaar. Apr. 2018, Vol. 8, No. 2.
14. Aspek sosial AMR
• Bagaimana cara peternak, industri, dokter hewan dan sistim regulasi
mengelola produksi ternak untuk konsumsi manusia dan bagaimana
mereka mengunakan antimikroba.
• Bagaimana kerangka regulasi dan fiskal memberikan insentif atau
menghalangi pengembangan, produksi dan penggunaan antimikroba.
• Bagaimana para profesional di pemerintahan, industri dan komunitas
peternak mengapresiasi, memahami, dan menilai isu antimikroba.
• Bagaimana konteks sosial yang terjadi ketika hewan berinteraksi
dengan manusia dan lingkungannya yang kemudian mendorong
penularan resistensi antar spesies.
15. Sikap dokter hewan dan peternak
• Sikap dokter hewan dan peternak adalah tidak selalu menyadari risiko
kesehatan masyarakat yang terkait dengan penggunaan antimikroba yang
ekstensif pada hewan, dan tidak selalu merasa bertanggung jawab atas hal-hal
problematik yang terjadi, dan ini menekan motivasi untuk berubah.
• Selain itu, antimikroba sering diresepkan dan/atau diberikan oleh dokter
hewan sebagai strategi menghindari risiko untuk mencegah potensi komplikasi
akibat penyakit menular.
• Meskipun dokter hewan saat ini mulai lebih sering memberikan advis kepada
peternak dengan tindakan-tindakan manajemen yang bertujuan untuk
mencegah penyakit dan mengurangi penggunaan antimikroba, ketidakpastian
tentang efektivitas (biaya) dari tindakan-tindakan ini sering menghambat
pelaksanaan advis tersebut di lapangan.
Sumber: Speksnijder and Wagenaar. Apr. 2018, Vol. 8, No. 2.
16. Advis dokter hewan
• Dokter hewan secara regular tidak dapat dengan
jelas mengkalkulasi biaya dan/atau upaya dan
manfaat yang terkait dengan tindakan-tindakan
pengendalian infeksi yang dilakukan.
• Begitu juga, rekomendasi yang bertentangan dari
advisor peternakan yang berbeda (termasuk dokter
hewan) dapat menjadi hambatan utama untuk
menerapkan advis dari dokter hewan.
Sumber: Speksnijder and Wagenaar. Apr. 2018, Vol. 8, No. 2.
17. Perubahan aspek perilaku
• Peran dokter hewan diyakini harus berubah dari peresepan
antimikroba yang reaktif dan kuratif menuju peran yang lebih
proaktif sebagai konsultan kesehatan hewan untuk peternak, tanpa
bergantung pada peresepan antimikroba.
• Peternak idealnya harus mulai dengan mengandalkan penggunaan
antimikroba sebagai alat manajemen menuju pendekatan yang lebih
proaktif yang mencegah penyakit hewan, dan menggunakan
antimikroba hanya sebagai upaya terakhir (last resort) (misalnya
ketika tindakan pencegahan telah gagal dilakukan).
Sumber: Speksnijder and Wagenaar. Apr. 2018, Vol. 8, No. 2.
18. Praktik perubahan perilaku
di peternakan
• Pada praktiknya, perubahan perilaku nampaknya agak sulit untuk
dicapai (Garforth, 2015; Speksnijder et al., 2015).
• Alasan mengapa perubahan perilaku seringkali sulit untuk dimulai dan
mempertahankannya dalam praktik di peternakan yang kompleks dan
biasanya berbeda dari orang ke orang.
• Menggunakan model sosio-psikologi dapat membantu kita untuk
lebih memahami faktor-faktor berbeda yang mempengaruhi perilaku
saat ini dan bagaimana meminta agar terjadi perubahan perilaku
peternak dan dokter hewan terkait dengan praktik penggunaan
antimikroba dan menerapkan tindakan-tindakan pencegahan.
Sumber: Speksnijder and Wagenaar. Apr. 2018, Vol. 8, No. 2.
19. Pengetahuan dasar peternak
broiler tentang AMR
• Hanya 45% (n = 419) dari peternak broiler mampu mendefinisikan
AMR.
• Definisi yang paling sering disebutkan adalah bahwa AMR adalah
‘resistensi obat.’
• Sejumlah peternak broiler menawarkan deskripsi yang lebih umum
bahwa AMR ‘menyebabkan pengobatan menjadi tidak efektif’.
• 56% dari peternak mengidentifikasi bahwa AMR merupakan tantangan
utama pengobatan manusia dan jumlah yang sama merasa bahwa
penggunaan antimikroba pada broiler dapat mempengaruhi kesehatan
konsumen.
Sumber: Coyne et al., 2019. Characterizing Antimicrobial Use in the Livestock
Sector in Three South East Asian Countries (Indonesia, Thailand and Vietnam).
20. Perilaku penggunaan antibiotik
pada ayam broiler di Indonesia
Advis dari peternak lain
Advis dari perusahaan
Advis dari dokter hewan/paramedis
Advis dari penjual obat
Produktivitas dan pertumbuhan
Ayam tidak dimakan
Meningkatkan tingkat kematian
Mencegah ayam menjadi sakit
Gejala penyakit
Kecil kemungkinannya Netral Lebih mungkin
Sumber: Coyne et al.,
2019. Characterizing
Antimicrobial Use in the
Livestock Sector in Three
South East Asian
Countries (Indonesia,
Thailand and Vietnam).
n =419
21. Pengaruh terhadap perilaku
penggunaan antimikroba
• Pengaruh di balik perilaku penggunaan antimikroba di sektor ayam broiler kecil-
menengah yang diidentifikasi adalah keberadaan aktif dari penyakit, peningkatan
tingkat mortalitas, dan aspirasi untuk mencegah penyakit adalah pendorong
utama penggunaan antimikroba di peternakan.
• Terlepas dari larangan penggunaan antimikroba untuk pemacu pertumbuhan, 27%
(n = 419) responden mengidentifikasi bahwa peningkatan produktivitas dan
pertumbuhan adalah motivasi terhadap penggunaan antimikroba.
• Mayoritas peternak (44%) menganggap bahwa advis dokter hewan atau paramedis
dapat mendorong penggunaan antimikroba dan 88% mengidentifikasi bahwa
dokter hewan memainkan peran penting dalam memantau penggunaan
antimikroba yang bijak.
• Pendapat yang dominan adalah bahwa pemerintah (85%) dan peternak (80%)
memainkan peran penting dalam memantau penggunaan antimikroba pada
broiler di Indonesia.
22. Justifikasi peluang ekonomi oleh
peternak broiler di Indonesia
# % Kutipan pernyataan
Peningkatan produksi 108 33% ‘Mempercepat pertumbuhan ayam.’
‘Sangat baik untuk berat badan ayam.’
‘Berat badan stabil dengan kecenderungan meningkat.’
Ayam lebih sehat 97 29% ‘Penurunan mortalitas.’
‘Tingkat mortalitas dapat dikurangi.’
Penurunan mortalitas 84 25% ‘Ayam akan sehat jika diobati dengan antibiotik yang
tepat.’
Pencegahan penyakit 66 20% ‘Mencegah penyakit.’
Pengobatan penyakit 37 11% ‘Jika ayam sakit, belum menemukan pengganti
antibiotik.’
Sumber: Coyne et al., 2019. Characterizing Antimicrobial Use in the Livestock Sector in Three South East Asian
Countries (Indonesia, Thailand and Vietnam).
23. Peluang ekonomi
penggunaan antimikroba
• 81% dari peternak menyatakan ada peluang ekonomi dalam
menggunakan antimikroba pada broiler dengan adanya peningkatan
produktivitas (33%) dan ayam lebih sehat (29%) yang paling sering
disebutkan.
• Di saat yang sama, mayoritas peternak (88%) merasa bahwa penyakit
mempunyai efek negatif terhadap margin keuntungan peternakan.
• 21% dari peternak tidak melakukan pencatatan data produksi.
• Ketika data produksi dikumpulkan, tingkat mortalitas (23%), berat
badan (22%), dan harga jual (12%) yang paling sering dicatat.
Sumber: Coyne et al., 2019. Characterizing Antimicrobial Use in the Livestock Sector in
Three South East Asian Countries (Indonesia, Thailand and Vietnam).
24. Pengetahuan penyakit
menular
Pengetahuan pemilik
ternak
Pengetahuan tentang
antimikroba
Perilaku dokter
hewan
Keputusan
menggunakan
antimikroba
Perilaku pemilik
ternak dan
keinginannya
Ketersediaan
antimikroba
Pilihan
antimikroba
Memperbaiki
pilihan
antimikroba
Hasil budaya
Sistim pelayanan
kesehatan hewan dan
karakteristik
organisasi
Interaksi sosial dalam
hubungan dokter
hewan dan klien
Keyakinan budaya
tentang antimikroba,
kesehatan hewan dan
penyakit
Kerangka
konseptual
penggunaan
antibiotik
Szymczak, J.E. and J. Newland (2018).
“The social determinants of antimicrobial
prescribing: Implications for antimicrobial
stewardship” in Barlam, T., Neuhauser, M.,
Tamma, P., & Trivedi, K. (Eds.). Practical
Implementation of an Antibiotic
Stewardship Program. Cambridge:
Cambridge University Press.
Dimodifikasi dari presentasi:
Julia E. Szymczak, PhD. (2019). The Social
Determinants of Antimicrobial Prescribing:
Towards a More “Human” Stewardship.
25. Perilaku sosial
1) Peresepan antibiotik sangat dibentuk oleh
faktor perilaku sosial yang bisa saja melampaui
pengetahuan dokter hewan.
2) Mengabaikan perilaku sosial akan
menyebabkan penerapan yang tidak lengkap
dan terbatasnya keberlanjutan intervensi
penatalayanan antimikroba (antimicrobial
stewardship).
3) Intervensi perilaku sosial untuk penatalayanan
yang efektif dalam mematuhi kebijakan dan
pemberlakuan ketentuan hukum (sanksi).
26. Komunikasi sosial dan
perubahan perilaku
• Komunikasi sosial dan perubahan perilaku perlu diperlihatkan dengan berbasis bukti dan
menggunakan sains, data dan ide-ide kreatif untuk fokus pada cara:
– Mengubah atau secara positif mempengaruhi norma-norma sosial dalam mendukung
perubahan perilaku jangka panjang dan berkelanjutan di tingkat populasi.
– Mendorong pergeseran perilaku jangka panjang dan normatif dalam mendukung
peningkatan perilaku sehat yang meningkatkan interaksi antara pemberi layanan
dengan klien (dokter hewan dengan klien).
– Memperkuat respons komunitas terhadap isu-isu AMR yang berkembang.
– Mempengaruhi pengambil keputusan dan masyarakat industri dan peternak serta
jaringan dari berbagai asosiasi yang ada.
– Meningkatkan penggunaan yang benar dari layanan kesehatan hewan dan
produknya.
– Mempengaruhi kebijakan (policy influence).
– Mendorong peningkatan kapasitas untuk perencanaan lokal (local planning) dan
pelaksanaan upaya peningkatan kesehatan hewan di lapangan.
27. Penutup
• Mengkaitkan aspek teknis dan sosial dalam area penelitian AMR masih
dianggap baru, yang memerlukan upaya interdisiplin dan pendekatan
One Health yang berkelanjutan dan intens.
• Penelitian isu-isu sosial sekitar penularan antara manusia, hewan, dan
lingkungan harus lebih ditekankan di masa depan.
• Penanganan AMR datang dari kesadaran bahwa masalahnya bersifat
global dan lintas sektor, yang mencakup bidang kedokteran, pertanian,
perikanan dan lingkungan yang lebih luas (wider ebvironment).
• Ada kebutuhan yang jelas bagi input penelitian AMR dari berbagai
disiplin ilmu, tidak hanya ilmu klinik, epidemiologi, mikrobiologi dan
farmakologi, tetapi juga ilmu ekonomi, sosial dan hukum.