2. PERJALANAN PPRA
di RSSA Malang
1. Dampak Resistensi Antimikroba 2050
(Pandemic After Pandemic)
2. Kebijakan WHO terkait AMR (AntiMicrobial Resistance)
3. Kebijakan Kemkes terkait KPRA
4. Progres resistensi di Indonesia
(Dampak Setelah Pandemi)
5. Profil RSSA
6. Perjalan AMR di RSSA
3. AntiMicrobial Resistance adalah kondisi yang terjadi saat bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah seiring waktu sehingga
tidak dapat lagi merespon obat-obatan yang dikonsumsi seseorang. AMR merupakan salah satu penyebab utama kematian global yang
menyumbang sekitar 1,27 juta kematian dan berhubungan dengan 4,95 juta kematian di tahun 2019. Kegagalan dalam mengatasi AMR
ini akan menimbulkan dampak besar terhadap perekonomian dunia hingga US$ 100 triliun pada tahun 2050. (Kemkes.go.id, 2024)
1. Dampak Resistensi Antimikroba 2050 (Pandemic After Pandemic)
Dampak yang diakibatkan oleh AMR selain kematian dan kecacatan, serangan penyakit yang berkepanjangan mengakibatkan
masa rawat inap menjadi lebih lama. Sehingga kebutuhan akan ketersediaan obat-obatan meningkat dan menjadi lebih mahal
kemudian menjadi beban keuangan bagi mereka yang terkena dampaknya. Tanpa AMR yang efektif, keberhasilan pengobatan
modern dalam mengobati infeksi.
Meskipun telah diberikan pengobatan antibiotik yang tepat, angka kematian akibat pneumonia yang didapat di rumah sakit masih
tinggi, dengan tingkat kematian lebih dari 50%. Kejadian dan kematian akibat infeksi Klebsiella pneumoniae sangat tinggi, terutama
pada bayi baru lahir, pasien leukemia, dan pasien dengan gangguan kekebalan tubuh lainnya. Penggunaan antibiotik yang meningkat
telah menyebabkan resistensi Klebsiella pneumoniae terhadap berbagai jenis obat sehingga menyulitkan pengobatan klinis (Ballén et
al., 2021; Li et al., 2023a).
4. 2. Kebijakan WHO terkait AMR (AntiMicrobial Resistance)
AntiMicrobial Resistance (AMR) telah menjadi perhatian global, sehingga pada Mei 2015 WHO meluncurkan program Global Action
Plan on Antimicrobal Resistance untuk menangani dan mengendalikan AMR di seluruh dunia. Rencana tersebut memiliki 5 (lima)
tujuan (Nation et al., 2017):
Menciptakan kasus bisnis untuk investasi berkelanjutan yang memperhitungkan kebutuhan semua negara dan
pengumpulan dana untuk pengobatan inovatif, peralatan diagnostik, vaksin, dan inisiasi lainnya.
Dengan melakukan interaksi, pendidikan dan pelatihan yang efisien, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang
resistensi antimikroba;
1
Memperkuat basis bukti dan pengetahuan melalui studi dan surveilans;
2
Menurunkan risiko penyakit dengan menerapkan sanitasi, kebersihan, dan praktik pengendalian infeksi yang efisien;
3
Memaksimalkan penggunaan obat antimikroba untuk kesejahteraan manusia dan hewan; dan
4
5
5. Intervensi Penting
perihal AMR
dari WHO
1. Advokasi, tata kelola, dan akuntabilitas AMR di sektor kesehatan manusia dengan bekerja sama dengan
sektor lain.
2. Peningkatan kesadaran, pendidikan, dan perubahan perilaku mengenai AMR pada petugas kesehatan dan
masyarakat.
Langkah mendasar: Informasi strategis melalui pengawasan dan penelitian
3. Jaringan surveilans AMR nasional untuk menghasilkan data berkualitas baik untuk perawatan pasien dan
tindakan terhadap AMR
4. Pengawasan konsumsi dan penggunaan antimikroba untuk memandu perawatan pasien dan tindakan
terhadap AMR.
5. Penelitian dan inovasi AMR termasuk ilmu perilaku dan implementasi.
Pilar 1: Pencegahan
6. Akses universal terhadap air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) serta pengelolaan limbah untuk mitigasi AMR.
7. Penerapan komponen pencegahan dan pengendalian infeksi (IPC) untuk mitigasi AMR.
8. Akses terhadap vaksin dan perluasan imunisasi untuk menangani AMR.
Pilar 2: Akses terhadap layanan kesehatan esensial
9. Layanan diagnosis dan manajemen kesehatan AMR yang terjangkau bagi semua orang.
10.Pasokan antimikroba esensial dan produk kesehatan yang terjamin kualitasnya dan tidak terputus untuk
AMR.
Pilar 3: Diagnosis tepat waktu dan akurat
11.Sistem laboratorium berkualitas baik dan tata laksana diagnostik untuk memastikan pengujian bakteriologi
dan mikologi klinis.
Pilar 4: Perawatan yang tepat dan terjamin mutunya
12.Pedoman dan program pengobatan berbasis bukti mutakhir untuk pengelolaan antimikroba.
13.Peraturan untuk membatasi penjualan antimikroba non-resep.
13
6. 3. Kebijakan Kemenkes Terkait KPRA
Dalam rangka mengawasi penerapan kebijakan PPRA, KPRA akan mengadakan survei pada kurang lebih 562 rumah sakit terpilih dari
kelas A, B, C dan D untuk melihat apakah 6 unsur utama PPRA telah diterapkan secara real dan pengaplikasian penuh, sebagian atau
bahkan baru akan dimulai beserta kendala-kendala yang menyertainya.
Data yang telah dihasilkan oleh survei diharapkan bisa menjadi informasi yang valid sesuai dengan kondisi yang ada pada masing-
masing rumah sakit. Sehingga KPRA dapat mengetahui faktor hambatan yang muncul dalam penerapan PPRA. Selain itu, Kemenkes
beserta pada stakeholder dapat menyusun kebijakan implementasi PPRA menjadi lebih baik lagi.
Kementrian Kesehatan telah membentuk Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) sebagai penerapan kebijakan dari Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). KPRA akan memberikan laporan evaluasi terhadap program PPRA pada masing-masing
fasilitas pelayanan kesehatan, yang keberhasilannya dapat ditinjau dari 6 unsur utama berikut ini :
1) Komitmen pimpinan
2) Akuntabilitas dan tanggung jawab penatagunaan antimikroba
3) Edukasi dan penelitian
4) Monitoring dan surveilans
5) Pelaporan
6) Umpan balik
7. Indonesia menjadi 5 (lima) negara yang diproyeksikan akan mengalami peningkatan penggunaan antimikroba pada 2030. Hal ini tak
lepas dari adanya praktik penyerahan antobiotik yang tidak sesuai, kemudian mengakibatkan penggunaan antibiotik yang overuse,
tidak tepat indikasi dan tidak tepat dosis. Dari pengawasan BPOM pada sarana pelayanan kefarmasian (Saryanfar) menemukan 79,57%
pada 2021 dan 75,49% pada 2022 melakukan penyerahan antimikroba khususnya antibiotik kepada pasien tanpa resep dokter.
Di Indonesia, BPOM menjadi salah satu anggota dalam Gugus Tugas Pengendalian Resistensi Antimikroba sehingga dapat melakukan
pengawasan peredaran dan penggunaan antimikroba khususnya pada manusia. Pengawalan melalui pemantauan dan evaluasi
registrasi obat antimikroba, penyusunan pedoman sebagai penguat kebijakan, surveilans dan pelaksanaan kajian, sampling dan
pengujian antimikroba serta pendataan laporan efek samping obat (ESO) yang berhubungan dengan penggunaan antimikroba.
4. Progres Resistensi di Indonesia (Dampak Setelah Pandemi)
8. 5. Profil Rumah Sakit Saiful Anwar Malang (RSSA)
RSSA awalnya didirikan sebagai rumah sakit militer milik KNIL
(Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger) yang sekarang
menjadi Rumah Sakit Pendidikan Utama Tipe A milik
Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Dengan Motto “Kepuasan
dan Keselamatan Pasien adalah Tujuan Kami”, RSSA selalu
mengutamakan keselamatan tenaga kesehatan dan
meberikan rasa aman bagi masyarakat yang datang
berkunjung untuk berobat baik dalam masa Pandemi Covid
19 maupun Pasca Pandemi. Sehingga RSSA mampu
mendapatkan indeks kepuasan masyarakat yang Baik dengan
nilai kepuasan 84.24 pada periode Juli – Desember 2023.
NILAI DASAR
espect Pelayanan kepada masyarakat diberikan dengan ikhlas
tanpa membedakan status sosial
afety Pelayanan harus menjamin keselamatan bagi pasien
dan keluarganya serta petugas dan masyarakat
inergy
ccountable
Sistem kerja lintas fungsi dan secara tim menjadi
pijakan utama dalam bekerja
Sebagai institusi publik, pelayanan yang diberikan
harus transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelanggan dan
pihak-pihak yang berkepentingan