1. 1
QS al-Fâtihah:
“Serangkaian Ayat al-Quran Yang Mencakup Berbagai Tuntutan”
Manusia itu adalah makhluk terbaik, yang diciptakan oleh Allah
dengan kesempurnaan ciptaan-Nya. Tetapi, kesempurnaan ciptaan-Nya itu
itu tiba-tiba bisa redup sebagai akibat dari keteledoran manusia itu sendiri,
karena ia lupa pada ‘Sang Pencipta’nya, dan justeru ingat pada selain diri-
Nya.
Allah mengingatkan kepada setiap manusia, bahwa dirinya berpotensi
untuk menjadi orang yang rugi, kecuali ketika dirinya mau beriman dan
beramal shalih dengan pijakan nasihat kebenaran dan kebenaran yang
berasal dari-Nya, sebagaimana firman-Nya yang terdapat di dalam QS al-
‘Ashr.
Mengingat kesempurnaan manusia itu hanya tercapai dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang terkandung di dalam QS
al-’Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan merugi, kecuali
siapa yang mampu menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan iman dan
kekuatan amaliahnya dengan amal shalih serta menyempurnakan kekuatan
selainnya dengan nasihat kepada kebenaran dan kesabaran (dalam)
menghadapinya. Dan yang paling penting di antara hal yang penting bagi
setiap manusia adalah: “iman dan amal, yang (keduanya) tidak bisa
berkembang kecuali dengan sabar dan nasihat.”
Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya, agar
dia mendapatkan tuntutan yang bernilai tinggi dan membebaskan dirinya
dari kerugian. Caranya ialah: “dengan memahami al-Qur'ân dan
mengeluarkan kandungannya.” Karena hanya inilah yang bisa mencukupi
kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat serta yang bisa menghantarkan
mereka ke jalan lurus.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan, bahwa berkat pertolongan
Allah, kami bisa menjabarkan makna QS al-Fâtihah, menjelaskan berbagai
macam isi yang terkandung di dalam surat ini, berupa berbagai macam
tuntutan, bantahan terhadap golongan-golongan yang sesat dan ahli bid'ah,
etape orang-orang yang berjalan kepada Allah, kedudukan orang-orang yang
berilmu, perbedaan antara sarana dan tujuan. Tidak ada sesuatu pun yang
bisa mewakili kedudukan QS al-Fâtihah ini. Karena itu Allah tidak
menurunkan di dalam Taurat, Injil maupun Zabur, yang menyerupai al-
Fâtihah.
QS al-Fâtihah mencakup berbagai macam induk tuntutan yang tinggi.
Ia mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang memiliki tiga nama,
yaitu: “Allâh, ar-Rabb dan ar-Rahmân”. Tiga asmâ’ (nama) ini merupakan
rujukan al-Asmâ' al-Husnâ dan sifat-sifat yang tinggi serta menjadi porosnya.
2. 2
QS al-Fâtihah menjelaskan (sifat) ilâhiyyah, rubûbiyyah dan rahmah.
Iyyâka na'budu merupakan bangunan di atas (sifat) ilâhiyyah; Iyyâka nasta'in di
atas rubûbiyyah, dan mengharapkan petunjuk kepada jalan yang lurus
merupakan sifat rahmah (rahmat). Al-Hamdu mencakup tiga hal: (1) yang
terpuji dalam ilâhiyyah-Nya, (2) yang terpuji dalam rubûbiyyah-Nya dan (3)
yang terpuji dalam rahmah-Nya.
QS al-Fâtihah juga mencakup penetapan hari pembalasan;
pembalasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam
hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang
semua ini terkandung dalam rangkain kata: “mâliki yaumiddîn.”
QS al-Fâtihah juga mencakup penetapan nubuwwah, yang bisa dilihat
dari beberapa segi:
1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-'âlamîn. Dengan kata lain, tidak layak
bagi Allah untuk membiarkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan sia-sia
dan telantar, tidak memerkenalkan apa yang bermanfaat bagi kehidupan
dunia dan akhirat mereka, serta apa yang mendatangkan mudharat di
dunia dan di akhirat.
2. Bisa disimpulkan dari nama-Nya, Allah, yang berarti disembah dan
dipertuhankan. Hamba tidak mempunyai cara untuk bisa mengenal
sesembahannya kecuali melalui para rasul.
3. Bisa disimpulkan dari nama-Nya, ar-Rahmân. Rahmat Allah mencegah-
Nya untuk menelantarkan hamba-Nya dan tidak memerkenalkan
kesempurnaan yang harus mereka cari. Dzat yang diberi nama ar-
Rahmân tentu memiliki tanggung jawab untuk mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab. Tanggung jawab ini lebih besar daripada
tanggung jawab untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan
mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat untuk menghidupkan hati
dan ruh, lebih besar daripada konsekuensi menghidupkan badan.
4. Bisa disimpulkan dari penyebutan yaumid-dîn, yaitu hari di mana Allah
akan memberikan pembalasan terhadap amal hamba. Dia memberikan
pahala kepada mereka atas kebaikan, dan menyiksa mereka atas
keburukan dan kedurhakaan. Tentu saja Allah tidak akan menyiksa
seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak
melalui para rasul dan kitab-kitab-Nya.
5. Bisa disimpulkan dari iyyâka na'budu. Beribadah kepada Allah tidak
boleh dilakukan kecuali dengan cara yang diridhai dan dicintai-Nya.
Beribadah kepada-Nya berarti bersyukur, mencintai dan takut kepada-
Nya, berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat. Cara beribadah
ini tidak bisa diketahui kecuali melalui para rasul dan berdasarkan
penjelasan mereka.
6. Bisa disimpulkan dari ihdinash-shirâthal-mustaqim. Hidâyah adalah
keterangan dan bukti, kemudian berupa taufik dan ilham. Bukti dan
keterangan tidak diakui kecuali yang datang dari para rasul. Jika ada
3. 3
bukti dan keterangan serta pengakuan, tentu akan ada hidâyah dan
taufik, iman tumbuh di dalam hati, dicintai dan berpengaruh di
dalamnya. Hidâyah dan taufîq berdiri sendiri, yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan bukti dan keterangan. Keduanya mencakup pengakuan
kebenaran yang belum kita ketahui, baik secara rinci maupun global.
Dari sini dapat diketahui keterpaksaan hamba untuk memanjatkan
permohonan ini jika dia dalam keadaan terdesak, serta menunjukkan
keba-tilan orang yang berkata, “Jika kita sudah mendapat petunjuk, lalu
untuk apa kita memohon hidâyah?” Kebenaran yang belum kita ketahui
jauh lebih banyak dari yang sudah diketahui. Apa yang tidak ingin kita
kerjakan karena menganggapnya remeh atau malas, sebenarnya serupa
dengan apa yang kita inginkan atau bahkan lebih banyak. Sementara
kita membutuhkan hidâyah yang sempurna. Siapa pun yang menganggap
hal-hal ini sudah sempurna di dalam dirinya, maka permohonan hidâyah
ini merupakan permohonan yang bersifat peneguhan dan
berkesinambungan. Memohon hidâyah mencakup permohonan untuk
mendapatkan segala kebaikan dan keselamatan dari kejahatan.
7. Dengan cara mengetahui apa yang diminta, yaitu jalan yang lurus.
Tetapi jalan itu tidak bisa disebut jalan kecuali jika mencakup lima hal:
Lurus, menghantarkan ke tujuan, dekat, cukup untuk dilalui dan
merupakan satu-satunya jalan yang menghantarkan ke tujuan. Satu
cirinya yang lurus, karena garis lurus merupakan jarak yang paling dekat
di antara dua titik, sehingga ada jaminan untuk menghantarkan ke
tujuan.
8. Bisa disimpulkan dari orang-orang yang diberi nikmat dan perbedaan
mereka dari golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat.
Ditilik dari pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, maka
manusia bisa dibagi menjadi tiga golongan ini (golongan yang diberi
nikmat, yang mendapat murka dan yang sesat). Hamba ada yang
mengetahui kebenaran dan ada yang tidak mengetahuinya. Yang
mengetahui kebenaran ada yang mengamalkan kewajibannya dan ada
yang menentangnya.
Inilah macam-macam orang mukallaf. Orang yang mengetahui
kebenaran dan mengamalkannya adalah orang yang mendapat rahmat,
dialah yang mensucikan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal
yang shalih, dan dialah yang beruntung. Orang yang mengetahui
kebenaran namun mengikuti hawa nafsunya, maka dia adalah orang
yang mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui
kebenaran adalah orang yang sesat. Orang yang mendapat murka adalah
orang yang tersesat dari hidâyah amal. Orang yang tersesat mendapat
murka karena kesesatannya dari ilmu yang harus diketahuinya dan amal
yang harus dikerjakannya. Masing-masing di antara keduanya sesat dan
mendapat murka.
4. 4
Tetapi orang yang tidak beramal berdasarkan kebenaran setelah dia
mengetahui kebenaran itu, jauh lebih layak mendapat murka. Karena itu
orang-orang Yahudi lebih layak mendapat murka. Sedangkan orang
yang tidak mengetahui kebenaran lebih tepat disebut orang yang sesat,
dan inilah sifat yang layak diberikan kepada orang-orang Nashara,
sebagaimana firman-Nya,
ْل
ُ
قْاَيْْ
َ
له
َ
أِْْابَتِكالْْ
َ
لْوا
ُ
لغ
َ
تْْ ِفْْم
ُ
كِنيِدَْْي
َ
غِْْ
ِقَاْلْْ
َ
لَوْواُعِب
َ
ّت
َ
تْ
َْاءَوه
َ
أْْمو
َ
قْْد
َ
قْوا
ُ
ل
َ
ضْنِمْْ
ُ
لب
َ
قْوا
ُ
ل
َ
ض
َ
أَوْاًيِث
َ
كْوا
ُ
ل
َ
ضَوْنَعِْْءاَوَسْ
ِْيلِب َالّس
“Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui
batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian, dan janganlah kalian
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus'. “ (QS al-Mâidah/5: 77)
Penggal pertama tertuju kepada orang-orang Yahudi dan penggal kedua
tertuju kepada orang-orang Nashara. Di dalam riwayat at-Tirmidzi dan
Shahîh Ibn Hibbân, dari hadits ‘Adiy ibn Hâtim, dia berkata,
ْ
َ
قْ
َ
الَْْرُْسْوْ
ُ
لِْْللاَْْم
َ
لَسَْو ِهي
َ
لَْع ُْالل
َ
َّل َص:ْْمِهي
َ
لَْع
ٌ
وب ُضغَْم
ُ
ودُهَاْل
ْ
َ
ون
ُ
ال
َ
ىْضَار َصَاّنلَو
“Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang-orang Yahudi
adalah orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang Nashara adalah
orang-orang yang sesat.” (Ibnu Qayyyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn,
juz I, hal. 12)
Nikmat dikaitkan secara jelas kepada Allah. Sedangkan pelaku
kemurkaan disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertimbangan:
1. Nikmat itu merupakan gambaran kebaikan dan karunia, sedangkan
kemurkaan berasal dari pintu pembalasan dan keadilan. Sementara
rahmat mengalahkan kemurkaan.
Tentang pengkhususan nikmat yang diberikan kepada orang-orang yang
mengikuti jalan lurus, maka itu adalah nikmat yang mutlak dan yang
5. 5
mendatangkan keberuntungan yang abadi. Sedangkan nikmat itu secara
tak terbatas diberikan kepada orang mukmin dan juga orang kafir.
Jadi setiap makhluk ada dalam nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian
perselisihan tentang pertanyaan, “apakah Allah memberikan kepada
orang kafir ataukah tidak?” Nikmat yang tak terbatas hanya bagi orang
yang beriman, dan ketidakterbatasan nikmat itu bagi orang Mukmin dan
juga bagi orang kafir. Inilah makna firman-Nya,
م
ُ
اك
َ
آتَوْن
ِ
ِمْْ
ِ
ِ
ُ
كْاَمُْْوهُمُْل
َ
أَسْْۚنِإَوْوا
ُ
دُع
َ
تَْْتَمعِنِْْ
َ
اّللْْ
َ
لْا
َ
وه ُص
ُ
ُتْْۗ
ْ
َ
نِإْْ
َ
ان َنّسِاْلٌْْوم
ُ
ل
َ
ظ
َ
لٌْْار
َ
ّف
َ
كْ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang
kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat
zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS Ibrâhîm/14: 34)
2. Allahlah satu-satunya yang memberikan nikmat, sebagaimana firman-
Nya,
اَمَوْم
ُ
كِبْن
ِ
ِمْْةَمع
ِ
ِنَْْنِم
َ
فِْْ
َ
اّللَْْْۖم
ُ
ثْا
َ
ذِإُْْم
ُ
ك َّسَمُْْ ُ
الُّضِْْه
َ
ْلِإ
َ
فْ
ْ
َ
ونُر
َ
أ
َ
َت
“Dan, apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allahlah (datangnya),,
dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu
meminta pertolongan.” (QS an-Nahl/16: 53)
Sedangkan kemurkaan kepada musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah
saja yang murka, tapi para malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga
murka kepada musuh-musuh Allah.
3. Ditiadakannya pelaku kemurkaan menunjukkan keremehan orang yang
mendapat murka dan kehinaan keadaannya. Hal ini berbeda dengan
disebutkannya pemberi nikmat, yang menunjukkan kemuliaan orang
yang mendapat nikmat.
Perhatikanlah secara seksama rahasia penyebutan sebab dan balasan
bagi tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian nikmat
kepadamereka mencakup nikmat hidâyah, berupa ilmu yang bermanfaat
dan amal yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di samping
6. 6
kesempurnaan nikmat pahala. Lafazh an'amta 'alaihim mencakup dua
perkara ini.
Penyebutan murka Allah terhadap orang-orang yang dimurkai, juga
mencakup dua perkara:
a. Pembalasan dengan disertai kemurkaan, yang berarti ada siksa dan
pelecehan.
b. Sebab yang membuat mereka mendapat murka-Nya.
Allah terlalu pengasih untuk murka tanpa ada kejahatan dan kesesatan
yang dilakukan manusia. Seakan-akan murka Allah itu memang layak
diberikan kepada mereka karena kesesatan mereka. Penyebutan orang-
orang yang sesat juga mengharuskan murka Allah dan siksa-Nya
terhadap mereka. Dengan kata lain, siapa yang sesat layak mendapat
siksa, sebagai konsekuensi dari kesesatannya.
Perhatikanlah kontradiksi antara hidâyah dan nikmat dengan murka dan
kesesatan. Allah menyebutkan orang-orang yang mendapat murka dan
yang sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang yang
mendapat petunjuk dan mendapat nikmat. Yang pertama seperti firman
Allah,
ْنَمَوْْ
َ
ضَرع
َ
أْنَعْيِركِذْْ
َ
نِإ
َ
فُْْ َ
لْْ
ً
ة
َ
يشِعَمْْ
ً
نك
َ
ضُْْهُ ُ
ُش
َ
َنَوَْْموَيْ
ِْةَامَيِقالْْى َمع
َ
أْ
“Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit”, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari
kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thâhâ/20: 124).
Yang kedua seperti firman Allah,
ْىـ
َ
ول
ُ
أْ
َ
كِئْْى َ ََعْى
ً
د
ُ
هْن
ِ
ِمِْْ
ِبَرْمِهْْْۖىـ
َ
ول
ُ
أَوْ
َ
كِئُْْم
ُ
هْْ
َ
ونُحِلّفُمال
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS al-Baqarah/2: 5).
Yogyakarta, 27 Desember 2015