1. 1
Al-Hikmah
Wacana tentang ‘al-hikmah’, hingga saat ni masih menjadi sesuatu
yang menarik. Karena, di samping memiliki keragaman makna, kata al-
hikmah mengandung pengertian yang dalam dan sarat makna.
Allah berfirman tentang al-hikmah ini,
“Allah menganugerahkan al-hikmah1
(kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan
as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-
orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS
al-Baqarah/2: 269)
“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah
segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka
tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat
membahayakanmu sedikitpun kepadamu. dan (juga karena) Allah telah
menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa
yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS an-
Nisâ’/4: 113)
Allah berfirman tentang Isa ‘Alaihis-Salâm,
“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya al-Kitab2
, hikmah, Taurat dan Injil.”
(QS Āli ‘Imrân/3: 48).
1
Ath-Thabari menafsirkan kata al-hikmah di dalam ayat ini dengan kalimat
اإلصابةفيالقولوالفعل (ketepatan dalam berbicara dan bertindak). Lihat: Ath-Thabari,
Jâmi’ul Bayân Fî Ta’wîlil Qurân, juz V, hal. 576.
2
Al-Kitab di sini, ada yang menafsirkan dengan “pelajaran menulis”, dan
ada pula yang menafsirkannya dengan “Kitab-kitab yang diturunkan Allah
2. 2
Hikmah di dalam al-Qur'an ada dua macam: Yang disebutkan
sendirian, dan yang disusuli dengan penyebutan al-Kitâb. Yang disebutkan
sendirian ditafsiri ‘nubuwwah’, tetapi ada pula yang menafsiri ilmu tentang al-
Qur'an.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengutip lima pendapat tentang al-
hikmah yang disebut tanpa menyertakan (kata) al-Kitâb.
1. ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallâhu ‘Anhuma: “hikmah adalah ilmu
tentang al-Qur'an, yang nâsikh dan mansûkh, yang pasti maknanya
dan yang tersamar, yang diturunkan lebih dahulu dan yang
diturunkan lebih akhir, yang halal dan yang haram dan lain
sebagainya.”
2. Adh-Dhahhak: “hikmah adalah al-Qur'an dan pemahaman atas
kandungannya.”
3. Mujahid: “hikmah adalah al-Qur'an, ilmu dan pemahaman. Dalam
riwayat lain darinya, dinyatakan bahwa hikmah adalah ketepatan
dalam perkataan dan perbuatan.”
4. An-Nakha'y: “hikmah alah makna segala sesuatu dan
pemahamannya.”
5. Al-Hasan: “hikmah adalah wara' 3
dalam agama Allah.”
Adapun hikmah yang disusuli dengan penyebutan al-Kitâb ialah: as-
sunnah. Begitulah yang dikatakan asy-Syafi'y dan imam-imam yang lain.
Ada pula yang berpendapat, artinya “ketetapan berdasarkan wahyu”.
Beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, menyatakan bahwa pendapat
yang paling tepat tentang makna al-hikmah ini adalah seperti yang dikatakan
oleh Mujahid dan Malik, yaitu:
sebelumnya selain Taurat dan Injil”.
3
Kata ‘wara’ sering dipandang sebagai sebuah kata yang amat sederhana,
namun jika sifat ini dimiliki, kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, seseorang akan
mendapatkan banyak kebaikan. Wara’ -- secara sederhana – berarti: “meninggalkan
perkara haram dan syubhat (perkara yang masih samar hukumnya, haram ataukah
halal)”, itulah makna yang banyak dipahami dan dinyatakan oleh para ulama. Para
ulama seringkali jua memaknai wara’ dalam pengertian: “meninggalkan perkara
syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, disamping meninggalkan perkara
yang masih samar hukumnya.”
3. 3
“Pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan
dan perbuatan. Yang demikian ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan memahami
al-Qur'an, mendalami syariat-syariat Islam serta hakikat iman.” (Madârijus
Sâlikîn, juz II, hal. 478)
Hikmah ada dua macam: Yang bersifat ilmu dan yang bersifat
amal.
Yang bersifat ilmu ialah mengetahui kandungan-kandungan segala
sesuatu, mengetahui kaitan sebab dan akibat, penciptaan dan perintah, takdir
dan syariat. Sedangkan yang bersifat amal ialah seperti yang dikatakan
pengarang Manazilus-Sa'irin, yaitu meletakkan sesuatu pada tempat yang
semestinya.
Menurut al-Harawi, dalam kitab Manâzilus-Sâ'irîn, ada tiga derajat
hikmah, yaitu:
1. Engkau memberikan kepada segala sesuatu sesuai dengan haknya,
tidak melanggar batasannya, tidak mendahulukan dari waktu yang
telah ditetapkan dan tidak pula menundanya. Karena segala sesuatu
itu memunyai tingkatan dan hak, maka engkau harus memenuhinya
sesuai dengan takaran dan ketentuannya. Karena segala sesuatu
memunyai batasan dan kesudahan, maka engkau harus sampai ke
batasan itu dan tidak boleh melampauinya. Karena segala sesuatu
memunyai waktu, maka engkau tidak boleh mendahulukan atau
menundanya. Yang disebut hikmah adalah memerhatikan tiga sisi
ini.
Ini hukum secara umum untuk seluruh sebab dan akibatnya, menurut
ketentuan Allah dan syariat-Nya. Menyia-nyiakan hal ini berarti
menyia-nyiakan hikmah, sama dengan menyia-nyiakan benih yang
ditanam dan tidak mau menyirami tanah. Melampaui hak seperti
menyirami benih melebihi kebutuhannya, sehingga benih itu
terendam air, yang justru akan membuatnya mati. Mendahului dari
waktu yang ditentukan seperti memanen buah sebelum masak. Begitu
pula meninggalkan makanan, minuman dan pakaian, merupakan
tindakan yang melanggar hikmah dan melampaui batasan yang
diperlukan. Jadi yang disebut hikmah ialah berbuat menurut
semestinya, dengan cara yang semestinya dan pada waktu yang
semestinya. Allah telah memusakakan hikmah kepada Adam dan
anak keturun-annya. Orang laki-laki yang sempurna ialah yang
memunyai hak waris secara sempurna dari ayahnya. Setengah laki-
laki, seperti wanita, memeroleh setengah warisan. Hanya Allahlah
yang mengetahui banyaknya perbedaan-perbedaan dalam masalah
ini. Makhluk yang paling sempurna dalam pusaka hikmah ini adalah
para rasul dan nabi. Yang paling sempurna di antara para rasul
adalah أولوالعزم (Ulul-‘Azmi). Yang paling sempurna di antara Ulul-
4. 4
‘Azmi adalah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. (Madârijus
Sâlikîn, juz II, hal. 479)
Karena itu Allah mengaruniakan hikmah kepada beliau dan
umatnya, sebagaimana firman-Nya,
“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu)
Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui.” (QS al-Baqarah/2: 151).
Setiap tatanan alam berkaitan dengan sifat ini, dan setiap celah di
alam ini dan pada diri hamba merupakan penyimpangan dari sifat ini.
Orang yang paling sempurna ialah yang paling banyak memiliki
hikmah, dan yang paling tidak sempurna ialah yang paling sedikit
menerima warisan hikmah. Hikmah memunyai tiga sendi: Ilmu,
ketenangan dan kewibawaan. Kebalikannya adalah kebodohan,
kegabahan dan terburu-buru. (Madârijus Sâlikîn, juz II, hal. 480)
2. Memersaksikan pandangan Allah tentang janji-Nya, mengetahui
keadilan Allah dalam hukum-Nya dan memerhatikan kemurahan hati
Allah dalam penahanan-Nya. Artinya, engkau bisa mengetahui
hikmah dalam janji dan ancaman Allah serta menyaksikan hukum-
Nya dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”4
(QS an-
Nisâ'/4: 40).
Dengan begitu engkau bisa menyaksikan keadilan Allah dalam
ancaman-Nya, kemurahan Allah dalam janji-Nya, dan semua
4
Maksudnya: “Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang
mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau Dia berbuat baik
pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah.”
5. 5
dilandaskan kepada hikmah-Nya. Engkau juga bisa mengetahui
keadilan Allah dalam hukum-hukum syariat-Nya dan hukum-hukum
alam yang berlaku pada semua makhluk, yang di dalamnya tidak ada
kezhaliman dan kesewenang-wenangan, termasukpula hukum-hukum
yang diberlakukan terhadap orang-orang yang zhalim sekalipun.
Allah adalah yang paling adil dari segala yang adil.
Allah juga murah hati, yang simpanan-Nya tidak akan berkurang
karena pemberian-Nya. Allah tidak memberikan karunia kepada
seseorang melainkan berdasarkan hikmah, karena Allah Maha Murah
hati dan Maha Bijaksana. Hikmah-Nya tidak bertentangan dengan
kemurahan-Nya. Allah tidak meletakkan kemurahan dan karunia-
Nya kecuali di tempat yang semestinya dan sesuai dengan waktunya,
sesuai dengan takdir yang ditentukan hikmah-Nya. Andaikan Allah
membentangkan rezeki untuk semua hamba-Nya, tentu mereka
semua akan binasa dan rusak. Sekiranya Allah mengetahui pada diri
orang-orang kafir terdapat kebaikan dan mau menerima nikmat iman
serta syukur ke-pada-Nya atas nikmat ini, cinta dan pengakuan
kepada-Nya, tentu Dia akan menunjukkan mereka kepada iman.
Karena itu mereka bertanya kepada orang-orang yang beriman,
“Dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang
kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-
orang yang Kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara
kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman):
"Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur
(kepadaNya)?" (QS al-An’âm/6: 53)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan, bahwa beliau pernah
mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Mereka itulah
orang-orang yang mengetahui kadar nikmat iman dan mereka
bersyukur kepada Allah atas nikmat ini."
Allah tidak memberi melainkan berdasarkan hikmah-Nya, tidak
menahan melainkan berdasarkan hikmah-Nya, dan tidak
menyesatkan melainkan berdasarkan hikmah-Nya pula. (Madârijus
Sâlikîn, juz II, hal. 481)
3. Dengan tuntutan bukti engkau bisa mencapai bashîrah5
, dengan
petunjukmu engkau bisa mencapai hakikat, dan dengan isyaratmu
5
Bashîrah sama artinya dengan akal, kecerdikan, saksi, argumentasi,
6. 6
engkau bisa mencapai sasaran. Artinya, dengan tuntutan dalil dan
bukti engkau bisa mencapai derajat ilmu yang paling tinggi, yang juga
disebut bashîrah, yang penisbatan ilmu dengan hati sama dengan
penisbatan obyek pandangan ke pandangan mata. Ini merupakan
kekhususan yang dimiliki para shahabat dan tidak dimiliki selain
mereka dari umat Islam, dan bashîrah ini merupakan derajat ulama
yang paling tinggi.
Allah berfirman,
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik." (QS
Yûsuf/12: 108)
Yaitu:, aku dan para pengikutku ada pada bashîrah. Tapi ada pula
yang berpendapat, bahwa aku menyeru kepada Allah berdasarkan
bashîrah, dan orang yang mengikutiku juga mengajak kepada Allah
berdasarkan bashîrah. Madârijus Sâlikîn, juz II, 482)
Pendapat mana pun yang lebih tepat dari kedua pendapat ini, yang
pasti para pengikut beliau (Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam)
adalah orang-orang yang memiliki bashîrah, yang menyeru kepada
Allah berdasarkan bashîrah. Dengan petunjukmu engkau bisa
mencapai hakikat, artinya jika engkau memberikan petunjuk kepada
orang lain, maka engkau bisa mencapai hakikat. Begitu pula
sebaliknya, yaitu jika ada orang lain yang memberimu petunjuk,
maka engkau bisa mencapai hakikat. (Ibid)
penjelasan, atau petunjuk. Menurut istilah tashawuf, arti bashîrah adalah hati yang
diterangi oleh sinar kepastian yang tersembunyi dan tidak tampak, yakni daya qalbu
yang memunyai kemampuan melihat hakikat sesuatu karena mendapat sinar dari nûr-
ilâhiy (cahaya ketuhanan). Daya yang demikian disebut pula dengan istilah al-quwwah
al-qudsiyyah (daya kesucian).