SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Download to read offline
Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185
Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta
Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan
pada Tindak Pidana Korupsi Suap
Elly Sudarti1
dan Sahuri Lasmadi2
Fakultas Hukum, Universitas Jambi, Indonesia
DOI: http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v16i1.27516
Article info
Article History:
Received : January 30td
2021
Accepted: March 15td
2021
Published: June 1st
2021
Keywords:
harmony, criminal system,
purpose of criminalization
Abstrak
Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum dapat mencapai
tujuan pemidanaan, baik dari sisi kerugian negara maupun dari sisi moralitas. Pe-
nelitian ini bertujuan: (1) Untuk menganalisis dan menemukan keselarasan sistem
pemidanaan tindak pidana korupsi suap dengan tujuan pemidanaan menurut hu-
kum pidana Indonesia dan hukum pidana Malaysia; (2) Untuk menemukan formu-
lasi ideal sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dalam rangka mewujudkan
tujuan pemidanaan. Metode penelitian menggunakan tipe yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan; konseptual; perbandingan dan pendekatan
kasus. Kesimpulan dari Penelitian ini: (1) Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi
suap di Indonesia belum selaras dengan tujuan pemidanaan, karena pengaturan
sistem perumusan sanksi pidana yang belum tepat dan belum berdaya guna. Di
Malaysia, sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi suap telah selaras dengan
tujuan pemidanaan. Sistem pemidanaan yang lebih menitikberatkan pada pidana
denda, Malaysia mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian yang menjadi perkara.
(2) Sistem pemidanaan yang selaras dengan tujuan pemidanaan apabila pidana yang
diberikan bisa menutupi kerugian yang ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi
keuangan maupun dari segi moralitas. Sistem pemidanaan ke depan harus dirumus-
kan dengan penguatan pada pidana denda yang ditentukan berdasarkan besarnya
nilai suap dikalikan minimal duakali atau maksimal limakali dalam pengaturan sistem
pemidanaan di Indonesia yang akan datang.
Abstract
The criminal system of bribery corruption in Indonesia has not been able to achieve
the objectives of punishment, both in terms of state losses and in terms of morality.
This study aims: (1) To analyze and find the alignment of the criminal system of brib-
ery corruption with the aim of punishment according to Indonesian criminal law and
Malaysian criminal law; (2) To find the ideal formulation of the criminal system for the
criminal act of corruption, bribery in the context of realizing the objectives of punish-
ment. The research method uses a normative juridical type with a statutory approach;
conceptual; comparison and case approach. The conclusions of this study: (1) The
criminal system of bribery corruption in Indonesia has not been in line with the objec-
tives of punishment, because the regulation of the formulation of criminal sanctions
is inaccurate and ineffective. In Malaysia, the criminal system of corruption in bribery
has been in line with the objectives of punishment. The criminal system that focuses
more on criminal fines, Malaysia gets a value more than the value of the loss in the
case. (2) A system of punishment that is in line with the purpose of the punishment if
the punishment given can cover the losses incurred by the criminal act of bribery both
from a financial perspective and from a moral perspective. The criminal system in the
future must be formulated by strengthening the criminal fines which are determined
based on the amount of the bribe value multiplied by a minimum of two times or a
maximum of five times in the future regulation of the criminal system in Indonesia.

Address	 : Jl. Jambi - Muara Bulian No.KM. 15, Mendalo Darat,
	 Kec. Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi
E-mail	 : elly_sudarti@unja.ac.id; slasmadi@gmail.com
ISSN 1907-8919 (Cetak)
ISSN 2337-5418 (Online)
Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185
174

1.	Pendahuluan
Sistem pemidanaan yang dituangkan
perumusannya dalam undang-undang, pada
hakekatnya merupakan suatu sistem kewe-
nangan menjatuhkan pidana (Arief, 2011).
Oleh sebab itu sistem pemidanaan meme-
gang posisi strategis dalam upaya untuk me-
nanggulangi tindak pidana yang terjadi, ter-
masuk menanggulangi tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi terkait dengan nasib
orang banyak karena adanya keuangan nega-
ra yang dirugikan (Damaik, 2016), dan juga
menimbulkan kerugian-kerugian pada pere-
konomian rakyat (Daud & dkk, 2019).
Dalam upaya untuk memperbaiki
dan menyempurnakan sistem pemidanaan
dalam tindak pidana korupsi, maka diber-
lakukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, yaitu dalam rangka
memenuhi tuntutan masyarakat untuk men-
cegah terjadinya setiap bentuk tindak pidana
korupsi di Indonesia. Sistem pemidanaan tin-
dak pidana korupsi dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 mengatur jenis pi-
dana, yaitu pidana pokok dan pidana tamba-
han, kemudian ukuran pidana yaitu lamanya
pidana penjara dan banyaknya pidana denda
yang diancamkan serta pelaksanaan pidana
yaitu mengenai pidana denda yang dapat
diganti dengan pidana kurungan dan pidana
tambahan pembayaran uang pengganti yang
dapat digantikan dengan pidana penjara.
Penerapan sistem pemidanaan ko-
rupsi di Indonesia belum menjadikan peru-
bahan penurunan korupsi secara signifikan.
Dilihat dari daftar ranking yang dikeluarkan
Transparansi Internasional tentang peringkat
negara terkorup di kawasan ASEAN dengan
skor CPI berada pada rentang 0-100. 0 be-
rarti negara dipersepsikan sangat korup, se-
mentara skor 100 dipersepsikan bersih dari
korupsi (transpancy, 2020). Skor Indonesia
(37) jauh di bawah Singapura (84), Brunai
Darussalam (62) dan Malaysia (47), sedikit di
bawah Timor Leste (38), dan skor Indonesia
sama dengan Thailand (37). Skor Indonesia
sedikit lebih baik dari Vietnam (36), Philippi-
nes (34), Myanmar (30), Laos (29), Cambodia
(21). Dari Indeks Skor tersebut memperlihat-
kan Malaysia masih berada di atas Indone-
sia dalam persepsi korupsi di negara-negara
ASEAN.
Malaysia merupakan negara yang ideal
untuk dijadikan pembanding atas Indonesia,
karena tingkat korupsi Malaysia yang lebih
kecil dibandingkan Indonesia sebagaimana
Indeks Skor Transparansi Internasional. Selain
itu, Indonesia dan Malaysia sama-sama me-
rupakan negara penganut Islam mayoritas,
dimana Islam melarang perbuatan korupsi
dalam firman Allah SWT dan Hadist Rasulul-
lah SAW.
Di negara Malaysia, ada keinginan
politik yang besar dari pemerintah Malaysia
untuk menjadikan negaranya terbebas dari
korupsi. Oleh sebab itu politik hukum un-
tuk membangun negara modern dan untuk
memberantas korupsi telah dilakukan sejak
lama yaitu mulai tahun 1961 yang bernama
Prevention of Corruption Act atau Akta Pen-
cegah Rasuah Nomor 57. Kemudian diterbit-
kan lagi Emergency (Essential Power Ordinan-
ce Nomor 22 Tahun 1970, lalu dibentuk BPR
(Badan Pencegah Rasuah) berdasarkan Anti
Corruption Agency Act Tahun 1982. Sekarang
berlaku Anti Corruption Act Tahun 1997, se-
lanjutnya disingkat ACA, yang menggabung-
kan ketiga undang-undang dan ordonansi
tersebut (Hamzah, 2008). Ketentuan penga-
turan tindak pidana korupsi di Malaysia saat
ini diberlakukan Akta Suruhanjaya Pencegah
Rasuah Malaysia 2009 (AKTA 694) (Hamzah,
2008) (Akta, 2015).
Sistem pemidanaan dalam Suruhan-
jaya Pencegah Rasuah Malaysia 2009 (Akta
694) mengatur tentang jenis pidana yaitu
pidana penjara dan pidana denda, ukuran
pidana dengan lama pidana penjara yang
lamanya dua puluh tahun dan pidana den-
da paling banyak lima kali nilai suap yang
diancamkan serta pelaksanaan pidana yaitu
bahwa pidana denda dapat diganti dengan
pidana penjara.
Sistem pemidanaan dalam arti luas
mencakup sistem penegakan hukum pidana.
Sistem penegakan hukum pidana merupa-
kan bagian dari kebijakan penanggulangan
tindak pidana. Menurut G. Peter Hoefnagels
Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ...
175

dinyatakan bahwa “Upaya penanggulangan
kejahatan pada hakekatnya merupakan ba-
gian integral dari upaya perlindungan masy-
arakat dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat (Hoefnagel, 2008). Penanggu-
langan melalui sanksi pidana seharusnya da-
pat memulihkan kerugian keuangan negara
dan masyarakat seharusnya dapat menerima
peruntukan keuangan negara tersebut da-
lam pencapaian tujuan nasional serta tujuan
pembangunan nasional (Azrae, 2018).
Hukum pidana pada dasarnya diru-
muskan untuk melindungi kepentingan hu-
kum yang ada di dalam masyarakat. Dalam
doktrin hukum pidana dapat dibedakan tiga
jenis kepentingan hukum, yaitu kepentingan
hukum individu, kepentingan hukum ma-
syarakat, dan kepentingan hukum Negara
(Hiariej, 2014). Dalam tindak pidana korup-
si yang dirugikan adalah negara. Oleh sebab
itu, sistem pemidanaan dalam tindak pidana
korupsi seharusnya dapat memberikan per-
lindungan terhadap kepentingan hukum ne-
gara.
Dari sisi filosofis sistem pemidanaan
tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dalam undang-undang yang berlaku saat ini
belum dapat memberikan perlindungan ter-
hadap kepentingan negara. Mengutip penda-
pat Adly dalam disertasinya bahwa: “Penga-
turan pidana denda dan uang pengganti dari
sisi pengaturan sebenarnya hukum Indonesia
lebih lengkap mengatur dibandingkan hukum
Malaysia, akan tetapi faktanya belum dapat
mengembalikan seluruh kerugian negara
yang diputuskan pengadilan (Adly, 2014).
Menurut Adly eksekusi pengembalian keru-
gian keuangan negara menurut laporan BPKP
masih rendah hanya mencapai 31,38%, se-
mentara itu tunggakan kerugian keuangan
negara yang belum dapat dikembalikan sejak
tahun 2005 sampai dengan 2009 telah men-
capai sebesar Rp 13, 15 trilyun (Adly, 2014).
Senada dengan hal tersebut Elly dan Sahuri
menyatakan, there are several weaknesses in
the criminal punishment system. Where, the
system of corruption cannot reach the goal of
punishment (Sudarti & L, 2019). Fakta terse-
but menunjukkan sistem pemidanaan tindak
pidana korupsi belum dapat mewujudkan
tujuan pemidanaan dalam tindak pidana ko-
rupsi dalam mengembalian kerugikan keu-
angan negara.
Harmonisasi sistem pemidanaan den-
gan tujuan pemidanaan dalam tindak pidana
korupsi suap menurut hukum pidana ko-
rupsi di Indonesia dan Malaysia dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi dari kedua negara yang diperban-
dingkan, yakni Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Akta Suruhanjaya Pen-
cegahan Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694).
Pengaturan tindak pidana korupsi di Indone-
sia dan Malaysia terdapat persamaan, salah
satu bentuk tindak pidana korupsi yaitu sa-
ma-sama mengatur tindak pidana suap. Tin-
dak pidana korupsi yang akan diperbanding-
kan adalah tindak pidana korupsi suap yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia dan juga diatur
dalam Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah
Malaysia 2009 (Akta 694) di Malaysia.
Sistem pemidanaan tindak pidana ko-
rupsi suap dikaitkan dengan tujuan pemi-
danaan dalam konteks perbandingan antara
hukum pidana korupsi di Indonesia dan Ma-
laysia. Persoalannya pertama, apakah sistem
pemidanaan tindak pidana korupsi suap saat
ini sinkron dengan tujuan pemidanaan dan
apakah filosofi yang mendasarinya menurut
hukum pidana korupsi di Indonesia dan di
Malaysia? Kedua, bagaimana formulasi ideal
sistem pemidanaan tindak pidana korupsi
suap dalam pembaharuan hukum pidana ko-
rupsi di Indonesia yang akan datang?
2.	Metode
Kajian tentang Harmonisasi Sistem
Pemidanaan Dan Tujuan Pemidanaan Pada
Tindak Pidana Korupsi Suap, dalam artikel
ini dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif. Pendekatan pe-
nelaahan yang digunakan adalah perundang-
undangan dan konseptual Bahan hukum
yang digunakan meliputi bahan hukum pri-
mer, berupa peraturan perundang-undangan,
Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185
176

dan peraturan hukum lainnya terkait dengan
pendekatan restorative justice; bahan hukum
sekunder berupa referensi tentang penyele-
saian tindak pidana korupsi yang merugikan
keuangan negara melalui pendekatan resto-
rative justice; dan bahan hukum tersier. Ana-
lisis dilakukan melalui tahapan mensistemasi
norma hukum, menginterpretasi norma hu-
kum yang kurang jelas selanjutnya dilakukan
penafsiran hukum. Analisis dilakukan mela-
lui tahapan interpretasi bahan hukum, peni-
laian bahan hukum, serta evaluasi peraturan
perundang-undangan yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas.
3.	Hasil dan Pembahasan
Harmonisasi Sistem Pemidanaan Dan
Tujuan Pemidanaan Tindak Pidana Ko-
rupsi Menurut Hukum Pidana Korupsi di
Indonesia dan Malaysia
Korupsi dalam bahasa latin disebut Cor-
ruptio corruptus, dalam bahasa Belanda dise-
but corruptive, dalam bahasa Inggris disebut
Corruption, menunjukkan kepada perbuatan
yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang di-
sangkutpautkan dengan keuangan (Hidayat,
2017). Korupsi sebagai kejahatan luar biasa
memiliki aspek sistemik, terorganisir, menye-
babkan kerugian bagi negara dan masyarakat
(Niasa, 2015).
Sistem pemidanaan dalam arti luas
merupakan sistem penegakan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan penang-
gulangan kejahatan. Tujuan akhir dari poli-
tik kriminal adalah perlindungan masyarakat
untuk mencapai tujuan utama yaitu kesejah-
teraan masyarakat. Dengan demikian sistem
pemidanaan yang merupakan bagian dari
politik kriminal, pada hakekatnya juga me-
rupakan bagian integral dari kebijakan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat (Politik
Sosial) (Muladi & Arief, 2005).
Tindak pidana korupsi suap yang men-
jadi salah satu tindak pidana yang diatur di
Indonesia, tidak terlepas dari pengertian
suap itu sendiri. Suap dikenal dengan istilah
bribery yang artinya pengemis atau gelandan-
gan. Dalam perkembangannya di Indonesia,
tindakan suap merupakan bagian dari korup-
si, pihak yang menerima suap dalam banyak
kasus adalah pejabat dengan harapan agar
si penyuap dimudahkan dalam tugas yang
menjadi kewenangan pejabat, sehingga me-
nimbulkan terjadinya perilaku yang tercela
dan tidak terkecuali menimbulkan budaya
yang buruk dalam penegakan hukum di In-
donesia (Hartono, 2019).
Tindak pidana korupsi suap di Indo-
nesia terbagi menjadi: (a) Suap Aktif Terha-
dap Pejabat Publik yang diatur dalam Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 13; (b) Suap Pasif Oleh
Pejabat Publik yang diatur dalam Pasal 5 ayat
(2), Pasal 12 huruf a dan b, dan Pasal 11; (c)
Suap Aktif Terhadap Hakim yang diatur da-
lam Pasal 6 ayat (1) huruf a; (d) Suap Pasif
Oleh Hakim yang diatur dalam Pasal 6 ayat
(2) dan Pasal 12 huruf c; (e) Suap Aktif Terha-
dap Advokat yang diatur dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf b, serta; (f) Suap Pasif Oleh Advo-
kat yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan
Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Di Malaysia, tindak pidana korupsi
berasal dari kata al-Rusyah, risywah, atau al-
rasywah yang berarti bagian atau upah (Mar-
sha, 2019). Rasuah juga didefinisikan sebagai
sesuatu yang diberikan kepada seseorang un-
tuk menyalahkan yang benar dan memben-
arkan yang salah. Tindak pidana korupsi suap
merupakan penyalahgunaan kepercayaan
untuk kepentingan pribadi (Daud, 2019).
Tindak pidana korupsi suap di Malay-
sia terbagi menjadi: (a) Suap Pasif Pegawai
Badan Awam yang diatur dalam Pasal 16(a)
(B) dan Pasal 21; (b) Suap Pasif Sektor Pri-
vat yang diatur dalam Pasal 16(a)(A); (c) Suap
Pasif Ejen yang diatur dalam Pasal 17(a); (d)
Suap Pasif Pegawai Awam Asing yang diatur
dalam Pasal 22; (e) Suap Pasif Penarikkan Ba-
lik Tender yang diatur dalam Pasal 20 (b); (f)
Suap Aktif Pegawai Badan Awam yang diatur
dalam Pasal 16(b)(B) dan Pasal 21; (g) Suap
Aktif Sektor Privat yang diatur dalam Pasal
16(b)(A); (h) Suap Aktif Ejen yang diatur da-
lam Pasal 17(b); (i) Suap Aktif Pegawai Awam
Asing yang diatur dalam Pasal 22; (j) Suap
Aktif Penarikkan Balik Tender yang diatur da-
lam Pasal 20 (a), serta; (k) Memperdagang-
Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ...
177

kan Pengaruh yang diatur dalam Pasal 23
Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma-
laysia 2009 (Akta 694).
Pasal tersebut menerangkan secara rin-
ci mengenai perbuatan yang dapat diancam
dengan pidana karena korupsi suap. Penga-
turan tindak pidana korupsi suap di Malaysia
lebih rinci dan lebih luas cakupannya karena
Malaysia telah merevisi undang-undang pi-
dana korupsinya berdasarkan UNCAC den-
gan diundangkannya Akta Suruhanjaya Pen-
cegahan Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694)
pada tahun 2009, sehingga undang-undang
pidana korupsi Malaysia telah terakomodir
penyuapan di sektor privat, penyuapan oleh
pejabat asing dan memperdagangkan penga-
ruh.
Dalam kaitannya dengan teori pemida-
naan, pengaturan tindak pidana korupsi suap
di Malaysia dapat dikatakan telah mencer-
minkan pencapaian tujuan pemidanaan. Hal
ini dikarenakan pada Akta Suruhanjaya Pen-
cegahan Rasuah Malaysia (Akta SPRM 2009),
Malaysia telah lebih rinci mengatur tindak
pidana korupsi suap sesuai dengan The Uni-
ted Nations Convention Against Corruption
(UNCAC).
Peraturan perundang-undangan An-
tikorupsi di Indonesia tidak secara spesifik
menempatkan sektor swasta sebagai subjek
hukum yang dapat dipidana. Peraturan yang
ada hanya mengatur pengertian setiap orang,
yaitu orang perorangan atau korporasi; dan
sektor swasta termasuk salah satu dari pen-
gertian korporasi. Korupsi suap selalu meli-
batkan pelaku sektor swasta sebagai pemberi
suap dan pejabat publik penyelenggara ne-
gara sebagai penerima suap (Atmasasmita,
2016). Kiranya penyusunan Rancangan Un-
dang-Undang Tipikor yang akan datang seha-
rusnya dapat menjangkau aktivitas korporasi
nasional dan asing yang bersifat koruptif dan
penyuapan, juga penyuapan di sektor swasta,
penyuapan pejabat publik asing dan mem-
perdagangkan pengaruh. Langkahnya den-
gan menentukan secara benar dan hati-hati
baik tentang jenis pidananya, berat ringannya
pidana serta bagaimana pidana tersebut akan
dilaksanakan sehingga dapat memenuhi asas
lex certa demi tercapainya kepastian hukum
dan keadilan dalam penegakannya kelak.
Sistem Pemidanaan Pada Tindak Pidana Ko-
rupsi Suap Menurut Hukum Pidana Korupsi di
Indonesia dan Malaysia
Pidana merupakan masalah pokok da-
lam hukum pidana, bahkan sejarah hukum
pidana pada hakekatnya merupakan sejarah
pidana dan pemidanaan (Widnyana, 2010).
Sistem pemidanaan memuat pengaturan
tentang jenis pidananya, berat ringannya pi-
dana serta bagaimana pidana tersebut akan
dilaksanakan (Atmasasmita, 1995). Dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko-
rupsi terdapat beberapa jenis pidana yang
dapat dijatuhkan hakim terhadap orang yang
melakukan tindak pidana korupsi suap, yai-
tu: (1) Pidana mati; (2) Pidana Penjara (Pida-
na penjara seumur hidup dan pidana penja-
ra dalam waktu tertentu); (3) Pidana denda;
dan (4) Pidana tambahan. Sementara dalam
Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma-
laysia 2009 (Akta 694), jenis pidana yang
dapat dijatuhkan hakim terhadap orang yang
melakukan tindak pidana korupsi suap, yai-
tu: (1) Pidana penjara dalam waktu tertentu,
dan; (2) Pidana denda.
1. Pidana Penjara Seumur Hidup
Pidana penjara seumur hidup dapat
menjadi salah satu jenis penjatuhan pidana
yang dapat dijatuhkan hakim terhadap terda-
kwa tindak pidana korupsi suap di Indonesia
apabila melanggar Pasal 12 huruf a, b, c, dan
d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko-
rupsi. Sementara di Malaysia tidak mengatur
pidana penjara seumur hidup sebagai salah
satu jenis pidananya.
2)	 Pidana Penjara Dalam Waktu Tertentu
Pidana penjara dalam waktu tertentu
di Indonesia memiliki batas minimum khu-
sus dan batas maksimum khusus di setiap an-
caman pidananya. Pidana penjara minimal
1 (satu) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun
diancamkan pada Pasal 5 ayat (1) dan (2),
Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185
178

dan Pasal 11. Pidana penjara minimal 3 (tiga)
tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun
diancamkan pada Pasal 6 ayat (1) dan (2).
Serta pidana penjara minimal empat tahun
dan maksimal dua puluh tahun diancamkan
pada Pasal 12 huruf a, b, c, dan d. Namun,
terdapat satu pasal yang tidak mengatur batas
minimum khusus yakni Pasal 13 yang hanya
mengatur batas maksimum khusus pidana
penjara paling lama tiga tahun. Sementara
di Malaysia, pidana penjara hanya menggu-
nakan batas maksimum khusus serta tidak
mengatur mengenai batas minimum khusus
pidana penjara. Batas maksimum khusus pi-
dana penjara paling lama adalah dua puluh
tahun, karena tidak mengatur mengenai ba-
tas minimum khusus, maka digunakan batas
minimum umum yakni pidana penjara paling
singkat satu hari sebagaimana diatur dalam
KUHP Malaysia.
3)	 Pidana Denda
Pidana denda tindak pidana korupsi
suap di Indonesia memiliki batas minimum
khusus dan batas maksimum khusus di setiap
ancaman pidana dendanya. Pidana denda
minimal lima puluh juta rupiah dan maksimal
dua ratus lima puluh juta rupiah diancamkan
pada Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 11.
Pidana denda minimal seratus lima puluh
juta dan maksimal tujuh ratus lima puluh juta
rupiah diancamkan pada Pasal 6 ayat (1) dan
(2). Serta Pidana denda minimal dua ratus
juta rupiah dan maksimal satu milyar rupiah
diancamkan pada Pasal 12 huruf a, b, c, dan
d. Namun, ada pasal yang tidak memiliki ba-
tas minimum khusus denda yakni Pasal 13,
yang mana ancaman pidananya hanya meng-
gunakan batas maksimum khusus saja. Pida-
na denda dalam tindak pidana korupsi suap
dialternatifkan dengan pidana kurungan. Hal
ini diatur dalam KUHP secara umum diten-
tukan dalam Pasal 30 KUHP (Soesilo, 1983).
Dengan lamanya pidana kurungan pengganti
itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-
lamanya enam bulan.
Rumusan ancaman pidana denda mi-
nimum khusus yang ringan dalam undang-
undang korupsi dipandang telah melukai
rasa keadilan dalam masyarakat dan negara.
Hal ini dikarenakan tidak adil apabila para
koruptor telah menikmati keuntungan dari
tindak pidana suap baik itu berupa pengu-
rangan pajak, fasilitas, maupun kesempatan
yang besarannya mencapai jumlah miliar
bahkan triliunan rupiah tersebut diancam
dengan sanksi pidana minimum yang ringan.
Sementara di sisi lain negara mengalami ke-
rugian material dan non material yang besar
dan hal ini berdampak pula bagi masyarakat
karena dalam hal ini pemerintah mengala-
mi kesulitan untuk merealisasikan program
pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat (Sudirman, 2015).
Dalam Akta Suruhanjaya Pencegahan
Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694), pidana
denda hanya menggunakan batas maksimum
khusus serta tidak mengatur mengenai batas
minimum khusus pidana denda. Batas maksi-
mum khusus pidana denda yaitu didenda ti-
dak kurang lima kali besarnya nilai suap atau
jika dapat dinilai berbentuk uang atau sepu-
luh ribu ringgit, mengikuti yang lebih tinggi.
Di Malaysia memiliki pengaturan bahwa se-
seorang tidak dapat membayar denda yang
telah ditetapkan maka ia akan menjalani
hukuman penjara sebagai pengganti pidana
denda. Hal ini diatur dalam Pasal 283(i)(b)(4)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Malaysia (Shariff & Asidah, 2013).
Sanksi pidana denda tindak pidana ko-
rupsi suap seharusnya dirumuskan dengan
tujuan pemulihan kerugian negara dan masy-
arakat serta terdapat pula unsur penderitaan
di dalamnya. Malaysia telah mengakomodasi
keduanya dalam perumusan sanksi pidana
pada tindak pidana korupsi dengan pidana
denda sebesar lima kali besarnya nilai suap.
Selain mengutamakan pengembalian kerugi-
an negara sebagai tujuan utamanya, jumlah
denda yang lebih banyak daripada jumlah
suap merupakan beban penderitaan yang di-
berikan kepada pelaku.
3)	 Pidana Tambahan
Malaysia tidak mengatur pidana tam-
bahan sebagai salah satu jenis pidananya.
Sementara di Indonesia, pidana tambahan
terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Un-
dang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Un-
dang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pem-
Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ...
179

berantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “(a)
Perampasan barang bergerak yang berwujud
atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang di-
peroleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak
pidana korupsi dilakukan; (b) Pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pida-
na korupsi; (c) Penutupan seluruh atau se-
bagian perusahaan untuk waktu paling lama
1 (satu) tahun; (d) Pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
yang telah atau dapat diberikan oleh Peme-
rintah kepada terpidana” (Undang-Undang,
1999).
Pidana pembayaran uang pengganti,
walaupun ada persamaan sifat dengan pida-
na denda yakni sama dalam hal nilai uang
atau rupiah yang dibebankan atas harta ke-
kayaan terpidana, namun substansinya ber-
beda. Perbedaan itu mengenai jumlah uang
dalam pidana denda, tidaklah perlu dihu-
bungkan dengan akibat atau kerugian yang
diderita maksudnya adalah kerugian negara.
Akan tetapi pada pidana pembayaran uang
pengganti wajib dihubungkan dengan adanya
akibat atau kerugian yang timbul oleh adanya
korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Tuju-
an pidana pembayaran uang pengganti ada-
lah untuk memulihkan kerugian akibat tindak
pidana korupsi, tetapi pidana denda semata-
mata ditunjukkan bagi pemasukan uang un-
tuk kas Negara (Karoba, 2019).
Undang-Undang Tentang Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
menggunakan dua jenis sistem perumusan
sanksi pidana, yaitu Sistem Perumusan Ku-
mulatif dan Sistem Perumusan Kumulatif-
Alternatif.” Pasal yang menggunakan sistem
perumusan kumulatif ialah Pasal 6 ayat (1)
dan (2), serta Pasal 12. Hal ini mengharuskan
hakim menjatuhkan pidana dan tidak dapat
memilih penerapan pidana yang dianggap
paling cocok dengan perbuatan yang dila-
kukan terdakwa, karena hakim dihadapkan
pada jenis pidana yang sudah pasti sedangkan
pasal yang menggunakan sistem perumusan
kumulatif-alternatif ialah Pasal 5 ayat (1) dan
(2), Pasal 11 serta Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan sistem
perumusan yang bersifat fleksibel dan ako-
modatif ini hakim dapat memilih penerapan
pidana yang dianggap paling cocok dengan
perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Sistem perumusan sanksi pidana dalam
Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma-
laysia 2009 (Akta 694) ialah menggunakan
Sistem Perumusan Kumulatif, yakni Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23
Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma-
laysia 2009 (Akta 694). Hal ini mengharuskan
hakim menjatuhkan pidana dan tidak dapat
memilih penerapan pidana yang dianggap
paling cocok dengan perbuatan yang dila-
kukan terdakwa, karena hakim dihadapkan
pada jenis pidana yang sudah pasti.
Dalam menetapkan lamanya ancaman
pidana, Indonesia menggunakan pendeka-
tan absolut dengan menetapkan kualitasnya
sendiri-sendiri untuk setiap tindak pidana,
yaitu dengan menetapkan ancaman pidana
maksimum serta ancaman pidana minimum
pada setiap tindak pidana, sehingga hakim
hanya dapat menjatuhkan putusan terhadap
terpidana sesuai batas minimum hingga batas
maksimum yang telah ditentukan. Di satu sisi
ancaman pidana minimum khusus dianggap
mengekang kebebasan hakim, namun di sisi
yang lain ancaman pidana minimum khusus
ini akan mencegah disparitas dalam penja-
tuhan pidana (Waluyo, 2019). Sementara
Malaysia menggunakan pendekatan relatif.
Sistem atau pendekatan relatif dengan tidak
menetapkan kualitas untuk tiap tindak pida-
na secara sendiri-sendiri, tetapi dengan me-
lakukan penggolongan tindak pidana dalam
beberapa tingkatan dan sekaligus menetap-
kan maksimum pidana untuk tiap kelompok
tindak pidana itu, sehingga hakim lebih le-
luasa dalam menjatuhkan putusan terhadap
terpidana.
Dilihat dari perumusan sistem pemida-
naan tindak pidana korupsi suap jika dikait-
kan dengan kepastian hukum seperti halnya
Gustav Radbruch mengemukakan empat hal
mendasar yang berhubungan dengan makna
Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185
180

kepastian hukum, yaitu : Pertama, bahwa
hukum itu positif, artinya bahwa hukum po-
sitif itu adalah perundang-undangan. Kedua,
bahwa hukum itu didasarkan pada fakta,
artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga,
bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga menghindari kekeliruan
dalam pemaknaan. Keempat, hukum posi-
tif tidak boleh mudah diubah” (Ali, 2009).
Rumusan sistem pemidanaan tindak pidana
korupsi suap di Indonesia dan Malaysia telah
memenuhi sisi kepastian hukum, khususnya
kepastian hukum dalam hukum. Kepastian
dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap
norma hukum itu harus dapat dirumuskan
dengan kalimat yang tidak mengandung
penafsiran yang berbeda-beda (Kalo, 2020).
Hal ini sebagaimana perumusan sistem pe-
midanaan tindak pidana korupsi yang di da-
lam setiap pasal terdapat norma yang diatur
serta pidana yang diancamkan secara tegas.
Dilihat dari sisi kemanfaatan hukum,
perumusan pidana denda tindak pidana
korupsi suap di Malaysia telah memberikan
manfaat bagi negara. Berkenaan dengan ke-
manfaatan hukum, Gustav Radbruch men-
gaitkannya dengan tujuan keadilan, yaitu se-
suatu yang menimbulkan manfaat. Manfaat
tersebut tidak saja dilihat dari satu pihak yang
terlibat dalam perkara pidana, tetapi juga
meliputi seluruhnya, pelaku, korban (nega-
ra), masyarakat (Huijbers, 2006). Dalam hal
ini, perumusan pidana denda tindak pidana
korupsi suap di Malaysia lebih mengutama-
kan pengembalian kerugian negara sebagai
tujuan utamanya, bahkan dapat dilihat seba-
gai upaya untuk mendapatkan nilai lebih dari
nilai kerugian yang menjadi perkara dengan
pengaturan pidana denda yakni tidak kurang
dari lima kali nilai suap. Sementara perumus-
an pidana denda tindak pidana korupsi suap
di Indonesia belum dapat memberikan nilai
lebih dari pengembalian kerugian negara se-
bagai manfaat bagi negara sebagai korban
tindak pidana korupsi suap ini. Jangankan
mendapatkan manfaat, bahkan pemulihan
kerugian negara tidak tercapai. Akibatnya
kerugian negara menjadi bertambah, karena
harus mengeluarkan biaya untuk terpidana
saat menjalani pidana penjara maupun pida-
na kurungannya.
Nilai keadilan menurut pandangan
Aristoteles tentang keadilan korektif yaitu jika
suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan
dilakukan maka keadilan korektif berusaha
memberikan kompensasi yang memadai bagi
pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan te-
lah dilakukan maka hukuman yang sepantas-
nya perlu diberikan kepada si pelaku (Nasu-
tion, 2016). Dalam hal kaitannya dengan
perumusan pidana denda tindak pidana ko-
rupsi suap di Indonesia, dapat dilihat bahwa
Indonesia menetapkan ketentuan besarnya
pidana denda berdasarkan jenis suap yang
diatur, bukan didasarkan kepada besarnya ni-
lai suap yang dilakukan. Sehingga saat jumlah
atau besarnya nilai suap yang dilakukan lebih
besar daripada ancaman pidana yang diatur,
pemulihan kerugian negara sama sekali tidak
tercapai dan hal ini merugikan negara. Di
lain pihak, Malaysia telah menetapkan ke-
tentuan besarnya pidana denda berdasarkan
kepada besarnya nilai suap yang dilakukan.
Maka, berdasarkan teori keadilan, perumus-
an pidana denda pada tindak pidana korupsi
di Malaysia lebih mendekati keadilan diban-
dingkan dengan Indonesia.
Tujuan Pemidanaan Pada Tindak Pidana
Korupsi Suap Menurut Hukum Pidana Ko-
rupsi di Indonesia dan Malaysia
Sistem pemidanaan dalam tindak pi-
dana korupsi suap tidak dapat dilepaskan
dari kajian terhadap tujuan pemidanaan
yang akan mengantarkan pada pemahaman
tentang seberapa jauh sistem pemidanaan
relevan dan patut untuk diterapkan dalam
sistem hukum pidana. Pidana pada hakikat-
nya hanya merupakan alat untuk mencapai
tujuan (Sholehuddin, 2015). Salah satu tuju-
an pemberantasan korupsi antara lain untuk
menegakkan wibawa hukum (Busroh, 2017).
serta melindungi dan mensejahterakan masy-
arakat. Bertolak dari pemikiran tersebut, bah-
wa pidana merupakan alat untuk mencapai
tujuan, maka menjadi sangat penting untuk
membahas dan merumuskan tujuan pemida-
naan dalam hukum pidana nasional (Asma-
rawati, 2014).
Hukum pidana yang berlaku di Indo-
nesia saat ini belum pernah merumuskan
tujuan pemidanaan. Namun, telah ada diru-
Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ...
181

muskan tujuan pemidanaan dalam konsep
Rancangan KUHP
. Tujuan Pemidanaan yang
tercantum dalam konsep rancangan KUHP
meliputi: (a) Mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum
demi perlindungan masyarakat; (b) Mema-
syarakatkan terpidana dengan melakukan
pembinaan dan pembimbingan; (c) Meny-
elesaikan konflik yang ditimbulkan tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, serta
mendatangkan rasa aman dan damai dalam
masyarakat, dan; (d) Menumbuhkan rasa
penyesalan dan membebaskan rasa bersalah
pada terpidana. Tujuan pemidanaan terha-
dap pelaku tindak pidana korupsi di Malaysia
berdasarkan Undang-Undang Jenayah Ma-
laysia. Secara ringkas terdapat empat tuju-
an dalam menjatuhkan hukuman, yaitu: (1)
Tujuan membalas; (2) Tujuan perlindungan;
(3) Tujuan memberi keinsyafan; (4) Tujuan
pemulihan.
Sistem pemidanaan dapat dikatakan
telah selaras dengan tujuan pemidanaan apa-
bila pidana yang diberikan dapat mengem-
balikan kerugian yang ditimbulkan tindak
pidana suap baik dari segi ekonomi maupun
dari segi moral. Kerugian dari segi keuangan
adalah dengan pemulihan kerugian yang dia-
lami oleh negara akibat perbuatan suap, se-
dangkan dari segi moral, karena karakteristik
suap dilakukan tindakan curang dan tercela
dengan cara memanipulasi dan pelangga-
ran kepercayaan (Sulistia & Zurnetti, 2012).
Melalui tindakan curang dan tercela tersebut
terjadilah penurunan moral hingga kepada
perusakan integritas individu yakni peruba-
han dari yang semula baik berbalik menjadi
buruk (Indriati, 2014). Hal ini harus dibayar
di luar pengembalian kerugian negara yang
dibebankan, salah satu cara terbaik yakni
dengan cara penjatuhan pidana denda yang
merupakan penggandaan dari besarnya jum-
lah suap.
Sistem pemidanaan pada tindak pida-
na korupsi suap bisa dikatakan telah selaras
dengan tujuan pemidanaan di Malaysia. Bu-
kan hanya tujuan pemidanaan secara umum
seperti pembalasan, perlindungan, memberi
keinsyafan dan pemulihan yang tercapai teta-
pi juga pengembalian kerugian Negara. Den-
gan sistem pemidanaan dan penerapan pida-
na yang lebih menitikberatkan pidana denda,
Malaysia mendapatkan nilai lebih dari nilai
kerugian yang menjadi perkara. Sementara
sistem pemidanaan tindak pidana korupsi
suap di Indonesia belum selaras dengan tu-
juan pemidanaan. Tujuan pemidanaan tidak
tercapai dalam mengembalikan kerugian ne-
gara, dominasi penerapan pidana penjara
menyebabkan kerugian negara menjadi ber-
tambah, karena harus menanggung beban
pembiayaan terpidana yang menjalani pida-
na penjara atau pidana kurungan tersebut.
Formulasi Ideal Sistem Pemidanaan Tin-
dak Pidana Korupsi Suap Ke Depan Untuk
Mewujudkan Tujuan Pemidanaan
Tindak pidana korupsi di Indonesia di-
kualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa,
karena umumnya dilakukan secara sistema-
tis, ada aktor intelektual, melibatkan pejabat
di suatu daerah, termasuk melibatkan aparat
penegak hukum, dan berdampak merusak
dalam spektrum yang luas (Pohan, 2018), se-
hingga penanganan dalam proses penegakan
hukumpun menggunakan sistem beracara
yang luar biasa. Tindak pidana korupsi telah
menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Untuk itu upaya pencegahan dan pembe-
rantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan
dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi ma-
nusia dan kepentingan masyarakat (Suyanto,
2018). Tujuan dibentuknya undang-undang
tindak pidana korupsi adalah untuk membe-
rantas tindak pidana korupsi itu sendiri. Di
mana sanksi pidana merupakan alat atau sa-
rana terbaik yang tersedia untuk memberan-
tas tindak pidana korupsi (Fatoni, 2015).
Dalam tindak pidana korupsi suap
yang dirugikan adalah negara. Oleh sebab
itu Sistem pemidanaan dalam tindak pida-
na korupsi seharusnya dapat memberikan
perlindungan terhadap kepentingan hukum
negara. Dari sisi filosofis bahwa sistem pemi-
danaan tindak pidana korupsi suap dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
yang berlaku saat ini belum dapat membe-
rikan perlindungan terhadap kepentingan
hukum negara. Hal ini menunjukkan bah-
wa sistem pemidanaan tindak pidana korupsi
Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185
182

suap belum dapat mewujudkan tujuan pemi-
danaan yakni dalam mengembalian kerugi-
kan negara.
Tindak pidana korupsi dilakukan den-
gan penyuapan manipulasi dan perbuatan-
perbuatan melawan hukum yang dapat me-
rugikan negara, perekonomian negara, serta
merugikan kesejahteraan dan kepentingan
masyarakat (Mahmud, 2018). Sistem pemi-
danaan terhadap tindak pidana korupsi suap
di Indonesia saat ini lebih cenderung meni-
tikberatkan kepada pidana penjara. Hakim
menjatuhkan pidana penjara selama berta-
hun-tahun kepada terpidana seakan pidana
tersebut setimpal dengan kerugian negara
yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi
suap yang dilakukan terpidana. Padahal, pi-
dana denda merupakan pidana yang paling
cocok untuk tindak pidana korupsi suap.
Hal ini karena tindak pidana korupsi telah
mengancam perekonomian negara sebab
kasus korupsi selalu bersinggungan dengan
masalah-masalah ekonomi suatu negara serta
menyebabkan kerugian negara. Jadi, pidana
yang diancamkan harus berkaitan dengan bi-
dang ekonomi pula yakni dalam hal ini keru-
gian negara harus teratasi dengan penerapan
pidana denda.
Penanggulangan tindak pidana korupsi
dengan menekankan pidana penjara selama
ini kurang tepat, seharusnya solusi penanggu-
langan tindak pidana korupsi harus berkaitan
dengan keuangan, yaitu dilakukan penguatan
pidana denda. Dengan dasar pertimbangan
bahwa tindak pidana korupsi mengakibatkan
kerugian negara yang tidak dapat dikemba-
likan dengan cara mengutamakan pidana
penjara, melainkan harus dengan cara yang
berhubungan atau berorientasi pada keuan-
gan dengan penguatan pada pidana denda.
Malaysia sendiri lebih mengutamakan
pidana denda dibandingkan pidana penjara.
Maksudnya adalah bahwa undang-undang
tindak pidana korupsi Malaysia yaitu Akta Su-
ruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia 2009
(Akta 694) lebih mengutamakan pengembali-
an kerugian negara sebagai tujuan utamanya,
bahkan dapat dilihat sebagai upaya untuk
mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian
yang menjadi perkara dengan ancaman ter-
hadap pelaku didenda tidak kurang lima kali
besarnya nilai suap. Perumusan sanksi pidana
yang seperti ini merupakan pengaturan yang
cukup efektif dalam menanggulangi tindak
pidana korupsi. Denda yang diancamkan
kepada pelaku disesuaikan dengan seberapa
besar jumlah suap yang dilakukan.
Kebijakan hukum pidana terkait pen-
guatan pidana denda serta pengaturan men-
genai pidana pengganti denda dapat menjadi
salah satu langkah efektif dalam penanggu-
langan tindak pidana korupsi. Penguatan pi-
dana denda serta pengaturan pidana peng-
ganti denda dalam perumusan sanksi pidana
tindak pidana korupsi yang merupakan ke-
jahatan di bidang ekonomi dapat menca-
pai tujuan pemidanaan yakni perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat, khususnya yang berkaitan den-
gan nilai ekonomi pula yaitu dengan cara
mengembalikan kerugian negara. Di sisi
lain tindak pidana korupsi suap tidak hanya
berkaitan dengan masalah ekonomi semata
tetapi juga berkaitan dengan moralitas yang
tidak baik, rusaknya integritas. Oleh sebab itu
perumusan sanksi pidana suap harus dapat
mengakomodir keduanya.
Sistem pemidanaan dapat dikatakan
telah selaras dengan tujuan pemidanaan
adalah apabila pidana yang dijatuhkan bisa
menutupi kerugian yang ditimbulkan tindak
pidana suap baik dari segi keuangan mau-
pun dari segi moral. Kerugian dari segi keu-
angan maksudnya adalah dengan pemulihan
kerugian yang dialami oleh negara akibat
perbuatan suap, sedangkan dari segi moral,
dikarenakan karakteristik suap yaitu dilaku-
kan tanpa kekerasan, tetapi disertai dengan
tindakan curang dan tercela dengan cara me-
manipulasi dan pelanggaran kepercayaan.
Melalui tindakan curang dan tercela tersebut
terjadilah penurunan moral hingga kepada
perusakan integritas individu yakni peruba-
han dari yang semula baik berbalik menja-
di buruk dan korup. Hal ini harus ditebus di
luar pengembalian kerugian keuangan nega-
ra yang dibebankan, maka perumusan sanksi
yang ideal yakni dengan cara penjatuhan pi-
dana denda yang merupakan penggandaan
dari jumlah nilai suap (Effendi, 2013).
Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ...
183

Ketentuan pidana denda tidak kurang
dari lima kali besarnya nilai suap atau sepu-
luh ribu ringgit atau mengikuti mana yang
lebih tinggi dalam pengaturan sistem pemi-
danaan di Malaysia dapat memberikan efek-
tifikasi dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi. Oleh sebab itu, ketentuan pidana
denda ini dapat diadopsi dalam sistem pe-
midanaan tindak pidana korupsi suap di In-
donesia dengan merumuskan sistem pemi-
danaan tindak pidana korupsi suap dengan
penguatan pada pidana denda dengan cara
tidak menetapkan jumlah pidana denda se-
cara pasti di dalam undang-undang, tetapi
ditentukan berdasarkan besarnya suap dikali-
kan minimal dua kali atau maksimal lima kali
dalam pengaturan sistem pemidanaan tindak
pidana korupsi suap di Indonesia yang akan
datang.
4.	Simpulan
Keselarasan antara sistem pemidanaan
tindak pidana korupsi suap dengan tujuan
pemidanaan terwujud apabila pidana ter-
sebut dapat memulihkan kerugian yang di-
timbulkan oleh tindak pidana korupsi suap.
Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi
suap di Indonesia belum selaras dengan tuju-
an pemidanaan. Tujuan pemidanaan belum
tercapai karena pengaturan sistem perumu-
san sanksi pidana dalam tindak pidana suap
belum tepat dan belum efektif. Di Malaysia,
sistem pemidanaan tindak pidana korupsi
suap dapat dikatakan telah selaras dengan
tujuan pemidanaan. Baik tujuan pemidan-
aan secara umum yang tercapai tetapi seka-
ligus pengembalian kerugian negara. Sistem
pemidanaan dikatakan telah selaras dengan
tujuan pemidanaan apabila pidana yang di-
berikan bisa mengembalikan kerugian yang
ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi
keuangan maupun dari segi moralitas, maka
perumusan sanksi yang ideal yakni dengan
cara penjatuhan pidana denda yang meru-
pakan penggandaan dari besarnya nilai suap.
5.	Saran
“Kepada DPR dan Pemerintah dalam
revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
disarankan sistem pemidanaan tindak pidana
korupsi suap dengan penguatan pada pidana
denda dengan cara tidak menetapkan jumlah
pidana denda secara pasti di dalam undang-
undang, tetapi ditentukan berdasaran besar-
nya nilai suap dikalikan minimal dua kali atau
maksimal lima kali dalam pengaturan sistem
pemidanaan tindak pidana korupsi suap di
Indonesia yang akan datang”.
6.	Daftar Pustaka
BUKU
Ali, Achmad. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis-
prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Arief, Barda Nawawi. (2011). Perkembangan Sistem
Pemidanaan di Indonesia. Semarang: Penerbit.
Arief, Barda Nawawi. (2008). Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Kon-
sep KUHP Baru, Jakarta: Prenada Media Group.
Arief, Barda Nawawi. “Beberapa Aspek Pengemban-
gan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Gen-
erasi Baru Hukum Pidana Indonesia)”, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Diponogoro,
Penerbit Pustaka Magister, Semarang.
Asmarawati, Tina. (2014). Pidana dan Pemidanaan
dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Yogya-
karta : Penerbit CV Budi Utama.
Atmasasmita, Romli. (2016). Pemikiran Romli Atmasas-
mita Tentang Pemberantasan Korupsi di Indone-
sia, Jakarta: Kencana.
Atmasasmita, Romli. (1995). Kapita Selekta Hukum
Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar
Maju.
Atmasasmita, Romli. (2016). Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup.
Dwidja Priyatno. (2018). Bunga Rampai Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Pustaka
Reka Cipta.
Effendi, Tholib. (2013). Sistem Peradilan Pidana Per-
bandingan Komponen dan Proses Sistem Pera-
dilan Pidana di Beberapa Negara. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Yustisia.
Etty Indriati. 2014. Pola dan Akar Korupsi: Meng-
hancurkkan Lingkaran Setan Dosa Publik. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fatoni, Syamsul. (2015). Pembaharuan Sistem Pemidan-
aan Perspektif Teoritis Dan Pragmatis Untuk Ke-
adilan. Malang: Setara Press.
Hiariej, Eddy O.S.. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum
Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,.
Hoefnagel, G. Peter, The Other Side of Criminology,
(1967), hlm. 567. Dalam Barda Nawawi Arief.
2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
Perkembangan Konsep KUHP Baru. Prenada
Media Group, Jakarta.
Hamzah, Andi. (2008). Perbandingan Pemberantasan
Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185
184

Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. (1993). Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia dari Retribusi ke Reformasi. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Margono. (2019). Asas Keadilan Kemanfaatan dan
Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim. Ja-
karta: Sinar Grafika.
M. Sholehuddin. (2015). Sistem Sanksi dalam Hukum
Pidana Ide Dasar Double Track System dan Im-
plementasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipone-
goro.
Muladi . ( 2004). Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung:
Penerbit Alumni.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. (2005). Teori-teori
dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Pener-
bit Alumni, Bandung.
Nasution, Bahder Johan. (2008). Metode Penelitian Hu-
kum. Bandung: Mandar Maju.
Nasution, Muhammad Syukri Albaini dkk. (2016). Hu-
kum dalam Perspektif Filsafat. Jakarta: Kencana.
Rifai, Ahmad. (2014). Penemuan Hukum Oleh Hakim
Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar
Grafika.
Shariff, Mohamad Bin Abu Samah dan Asidah Binti
Mohd Ali. (2013). Undang-Undang Jenayah Di
Malaysia. Selangor: Syarikat Percitakan Ihsan.
Sulistia, Teguh dan Aria Zurnetti. (2012). Hukum Pidana
Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: Rajawali.
Theo Huijbers. 2006. Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Jakarta, Kanisius, Cetakan ke-15, 2006.
Widnyana, I Made. (2010). Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: Fikahati Aneka.
DISERTASI
Adly. (2017). Pidana Denda dan Uang Pengganti Ter-
hadap Terpidana Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Studi Komparatif Hukum Indonesia dan Ma-
laysia, (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Jambi).
INTERNET
http://www.transpancy.0rg
https://www.transparency.org/news/feature/corrup-
tion_perceptions_index_2017,
Syafruddin Kalo. (2020). “Penegakan Hukum yang
Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan
Masyarakat”, https://www.academia.edu.com.
diunduh tgl. 4 Juni, Pukul 17.00 Wib.
JURNAL
Azrae, Ahmad Nasyran , Haji Hairuddin Megat La-
tif dan Khadijah Mohamed. (2018). Complicity
in Corruption Among Government’s Enforce-
ment Agency . An Analysis of Local News Re-
port, International Journal of Law, Government
and Communication Volume: 3 Issues: 13, pp,
218,235.
Busroh, Firman Freaddy. (2017). Upaya Pencegahan Ko-
rupsi Melalui Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila,
Jurnal Lex Publica, Vol. IV, No. 1, pp, 631, 732.
Daud, Enida. (2019). Faktor-Faktor Dalaman Yang
Mempengaruhi Niat Individu Untuk Mengamal-
kan Rasuah Di Kalangan Penjawat Awam Pihak
Berkuasa Tempatan, Jurnal Kemanusiaan Vol
17, No. 2, pp. 2,17, .
Daud, Enida, Low Huck Heng, dan Ahmad Muhyuddin
Hassan. (2019). Islamic Work Ethic as a Moder-
ating Variable Against the Intention to Commit
Bribery, Jurnal Islam Dan Masyarakat Kontem-
porari Vol 20 No 1, pp 116, 123.
Dadi Waluyo. (2019). Mencari Sistem Pemidanaan Yang
Tepat Dalam Tata Hukum Pidana Di Indonesia
Khususnya Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Supre-
masi Hukum Volume 15 Nomor 1, pp, 14, 22.
Hartono. (2019). Penerapan Sanksi Hukum Bagi Para
Advokat Pelaku Tindak Pidana Suap Dalam
Sistem Hukum Positif Di Indonesia, Jurnal
Cendekia Hukum, Vol. 5, No 1, pp 77,98, .
Hidayat. (2017). Pertanggungjawaban Pidana Pelaku
Tindak Pidana Suap Dalam Tindak Pidana Ko-
rupsi, Jurnal EduTech Vol. 3, pp 41, 53.
Ibnu, Artadi. (2016). Hukum: Antara Nilai-nilai Kepas-
tian, Kemanfaatan dan Keadilan, Jurnal Hukum
dan Dinamika Masyarakat, Vol 4, No 1,pp 67,
80. . http://dx.doi.org/10.36356/hdm.v4i1.362
Kristwan, Genova Damanik. (2016). “Antara Uang Peng-
ganti Dan Kerugian Keuangan Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, dalam Ju-
rnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 45, Nomor
1, pp, 1-10.
La, Niasa. (2016). Corruption Eradication In The Per-
spective Of Criminology, International Journal
of Scientific & Technology Research, Volume 5,
No.07, pp, 124,127.
Mahmud, Ade. (2018). Problematics Of Asset Recovery
In Restoring State Loss Due To Corruption, Jurnal
Yudisial Vol. 11 No. 3, pp. 209,230.
Maikel, Karoba. (2019). Sistem Pembuktian Dan Pemi-
danaan Tindak Pidana Korupsi Menurut Un-
dang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Lex Cri-
men Vol. VIII No. 9, pp 43, 51.
Mario, Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan. (2019).
“Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum
Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hu-
kum”, Jurnal Crepido, Vol. 01 No. 01,pp 13,
22.
Marsha, Gladis Corinna, Neka Erlyani, Rahmi Fauzia.
(2019). Resilience Of The Corruption Convicts,
Jurnal Kognisia, Volume 2 Nomor 2, pp 13, 17.
Noraida, Harun dan Zaidi Hassim. (2017). Rasuah
Dalam Pentadbiran Tanah: Penyelesaian Menu-
rut Islam, dalam Jurnal Islam dan Masyarakat
Kontemporari, pp, 40-54.
Prayogo, R. Tony. (2016). Penerapan Asas Kepastian
Hukum Dalam Pepaturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil
Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No-
mor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Leg-
Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ...
185

islasi Indonesia, Vol. 13 No. 02,pp, 191, 201.
Sarmadan, Pohan. (2018). Perbandingan Lembaga Anti
Korupsi Di Indonesia Dan Beberapa Negara Du-
nia, Jurnal Justitia Vol. 1 No. 01, pp. 271, 303.
Sudirman, Antonius. (2015). Eksistensi Pidana Mini-
mum Khusus Sebagai Sarana Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, Jilid 44 No.3, pp, 316,325.
Suyanto, Aryas Adi. (2018). The Corruption Eradication
Commission As A Role Institution In Eradication
Of Corruption Crime In Indonesia, Jurnal USM
Law Review, Vol 1 No 1, pp, 39, 67.
Sudarti. Elly dan Sahuri Lasmadi. (2019). “The Sanction
Formulation In Corruption Crime Due To Indo-
nesian Criminal Law System To Realize The Pun-
ishment Goals”, dalam Ganesha Law Review
Volume 1 Issue 2, pp, 55,64.
Usman dan Andi Najemi. (2018). “Mediasi Penal di In-
donesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian
Hukumnya”, Undang Jurnal Hukum Volume 1
Nomor 1,pp. 65, 83.
UNDANG-UNDANG
Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Akta Suru-
hanjaya Pencegah Rasuah Malaysia 2009 (AKTA
694) dan Malaysian Anti Corruption Commis-
sion Act 2009 (AKTA 694), Tahun 2015.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3874).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150 ).

More Related Content

What's hot

Bab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negara
Bab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negaraBab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negara
Bab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negara
natal kristiono
 
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosProposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Andy Susanto
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesia
Bunda Violyn
 
Ujian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana Bansos
Ujian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana BansosUjian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana Bansos
Ujian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana Bansos
Andy Susanto
 
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana KorupsiCara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Andrean Tan
 

What's hot (20)

UPAYA PENANGGULANGAN KORUPSI JALUR PENAL MELALUI PEMBAHARUAN RKUHP DENGAN UU...
UPAYA PENANGGULANGAN KORUPSI  JALUR PENAL MELALUI PEMBAHARUAN RKUHP DENGAN UU...UPAYA PENANGGULANGAN KORUPSI  JALUR PENAL MELALUI PEMBAHARUAN RKUHP DENGAN UU...
UPAYA PENANGGULANGAN KORUPSI JALUR PENAL MELALUI PEMBAHARUAN RKUHP DENGAN UU...
 
Bab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negara
Bab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negaraBab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negara
Bab 7 pemberantasan korupsi di berbagai negara
 
Be & gg, muh agus priyetno, prof dr ir hapzi, corruption dan fraud, unive...
Be & gg, muh agus priyetno, prof dr ir hapzi, corruption dan fraud, unive...Be & gg, muh agus priyetno, prof dr ir hapzi, corruption dan fraud, unive...
Be & gg, muh agus priyetno, prof dr ir hapzi, corruption dan fraud, unive...
 
Bab 5 upaya pemberantasan korupsi
Bab 5 upaya pemberantasan korupsiBab 5 upaya pemberantasan korupsi
Bab 5 upaya pemberantasan korupsi
 
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
 
PPT PBAK - Pencegahan korupsi
PPT PBAK - Pencegahan korupsiPPT PBAK - Pencegahan korupsi
PPT PBAK - Pencegahan korupsi
 
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdfBE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
 
3339 id-pertanggungjawaban-korporasi-sebagai-pelakutindak-pidana-pencucian-ua...
3339 id-pertanggungjawaban-korporasi-sebagai-pelakutindak-pidana-pencucian-ua...3339 id-pertanggungjawaban-korporasi-sebagai-pelakutindak-pidana-pencucian-ua...
3339 id-pertanggungjawaban-korporasi-sebagai-pelakutindak-pidana-pencucian-ua...
 
Ppt etik kelompok 15 (1)
Ppt etik kelompok 15  (1)Ppt etik kelompok 15  (1)
Ppt etik kelompok 15 (1)
 
RUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITERUU Perubahan UU ITE
RUU Perubahan UU ITE
 
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansosProposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
Proposal Skripsi Penegakan Hukum TP korupsi dana bansos
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesia
 
Kpk lengkap
Kpk lengkapKpk lengkap
Kpk lengkap
 
Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA
 
12782069
1278206912782069
12782069
 
Makalah pkn
Makalah pknMakalah pkn
Makalah pkn
 
Makalah pemilu
Makalah pemiluMakalah pemilu
Makalah pemilu
 
Ujian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana Bansos
Ujian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana BansosUjian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana Bansos
Ujian proposal Penegakan Hukum TP Korupsi Dana Bansos
 
Desain Pencegahan Korupsi di Indonesia
Desain Pencegahan Korupsi di IndonesiaDesain Pencegahan Korupsi di Indonesia
Desain Pencegahan Korupsi di Indonesia
 
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana KorupsiCara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
Cara Pengadilan Mengeksekusi Tindak Pidana Korupsi
 

Similar to 27516 81561-1-pb

sistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdfsistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdf
yulianmuhtadin
 
Unsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptx
Unsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptxUnsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptx
Unsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptx
DarmapoeteraMaulana
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penalty
Kendy Puspita
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penalty
Kendy Puspita
 
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
FIkri Aulawi Rusmahafi
 
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
FIkri Aulawi Rusmahafi
 
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdfUpaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
surtiningsih3
 

Similar to 27516 81561-1-pb (20)

15 Materi Dasar Penyuluh Anti Korupsi.pptx
15 Materi Dasar Penyuluh Anti Korupsi.pptx15 Materi Dasar Penyuluh Anti Korupsi.pptx
15 Materi Dasar Penyuluh Anti Korupsi.pptx
 
PPT KORUPSI.pptx
PPT KORUPSI.pptxPPT KORUPSI.pptx
PPT KORUPSI.pptx
 
PPT KORUPSI.pptx
PPT KORUPSI.pptxPPT KORUPSI.pptx
PPT KORUPSI.pptx
 
Problematika penegakan hukum di indonesia
Problematika penegakan hukum di indonesiaProblematika penegakan hukum di indonesia
Problematika penegakan hukum di indonesia
 
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
 
sistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdfsistemperadilanpidana-181029144128.pdf
sistemperadilanpidana-181029144128.pdf
 
Sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidanaSistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana
 
ppt antikorupsi.pptx
ppt antikorupsi.pptxppt antikorupsi.pptx
ppt antikorupsi.pptx
 
Unsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptx
Unsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptxUnsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptx
Unsur-unsur-Tindak-Pidana-Korupsi-dan-Sanksi-Tindak-Pidana-Korupsi.pptx
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penalty
 
Jurnal civil penalty
Jurnal civil penaltyJurnal civil penalty
Jurnal civil penalty
 
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docxpenanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
penanggulangan money laundring perkara korupsi.docx
 
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
Be & gg, fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, ...
 
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
Be & gg ; fikri aulawi, 55117110125, prof. dr. ir. h. hapzi ali, pre msc, mm,...
 
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
34. 33020210176_Isvianta Lasyiva.pdf
 
Pendidikan penanggulangan korupsi 25 Juni 2022.pptx
Pendidikan penanggulangan korupsi 25 Juni 2022.pptxPendidikan penanggulangan korupsi 25 Juni 2022.pptx
Pendidikan penanggulangan korupsi 25 Juni 2022.pptx
 
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdfUpaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
 

Recently uploaded

Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
subki124
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
ErikaPutriJayantini
 
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
IvvatulAini
 

Recently uploaded (20)

contoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docx
contoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docxcontoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docx
contoh-kisi-kisi-bahasa-inggris-kelas-9.docx
 
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas pptsistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
sistem digesti dan ekskresi pada unggas ppt
 
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptxPPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
PPT PENDIDIKAN KELAS RANGKAP MODUL 3 KELOMPOK 3.pptx
 
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASARPPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOMSISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
SISTEM SARAF OTONOM_.SISTEM SARAF OTONOM
 
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi TrigonometriSudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
 
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMPBioteknologi Konvensional dan Modern  kelas 9 SMP
Bioteknologi Konvensional dan Modern kelas 9 SMP
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerakMateri Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
Materi Modul 1.4_Fitriani Program guru penggerak
 
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanTopik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
 
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
 
Detik-Detik Proklamasi Indonesia pada Tahun 1945
Detik-Detik Proklamasi Indonesia pada Tahun 1945Detik-Detik Proklamasi Indonesia pada Tahun 1945
Detik-Detik Proklamasi Indonesia pada Tahun 1945
 
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI TARI KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
 
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptxAksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
Aksi Nyata profil pelajar pancasila.pptx
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 
Konseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusia
Konseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusiaKonseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusia
Konseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusia
 

27516 81561-1-pb

  • 1. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185 Pandecta http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana Korupsi Suap Elly Sudarti1 dan Sahuri Lasmadi2 Fakultas Hukum, Universitas Jambi, Indonesia DOI: http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v16i1.27516 Article info Article History: Received : January 30td 2021 Accepted: March 15td 2021 Published: June 1st 2021 Keywords: harmony, criminal system, purpose of criminalization Abstrak Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum dapat mencapai tujuan pemidanaan, baik dari sisi kerugian negara maupun dari sisi moralitas. Pe- nelitian ini bertujuan: (1) Untuk menganalisis dan menemukan keselarasan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dengan tujuan pemidanaan menurut hu- kum pidana Indonesia dan hukum pidana Malaysia; (2) Untuk menemukan formu- lasi ideal sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dalam rangka mewujudkan tujuan pemidanaan. Metode penelitian menggunakan tipe yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan; konseptual; perbandingan dan pendekatan kasus. Kesimpulan dari Penelitian ini: (1) Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum selaras dengan tujuan pemidanaan, karena pengaturan sistem perumusan sanksi pidana yang belum tepat dan belum berdaya guna. Di Malaysia, sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi suap telah selaras dengan tujuan pemidanaan. Sistem pemidanaan yang lebih menitikberatkan pada pidana denda, Malaysia mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian yang menjadi perkara. (2) Sistem pemidanaan yang selaras dengan tujuan pemidanaan apabila pidana yang diberikan bisa menutupi kerugian yang ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi keuangan maupun dari segi moralitas. Sistem pemidanaan ke depan harus dirumus- kan dengan penguatan pada pidana denda yang ditentukan berdasarkan besarnya nilai suap dikalikan minimal duakali atau maksimal limakali dalam pengaturan sistem pemidanaan di Indonesia yang akan datang. Abstract The criminal system of bribery corruption in Indonesia has not been able to achieve the objectives of punishment, both in terms of state losses and in terms of morality. This study aims: (1) To analyze and find the alignment of the criminal system of brib- ery corruption with the aim of punishment according to Indonesian criminal law and Malaysian criminal law; (2) To find the ideal formulation of the criminal system for the criminal act of corruption, bribery in the context of realizing the objectives of punish- ment. The research method uses a normative juridical type with a statutory approach; conceptual; comparison and case approach. The conclusions of this study: (1) The criminal system of bribery corruption in Indonesia has not been in line with the objec- tives of punishment, because the regulation of the formulation of criminal sanctions is inaccurate and ineffective. In Malaysia, the criminal system of corruption in bribery has been in line with the objectives of punishment. The criminal system that focuses more on criminal fines, Malaysia gets a value more than the value of the loss in the case. (2) A system of punishment that is in line with the purpose of the punishment if the punishment given can cover the losses incurred by the criminal act of bribery both from a financial perspective and from a moral perspective. The criminal system in the future must be formulated by strengthening the criminal fines which are determined based on the amount of the bribe value multiplied by a minimum of two times or a maximum of five times in the future regulation of the criminal system in Indonesia.  Address : Jl. Jambi - Muara Bulian No.KM. 15, Mendalo Darat, Kec. Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi E-mail : elly_sudarti@unja.ac.id; slasmadi@gmail.com ISSN 1907-8919 (Cetak) ISSN 2337-5418 (Online)
  • 2. Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185 174  1. Pendahuluan Sistem pemidanaan yang dituangkan perumusannya dalam undang-undang, pada hakekatnya merupakan suatu sistem kewe- nangan menjatuhkan pidana (Arief, 2011). Oleh sebab itu sistem pemidanaan meme- gang posisi strategis dalam upaya untuk me- nanggulangi tindak pidana yang terjadi, ter- masuk menanggulangi tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi terkait dengan nasib orang banyak karena adanya keuangan nega- ra yang dirugikan (Damaik, 2016), dan juga menimbulkan kerugian-kerugian pada pere- konomian rakyat (Daud & dkk, 2019). Dalam upaya untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem pemidanaan dalam tindak pidana korupsi, maka diber- lakukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat untuk men- cegah terjadinya setiap bentuk tindak pidana korupsi di Indonesia. Sistem pemidanaan tin- dak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur jenis pi- dana, yaitu pidana pokok dan pidana tamba- han, kemudian ukuran pidana yaitu lamanya pidana penjara dan banyaknya pidana denda yang diancamkan serta pelaksanaan pidana yaitu mengenai pidana denda yang dapat diganti dengan pidana kurungan dan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dapat digantikan dengan pidana penjara. Penerapan sistem pemidanaan ko- rupsi di Indonesia belum menjadikan peru- bahan penurunan korupsi secara signifikan. Dilihat dari daftar ranking yang dikeluarkan Transparansi Internasional tentang peringkat negara terkorup di kawasan ASEAN dengan skor CPI berada pada rentang 0-100. 0 be- rarti negara dipersepsikan sangat korup, se- mentara skor 100 dipersepsikan bersih dari korupsi (transpancy, 2020). Skor Indonesia (37) jauh di bawah Singapura (84), Brunai Darussalam (62) dan Malaysia (47), sedikit di bawah Timor Leste (38), dan skor Indonesia sama dengan Thailand (37). Skor Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam (36), Philippi- nes (34), Myanmar (30), Laos (29), Cambodia (21). Dari Indeks Skor tersebut memperlihat- kan Malaysia masih berada di atas Indone- sia dalam persepsi korupsi di negara-negara ASEAN. Malaysia merupakan negara yang ideal untuk dijadikan pembanding atas Indonesia, karena tingkat korupsi Malaysia yang lebih kecil dibandingkan Indonesia sebagaimana Indeks Skor Transparansi Internasional. Selain itu, Indonesia dan Malaysia sama-sama me- rupakan negara penganut Islam mayoritas, dimana Islam melarang perbuatan korupsi dalam firman Allah SWT dan Hadist Rasulul- lah SAW. Di negara Malaysia, ada keinginan politik yang besar dari pemerintah Malaysia untuk menjadikan negaranya terbebas dari korupsi. Oleh sebab itu politik hukum un- tuk membangun negara modern dan untuk memberantas korupsi telah dilakukan sejak lama yaitu mulai tahun 1961 yang bernama Prevention of Corruption Act atau Akta Pen- cegah Rasuah Nomor 57. Kemudian diterbit- kan lagi Emergency (Essential Power Ordinan- ce Nomor 22 Tahun 1970, lalu dibentuk BPR (Badan Pencegah Rasuah) berdasarkan Anti Corruption Agency Act Tahun 1982. Sekarang berlaku Anti Corruption Act Tahun 1997, se- lanjutnya disingkat ACA, yang menggabung- kan ketiga undang-undang dan ordonansi tersebut (Hamzah, 2008). Ketentuan penga- turan tindak pidana korupsi di Malaysia saat ini diberlakukan Akta Suruhanjaya Pencegah Rasuah Malaysia 2009 (AKTA 694) (Hamzah, 2008) (Akta, 2015). Sistem pemidanaan dalam Suruhan- jaya Pencegah Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694) mengatur tentang jenis pidana yaitu pidana penjara dan pidana denda, ukuran pidana dengan lama pidana penjara yang lamanya dua puluh tahun dan pidana den- da paling banyak lima kali nilai suap yang diancamkan serta pelaksanaan pidana yaitu bahwa pidana denda dapat diganti dengan pidana penjara. Sistem pemidanaan dalam arti luas mencakup sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana merupa- kan bagian dari kebijakan penanggulangan tindak pidana. Menurut G. Peter Hoefnagels
  • 3. Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ... 175  dinyatakan bahwa “Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan ba- gian integral dari upaya perlindungan masy- arakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (Hoefnagel, 2008). Penanggu- langan melalui sanksi pidana seharusnya da- pat memulihkan kerugian keuangan negara dan masyarakat seharusnya dapat menerima peruntukan keuangan negara tersebut da- lam pencapaian tujuan nasional serta tujuan pembangunan nasional (Azrae, 2018). Hukum pidana pada dasarnya diru- muskan untuk melindungi kepentingan hu- kum yang ada di dalam masyarakat. Dalam doktrin hukum pidana dapat dibedakan tiga jenis kepentingan hukum, yaitu kepentingan hukum individu, kepentingan hukum ma- syarakat, dan kepentingan hukum Negara (Hiariej, 2014). Dalam tindak pidana korup- si yang dirugikan adalah negara. Oleh sebab itu, sistem pemidanaan dalam tindak pidana korupsi seharusnya dapat memberikan per- lindungan terhadap kepentingan hukum ne- gara. Dari sisi filosofis sistem pemidanaan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang yang berlaku saat ini belum dapat memberikan perlindungan ter- hadap kepentingan negara. Mengutip penda- pat Adly dalam disertasinya bahwa: “Penga- turan pidana denda dan uang pengganti dari sisi pengaturan sebenarnya hukum Indonesia lebih lengkap mengatur dibandingkan hukum Malaysia, akan tetapi faktanya belum dapat mengembalikan seluruh kerugian negara yang diputuskan pengadilan (Adly, 2014). Menurut Adly eksekusi pengembalian keru- gian keuangan negara menurut laporan BPKP masih rendah hanya mencapai 31,38%, se- mentara itu tunggakan kerugian keuangan negara yang belum dapat dikembalikan sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 telah men- capai sebesar Rp 13, 15 trilyun (Adly, 2014). Senada dengan hal tersebut Elly dan Sahuri menyatakan, there are several weaknesses in the criminal punishment system. Where, the system of corruption cannot reach the goal of punishment (Sudarti & L, 2019). Fakta terse- but menunjukkan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi belum dapat mewujudkan tujuan pemidanaan dalam tindak pidana ko- rupsi dalam mengembalian kerugikan keu- angan negara. Harmonisasi sistem pemidanaan den- gan tujuan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi suap menurut hukum pidana ko- rupsi di Indonesia dan Malaysia dilakukan berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dari kedua negara yang diperban- dingkan, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Akta Suruhanjaya Pen- cegahan Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694). Pengaturan tindak pidana korupsi di Indone- sia dan Malaysia terdapat persamaan, salah satu bentuk tindak pidana korupsi yaitu sa- ma-sama mengatur tindak pidana suap. Tin- dak pidana korupsi yang akan diperbanding- kan adalah tindak pidana korupsi suap yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan juga diatur dalam Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694) di Malaysia. Sistem pemidanaan tindak pidana ko- rupsi suap dikaitkan dengan tujuan pemi- danaan dalam konteks perbandingan antara hukum pidana korupsi di Indonesia dan Ma- laysia. Persoalannya pertama, apakah sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap saat ini sinkron dengan tujuan pemidanaan dan apakah filosofi yang mendasarinya menurut hukum pidana korupsi di Indonesia dan di Malaysia? Kedua, bagaimana formulasi ideal sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dalam pembaharuan hukum pidana ko- rupsi di Indonesia yang akan datang? 2. Metode Kajian tentang Harmonisasi Sistem Pemidanaan Dan Tujuan Pemidanaan Pada Tindak Pidana Korupsi Suap, dalam artikel ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan pe- nelaahan yang digunakan adalah perundang- undangan dan konseptual Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum pri- mer, berupa peraturan perundang-undangan,
  • 4. Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185 176  dan peraturan hukum lainnya terkait dengan pendekatan restorative justice; bahan hukum sekunder berupa referensi tentang penyele- saian tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara melalui pendekatan resto- rative justice; dan bahan hukum tersier. Ana- lisis dilakukan melalui tahapan mensistemasi norma hukum, menginterpretasi norma hu- kum yang kurang jelas selanjutnya dilakukan penafsiran hukum. Analisis dilakukan mela- lui tahapan interpretasi bahan hukum, peni- laian bahan hukum, serta evaluasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. 3. Hasil dan Pembahasan Harmonisasi Sistem Pemidanaan Dan Tujuan Pemidanaan Tindak Pidana Ko- rupsi Menurut Hukum Pidana Korupsi di Indonesia dan Malaysia Korupsi dalam bahasa latin disebut Cor- ruptio corruptus, dalam bahasa Belanda dise- but corruptive, dalam bahasa Inggris disebut Corruption, menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang di- sangkutpautkan dengan keuangan (Hidayat, 2017). Korupsi sebagai kejahatan luar biasa memiliki aspek sistemik, terorganisir, menye- babkan kerugian bagi negara dan masyarakat (Niasa, 2015). Sistem pemidanaan dalam arti luas merupakan sistem penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penang- gulangan kejahatan. Tujuan akhir dari poli- tik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yaitu kesejah- teraan masyarakat. Dengan demikian sistem pemidanaan yang merupakan bagian dari politik kriminal, pada hakekatnya juga me- rupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (Politik Sosial) (Muladi & Arief, 2005). Tindak pidana korupsi suap yang men- jadi salah satu tindak pidana yang diatur di Indonesia, tidak terlepas dari pengertian suap itu sendiri. Suap dikenal dengan istilah bribery yang artinya pengemis atau gelandan- gan. Dalam perkembangannya di Indonesia, tindakan suap merupakan bagian dari korup- si, pihak yang menerima suap dalam banyak kasus adalah pejabat dengan harapan agar si penyuap dimudahkan dalam tugas yang menjadi kewenangan pejabat, sehingga me- nimbulkan terjadinya perilaku yang tercela dan tidak terkecuali menimbulkan budaya yang buruk dalam penegakan hukum di In- donesia (Hartono, 2019). Tindak pidana korupsi suap di Indo- nesia terbagi menjadi: (a) Suap Aktif Terha- dap Pejabat Publik yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13; (b) Suap Pasif Oleh Pejabat Publik yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a dan b, dan Pasal 11; (c) Suap Aktif Terhadap Hakim yang diatur da- lam Pasal 6 ayat (1) huruf a; (d) Suap Pasif Oleh Hakim yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf c; (e) Suap Aktif Terha- dap Advokat yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, serta; (f) Suap Pasif Oleh Advo- kat yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di Malaysia, tindak pidana korupsi berasal dari kata al-Rusyah, risywah, atau al- rasywah yang berarti bagian atau upah (Mar- sha, 2019). Rasuah juga didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seseorang un- tuk menyalahkan yang benar dan memben- arkan yang salah. Tindak pidana korupsi suap merupakan penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi (Daud, 2019). Tindak pidana korupsi suap di Malay- sia terbagi menjadi: (a) Suap Pasif Pegawai Badan Awam yang diatur dalam Pasal 16(a) (B) dan Pasal 21; (b) Suap Pasif Sektor Pri- vat yang diatur dalam Pasal 16(a)(A); (c) Suap Pasif Ejen yang diatur dalam Pasal 17(a); (d) Suap Pasif Pegawai Awam Asing yang diatur dalam Pasal 22; (e) Suap Pasif Penarikkan Ba- lik Tender yang diatur dalam Pasal 20 (b); (f) Suap Aktif Pegawai Badan Awam yang diatur dalam Pasal 16(b)(B) dan Pasal 21; (g) Suap Aktif Sektor Privat yang diatur dalam Pasal 16(b)(A); (h) Suap Aktif Ejen yang diatur da- lam Pasal 17(b); (i) Suap Aktif Pegawai Awam Asing yang diatur dalam Pasal 22; (j) Suap Aktif Penarikkan Balik Tender yang diatur da- lam Pasal 20 (a), serta; (k) Memperdagang-
  • 5. Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ... 177  kan Pengaruh yang diatur dalam Pasal 23 Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma- laysia 2009 (Akta 694). Pasal tersebut menerangkan secara rin- ci mengenai perbuatan yang dapat diancam dengan pidana karena korupsi suap. Penga- turan tindak pidana korupsi suap di Malaysia lebih rinci dan lebih luas cakupannya karena Malaysia telah merevisi undang-undang pi- dana korupsinya berdasarkan UNCAC den- gan diundangkannya Akta Suruhanjaya Pen- cegahan Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694) pada tahun 2009, sehingga undang-undang pidana korupsi Malaysia telah terakomodir penyuapan di sektor privat, penyuapan oleh pejabat asing dan memperdagangkan penga- ruh. Dalam kaitannya dengan teori pemida- naan, pengaturan tindak pidana korupsi suap di Malaysia dapat dikatakan telah mencer- minkan pencapaian tujuan pemidanaan. Hal ini dikarenakan pada Akta Suruhanjaya Pen- cegahan Rasuah Malaysia (Akta SPRM 2009), Malaysia telah lebih rinci mengatur tindak pidana korupsi suap sesuai dengan The Uni- ted Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Peraturan perundang-undangan An- tikorupsi di Indonesia tidak secara spesifik menempatkan sektor swasta sebagai subjek hukum yang dapat dipidana. Peraturan yang ada hanya mengatur pengertian setiap orang, yaitu orang perorangan atau korporasi; dan sektor swasta termasuk salah satu dari pen- gertian korporasi. Korupsi suap selalu meli- batkan pelaku sektor swasta sebagai pemberi suap dan pejabat publik penyelenggara ne- gara sebagai penerima suap (Atmasasmita, 2016). Kiranya penyusunan Rancangan Un- dang-Undang Tipikor yang akan datang seha- rusnya dapat menjangkau aktivitas korporasi nasional dan asing yang bersifat koruptif dan penyuapan, juga penyuapan di sektor swasta, penyuapan pejabat publik asing dan mem- perdagangkan pengaruh. Langkahnya den- gan menentukan secara benar dan hati-hati baik tentang jenis pidananya, berat ringannya pidana serta bagaimana pidana tersebut akan dilaksanakan sehingga dapat memenuhi asas lex certa demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan dalam penegakannya kelak. Sistem Pemidanaan Pada Tindak Pidana Ko- rupsi Suap Menurut Hukum Pidana Korupsi di Indonesia dan Malaysia Pidana merupakan masalah pokok da- lam hukum pidana, bahkan sejarah hukum pidana pada hakekatnya merupakan sejarah pidana dan pemidanaan (Widnyana, 2010). Sistem pemidanaan memuat pengaturan tentang jenis pidananya, berat ringannya pi- dana serta bagaimana pidana tersebut akan dilaksanakan (Atmasasmita, 1995). Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko- rupsi terdapat beberapa jenis pidana yang dapat dijatuhkan hakim terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi suap, yai- tu: (1) Pidana mati; (2) Pidana Penjara (Pida- na penjara seumur hidup dan pidana penja- ra dalam waktu tertentu); (3) Pidana denda; dan (4) Pidana tambahan. Sementara dalam Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma- laysia 2009 (Akta 694), jenis pidana yang dapat dijatuhkan hakim terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi suap, yai- tu: (1) Pidana penjara dalam waktu tertentu, dan; (2) Pidana denda. 1. Pidana Penjara Seumur Hidup Pidana penjara seumur hidup dapat menjadi salah satu jenis penjatuhan pidana yang dapat dijatuhkan hakim terhadap terda- kwa tindak pidana korupsi suap di Indonesia apabila melanggar Pasal 12 huruf a, b, c, dan d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko- rupsi. Sementara di Malaysia tidak mengatur pidana penjara seumur hidup sebagai salah satu jenis pidananya. 2) Pidana Penjara Dalam Waktu Tertentu Pidana penjara dalam waktu tertentu di Indonesia memiliki batas minimum khu- sus dan batas maksimum khusus di setiap an- caman pidananya. Pidana penjara minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun diancamkan pada Pasal 5 ayat (1) dan (2),
  • 6. Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185 178  dan Pasal 11. Pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun diancamkan pada Pasal 6 ayat (1) dan (2). Serta pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal dua puluh tahun diancamkan pada Pasal 12 huruf a, b, c, dan d. Namun, terdapat satu pasal yang tidak mengatur batas minimum khusus yakni Pasal 13 yang hanya mengatur batas maksimum khusus pidana penjara paling lama tiga tahun. Sementara di Malaysia, pidana penjara hanya menggu- nakan batas maksimum khusus serta tidak mengatur mengenai batas minimum khusus pidana penjara. Batas maksimum khusus pi- dana penjara paling lama adalah dua puluh tahun, karena tidak mengatur mengenai ba- tas minimum khusus, maka digunakan batas minimum umum yakni pidana penjara paling singkat satu hari sebagaimana diatur dalam KUHP Malaysia. 3) Pidana Denda Pidana denda tindak pidana korupsi suap di Indonesia memiliki batas minimum khusus dan batas maksimum khusus di setiap ancaman pidana dendanya. Pidana denda minimal lima puluh juta rupiah dan maksimal dua ratus lima puluh juta rupiah diancamkan pada Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 11. Pidana denda minimal seratus lima puluh juta dan maksimal tujuh ratus lima puluh juta rupiah diancamkan pada Pasal 6 ayat (1) dan (2). Serta Pidana denda minimal dua ratus juta rupiah dan maksimal satu milyar rupiah diancamkan pada Pasal 12 huruf a, b, c, dan d. Namun, ada pasal yang tidak memiliki ba- tas minimum khusus denda yakni Pasal 13, yang mana ancaman pidananya hanya meng- gunakan batas maksimum khusus saja. Pida- na denda dalam tindak pidana korupsi suap dialternatifkan dengan pidana kurungan. Hal ini diatur dalam KUHP secara umum diten- tukan dalam Pasal 30 KUHP (Soesilo, 1983). Dengan lamanya pidana kurungan pengganti itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama- lamanya enam bulan. Rumusan ancaman pidana denda mi- nimum khusus yang ringan dalam undang- undang korupsi dipandang telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat dan negara. Hal ini dikarenakan tidak adil apabila para koruptor telah menikmati keuntungan dari tindak pidana suap baik itu berupa pengu- rangan pajak, fasilitas, maupun kesempatan yang besarannya mencapai jumlah miliar bahkan triliunan rupiah tersebut diancam dengan sanksi pidana minimum yang ringan. Sementara di sisi lain negara mengalami ke- rugian material dan non material yang besar dan hal ini berdampak pula bagi masyarakat karena dalam hal ini pemerintah mengala- mi kesulitan untuk merealisasikan program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat (Sudirman, 2015). Dalam Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694), pidana denda hanya menggunakan batas maksimum khusus serta tidak mengatur mengenai batas minimum khusus pidana denda. Batas maksi- mum khusus pidana denda yaitu didenda ti- dak kurang lima kali besarnya nilai suap atau jika dapat dinilai berbentuk uang atau sepu- luh ribu ringgit, mengikuti yang lebih tinggi. Di Malaysia memiliki pengaturan bahwa se- seorang tidak dapat membayar denda yang telah ditetapkan maka ia akan menjalani hukuman penjara sebagai pengganti pidana denda. Hal ini diatur dalam Pasal 283(i)(b)(4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Malaysia (Shariff & Asidah, 2013). Sanksi pidana denda tindak pidana ko- rupsi suap seharusnya dirumuskan dengan tujuan pemulihan kerugian negara dan masy- arakat serta terdapat pula unsur penderitaan di dalamnya. Malaysia telah mengakomodasi keduanya dalam perumusan sanksi pidana pada tindak pidana korupsi dengan pidana denda sebesar lima kali besarnya nilai suap. Selain mengutamakan pengembalian kerugi- an negara sebagai tujuan utamanya, jumlah denda yang lebih banyak daripada jumlah suap merupakan beban penderitaan yang di- berikan kepada pelaku. 3) Pidana Tambahan Malaysia tidak mengatur pidana tam- bahan sebagai salah satu jenis pidananya. Sementara di Indonesia, pidana tambahan terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Un- dang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Un- dang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pem-
  • 7. Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ... 179  berantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “(a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang di- peroleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan; (b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pida- na korupsi; (c) Penutupan seluruh atau se- bagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; (d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Peme- rintah kepada terpidana” (Undang-Undang, 1999). Pidana pembayaran uang pengganti, walaupun ada persamaan sifat dengan pida- na denda yakni sama dalam hal nilai uang atau rupiah yang dibebankan atas harta ke- kayaan terpidana, namun substansinya ber- beda. Perbedaan itu mengenai jumlah uang dalam pidana denda, tidaklah perlu dihu- bungkan dengan akibat atau kerugian yang diderita maksudnya adalah kerugian negara. Akan tetapi pada pidana pembayaran uang pengganti wajib dihubungkan dengan adanya akibat atau kerugian yang timbul oleh adanya korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Tuju- an pidana pembayaran uang pengganti ada- lah untuk memulihkan kerugian akibat tindak pidana korupsi, tetapi pidana denda semata- mata ditunjukkan bagi pemasukan uang un- tuk kas Negara (Karoba, 2019). Undang-Undang Tentang Pemberan- tasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia menggunakan dua jenis sistem perumusan sanksi pidana, yaitu Sistem Perumusan Ku- mulatif dan Sistem Perumusan Kumulatif- Alternatif.” Pasal yang menggunakan sistem perumusan kumulatif ialah Pasal 6 ayat (1) dan (2), serta Pasal 12. Hal ini mengharuskan hakim menjatuhkan pidana dan tidak dapat memilih penerapan pidana yang dianggap paling cocok dengan perbuatan yang dila- kukan terdakwa, karena hakim dihadapkan pada jenis pidana yang sudah pasti sedangkan pasal yang menggunakan sistem perumusan kumulatif-alternatif ialah Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 11 serta Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberan- tasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan sistem perumusan yang bersifat fleksibel dan ako- modatif ini hakim dapat memilih penerapan pidana yang dianggap paling cocok dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa. Sistem perumusan sanksi pidana dalam Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma- laysia 2009 (Akta 694) ialah menggunakan Sistem Perumusan Kumulatif, yakni Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Akta Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Ma- laysia 2009 (Akta 694). Hal ini mengharuskan hakim menjatuhkan pidana dan tidak dapat memilih penerapan pidana yang dianggap paling cocok dengan perbuatan yang dila- kukan terdakwa, karena hakim dihadapkan pada jenis pidana yang sudah pasti. Dalam menetapkan lamanya ancaman pidana, Indonesia menggunakan pendeka- tan absolut dengan menetapkan kualitasnya sendiri-sendiri untuk setiap tindak pidana, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum serta ancaman pidana minimum pada setiap tindak pidana, sehingga hakim hanya dapat menjatuhkan putusan terhadap terpidana sesuai batas minimum hingga batas maksimum yang telah ditentukan. Di satu sisi ancaman pidana minimum khusus dianggap mengekang kebebasan hakim, namun di sisi yang lain ancaman pidana minimum khusus ini akan mencegah disparitas dalam penja- tuhan pidana (Waluyo, 2019). Sementara Malaysia menggunakan pendekatan relatif. Sistem atau pendekatan relatif dengan tidak menetapkan kualitas untuk tiap tindak pida- na secara sendiri-sendiri, tetapi dengan me- lakukan penggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetap- kan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana itu, sehingga hakim lebih le- luasa dalam menjatuhkan putusan terhadap terpidana. Dilihat dari perumusan sistem pemida- naan tindak pidana korupsi suap jika dikait- kan dengan kepastian hukum seperti halnya Gustav Radbruch mengemukakan empat hal mendasar yang berhubungan dengan makna
  • 8. Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185 180  kepastian hukum, yaitu : Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum po- sitif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan. Keempat, hukum posi- tif tidak boleh mudah diubah” (Ali, 2009). Rumusan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia dan Malaysia telah memenuhi sisi kepastian hukum, khususnya kepastian hukum dalam hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat yang tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda (Kalo, 2020). Hal ini sebagaimana perumusan sistem pe- midanaan tindak pidana korupsi yang di da- lam setiap pasal terdapat norma yang diatur serta pidana yang diancamkan secara tegas. Dilihat dari sisi kemanfaatan hukum, perumusan pidana denda tindak pidana korupsi suap di Malaysia telah memberikan manfaat bagi negara. Berkenaan dengan ke- manfaatan hukum, Gustav Radbruch men- gaitkannya dengan tujuan keadilan, yaitu se- suatu yang menimbulkan manfaat. Manfaat tersebut tidak saja dilihat dari satu pihak yang terlibat dalam perkara pidana, tetapi juga meliputi seluruhnya, pelaku, korban (nega- ra), masyarakat (Huijbers, 2006). Dalam hal ini, perumusan pidana denda tindak pidana korupsi suap di Malaysia lebih mengutama- kan pengembalian kerugian negara sebagai tujuan utamanya, bahkan dapat dilihat seba- gai upaya untuk mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian yang menjadi perkara dengan pengaturan pidana denda yakni tidak kurang dari lima kali nilai suap. Sementara perumus- an pidana denda tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum dapat memberikan nilai lebih dari pengembalian kerugian negara se- bagai manfaat bagi negara sebagai korban tindak pidana korupsi suap ini. Jangankan mendapatkan manfaat, bahkan pemulihan kerugian negara tidak tercapai. Akibatnya kerugian negara menjadi bertambah, karena harus mengeluarkan biaya untuk terpidana saat menjalani pidana penjara maupun pida- na kurungannya. Nilai keadilan menurut pandangan Aristoteles tentang keadilan korektif yaitu jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan te- lah dilakukan maka hukuman yang sepantas- nya perlu diberikan kepada si pelaku (Nasu- tion, 2016). Dalam hal kaitannya dengan perumusan pidana denda tindak pidana ko- rupsi suap di Indonesia, dapat dilihat bahwa Indonesia menetapkan ketentuan besarnya pidana denda berdasarkan jenis suap yang diatur, bukan didasarkan kepada besarnya ni- lai suap yang dilakukan. Sehingga saat jumlah atau besarnya nilai suap yang dilakukan lebih besar daripada ancaman pidana yang diatur, pemulihan kerugian negara sama sekali tidak tercapai dan hal ini merugikan negara. Di lain pihak, Malaysia telah menetapkan ke- tentuan besarnya pidana denda berdasarkan kepada besarnya nilai suap yang dilakukan. Maka, berdasarkan teori keadilan, perumus- an pidana denda pada tindak pidana korupsi di Malaysia lebih mendekati keadilan diban- dingkan dengan Indonesia. Tujuan Pemidanaan Pada Tindak Pidana Korupsi Suap Menurut Hukum Pidana Ko- rupsi di Indonesia dan Malaysia Sistem pemidanaan dalam tindak pi- dana korupsi suap tidak dapat dilepaskan dari kajian terhadap tujuan pemidanaan yang akan mengantarkan pada pemahaman tentang seberapa jauh sistem pemidanaan relevan dan patut untuk diterapkan dalam sistem hukum pidana. Pidana pada hakikat- nya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan (Sholehuddin, 2015). Salah satu tuju- an pemberantasan korupsi antara lain untuk menegakkan wibawa hukum (Busroh, 2017). serta melindungi dan mensejahterakan masy- arakat. Bertolak dari pemikiran tersebut, bah- wa pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka menjadi sangat penting untuk membahas dan merumuskan tujuan pemida- naan dalam hukum pidana nasional (Asma- rawati, 2014). Hukum pidana yang berlaku di Indo- nesia saat ini belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Namun, telah ada diru-
  • 9. Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ... 181  muskan tujuan pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP . Tujuan Pemidanaan yang tercantum dalam konsep rancangan KUHP meliputi: (a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan masyarakat; (b) Mema- syarakatkan terpidana dengan melakukan pembinaan dan pembimbingan; (c) Meny- elesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, dan; (d) Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Tujuan pemidanaan terha- dap pelaku tindak pidana korupsi di Malaysia berdasarkan Undang-Undang Jenayah Ma- laysia. Secara ringkas terdapat empat tuju- an dalam menjatuhkan hukuman, yaitu: (1) Tujuan membalas; (2) Tujuan perlindungan; (3) Tujuan memberi keinsyafan; (4) Tujuan pemulihan. Sistem pemidanaan dapat dikatakan telah selaras dengan tujuan pemidanaan apa- bila pidana yang diberikan dapat mengem- balikan kerugian yang ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi ekonomi maupun dari segi moral. Kerugian dari segi keuangan adalah dengan pemulihan kerugian yang dia- lami oleh negara akibat perbuatan suap, se- dangkan dari segi moral, karena karakteristik suap dilakukan tindakan curang dan tercela dengan cara memanipulasi dan pelangga- ran kepercayaan (Sulistia & Zurnetti, 2012). Melalui tindakan curang dan tercela tersebut terjadilah penurunan moral hingga kepada perusakan integritas individu yakni peruba- han dari yang semula baik berbalik menjadi buruk (Indriati, 2014). Hal ini harus dibayar di luar pengembalian kerugian negara yang dibebankan, salah satu cara terbaik yakni dengan cara penjatuhan pidana denda yang merupakan penggandaan dari besarnya jum- lah suap. Sistem pemidanaan pada tindak pida- na korupsi suap bisa dikatakan telah selaras dengan tujuan pemidanaan di Malaysia. Bu- kan hanya tujuan pemidanaan secara umum seperti pembalasan, perlindungan, memberi keinsyafan dan pemulihan yang tercapai teta- pi juga pengembalian kerugian Negara. Den- gan sistem pemidanaan dan penerapan pida- na yang lebih menitikberatkan pidana denda, Malaysia mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian yang menjadi perkara. Sementara sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum selaras dengan tu- juan pemidanaan. Tujuan pemidanaan tidak tercapai dalam mengembalikan kerugian ne- gara, dominasi penerapan pidana penjara menyebabkan kerugian negara menjadi ber- tambah, karena harus menanggung beban pembiayaan terpidana yang menjalani pida- na penjara atau pidana kurungan tersebut. Formulasi Ideal Sistem Pemidanaan Tin- dak Pidana Korupsi Suap Ke Depan Untuk Mewujudkan Tujuan Pemidanaan Tindak pidana korupsi di Indonesia di- kualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa, karena umumnya dilakukan secara sistema- tis, ada aktor intelektual, melibatkan pejabat di suatu daerah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum, dan berdampak merusak dalam spektrum yang luas (Pohan, 2018), se- hingga penanganan dalam proses penegakan hukumpun menggunakan sistem beracara yang luar biasa. Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Untuk itu upaya pencegahan dan pembe- rantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi ma- nusia dan kepentingan masyarakat (Suyanto, 2018). Tujuan dibentuknya undang-undang tindak pidana korupsi adalah untuk membe- rantas tindak pidana korupsi itu sendiri. Di mana sanksi pidana merupakan alat atau sa- rana terbaik yang tersedia untuk memberan- tas tindak pidana korupsi (Fatoni, 2015). Dalam tindak pidana korupsi suap yang dirugikan adalah negara. Oleh sebab itu Sistem pemidanaan dalam tindak pida- na korupsi seharusnya dapat memberikan perlindungan terhadap kepentingan hukum negara. Dari sisi filosofis bahwa sistem pemi- danaan tindak pidana korupsi suap dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berlaku saat ini belum dapat membe- rikan perlindungan terhadap kepentingan hukum negara. Hal ini menunjukkan bah- wa sistem pemidanaan tindak pidana korupsi
  • 10. Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185 182  suap belum dapat mewujudkan tujuan pemi- danaan yakni dalam mengembalian kerugi- kan negara. Tindak pidana korupsi dilakukan den- gan penyuapan manipulasi dan perbuatan- perbuatan melawan hukum yang dapat me- rugikan negara, perekonomian negara, serta merugikan kesejahteraan dan kepentingan masyarakat (Mahmud, 2018). Sistem pemi- danaan terhadap tindak pidana korupsi suap di Indonesia saat ini lebih cenderung meni- tikberatkan kepada pidana penjara. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama berta- hun-tahun kepada terpidana seakan pidana tersebut setimpal dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi suap yang dilakukan terpidana. Padahal, pi- dana denda merupakan pidana yang paling cocok untuk tindak pidana korupsi suap. Hal ini karena tindak pidana korupsi telah mengancam perekonomian negara sebab kasus korupsi selalu bersinggungan dengan masalah-masalah ekonomi suatu negara serta menyebabkan kerugian negara. Jadi, pidana yang diancamkan harus berkaitan dengan bi- dang ekonomi pula yakni dalam hal ini keru- gian negara harus teratasi dengan penerapan pidana denda. Penanggulangan tindak pidana korupsi dengan menekankan pidana penjara selama ini kurang tepat, seharusnya solusi penanggu- langan tindak pidana korupsi harus berkaitan dengan keuangan, yaitu dilakukan penguatan pidana denda. Dengan dasar pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian negara yang tidak dapat dikemba- likan dengan cara mengutamakan pidana penjara, melainkan harus dengan cara yang berhubungan atau berorientasi pada keuan- gan dengan penguatan pada pidana denda. Malaysia sendiri lebih mengutamakan pidana denda dibandingkan pidana penjara. Maksudnya adalah bahwa undang-undang tindak pidana korupsi Malaysia yaitu Akta Su- ruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia 2009 (Akta 694) lebih mengutamakan pengembali- an kerugian negara sebagai tujuan utamanya, bahkan dapat dilihat sebagai upaya untuk mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian yang menjadi perkara dengan ancaman ter- hadap pelaku didenda tidak kurang lima kali besarnya nilai suap. Perumusan sanksi pidana yang seperti ini merupakan pengaturan yang cukup efektif dalam menanggulangi tindak pidana korupsi. Denda yang diancamkan kepada pelaku disesuaikan dengan seberapa besar jumlah suap yang dilakukan. Kebijakan hukum pidana terkait pen- guatan pidana denda serta pengaturan men- genai pidana pengganti denda dapat menjadi salah satu langkah efektif dalam penanggu- langan tindak pidana korupsi. Penguatan pi- dana denda serta pengaturan pidana peng- ganti denda dalam perumusan sanksi pidana tindak pidana korupsi yang merupakan ke- jahatan di bidang ekonomi dapat menca- pai tujuan pemidanaan yakni perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berkaitan den- gan nilai ekonomi pula yaitu dengan cara mengembalikan kerugian negara. Di sisi lain tindak pidana korupsi suap tidak hanya berkaitan dengan masalah ekonomi semata tetapi juga berkaitan dengan moralitas yang tidak baik, rusaknya integritas. Oleh sebab itu perumusan sanksi pidana suap harus dapat mengakomodir keduanya. Sistem pemidanaan dapat dikatakan telah selaras dengan tujuan pemidanaan adalah apabila pidana yang dijatuhkan bisa menutupi kerugian yang ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi keuangan mau- pun dari segi moral. Kerugian dari segi keu- angan maksudnya adalah dengan pemulihan kerugian yang dialami oleh negara akibat perbuatan suap, sedangkan dari segi moral, dikarenakan karakteristik suap yaitu dilaku- kan tanpa kekerasan, tetapi disertai dengan tindakan curang dan tercela dengan cara me- manipulasi dan pelanggaran kepercayaan. Melalui tindakan curang dan tercela tersebut terjadilah penurunan moral hingga kepada perusakan integritas individu yakni peruba- han dari yang semula baik berbalik menja- di buruk dan korup. Hal ini harus ditebus di luar pengembalian kerugian keuangan nega- ra yang dibebankan, maka perumusan sanksi yang ideal yakni dengan cara penjatuhan pi- dana denda yang merupakan penggandaan dari jumlah nilai suap (Effendi, 2013).
  • 11. Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ... 183  Ketentuan pidana denda tidak kurang dari lima kali besarnya nilai suap atau sepu- luh ribu ringgit atau mengikuti mana yang lebih tinggi dalam pengaturan sistem pemi- danaan di Malaysia dapat memberikan efek- tifikasi dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, ketentuan pidana denda ini dapat diadopsi dalam sistem pe- midanaan tindak pidana korupsi suap di In- donesia dengan merumuskan sistem pemi- danaan tindak pidana korupsi suap dengan penguatan pada pidana denda dengan cara tidak menetapkan jumlah pidana denda se- cara pasti di dalam undang-undang, tetapi ditentukan berdasarkan besarnya suap dikali- kan minimal dua kali atau maksimal lima kali dalam pengaturan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia yang akan datang. 4. Simpulan Keselarasan antara sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dengan tujuan pemidanaan terwujud apabila pidana ter- sebut dapat memulihkan kerugian yang di- timbulkan oleh tindak pidana korupsi suap. Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum selaras dengan tuju- an pemidanaan. Tujuan pemidanaan belum tercapai karena pengaturan sistem perumu- san sanksi pidana dalam tindak pidana suap belum tepat dan belum efektif. Di Malaysia, sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dapat dikatakan telah selaras dengan tujuan pemidanaan. Baik tujuan pemidan- aan secara umum yang tercapai tetapi seka- ligus pengembalian kerugian negara. Sistem pemidanaan dikatakan telah selaras dengan tujuan pemidanaan apabila pidana yang di- berikan bisa mengembalikan kerugian yang ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi keuangan maupun dari segi moralitas, maka perumusan sanksi yang ideal yakni dengan cara penjatuhan pidana denda yang meru- pakan penggandaan dari besarnya nilai suap. 5. Saran “Kepada DPR dan Pemerintah dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi disarankan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dengan penguatan pada pidana denda dengan cara tidak menetapkan jumlah pidana denda secara pasti di dalam undang- undang, tetapi ditentukan berdasaran besar- nya nilai suap dikalikan minimal dua kali atau maksimal lima kali dalam pengaturan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia yang akan datang”. 6. Daftar Pustaka BUKU Ali, Achmad. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis- prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Arief, Barda Nawawi. (2011). Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia. Semarang: Penerbit. Arief, Barda Nawawi. (2008). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Kon- sep KUHP Baru, Jakarta: Prenada Media Group. Arief, Barda Nawawi. “Beberapa Aspek Pengemban- gan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Gen- erasi Baru Hukum Pidana Indonesia)”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Penerbit Pustaka Magister, Semarang. Asmarawati, Tina. (2014). Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Yogya- karta : Penerbit CV Budi Utama. Atmasasmita, Romli. (2016). Pemikiran Romli Atmasas- mita Tentang Pemberantasan Korupsi di Indone- sia, Jakarta: Kencana. Atmasasmita, Romli. (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju. Atmasasmita, Romli. (2016). Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Dwidja Priyatno. (2018). Bunga Rampai Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Pustaka Reka Cipta. Effendi, Tholib. (2013). Sistem Peradilan Pidana Per- bandingan Komponen dan Proses Sistem Pera- dilan Pidana di Beberapa Negara. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia. Etty Indriati. 2014. Pola dan Akar Korupsi: Meng- hancurkkan Lingkaran Setan Dosa Publik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fatoni, Syamsul. (2015). Pembaharuan Sistem Pemidan- aan Perspektif Teoritis Dan Pragmatis Untuk Ke- adilan. Malang: Setara Press. Hiariej, Eddy O.S.. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,. Hoefnagel, G. Peter, The Other Side of Criminology, (1967), hlm. 567. Dalam Barda Nawawi Arief. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru. Prenada Media Group, Jakarta. Hamzah, Andi. (2008). Perbandingan Pemberantasan
  • 12. Pandecta. Volume 16. Number 1. June 2021 Page 173-185 184  Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Hamzah, Andi. (1993). Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi. Jakarta: Pradnya Paramita. Margono. (2019). Asas Keadilan Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim. Ja- karta: Sinar Grafika. M. Sholehuddin. (2015). Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Im- plementasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipone- goro. Muladi . ( 2004). Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Penerbit Alumni. Muladi dan Barda Nawawi Arief. (2005). Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Pener- bit Alumni, Bandung. Nasution, Bahder Johan. (2008). Metode Penelitian Hu- kum. Bandung: Mandar Maju. Nasution, Muhammad Syukri Albaini dkk. (2016). Hu- kum dalam Perspektif Filsafat. Jakarta: Kencana. Rifai, Ahmad. (2014). Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Shariff, Mohamad Bin Abu Samah dan Asidah Binti Mohd Ali. (2013). Undang-Undang Jenayah Di Malaysia. Selangor: Syarikat Percitakan Ihsan. Sulistia, Teguh dan Aria Zurnetti. (2012). Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: Rajawali. Theo Huijbers. 2006. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Kanisius, Cetakan ke-15, 2006. Widnyana, I Made. (2010). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Fikahati Aneka. DISERTASI Adly. (2017). Pidana Denda dan Uang Pengganti Ter- hadap Terpidana Dalam Tindak Pidana Korupsi, Studi Komparatif Hukum Indonesia dan Ma- laysia, (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi). INTERNET http://www.transpancy.0rg https://www.transparency.org/news/feature/corrup- tion_perceptions_index_2017, Syafruddin Kalo. (2020). “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat”, https://www.academia.edu.com. diunduh tgl. 4 Juni, Pukul 17.00 Wib. JURNAL Azrae, Ahmad Nasyran , Haji Hairuddin Megat La- tif dan Khadijah Mohamed. (2018). Complicity in Corruption Among Government’s Enforce- ment Agency . An Analysis of Local News Re- port, International Journal of Law, Government and Communication Volume: 3 Issues: 13, pp, 218,235. Busroh, Firman Freaddy. (2017). Upaya Pencegahan Ko- rupsi Melalui Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila, Jurnal Lex Publica, Vol. IV, No. 1, pp, 631, 732. Daud, Enida. (2019). Faktor-Faktor Dalaman Yang Mempengaruhi Niat Individu Untuk Mengamal- kan Rasuah Di Kalangan Penjawat Awam Pihak Berkuasa Tempatan, Jurnal Kemanusiaan Vol 17, No. 2, pp. 2,17, . Daud, Enida, Low Huck Heng, dan Ahmad Muhyuddin Hassan. (2019). Islamic Work Ethic as a Moder- ating Variable Against the Intention to Commit Bribery, Jurnal Islam Dan Masyarakat Kontem- porari Vol 20 No 1, pp 116, 123. Dadi Waluyo. (2019). Mencari Sistem Pemidanaan Yang Tepat Dalam Tata Hukum Pidana Di Indonesia Khususnya Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Supre- masi Hukum Volume 15 Nomor 1, pp, 14, 22. Hartono. (2019). Penerapan Sanksi Hukum Bagi Para Advokat Pelaku Tindak Pidana Suap Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia, Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 5, No 1, pp 77,98, . Hidayat. (2017). Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Suap Dalam Tindak Pidana Ko- rupsi, Jurnal EduTech Vol. 3, pp 41, 53. Ibnu, Artadi. (2016). Hukum: Antara Nilai-nilai Kepas- tian, Kemanfaatan dan Keadilan, Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat, Vol 4, No 1,pp 67, 80. . http://dx.doi.org/10.36356/hdm.v4i1.362 Kristwan, Genova Damanik. (2016). “Antara Uang Peng- ganti Dan Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, dalam Ju- rnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 45, Nomor 1, pp, 1-10. La, Niasa. (2016). Corruption Eradication In The Per- spective Of Criminology, International Journal of Scientific & Technology Research, Volume 5, No.07, pp, 124,127. Mahmud, Ade. (2018). Problematics Of Asset Recovery In Restoring State Loss Due To Corruption, Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3, pp. 209,230. Maikel, Karoba. (2019). Sistem Pembuktian Dan Pemi- danaan Tindak Pidana Korupsi Menurut Un- dang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Lex Cri- men Vol. VIII No. 9, pp 43, 51. Mario, Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan. (2019). “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hu- kum”, Jurnal Crepido, Vol. 01 No. 01,pp 13, 22. Marsha, Gladis Corinna, Neka Erlyani, Rahmi Fauzia. (2019). Resilience Of The Corruption Convicts, Jurnal Kognisia, Volume 2 Nomor 2, pp 13, 17. Noraida, Harun dan Zaidi Hassim. (2017). Rasuah Dalam Pentadbiran Tanah: Penyelesaian Menu- rut Islam, dalam Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari, pp, 40-54. Prayogo, R. Tony. (2016). Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Pepaturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No- mor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Leg-
  • 13. Elly Sudarti & Sahuri Lasmadi, Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan pada Tindak Pidana ... 185  islasi Indonesia, Vol. 13 No. 02,pp, 191, 201. Sarmadan, Pohan. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan Beberapa Negara Du- nia, Jurnal Justitia Vol. 1 No. 01, pp. 271, 303. Sudirman, Antonius. (2015). Eksistensi Pidana Mini- mum Khusus Sebagai Sarana Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 44 No.3, pp, 316,325. Suyanto, Aryas Adi. (2018). The Corruption Eradication Commission As A Role Institution In Eradication Of Corruption Crime In Indonesia, Jurnal USM Law Review, Vol 1 No 1, pp, 39, 67. Sudarti. Elly dan Sahuri Lasmadi. (2019). “The Sanction Formulation In Corruption Crime Due To Indo- nesian Criminal Law System To Realize The Pun- ishment Goals”, dalam Ganesha Law Review Volume 1 Issue 2, pp, 55,64. Usman dan Andi Najemi. (2018). “Mediasi Penal di In- donesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukumnya”, Undang Jurnal Hukum Volume 1 Nomor 1,pp. 65, 83. UNDANG-UNDANG Lembaga Penyelidikan Undang-Undang, Akta Suru- hanjaya Pencegah Rasuah Malaysia 2009 (AKTA 694) dan Malaysian Anti Corruption Commis- sion Act 2009 (AKTA 694), Tahun 2015. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberan- tasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150 ).