Dokumen tersebut membahas pentingnya sinergi antar lembaga dalam pemberantasan korupsi, termasuk membuat roadmap berdasarkan data dari lembaga pengawas dan melakukan law summit antar lembaga penegak hukum untuk membangun kerja sama yang lebih optimal dan fokus dalam melawan korupsi.
1. Dialog RRI Semarang 18 Juli 2011
SINERGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH
Oleh : Sri Nur Hari Susanto.
Kebijakan akselerasi pemberantasan korupsi adalah keniscayaan, karena
negara harus segera mewujudkan kesejahteraan rakyat dan melakukan konvergensi
antara daulat rakyat dan daulat hukum secara bersamaan untuk merealisasi
terwujudnya negara hukum yang demokratis. Kebijakan konstitusionalitas di atas
memperoleh relevansinya bila diletakkan dalam perspektif bangsa dunia dengan
adanya konvensi tentang pemberantasan korupsi, yaitu UNAC 2003. Konvensi
dimaksud adalah upaya konkret bangsa-bangsa untuk bekerja bersama melawan
korupsi yang sudah bersifat trans-national crime. Konvensi menyatakan, ”Prihatin atas
keseriusan ancaman yang ditimbulkan korupsi karena merusak lembaga dan nilai
demokrasi, etika, dan keadilan, serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan
dan penegakan hukum.” Pernyataan dimaksud tepat dan juga sangat tegas, karena
tindak korupsi tidak hanya sudah meluas sehingga bersifat massif, tapi juga dilakukan
dengan secara terstruktur di dalam sendi kehidupan bermasyarakat dalam sistem
governance. Kini, konvensi tersebut sudah diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2006,
dan sesuai dengan pernyataan di atas, konvensi menunjuk pada tiga dampak sekaligus
dari korupsi yang bersifat massif dan terstruktur, yaitu menegasikan proses
demokratisasi, mendekonstruksi pembangunan berkelanjutan, dan mendelegitimasi
penegakan hukum.
Dapat dikemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara korupsi, pembangunan
berkelanjutan, proses demokrasi, dan penegakan hukum. Lebih jauh lagi, korupsi
menjadi salah satu penyebab utama proses pemiskinan yang menyebabkan kemiskinan
kian absolut, pelayanan publik yang tidak optimal, infrastruktur yang tidak memadai,
high-cost economy, dan terjadinya eksploitasi sumber daya yang tidak menimbulkan
manfaat bagi kemaslahatan publik. Pada konteks inilah justifikasi pentingnya kebijakan
akselerasi pemberantasan korupsi memperoleh dasar legitimasinya.
Yang sangat penting dan acap kali dilupakan adalah membangun strategi penga-
wasan bersama di antara DPR, KPK, dan lembaga pengawas lainnya. KPK mempunyai
kewenangan dan kompetensi melakukan pengkajian potensi koruptif dan kolutif pada
lembaga penegakan hukum, lembaga pelayanan publik, dan berbagai instansi pemerin-
tah. BPK melakukan audit keuangan dan audit dengan tujuan tertentu pada hampir se-
luruh lembaga negara dan pemerintahan termasuk pemerintahan daerah. Kedua hasil
pengawasan tersebut seyogianya digunakan oleh DPR untuk memperkuat dan meng-
optimalkan fungsi pengawasannya. Inspektorat dan Bawasda, yang merupakan lemba-
ga pengawasan di level pemerintahan, juga dapat menjadi bagian penting untuk secara
bersama melakukan pengawasan bersama BPK, DPR, dan KPK. Untuk itu, fokus dan
prioritas pengawasan pada bidang tertentu dapat dilakukan bersama, KPK dapat mela-
kukan kajian untuk menentukan pemetaan potensi korupsi dan kemudian hasilnya da-
pat digunakan secara bersama dengan lembaga di atas dan pemerintah untuk melaku-
1
2. kan mainstreaming, focusing, dan synergizing percepatan pemberantasan korupsi di
beberapa bidang strategis.
Pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan produktif, jika dilakukan
tindakan dan kebijakan menyinergikan kinerja antara KPK dan institusi penegakan
hukum lain, seperti peradilan, jaksa, polisi, dan perangkat sistem penegakan hukum
lainnya. Tanpa disertai sinergi antara lembaga-lembaga hukum tersebut, pemberan-
tasan korupsi hanya akan berjalan seolah berdasar pesanan dan serba tebang pilih.
Sinergi itu dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara praktik penegakan hukum
pemberantasan korupsi dan pencegahan korupsi oleh KPK.
Agar proses peradilan tindak pidana korupsi dapat paralel dengan satu penga-
wasan KPK, maka semua proses peradilan kasus korupsi harus dilakukan dalam satu
atap, yakni pengadilan khusus korupsi dan tidak dilakukan di PN. Hal itu diperlukan
guna meminimalkan praktik suap dan kolusi di PN. Realitasnya hakim-hakim pada PN
tanpa melalui seleksi khusus (fit and proper test) dan hanya terdiri dari hakim-hakim
karier. Hakim-hakim pada pengadilan khusus korupsi terdiri dari dua unsur, yakni
berasal dari karier dan nonkarier dan proses rekrutmennya pun melalui seleksi khusus
{fit and proper test) sejak hakim di tingkat pertama, banding, sampai di tingkat kasasi.
Menyatu-atapkan mekanisme sistem peradilan (one roof system) kasus korupsi
dalam satu peradilan khusus korupsi di seluruh Indonesia, secara bertahap, diharapkan
pada 2011 telah dapat dibentuk di kota-kota besar di Indonesia yang memiliki potensi
korupsi cukup besar, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Surnatra,
dan Kalimantan. Ini semata-mata dimaksudkan agar mekanisme pemberantasan korup-
si dapat berjalan sinergi dengan KPK. Termasuk membuka wacana kemungkinan pem-
bentukan KPK di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Di samping itu, KPK perlu membudayakan eksaminasi publik atas putusan per-
kara korupsi yang kontroversial dan melukai nurani publik. Eksaminasi (pengujian) la-
zim di dunia peradilan hanva dilakukan secara internal (MA, PN, dan PT) dengan mak-
sud dan tujuan untuk memperbaiki kualitas putusan. Karena itu, eksaminasi hanya ber-
sifat formalitas dari atasan atau rekan sejawat untuk menjalankan tugas tidak dalam
rangka memberi sanksi yang tegas terhadap putusan yang tidak berkualitas. Terbukti
hingga kini belum terlihat aparat hukum yang dipecat karena rendahnya kualitas putus-
an hukum. Berbeda bila eksaminasi dilakukan publik (akademisi dan aktivis hukum),
karena merupakan bagian dari kontrol publik terhadap putusan hukum, maka
dimungkinkan lebih objektif dan bersemangat keadilan dan kejujuran, bukan sekadar
teknis administratif. Diharapkan, hasil eksaminasi publik tidak hanya mencerdaskan
publik, tetapi juga direspons KPK agar kasus-kasus korupsi yang menyita publik dibuka
ulang bila hasil putusan pengadilan tidak adil.
Pencegahan korupsi juga berkaitan dengan pengimplementasian UU No 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan penguatan Komisi Informasi.
Tujuannya agar publik dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah.
Begitu pula kewajiban aparat penyelenggara untuk memberikan akses informasi pada
2
3. publik. Asumsi itu didasarkan pada fakta bahwa saat ini ketidaktransparanan
penyelenggara pemerintah dalam pengelolaan anggaran pemerintah baik bersumber
dari APBN dan APBD menyebabkan korupsi marak terjadi di birokrasi pusat dan
daerah. Percepatan implementasi UU tentang Kebebasan Publik dalam Akses Informa-
si diharapkan akan memiliki beberapa manfaat di antaranya (1) dapat membatasi dan
atau mencegah ruang bagi penjabat publik untuk melakukan korupsi; (2) memperkuat
akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah; dan (3) diharapkan
dapat mendesakralisasikan putusan, dokumen, dan berkas-berkas hukum yang selama
ini dianggap sakral.
ROADMAP.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bisa lebih optimal dan fokus dengan
membuat roadmap dan membangun sinergi antar lembaga penegak hukum. Roadmap
tersebut bisa dibuat dari data-data yang diperoleh dari instansi pengawasan seperti Ba-
dan Pemeriksa Keuangan dan Inspektorat Jenderal di institusi pemerintahan yang data-
nya sudah setengah matang. Dengan mengumpulkan, menginventarisasi, dan memeta-
kan data-data tersebut, maka bisa dibuat roadmap pemberantasan korupsi dan memi-
lah- milah mana daerah yang berpotensi korupsi dan mana institusi yang berpotensi ko-
rupsi. Upaya selanjutnya, harus dilakukan law summit dari lembaga-lembaga penegak-
an hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Melalui law summit ini terus diba-
ngun sinergi antar lembaga penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Jika ke-
dua hal ini bisa dibuat dan dilaksanakan, maka pemberantasan korupsi di Indonesia bi-
sa dilakukan lebih optimal dan lebih fokus. Adanya roadmap dan law summit lembaga-
lembaga penegak hukum, maka dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi bisa
dihindari pemberantasan korupsi secara tebang pilih.
3