2. Penemuan Hukum
• Ada kalanya undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas, jika hakim harus
mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya.
• Hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
• Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan
hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.
• Bahwasanya pekerjaan hakim menjadi suatu faktor atau kekuatan yang
membentuk hukum, itu telah diakui resmi oleh undang-undang sendiri.
2
3. • Hakim tidak hanya turut pada undang-undang, seperti apa yang pernah dikemukakan
oleh Montesquieu yang mengatakan “la boche qui prononce les paralos de la loi”
(atau dengan kata lain Hakim sebagai terompet undang-undang), hal ini sudah lama
ditinggalkan.
• Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.
• Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit.
3
4. • Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah hukum, sedangkan penemuan hukum
yang dilakukan oleh pakar ilmu hukum bukan hukum melainkan sumber hukum (doktrin).
• Sering juga hakim mengambil doktrin dalam memutus suatu perkara, maka doktrin tadi
sudah menjadi hukum.
• Dalam penemuan hukum hakim dapat sepenuhnya tunduk pada undang-undang.
• Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar hukum.
• Pembentuk undang-undang membuat peraturan umumnya, sedangkan hakim hanya dapat
mengonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim
menerapkannya menurut bunyi undang-undang.
• Penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara logis
terpaksa sebagai silogisme.
• Agar dapat mencapai kehendak tujuan undang-undang serta dapat menerapkan undang-
undang sesuai dengan kenyataan sosial, maka hakim menggunakan metode penemuan
hukum.
4
5. Hakim sebagai Penemu Hukum
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
• Pasal 5 ayat (1):
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. 5
7. Metode Penafsiran
• Interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus
menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai
peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.
• Metode interpretasi adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-
undang.
• Di dalam ilmu hukum terdapat beberapa macam metode interpretasi yang sering
dilakukan hakim dalam melakukan kegiatan penemuan hukum, yakni bahasa,
historis, sistematis, teleologis atau sosiologis, perbandingan hukum, futuristik,
restriktif, dan ekstensif.
7
8. Interpretasi menurut Bahasa (Gramatikal)
• Memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka
memberikan makna terhadap sesuatu objek.
• Metode interpretasi gramatikal disebut juga metode penafsiran objektif
merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya.
Contoh: istilah “tanpa sepengetahuan miliknya” diartikan sebagai “melawan
hukum” (Pasal 362 KUHP).
8
9. Interpretasi menurut Sejarah (Historis)
• Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat
ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri.
Penafsiran menurut sejarah undang-undang
Penafsiran menurut sejarah hukum
Contoh: menjelaskan ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata atau KUH
Pidana
9
10. Interpretasi Sistematik
• Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan yang ada dengan menghubungkannya dengan undang-
undang lain.
• Contoh: apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari
ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata saja, tetapi harus dihubungkan juga
dengan Pasal 278 KUHP (pengakuan anak yang ternyata bukan bapak anak
tersebut diancam pidana penjara paling lama 3 tahun) .
10
11. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
• Interpretasi ini dilakukan apabila makna undang-undang ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan.
• Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru. Peraturan hukum yang lam disesuaikan dengan keadaan
baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.
Contoh: Pasal 534 KUH Pidana tentang perbuatan mempertunjukkan alat
pencegah kehamilan mengalami dekiriminalisasi demi tujuan sosiologis (sejalan
dengan program KB nasional).
11
12. Interpretasi Komparatif (Perbandingan)
• Metode penafsiran yang dilakukan dengan jalan membandingkan antara beberapa aturan
hukum.
• Tujuan hakim membandingkan dimaksudkan untuk mencari kejelasan mengenai makna dari
suatu kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang.
• Penafsiran dengan cara membandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan
peraturan yang ada pada sistem hukum lainnya, dengan menemukan persamaan dan
perbedaannya.
Contoh: syarat-syarat gugatan class action dalam Pasal 46 UU Perlindungan Konsumen
ditafsirkan dengan membandingkan syarat-syarat gugatan class action menurut Article 23 US
Federal Rule of Civil Procedure.
12
13. Interpretasi Futuristik
• Metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi terhadap penjelasan
ketentuan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
• Mengacu pada rumusan yang ada dalam suatu rancangan undang-undang
(RUU), atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Contoh : penerapan Pertanggungjawaban Pidana (PJP) terhadap tindak pidana
yang dilakukan terhadap korporasi, mengacu pada rumusan sistem PJP “vicarious
liability” yang dirumuskan dalam Pasal 32 ayat (2) RUU (konsep) KUHP “Baru”
tahun 2007.
13
14. Penafsiran Doktrinal
• Metode yang dilakukan dengan cara memahami aturan undang-undang
melalui sistem preseden atau melalui praktik peradilan. Metode penafsiran ini
banyak dipengaruhi oleh tradisi common law yang digunakan sebagai
pendekatannya.
14
15. Interpretasi Restriktif
• Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat
membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang, ruang
lingkup dari ketentuan itu dibatasi.
Contoh: menurut interpretasi gramatikal “tetangga” menurut Pasal 666 KUH
Perdata dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari
pekarangan sebelahnya. Namun dalam penafsiran restriktif tetangga ditafsirkan
tidak termasuk seorang penyewa dari pekarangan sebelahnya.
15
16. Interpretasi Ekstensif
• Dalam interpretasi ekstensif dilampaui batas-batas yag ditetapkan oleh
interpretasi gramatikal.
• Cakupan atau ruang lingkup suatu ketentuan dalam undang-undang
diperluas.
Contoh: kata “menjual” dalam Pasal 1576 KUH Perdata oleh HR ditafsirkan
luas yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual beli saja, tetapi juga “peralihan”
16
17. Metode Argumentasi (Konstruksi)
• Hal ini terjadi apabila hakim dihadapkan pada kekosongan hukum (rechtsvacum) atau
ketidaklengkapan undang-undang, namun di satu pihak undang-undang mewajibkan
hakim untuk tetap memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
• Metode ini terdiri dari:
a. Metode berpikir analogi
b. Metode penyempitan hukum
c. Argumentum a contrario
17
18. Analogi
• Penemuan hukum dilakukan dengan jalan analogi adalah dengan mencari
peraturan umumnya dari peraturan khusus, dan akhirnya menggali asas yang
terdapat di dalamnya.
• Disini akhirnya peraturan perundang-undangan yang dijadikan peraturan
yang berifat umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, diterapkan
terhadap suatu peristiwa hukum, sedangkan peraturan peraturan perundang-
undangan tersebut sesungguhnya tidak meliputi peristiwa khusus itu. Akan
tetapi peristiwa khusus tadi hanyalah mirip dengan peristiwa yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
18
19. Contoh:
• Hakim menafsirkan Pasal 1576 KUH Perdata, yang menyebut:
“Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan perjanjian sewa menyewa kecuali
apabila telah diperjanjikan”.
Padahal Pasal 1576 KUH Perdata ini, khusus diperuntukan bagi penjualan barang.
Sementara itu, timbul peristiwa konkrit, bahwa barang tersebut tidak dijual akan
tetapi dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan atau diwariskan secara legal.
Pasal 1576 KUH Perdata yang pada dasarnya bersifat khusus dan kemudian dijadikan
umum, dapat diterapkan terhadap hibah atau bentuk peralihan lain.
Analogi
Yang khusus dijadikan umum
19
PERATURAN KHUSUS
Pasal 1576 KUH Perdata
Jual beli tidak memutuskan sewa
menyewa
Diterapkan pada peristiwa khusus: Jual Beli
PERATURAN UMUM
Penjualan merupakan peralihan hak
Diterapkan pada setiap peralihan:
Hibah, Menghadiahkan, Warisan, dsb
20. Penyempitan Hukum (Penghalusan Hukum)
• Sebagai kebalikan analogi.
• Peraturan perundang-undangan yang ruang lingkupnya terlalu umum atau luas perlu dipersempit
untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit.
• Dibentuklah pengecualian hukum, atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan yang
bersifat umum.
• Peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus
atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
Contoh: pengertian “perbuatan melawan hukum” seperti yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH
Perdata yang memiliki ruang lingkup yang luas kemudian dipersempit. Di suatu jalan terjadi tabrakan
antara A dan B. Kedua kendaraan sama-sama berkecepatan tinggi dan sama-sama rusak. Apabila A
menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga dapat menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan demikian
kedua-duanya salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.
20
21. Argumentum a contrario
• Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang,
tetapi kebalikan peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang.
• Cara menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-
undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu itu dan untuk
peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya.
• Pada argumentum a contrario titik berat diletakan pada ketidaksamaan
peristiwanya. Di sini diperlakukan segi negatif dari undang-undang, dengan
kata lain peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario).
21
22. Gambar untuk menjelaskan Argumentum a contrario
a contrario
22
Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975
Istri yang cerai boleh
Kawin lagi setelah
Masa Idah
Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975
Ditetapkan secara kebalikannya
Diterapkan terhadap Peristiwa
khusus (istri yang cerai)
Diterapkan terhadap Persitiwa
khusus lain (suami yang cerai
hendak Kawin lagi).