2. Pendahuluan
Sejatinya tujuan didirikannya perusahaan adalah untuk memperoleh laba yang
maksimal agar keberlangsungan hidup perusahaan berjalan lebih lama. Melalui manajemen
yang baik dan efisien, perusahaan dapat mengelola dan mengambil keputusan yang berguna
bagi kelangsungan hidup perusahaan guna untuk mencapai tujuan tersebut. (Asrori. M, 2015).
Bagi semua perusahaan yang ingin survive dan sukses harus berusaha untuk
meningkatkan volume penjualan yang dicapai perusahaan, karena hal ini akan mempengaruhi
pencapaian laba usaha yang maksimal. Apabila perusahaan mampu meningkatkan volume
penjualan, maka perusahaan mempunyai kemungkinan mampu meningkatkan jumlah
keuntungan yang lebih besar, selain keuntungan yang meningkat dapat pula menaikkan
efisiensi perusahaan (Asrori. M, 2015)
Masih menurut Asrori. M (2015) yang dikutip dari Munawir (1995:184) Ukuran yang
sering dipakai untuk menilai sukses tidaknya manajemen suatu perusahaan adalah laba yang
diperoleh perusahaan. Sedangkan untuk dapat mencapai laba yang besar (dalam perencanaan
maupun realisasinya) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu biaya produksi, harga jual, dan
volume penjualan. Biaya akan menentukan harga jual, harga jual akan mempengaruhi volume
penjualan, volume penjualan akan mempengaruhi volume produksi dan volume produksi ini
akan langsung mempengaruhi biaya. Oleh karena itu dalam perencanaan, hubungan antara
biaya, volume dan laba memegang peranan yang sangat penting.
Salah satu pendekatan yang digunakan manajemen dalam perencanaan laba adalah
metode titik impas (break even point). Metode break even point (BEP) erat kaitannya dengan
hubungan biaya, volume, dan laba yang merupakan teknik untuk menggabungkan,
mengkoordinasikan, dan menafsirkan data produksi dan distribusi untuk membantu
manajemen dalam mengambil keputusan. Impas sendiri diartikan keadaan suatu usaha yang
tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi. Dapat pula dengan kata lain suatu usaha
dikatakan impas jika pendapatan sama dengan jumlah biaya. (Asrori. M, 2015)
Menurut Asrori. M (2015) yang dikutip dari Bambang Riyanto (1997:359) Dengan
demikian metode BEP adalah suatu alat yang digunakan untuk mempelajari hubungan antara
biaya tetap, biaya variabel keuntungan, dan volume penjualan. Melalui metode BEP,
perusahaan dapat dengan mudah menentukan volume penjualan yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat laba yang diinginkan. Metode BEP atau titik impas merupakan teknik
analisa untuk mempelajari hubungan antara biaya total, laba yang diharapkan dan volume
penjualan.
3. Secara umum metode BEP ini juga memberikan informasi mengenai margin of safety
yang mempunyai kegunaan sebagai indikasi dan gambaran kepada manajemen berapakah
penurunan penjualan dapat ditaksir sehingga usaha yang dijalankan tidak menderita rugi.
Untuk dapat menggunakan metode BEP, biaya yang terjadi harus dipisahkan menjadi
biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dan
bertambah dengan adanya perubahan volume kegiatan. Biaya variabel adalah biaya yang
jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Apabila suatu
industri hanya mempunyai biaya variabel, maka tidak akan muncul masalah break even
dalam industri tersebut. Masalah break even baru muncul apabila suatu industri disamping
mempunyai biaya variabel juga mempunyai biaya tetap. Besarnya biaya variabel secara
totalitas akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan volume produksi, sedangkan besarnya
biaya tetap secara totalitas tidak mengalami perubahan meskipun ada perubahan volume
produksi. (Asrori. M, 2015)
4. A. Pengertian Break Even Point (BEP)
BEP dapat diartikan suatu keadaan di mana dalam operasi perusahaan, perusahaan
tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi (penghasilan yang dinilai menggunakan total
biaya). Metode BEP tidak hanya semata-mata untuk mengetahui keadaan perusahaan apakah
mencapai titik BEP, akan tetapi metode BEP mampu memberikan informasi kepada pinjaman
perusahaan mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungannya dengan
kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan.
Menurut Asrori. M (2015) yang dikutip dari Bambang Riyanto (1995:359). Analisis
break even point adalah suatu teknik analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap,
biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan. Oleh karena analisis tersebut mempelajari
hubungan antara biaya keuntungan – volume kegiatan, maka analisis tersebut sering pula
disebut “Cost – Profit – Volume analysis (C. P. V analysis). Dalam perencanaan keuntungan,
analisis break even point merupakan “profit – planning approach” yang mendasarkan pada
hubungan antara biaya (cost) dan penghasilan penjualan (revenue).”
Menurut Isaskar. R (2012) yang dikutip dari Munawir (1986) dan Rosyandi (1985)
analisa break even point merupakan suatu analisa yang ditujukan untuk menentukan tingkat
penjualan yang harus dicapai oleh suatu perusahaan agar perusahaan tersebut tidak menderita
kerugian (keuntungan=0). Melalui analisa BEP dapat dibuat perencanaan penjualan,
sekaligus perencanaan tingkat produksi, agar perusahaan secara minimal tidak mengalami
kerugian. Selanjutnya karena harus untung berarti perusahaan harus berproduksi di atas BEP
atau titik impas.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan dengan kata lain, pada keadaan
break event point keuntungan atau kerugian sama dengan Nol (0) yaitu:
- Suatu kondisi dimana perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian, atau
- TR (total revenue)= TC (total cost), dimana laba = 0
B. Tujuan Break Even Point (BEP)
Tujuan BEP menurut Isaskar. R (2012) yang dikutip dari Prawirasentono (1997)
diantaranya:
1. Menentukan jumlah penjualan minimum yang harus dipertahankan agar perusahaan
tidak mengalami kerugian. Jumlah penjualan minimum ini berarti juga jumlah
produksi minimum yang harus dibuat.
5. 2. Menentukan jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh laba yang telah
direncanakan atau dapat diartikan bahwa tingkat produksi harus ditetapkan untuk
memperoleh laba tersebut.
3. Mengukur dan menjaga agar penjualan dan tingkat produksi tidak lebih kecil dari
BEP.
4. Menganalisis perubahan harga jual, harga pokok dan besarnya hasil penjualan atau
tingkat produksi.
C. Asumsi-asumsi dalam Break Even Point (BEP)
Menurut Asrori. M (2015) yang dikutip dari Munawir (1995: 197) asumsi-asumsi
dasar yang digunakan dalam analisa break even antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa biaya harus dapat dipisahkan atau diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya
tetap dan biaya variabel dan prinsip variabelitas biaya dapat diterapkan dengan tepat.
Pada prakteknya untuk memisahkan biaya tetap dan biaya variabel dengan tepat
bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah karena ada beberapa biaya yang sifatnya
banci yaitu biaya yang mempunya sifat variabel dan sifat tetap (semi varibel atau semi
tetap).
2. Bahwa biaya tetap secara total akan selalu konstan samai tingkat kapasitas penuh.
Biaya tetap adalah merupakan biaya yang selalu akan terjadi walaupun perusahaan
berhenti operasi.
3. Bahwa biaya variabel akan berubah secara proposional (sebangding) dengan
perubahan volume penjualan dan adanya sinkronisasi antara produksi dan penjualan.
4. Harga jual persatuan barang tidak akan berubah berapapun jumlah satuan barang yang
dijual atau tidak ada perubahan harga secara umum.
5. Bahwa hanya ada satu barang yang diproduksi atau dijual atau jika lebih dari satu
macam maka kombinasi atau komposisi penjualannya (sales mix) akan tetap konstan.
D. Metode / Teknik Perhitungan Break Even Point (BEP)
Alat analisis yang biasa digunakan dalam mencari tingkat break even point
diantaranya pendekatan matematis dan pendekatan grafis. (Isaskar. R, 2012).
6. Perhitungan BEP dengan pendekatan matematis menggunakan rumus aijabar dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) atas dasar unit dan (b) atas dasar nilai penjualan dalam
rupiah.
Perhitungan BEP atas dasar unit dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
BEP (Q) =
FC
P−VC
(1)
Dimana :
P = harga jual per unit
V = biaya variabel per unit
FC = biaya tetap
Q = jumlah unit/kuantitas produk yang dihasilkan dan dijual.
Perhitungan break-even point atas dasar nilai penjualan dalam rupiah dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus aljabar sebagai berikut:
BEP =
FC
1 −
VC
p
(2)
dimana:
FC = biaya tetap
VC= biaya variabel
P = harga jual per unit
Penerapan sederhana sebagai contoh: suatu bisnis untuk memproduksi suatu produk
membutuhkan biaya tetap Rp. 300.000,- dan membutuhkan biaya variable Rp. 40,- per unit
serta produknya dijual dengan harga Rp. 100,- per unit. Dengan perhitungan matematis dapat
kita hitung :
𝐵𝐸𝑃 ( 𝑢𝑛𝑖𝑡) =
300.000
100−40
= 5000 unit
𝐵𝐸𝑃 ( 𝑟𝑢𝑝𝑖𝑎ℎ) =
300.000
1−
40
100
= Rp. 500.000
Pendekatan grafik dilakukan dengan menggambarkan unsur-unsur biaya dan hasil ke dalam
sebuah gambar grafik. Dalam gambar tersebut akan terlihat garis-garis biaya tetap, biaya total
yang menggambarkan jumlah biaya tetap dan biaya variabel, dan garis hasil penjualan.
Besarnya volume produksi/penjualan dalam unit digambarkan pada sumbu horizontal (sumbu
7. X) dan besarnya biaya dan penghasilan penjualan digambarkan pada sumbu vertikal (sumbu
Y)
Contoh lain, berikut diberikan ilustrasi atau gambaran dari perusahaan Clom Giriwil yang
memproduksi barang “X” yang memiliki kapasitas produk 240.000 satuan, data budget untuk tahun
2013 adalah sebagai berikut :
8. Firma “Clom Giriwil”
Budget Rugi-Laba
Tahun 2013
Budgetpenjualan(200.000 satuan @ 250,-)………………………………………………….. Rp. 50.000.000
Budget Biaya Tetap Variabel
Bahan langsung Rp.9000.0000
Tenaga Langsung Rp.10.000.000
Overhead pabrik Rp.7000.000 Rp.3000.000
Biaya administrasi Rp.6000.000 Rp.1000.000
Biaya distribusi Rp.5000.000 Rp.3000.000
Jumlah Rp.18.000.000 Rp.26.000.000 =Rp.44.000.000
Laba yang dibudgetkan Rp.6000.000
Dengan menggunakan data pada perusahaan Clom Giriwil di atas, mka jumlah barang yang
harus dijual agar perusahaan mencapai mencapai break even point adalah :
Rp 18.0000.000 = 150.000 satuan
Rp 250-Rp 130
Budget Laba-Rugi dari perusahaan “Clom Giriwil” tersebut di atas dapat disederhanakan
sebagai berikut:
Penjualan (200.000 @Rp 250,-) = Rp 50.000.000 = 100%
Jumlah biaya variabel Rp 26.000.000 = 52%
Marginal Income Rp 24.000.000 = 48%
Total Biaya Tetap Rp 18.000.000 = 36%
Laba Rp 6000.000 = 12%
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa
a. Setiap penjualan sebesar Rp.100 maka Rp 52 merupakan biaya variabel (hasil penjualan
yang diserap oleh biaya variabel), jika perusahaan tidak berproduksi (berhenti), maka biaya
variabel ini tidak akan timbul, 52 % adalah ratio antara biaya variabel dengan hasil penjualan
yang disebut juga “Variabel Cost Ratio”.
b. Setiap penjualan sebesar Rp 100 maka yang dapat digunakan untuk menutup biaya tetap
sebesar Rp 48 atau 48% biaya tetap ini akan selalu timbul dalam jumlah yang tetap baik
perusahaan berproduksi maupun tidak. 48% merupakan ratio antara margin dengan hasil
9. penjualan yang disebut marginal income ratio atau P/V ratio yang memberikan informasi
bahwa 48% dari penjualannya tersedia untuk menutup biaya tetap dan laba.
Dalam keadaan BEP laba perusahaan adalah nol, maka dari itu dengan membagi jumlah
biaya tetap dengan marginal income rationya akan diperoleh tingkat penjualan (dalam rupiah)
yang harus dicapai agar perusahaan tidak menderita rugi ataupun memperoleh laba (break
even), sehingga kalau marginal income rationya diketahui maka titik break even dalam rupiah
akan lebih mudah ditentukan dengan rumusL
Break Even = Biaya Tetap
(dalam rupiah penjualan) Marginal income Ratio
Dengan data pada perusahaan Clom Giriwil tersebut dapat ditentukan tingkat break evennya
sebagai berikut:
Rp 18.000.000 atau Rp 18.000.000 = Rp 37.500.000
48% 1-52%
Marginal Income Ratio adalah Ratio antara marginal income dengan hasil penjualannya,
sedangkan marginal income adalah selisih antara hasil penjualan dengan biaya variabel, atau
dengan cara lain marginal income ratio dapat dituliskan sebagai berikut:
MIR = Hasil Penjualan-Biaya Variabel
Hasil Penjualan
= Hasil Penjualan - Biaya Variabel
Hasil Penjualan Hasil Penjualan
= 1- Biaya Variabel
Hasil Penjualan
10. Dengan demikian untuk menentukan penjualan pada tingkat break even dalam rupiah dapat pula
ditentukan dengan rumus:
Break Even = Biaya Tetap
(dalam rupiah hasil penjualan) 1- Biaya Variabel
Penjualan
Dari data penjualan Clom Giriwil tersebut, maka tingkat penjualan yang harus dicapai agar
perusahaan tidak menderita kerugian maupun memperoleh laba adalah :
Rp 18.000.000
Rp 26.000.000 Rp 37.500.000
Rp 50.000.000
Untuk menentukan jumlah satuan barang yang harus dijual agar perusahaan mencapai break
even dapat pula ditentukan dengan membagi hasil penjualan pada tingkat break even dengan
harga jual per satuan barang tersebut ( Rp 37.500.000 = 150.000 satuan)
Rp 250
Titik break even untuk perusahaan Clom Giriwil pada tahun 2013 sebesar Rp. 37.500.000
atau 150.000 satuan barang . artinya jika perusahaan tersebut hanya mampu menjual
barangnya sebanyak 150.000 dengan harga jual per satuan Rp.250 perusahaan tidak akan
memperoleh laba, tetapi juga tidak menanggung kerugian hal ini bisa dibuktikan sebagai
berikut:
Penjualan…………………………………………. Rp 37.500.000
Biaya Tetap……………………… Rp 18.000.000
Biaya Variabel
52% x Rp 37.500.000 = Rp 19.500.000
Rp 37.500.000
Laba……………………………………………... Rp 0
11. MARGIN OF SAFETY
Selisih antara penjualan yang dibudgetkan atau tingkat penjualan tertentu dengan penjualan
pada tingkat break even merupakan tingkat keamanan (margin of safety) bagi perusahaan
dalam melakukan penurunan penjualan.
Margin of safety ini dapat dinyatakan dalam ratio (prosentase) antara penjualan menurut
budget dengan volume penjualan pada tingkat break even, atau dalam prosentase (ratio) dari
selisih antara penjualan yang dibudgetkan dan penjualan pada tingkat break even dengan
penjualan yang dibudgetkan itu sendiri.
Rumusnya adalah
1. Penjualan per Budget %
Penjualan per Break Even
2. Penjualan per Budget-Penjualan per Break Even %
Penjualan per Budget
Dengan data Clom Giriwil maka kita dapat nyatakan sebagai berikut
1. Rp 50.000.000 x 100% = 133,33%
Rp 37.500.000
2. Rp 50.000.000-Rp 37.500.000 x 100% = 25%
Rp 50.000.000
Hal ini menunjukan bahwa penjualan Clom Giriwil tidak boleh turun lebih dari 25% dari
penjualan yang direncanakan, atau 33,33% dari tingkat penjualan break even yang telah
ditentukan agar perusahaan tidak menderita rugi.
Margin of Safety penjualan tersebut kita nyatakan dalam hasip penjualan atau jumlah
satuan penjualan untuk taun 2013 adalah :
1. 33,33% x Rp. 37.500.000 = Rp. 12.500.000 atau 50.000 satuan
2. 25% x Rp 50.000.000 = Rp. 12.500.000 atau 50.000 satuan
Tingkat atau volume Clom Giriwil yang harus dicapai tidak boleh turun lebih dari Rp.
12.500.000 atau 50.000 satuan dari penjualan yang direncanakan agar perusahaan tidak rugi
dan belum untung. Perusahaan telah merencanakan penjualan Rp. 50.000.000 atau 200.000
satuan, maka penjualan harus mencapai Rp 50.000.000-Rp 12.500.000= 37.500.000 atau
200.000 satuan-50.000 satuan = 150.000 satuan.
12. KENAIKAN BIAYA VARIABEL
Diasumsikan perusahaan Clom Giriwil mengalami kenaikkan biaya variabel sebesar 10%,
maka dapat dihitung break even yang baru adalah
= biaya tetap
1- biaya variabel x 110%
Penjualan
= Rp 18.000.000
1- Rp 26.000.000 x 110%
Rp 50.000.000
= Rp 42.056.075 atau 168.225 satuan
Dalam satuan barag dapat ditentukan dengan rumus
= Jumlah biaya tetap
Marginal Income per Satuan
= Rp 18.000.000
Rp 250- (Rp 130 x 110%)
= Rp 18.000.000 x 1 satuan
Rp 107
= 168.225 satuan
ANALISIS BEP DAN KEPUTUSAN INVESTASI
Berikut adalah data perhitungan Laba-rugi Clom Giriwil
Penjualan………………………………………………… Rp 1000.000
Harga Pokok & biaya operasi:
Biaya Tetap………… Rp 306.000
Biaya Variabel……… Rp 640.000
Rp 946.000
Keuntungan Rp 54.000
13. Jika investasi tambahan ini dilaksanakan, maka biaya tetapnya akan berubah dari 306.000
menjadi 414.000 per tahun, sedangkan biaya variabelnya tetap seperti semula yaitu 64% dari
penjualan
Tingkat BEP sebelum investasi adalah
TBE = Rp 306.000 = Rp. 850.000
1- Rp 640.000
Rp 1000.000
Tingkat BEP setelah investasi adalah
TBE = Rp 414.000 = Rp 1.150.000
1- Rp 640.000
Rp 1000.000
Dengan adanya investasi maka harus dapat menaikkan penjualan menjadi Rp.1.150.000 dari
sebelumnya Rp. 1000.000 sebelum perusahaan memperoleh keuntungan.
Langkah kedua adalah menentukan tingka penjualan yang harus dicapai Clom Giriwil untuk
memperoleh keuntungan tertentu atau minimal sama dengan keadaan sekarang yaitu
Rp 54.000
TBE = Rp. 414.000+ Rp 54.000 =Rp 1.300.000
1- Rp. 640.000
Rp 1000.000
Jadi, untuk memperoleh laba yang diperoleh agar sama dengan yang saat ini, perusahaan
harus mamu menjual produk sebesar Rp. 1.300.000
ANALISIS BREAK EVEN DAN KEPUTUSAN MENUTUP USAHA
Kegunaan brek even bagi manajemen adalah salah satunya untuk pengambilan keputusan
menutup usaha atau tidak
14. Shut Down point = Biaya tetap tunai
(dalam satuan penjualan) marginal income per satuan
Jika diketahui dari data Clom Giriwil fixed Cost Rp 18.000.000 yang Rp. 12.000.000
merupakan biaya tunai, maka penjualan minimal yang harus dilakukan agardapat menutupi
biaya tunai (shut down point) adalah
Rp 12.000.000 x 1 satuan = 100.000 satuan
Rp 250- Rp 130
Untuk mengetahui jumlah rupiah penjualan dapat dilakukan dengan mengalikan jumlah
satuan tersebut dengan harga jual per satuan (100.000 x Rp. 25.000.000) atau dengan rumus
Shut down point = biaya tetap tunai
(dalam rupiah penjualan) 1- biaya variabel
Hasil penjualan
Sehingga jumlah rupiah penjualan adalah
Rp 12.000.000 = Rp 25.000.000
1- Rp 26.000.000
Rp 50.000.000
15. Sumber:
Asrori,M. 2015 MetodeBreak Even Point(BEP) SebagaiAlat Perencanaan Laba Jangka Pendek.UNS.
Diakses pada tanggal 15 November 2015 dari
https://www.academia.edu/8281238/Metode_Break_Even_Point_BEP
Isaskar,R. 2012. Modul9 Manajemen Keuangan:BreakEven Point.UniversitasBrawijaya.Diakses
pada tanggal 15 November2015 dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved
=0CBoQFjAAahUKEwjvhZqd2ZLJAhWTHI4KHTAWBHI&url=http%3A%2F%2Fdwiretno.lecture.ub.a
c.id%2Ffiles%2F2009%2F10%2FMK_9_Break-Even-
Point.docx&usg=AFQjCNGQEXriqOs0PFRtru6lIedCd3qARA&sig2=ghtTj2I1E5Vb0-
gQILbzJg&bvm=bv.107467506,d.c2E