Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Tugas rangkuman pertemuan 1 7
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penilaian prestasi kerja (kinerja) adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis
untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga
untuk menentukan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggapan yang lebih baik
di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi
jabatan dan penentuan imbalan. Tujuan dari penilaian prestasi kerja (kinerja) adalah
untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi dari SDM organisasi.
Menentukan sasaran dari kinerja yang akan datang dan memberikan tanggung
jawab perorangan dan kelompok sehingga untuk periode selanjutnya jelas apa yang
harus diperbuat oleh karyawan, mutu dan bahan baku yang harus dicapai, sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Peran sumber daya
manusia yang stratejik akan memfokuskan pada produktivitas perilaku karyawan dalam
organisasi. Perilaku stratejik adalah perilaku produktif yang secara langsung
mengimplementasikan strategi organisasi. Strategi ini terdiri dari dua kategori umum
seperti :
Perilaku inti (core behaviour) adalah alur yang langsung berasal dari kompetensi
inti perilaku yang didefinisikan organisasi. Perilaku tersebut sangat fundamental untuk
keberhasilan organisasi.
Perilaku spesifik yang situasional yang essential sebagai key point dalam
organisasi atau rantai nilai dari suatu bisnis. Mengintegrasikan perhatian pada perilaku
kedalam keseluruhan usaha untuk mempengaruhi dan mengukur kontribusi sumber daya
manusia terhadap organisasi merupakan suatu tantangan.
Peranan auditor dalam mengimplementasikan rekomendasi audit hanya sebagai
pendukung, untuk menjaga obyektivitas dan independensi auditor, karena ada
kemungkinan dimasa-masa yang akan datang organisasi tersebut akan diaudit oleh
auditor yang sama. Auditor akan memberikan penjelasan tentang bagaimana dan
mengapa sebuah rekomendasi diberikan dan memonitor tindakan manajemen
sehubungan dengan laporan audit untuk mengetahui perkembangan
pengimplementasian rekomendasi audit.
2. 1.2 Rumusan Masalah
Pengertian Kinerja Karyawan
Apa itu HR Score Card (pengukuran kinerja SDM)
Pengertian motivasi dan kepuasan kerja
Mencari tahu tentang motivasi dan kepuasan kerja
Bagaimana cara mengelola potensi kecerdasan dan emosional SDM
Pengertian konsep audit kinerja
Bagaimana cara pelaksanaan audit kinerja
3. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kinerja
Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai
oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Definisi kinerja menurut Bambang Kusriyanto dalam A.A. Anwar Prabu
Mangkunegara (2005: 9) adalah perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta
tenaga kerja per satuan waktu (lazimnya per jam).
Faustino Cardosa Gomes dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, (2005: 9)
mengemukakan definisi kinerja sebagai ungkapan seperti output, efisiensi serta
efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas.
Sedangkan Menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:
9), kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa kinerja SDM adalah prestasi kerja, atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun
kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas
kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Penilaian prestasi
kerja merupakan usaha yang dilakukan pimpinan untuk menilai hasil kerja bawahannya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penilaian prestasi kerja (kinerja) adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis
untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga
untuk menentukan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggapan yang lebih baik
di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi
jabatan dan penentuan imbalan. Tujuan dari penilaian prestasi kerja (kinerja) adalah
untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi dari SDM organisasi.
Menentukan sasaran dari kinerja yang akan datang dan memberikan tanggung
jawab perorangan dan kelompok sehingga untuk periode selanjutnya jelas apa yang
harus diperbuat oleh karyawan, mutu dan bahan baku yang harus dicapai, sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja karyawan.
4. Menentukan potensi karyawan yang berhak memperoleh promosi, dan kalau
berdasarkan hasil diskusi antara karyawan dengan pimpinan itu untuk menyusun suatu
proposal mengenai sistem bijak (merit system) dan sistem promosi lainnya, seperti
imbalan (yaitu reward system recommendation)
Sedangkan T. Hani Handoko (2001: 138-139), penilaian hendaknya memberikan
gambaran akurat mengenai prestasi kerja karyawan sehingga untuk mencapai tujuan ini
sistem penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (jon related), praktis,
mempunyai standar-standar dan menggunakan berbagai ukuran yang dapat diandalkan.
Job related berarti bahwa sistem menilai perilaku-perilaku kritis yang mewujudkan
keberhasilan perusahaan. Sedangkan suatu sistem disebut praktis bila dipahami atau
dimengerti oleh para penilai dan karyawan. Di samping harus job related dan praktis,
evaluasi prestasi kerja memerlukan standar-standar pelaksanaan kerja (performance
standard) dengan mana prestasi kerja diukur. Agar efektif, standar hendaknya
berhubungan dengan hasil-hasil yang diinginkan pada setiap pekerjaan. Lebih lanjut,
evaluasi juga memerlukan ukuran-ukuran prestasi kerja yang dapat diandalkan
(performance measures). Berbagai ukuran ini, agar berguna, harus mudah digunakan,
reliabel dan melaporkan perilaku-perilaku kritis yang menentukan prestasi-prestasi
kerja.
Menurut B. Siswanto Sastrohadiwiryo (2005: 232), penilaian kinerja (prestasi kerja)
merupakan proses subjektif yang menyangkut penilaian manusia. Dikatakan penilaian
kinerja subyektif, karena kebanyakan pekerjaan benar-benar tidak mungkin diukur
secara obyektif, hal ini disebabkan beberapa alasan, termasuk alasan kerumitan dalam
tugas pengukuran, lingkaran yang berubah-ubah, dan kesulitan dalam merumuskan
tugas dan pekerjaan individual tenaga kerja secara rinci. Dengan demikian,
penilaian kinerja sangat mungkin keliru dan sangat mudah dipengaruhi oleh sumber
yang tidak aktual. Tidak sedikit sumber tersebut mempengaruhi proses penilaian
sehingga harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dengan wajar.
Penilaian kinerjadianggap memenuhi sasaran apabila memiliki dampak yang baik pada
tenaga kerja yang baru dinilai kinerja/keragaannya.
Menurut Henry Simamora (2004: 362-363), meskipun mustahil mengidentifikasi setiap
kriteria kinerja yang universal yang dapat diterapkan pada semua pekerjaan, adalah
mungkin menentukan beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh kriteria apabila
kriteria itu diharapkan bermanfaat bagi penilaian kinerja. Karakteristiknya adalah:
5. Kriteria yang baik harus mampu diukur dengan cara-cara yang dapat dipercaya.
Konsep keandalan pengukuran mempunyai dua komponen: stabilitas dan konsistensi.
Stabilitas menyiratkan bahwa pengukuran kriteria yang dilaksanakan pada waktu yang
berbeda haruslah mencapai hasil yang kira-kira serupa. Konsistensi menunjukkan
bahwa pengukuran kriteria yang dilakukan dengan metode yang berbeda atau orang
yang berbeda harus mencapai hasil yang kira-kira sama.
Kriteria yang baik harus mampu membedakan individu-individu sesuai
dengan kinerjamereka. Salah satu tujuan penilaian kinerja adalah evaluasi kinerja
anggota organisasi. Jikalau kriteria semcam itu memberikan skor yang identik kepada
semua orang, maka kriteria tersebut tidak berguna untuk mendistribusikan kompensasi
atas kinerja, merekomendasikan kandidat untuk promosi, ataupun menilai kebutuhan-
kebutuhan pelatihan dan pengembangan.
Kriteria yang baik haruslah sensitif terhadap masukan dan tindakan pemegang
jabatan. Karena tujuan penilaian kinerja adalah untuk menilai efektivitas individu
anggota organisasi, kriteria efektivitas yang dipakai dalam sistem itu haruslah terutama
di bawah kebijakan pengendalian orang yang sedang dinilai.
Kriteria yang baik harus dapat diterima oleh individu yang mengetahui
kinerjanya sedang dinilai. Adalah penting agar orang-orang yang kinerjanya sedang
diukur merasa bahwa kinerja yang sedang digunakan memberikan petunjuk yang adil
dan benar tentang kinerja mereka.
Menurut B. Siswanto Sastrohadiwiryo (2005: 235), belum adanya kesamaan
antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya dalam menentukan unsur yang
harus dinilai dalam proses penilaian kinerja yang dilakukan manajemen/penyelia penilai
disebabkan selain terdapat perbedaan yang diharapkan dari masing-masing perusahaan,
juga karena belum terdapat standar baku tentang unsur-unsur yang perlu diadakan
penilaian. Pada umumnya unsur-unsur yang perlu diadakan penilaian dalam proses
penilaian kinerja adalah kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran,
kerjasama, prakarsa, dan kepemimpinan.
1.Kesetiaan yang dimaksud adalah tekad dan kesanggupan mentaati, melaksanakan dan
mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tekad
dan kesanggupan tersebut harus dibuktikan dengan sikap dan perilaku tenaga kerja yang
bersangkutan dalam kegiatan sehari-hari serta dalam melaksanaan tugas dan pekerjaan
yang diberikan kepadanya. Kesetiaan tenaga kerja terhadap perusahaan sangat
berhubungan dengan pengabdiannya. Pengabdian yang dimaksud adalah sumbangan
pikiran dan tenaga yang ikhlas dengan mengutamakan kepentingan publik.
6. 2. Hasil kerja yang dimaksud dengan hasil kerja adalah kinerja yang dicapai oleh
seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan
kepadanya. Pada umumnya kerja seorang tenaga kerja antara lain dipengaruhi oleh
kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan kesungguhan tenaga kerja yang
bersangkutan.
3. Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang tenaga kerja dalam menyelesaikan
tugas dan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu
serta berani memikul resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang
dilakukannya.
4. Ketaatan yang dimaksud ketaatan adalah kesanggupan seorang tenaga kerja untuk
mentaati segala ketetapan, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang
berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan atasan yang berwenang, serta
kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang telah ditetapkan perusahaan maupun
pemerintah, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
5. Kejujuran yang dimaksud dengan kejujuran adalah ketulusan hati seorang tenaga
kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta kemampuan untuk tidak
menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya.
6. Kerjasama adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk bekerja sama dengan orang
lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang telah ditetapkan, sehingga
mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya.
7. Prakarsa adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk mengambil keputusan,
langkah-langkah atau melaksanakan sesuatu tindakan yang diperlukan dalam
melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dan bimbingan dari manajemen
lainnya.
8. Kepemimpinan yang dimaksud dengan kepemimpinan adalah kemampuan yang
dimiliki seorang tenaga kerja untuk meyakinkan orang lain (tenaga kerja lain) sehingga
dapat dikerahkan secara maksimum untuk melaksanakan tugas pokok. Penilaian unsur
kepemimpinan bagi tenaga kerja sebenarnya khusus diperuntukkan bagi tenaga kerja
yang memiliki jabatan di seluruh hirarki dalam perusahaan.
7. Proses penilaian prestasi kerja menghasilkan suatu evaluasi atau prestasi kerja
karyawan di waktu yang lalu dan atau prediksi prestasi kerja di waktu yang akan datang.
Proses penilaian ini kurang mempunyai nilai bila para karyawan tidak menerima umpan
balik mengenai prestasi kerja mereka. Tanpa umpan balik, perilaku karyawan tidak akan
dapat diperbaiki. Oleh karena itu, bagian kritis proses penilaian adalah wawancara
eksklusif.
Menurut T. Hani Handoko (2001: 152-153), wawancara eksklusif adalah proses
peninjauan kembali prestasi kerja yang memberikan kepada karyawan umpan balik
tentang prestasi kerja di masa lalu dan potensi mereka. Penilai bisa memberikan umpan
balik ini melalui beberapa pendekatan:
1. Tell and Sell Approach Mereview prestasi kerja karyawan dan mencoba untuk
meyakinkan karyawan untuk berprestasi lebih baik. Pendekatan ini paling baik
digunakan untuk para karyawan baru.
2. Tell and Listen Approach Memungkinkan karyawan untuk menjelaskan berbagia
alasan latar belakang dan perasaan defensif mengenai prestasi kerja. Ini bermaksud
untuk mengatasi reaksi-reaksi tersebut dengan konseling tentang bagaimana cara
berprestasi lebih baik.
3. Problem Solving Approach Mengidentifikasi masalah-masalah yang menggangu
prestasi kerja karyawan. Kemudian melalui latihan, coaching atau konseling, upaya-
upaya dilakukan untuk memecahkan penyimpangan-penyimpangan (sering diikuti
dengan penetapan sasaran-sasaran prestasi kerja di waktu yang akan datang).
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka unsur-unsur kinerja yang akan dilihat dalam
penelitian ini adalah (1) prestasi, (2) ketaatan, dan (3) prakarsa. Dengan alasan ketiga
unsur tersebut diasumsikan sudah cukup mewakili unsur-unsur kinerja yang akan dikaji
dalam penelitian ini. Hal ini mengingat sangat luasnya kajian teoritis tentang kinerja dan
keterbatasan penulis untuk dapat menggali seluruh unsur yang ada di dalamnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
a. Efektifitas dan efisiensi
Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan
tersebut efektif tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai yang
penting dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif
dinamakan tidak efesien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau
8. remeh maka kegiatan tersebut efesien (Prawirosentono, 1999:27).
b. Otoritas (wewenang)
Otoritas menurut adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu
organisasi formal yang dimiliki seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain
untuk melakukan suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya (Prawirosentono,
1999:27). Perintah tersebut mengatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dalam organisasi tersebut.
c. Disiplin
Disiplin adalah taat kepda hukum dan peraturan yang berlaku (Prawirosentono,
1999:27). Jadi, disiplin karyawan adalah kegiatan karyawan yang bersangkutan dalam
menghormati perjanjian kerja dengan organisasi dimana dia bekerja.
d. Inisiatif
Inisiatif yaitu berkaitan dengan daya pikir dan kreatifitas dalam membentuk ide untuk
merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.
Karakteristik Kinerja Karyawan
Karakteristik orang yang mempunyai kinerja tinggi adalah sebagai berikut
(Mangkunegara, 2002:68):
1. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi.
Berani mengambil dan menanggung resiko yang dihadapi.
Memiliki tujuan yang realistis.
Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuannya.
Memanfaatkan umpan balik (feed back) yang konkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang
dilakukannya.
Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.
Indikator Kinerja Karyawan
9. Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu ada enam indikator, yaitu
(Robbins, 2006:260):
Kualitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang
dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.
Kuantitas. Merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah
unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
Ketepatan waktu. Merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang
dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan
waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
Efektivitas. Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang,
teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit
dalam penggunaan sumber daya.
Kemandirian. Merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat
menjalankan fungsi kerjanya Komitmen kerja. Merupakan suatu tingkat dimana
karyawan mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan
terhadap kantor.
2.2 Human Resources Scorecard
adalah suatu alat untuk mengukur dan mengelola kontribusi stategik dari peran
human resources dalam menciptakan nilai untuk mencapai strategi perusahaan.
Menurut Brian E. Becker, Mark A Huselid & Dave Ulrich (2009,pxii) human
resource scorecard adalah kapasitas untuk merancang dan menerapkan sistem
pengukuran SDM yang strategis dengan merepresentasikan “alat pengungkit yang
penting” yang digunakan perusahaan untuk merancang dan mengerahkan strategi SDM
yang lebih efektif secara cermat.
Menurut Gary Desler (2006,p16) human resource scorecard adalah mengukur
keefektifan dan efisiensi fungsi human resource dalam membentuk perilaku karyawan
yang dibutuhkan untuk mecapai tujuan strategis perusahaan.
Menurut Nurman (2008,p1) human resources scorecard adalah suatu alat
untuk mengukur dan mengelola kontribusi strategic dari peran human resources dalam
menciptakan nilai untuk mencapai strategi perusahaan.
10. Menurut Riana Sitawati, Sodikin Manaf, & Endah Winarti (2009,p5) human
resource scorecard adalah pendekatan yang digunakan dengan sedikit memodifikasi
dari model balance scorecard awal yang saat ini paling umum digunakan pada tingkat
korporasi yang di fokuskan pada strategi jangka panjang dan koneksi yang jelas pada
hasil bisnisnya.
Menurut Surya Dharma dan Yuanita Sunatrio (2001,p1) human resource
scorecard adalahpengukuran terhadap strategi SDM dalam menciptakan nilai – nilai
(value creation) dalam suatu organisasi yang sangat di dominasi oleh “human capital”
dan modal intangible lainnya.
Menurut Uwe Eigenmann (2005,p32) human resource scorecard
adalah secara khusus dirancang untuk menanamkan sistem sumber daya manusia dalam
strategi keseluruhan perusahaan dan mengelola SDM arsitektur sebagai aset strategis.
Scorecard sumber daya manusia tidak menggantikan balanced scorecard tradisional
tetapi melengkapi itu.
Perbedaan antara human resources scorecard dengan balanced scorecard
adalah bahwa balance scorecard lebih mengukur kinerja perusahaan berupa tangible
assets sedangkan human resources scorecard lebih mengukur kinerja sumber daya
manusia perusahaan yang berupa intangible assets.
Human resources scorecard adalah suatu sistem pengukuran sumber daya
manusia yang mengaitkan orang – strategi – kinerja untuk menghasilkan perusahaan
yang unggul. Human resources scorecard menjabarkan misi, visi, strategi menjadi aksi
human resources yang dapat di ukur kontribusinya. Human resources scorecard
menjabarkan sesuatu yang tidak berwujud/intangible (leading/sebab) menjadi
berwujud/tangible (lagging/akibat). Human resources scorecard merupakan suatu sistem
pengukuran yang mengaitkan sumber daya manusia dengan strategi dan kinerja
organisasi yang akhirnya akan mampu menimbulkan kesadaran mengenai konsekuensi
keputusan investasi sumber daya manusia, sehingga investasi tersebut dapat dilakukan
secara tepat arah dan tepat jumlah. Selain itu, human resources scorecard dapat menjadi
alat bantu bagi manajer sumber daya manusia untuk memastikan bahwa semua
keputusan sumber daya manusia mendukung atau mempunyai kontribusi langsung pada
implementasi strategi usaha.
Berdasarkan kesimpulan diatas pengertian HR Scorecard adalah suatu sistem
pengukuran pada kontribusi departemen sumber daya manusia sebagai aset untuk
menciptakan nilai – nilai bagi suatu organisasi.
HR Scorecard Sebagai Model Pengukuran Kinerja Sumber Daya Manusia
11. Human resources scorecard mengukur keefektifan dan efisiensi fungsi sumber daya
manusia dalam mengerahkan perilaku karyawan untuk mencapai tujuan strategis
perusahaan sehingga dapat membantu menunjukan bagaimana sumber daya manusia
memberikan kontribusi dalam kesuksesan keuangan dan strategi perusahaan. Human
Resources Scorecard merupakan bagian dari perusahaan. Human resources scorecard
ibarat sebuah bangunan, yang menjadi bagian dari apa yang kita turunkan dari strategi
perusahaan.
1. Fungsi sumberdaya manusia (The HR Function).
Dasar penciptaan nilai strategi sumber daya manusia adalah mengelola
infrastruktur untuk memahami dan mengimplementasikan strategi perusahaan.
Biasanya profesi dalam fungsi sumber daya manusia diharapkan dapat mengarahkan
usaha ini. Becker et al (2001) menemukan bahwa kebanyakan manajer sumberdaya
manusia lebih memusatkan kegiatannya pada penyampaian (delivery) yang tradisional
atau kegiatan manajemen sumber daya manajemen teknis, dan kurang memperhatikan
pada dimensi manajemen sumber daya manusia yang stratejik. Kompetensi yang perlu
dikembangkan bagi manajer sumber daya manusia masa depan dan memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap kinerja organisasi adalah kompetensi manajemen sumber
daya manusia stratejik dan bisnis.
2. Sistem sumber daya manusia (The HR System).
Sistem sumber daya manusia adalah unsur utama yang berpengaruh dalam sumber
daya manusia stratejik. Model sistem ini yang disebut sebagai High performance work
system (HPWS). Dalam HPWS setiap elemen pada sistem The HR Functin sumber daya
manusia dirancang untuk memaksimalkan seluruh kualitas human capital melalui
organisasi. Untuk membangun dan memelihara persediaan human capital yang
berkualitas, HPWS melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Mengembangkan keputusan seleksi dan promosi untuk memvalidasi model
kompetensi.
b) Mengembangkan strategi yang menyediakan waktu dan dukungan yang efektif
untuk ketermpilan yang dituntut oleh implementasi strategi organisasi.
c) Melaksanakan kebijaksanaan kompensasi dan manajemen kinerja yang menarik,
mempertahankan dan memotivasi kinerja karyawan yang tinggi.
Hal diatas merupakan langkah penting dalam pembuatan keputusan peningkatan
kualitas karyawan dalam organisasi, sehingga memungkinkan kinerja organisasi
berkualitas. Agar sumber daya manusia mampu menciptakan value, organisasi perlu
12. membuat struktur untuk setiap elemen dari sistem sumber daya manusia dengan cara
menekankan, mendukung HPWS.
3. Perilaku karyawan (Employee Behaviour).
Peran sumber daya manusia yang stratejik akan memfokuskan pada
produktivitas perilaku karyawan dalam organisasi. Perilaku stratejik adalah perilaku
produktif yang secara langsung mengimplementasikan strategi organisasi. Strategi ini
terdiri dari dua kategori umum seperti :
Perilaku inti (core behaviour) adalah alur yang langsung berasal dari kompetensi
inti perilaku yang didefinisikan organisasi. Perilaku tersebut sangat fundamental untuk
keberhasilan organisasi.
Perilaku spesifik yang situasional yang essential sebagai key point dalam
organisasi atau rantai nilai dari suatu bisnis. Mengintegrasikan perhatian pada perilaku
kedalam keseluruhan usaha untuk mempengaruhi dan mengukur kontribusi sumber daya
manusia terhadap organisasi merupakan suatu tantangan.
Manfaat Human Resource Scorecard
Human resources scorecard memberikan manfaat yaitu menggambarkan peran dan
kontribusi sumber daya manusia kepada pencapaian visi perusahaan secara jelas dan
terukur, agar profesional sumber daya manusia mampu dalam mengendalikan biaya
yang dikeluarkan dan nilai yang dikontribusikan dan memberikan gambaran hubungan
sebab akibat. Adapun menurut Bryan E.Becker (2009,p80-82) sebagai berikut :
1. Memperkuat perbedaan antara HR do able dan HR deliverable
Sistem pengukuran SDM harus membedakan secara jelas antara deliverable,
yang mempengaruhi implementasi strategi, dan do able yang tidak. Sebagai contoh,
implementasi kebijakan bukan suatu deliverable hingga ia menciptakan perilaku
karyawan yang mendorong implementasi strategi. Suatu sistem pengukuran SDM tepat
secara kontinu mendorong professional SDM untuk berfikir secara strategis serta secara
operasional.
2. Mengendalikan biaya dan menciptakan nilai
13. SDM selalu di harapkan mengendalikan biaya bagi perusahaan. Pada saat yang
sama, memainkan peran strategis berarti SDM harus pula menciptakan nilai. HR
Scorecard membantu para manajemen sumber daya manusia untuk menyeimbangkan
secara efektif kedua tujuan tersebut. Hal itu bukan saja mendorong para praktisi untuk
menghapus biaya yang tidak tepat, tetapi juga membantu mereka mempertahankan
“investasi” dengan menguraikan manfaatpotensial dalam pengertian kongkrit.
3. HR Scorecard mengukur leading indicators
Model kontribusi strategis SDM kami menghubungkan keputusan-keputusan
dan sistem SDM dengan HR deliverable, yang selanjutnya mempengarui pendorong
kinerja kunci dalam implementasi perusahaan. Sebagaimana terdapat leading dan
lagging indicator dalam sistem pengukuran kinerja seimbang keseluruhan perusahaan,
di dalam rantai nilai SDM terdapat pendorong (deliver) dan hasil (outcome). Hal ini
bersifat essensial untuk memantau keselarasan antara keputusan-keputusan SDM dan
unsur-unsur sistem yang mendorong HR deliverable. Menilai keselarasan ini
memberikan umpan balik mengenai kemajuan SDM menuju deliverable tersebut dan
meletakan fondasi bagi pengaruh strategi SDM.
HR Scorecard menilai kontribusi SDM dalam implementasi strategi dan pada
akhirnya kepada “bottom line”. Sistem pengukuran kinerja strategi apapun harus
memberikan jawaban bagi chief HR officer atas pertanyaannya, “apa kontribusi SDM
terhadap kinerja perusahaan?” efek kumulatif ukuran - ukuran HR deliverable pada
scorecard harus memberikan jawaban itu. Para manajer SDM harus memiliki alasan
strategi yang ringkas, kredibel dan jelas, untuk semua ukuran deliverable. Jika alasan itu
tidak ada, begitu pula pada ukuran itu tidak ada. Pada manajer lini harus menemukan
ukuran deliverable ini sekredibel seperti yang dilakukan manajer SDM, sebab matrik-
matriks itu merepresentasikan solusi - solusi bagi persoalan bisnis, bukan persoalan
SDM.
4. HR Scorecard memungkinkan professional SDM
Mengelola secara efektiftanggung jawab strategi mereka. HR Scorecard
mendorong sumber daya manusia untuk fokus secara tepat pada bagaimana keputusan
mereka mempengaruhi keberhasilan implementasi strategi perusahaan. Sebagaimana
kami menyoroti pentingnya “fokus strategis karyawan” bagi keseluruhan perusahaan,
HR Scorecard harus memperkuat fokus strategis para manajer SDM dan karena para
professional SDM dapat mencapai pengaruh strategis itu sebagian besar dengan cara
mengadopsi perspektif sistemik dari pada dengan cara memainkan kebijakan individual,
14. scorecard mendorong mereka lebih jauh untuk berfikir secara sistematis mengenai
strategi SDM.
5. HR Scorecard mendorong Fleksibilitas dan perubahan.
Kritik yang umum terhadap sistem pengukuran kinerja ialah sistem ini menjadi
terlembagakan dan secara actual merintangi perubahan. Strategi - strategi tumbuh,
organisasi perlu bergerak dalam arah yang berbeda, namun sasaran - sasaran kinerja
yang sudah tertinggal menyebabkan manajer dan karyawan ingin memelihara status
quo. Memang, salah satu kritik terhadap manajemen berdasarkan pengukuran ini ialah
bahwa orang-orang menjadi trampil dalam mencapai angka-angka yang diisyaratkan
dalam sistem nama dan mengubah pendekatan manajemen mereka ketika kondisi yang
bergeser menuntutnya. HR Scorecard memunculkan fleksibilitas dan perubahan, sebab
ia fokus pada implementasi strategi perusahaan, yang akan secara konstan menuntut
perubahan. Dengan pendekatan ini, ukuran-ukuran mendapat makna yang baru.
Mereka menjadi sekedar indicator dari logika yang mendasari yang diterima
oleh para manajer sebagai hal absah. Dengan kata lain, ini bukan sekedar bahwa di
waktu yang lalu orang mengejar sejumlah angka tertentu; mereka dulu juga memikirkan
tentang kontribusi mereka pada implementasi strategi perushaan.
Mereka melihat gambar besarnya. Kami percaya bahwa fokus yang lebih besar
memudahkan para manajer untuk mengubah arah. Tidak seperti organisasi “tradisional”,
dalam organisasi yang berfokus pada strategi, orang memandang ukuran - ukuran
sebagai alat untuk mencapai tujuan, daripada sebagai tujuan itu.
2.3 Pengertian Motivasi Kerja dan Kepuasan kerja
A. Motivasi Kerja
Menurut Luthan (1992) Motivasi berasal dari kata latin movere, artinya “bergerak”.
Motivasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya kekurangan psikologis
atau kebutuhan yang menimbulkan suatu dorongan dengan maksud mencapai suatu
tujuan atau insentif. Pengertian proses motivasi ini dapat dipahami melalui hubungan
antara kebutuhan, dorongan dan insentif (tujuan). Motivasi dalam dunia kerja
adalahsuatu yang dapat menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Menurut As’ad
(2004) motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut pendorong semangat kerja.
15. Kuat dan lemahnya motivasi seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya
prestasinya.
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan dengan prestasi kerja.
Prestasi kerja adalah hasil dari interaksi anatar motivasi kerja, kemampuan, dan
peluang.
Bila kerja rendah, maka prestasi kerja akan rendah meskipun kemampuannya ada
dan baik, serta memiliki peluang. Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau
reaktif. Pada motivasi yang proaktif à seseorang akan berusaha meningkatkan
kemampuan-kemampuannya sesuai dengan yang dituntut oleh pekerjaanya atau akan
berusaha untuk mencari, menemukan atau menciptakan peluang dimana ia akan
menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berprestasi tinggi. Sebaliknya
motivasi yang bersifat reaktif à cenderung menunggu upaya ata tawaran dari
lingkunganya.
Menurut Martoyo (2000) motivasi kerja adalah suatu yang menimbulkan dorongan
atau semangat kerja. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (1999) motivasi adalah suatu
faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan
tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong
perilaku seseorang. Motivasi dan dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja
bersama demi tercapainya tujuan bersama ini terdapat dua macam yaitu :
1. Motivasi Finansial à dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan
finansial kepada karyawan.
2. Motivasi nonfinansial à dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk
finansial/uang, akan tetapi berupa hal-hal seperti penghargaan, pendekatan
manusia dan lain – lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi
mental yang mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities)dan
memberikan kekuatan yang mengarahkan kepada pencapaian kebutuhan, memberi
kepuasan ataupun mengurai ketidakseimbangan.
B. Kepuasan Kerja
Dikemukan oleh Robbin (2001) bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang umum
terhadap suatu pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima
seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Pendapat lain bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh para
individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka (Winardi,1992). Selain itu
16. pendapat Indrawidjaja (2000) bahwa kepuasan kerja secar umum menyangkut berbagai
hal seperti kognisi, emosi, dan kecenderungan perilaku seseorang. Adapun yang
menentukan kepuasan kerja adalah :
1) Kerja yang secara mental menantang pegawai yang cenderung menyukai
pekerjaan yang memberikan kesempatan menggunakan keterampilan dan
kemampuan dalam bekerja
2) Gagasan yang pantas pegawai menginginkan sistem upah/gaji dan kebijakan
promosi yang asil, tidak meragukan san sesuai dengan pengharapan mereka.
3) Kondisi kerja mendukung pegawai peduli lingkungan kerja baik untuk
kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik
4) Rekan sekerja yang mendukung adanya interaksi sosial antara sesama pegawai
yang saling mendukung meningkatkan kepuasan kerja
5) Jangan melupakan kesesuaian antara kepribadian pekerjaan, Holand dalam
Robbin (2001) mengungkapkan bahwa kecocokan yang tinggi antara
kepribadian seorang pegawai dan pengharapan akan menghasilkan individual
yang lebih terpuaskan
6) Ada dalam gen bahwa 30% dari kepuasan individual dapat dijelaskan oelh
keturunan.
Dalam mengelola personalia (Kepegawaian) harus senantiasa memonitor
kepuasan kerja, karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja,
semangat kerja, keluhan dan masalah personalia vital lainnya (Handoko,2000). Oleh
karena itu fungsi personalia emmpunyai pengaruh baik langsung maupun tidak
langsung, selain itu berbagai kebijakan dalam kegiatan personalia berdampak pada
iklim organisasi memberikan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan bagi anggota organisasiyang akhirnya memenuhi kepuasan kerja
anggota organisasi.
2.4 Mengelola Potensi Kecerdasan Dan Emosional Sdm
Perkembangan jaman yang semakin melaju pesat, khususnya ilmu psikologi dan
perkembangan dalam mengelola sumber daya manusia, diketahui bahwa kesuksesan
seseorang bekerja bukan semata-mata didasarkan keterampilan dan kecerdasan
intelektual (IQ) yang tinggi, tetapi didasarkan juga pada kecerdasan emosional
(Emotional Quotient/EQ). EQ memiliki pengaruh yang cukup besar dalam meraih
kesuksesan manusia baik secara individu maupun kelompok dalam menghadapi
tantangan jaman yang semakin majemuk.
17. Namun pada akhir abad keduapuluh, serangkaian data ilmiah terbaru yang
sejauh ini belum banyak dibahas, menunjukkan adanya jenis kecerdasan ketiga yaitu
kecerdasan spiritual (SQ). SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, dapat mengubah
aturan dan situasi. SQ memberi kemampuan untuk membedakan, memberi kita rasa
moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan
cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada
batasannya.
Selanjutnya, meskipun SQ dan EQ berbeda, namun keduanya memiliki muatan
yang sama-sama penting untuk bersinergi satu sama lain, yang kemudian oleh Ary
Ginanjar Agustian digabungkan menjadi kecerdasan emosional dan spiritual atau lebih
dikenal sebagai Emotional and Spiritual Quotient (ESQ). ESQ mampu mengintegrasi
kekuatan otak dan hati manusia dalam membangun karakter dan kepribadian yang
tangguh, yang didasari nilai-nilai mulia kemanusiaan, yang pada akhirnya akan tercapai
kemajuan dan keberhasilan melalui sumber daya manusia yang berkualitas, yang tidak
hanya cerdas secara intelektual, namun juga diimbangi dengan kecerdasan emosi-
spiritual yang tinggi pula.
Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ)
Menurut Derk dalam Scott (1996), kecerdasan adalah kemampuan memproses informasi
dan memecahkan masalah. Kecerdasan emosi (EQ) adalah suatu kecerdasan yang
merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Goleman, 2000).
Sedangkan Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000) mendefinisi kecerdasan emosi
sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain,
serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dan secara lebih
praktis, Scott (1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
memecahkan masalah yang berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan antara
manusia.
Penemuan konsep EQ telah mengubah pandangan para praktisi sumber daya
manusia bahwa keberhasilan kerja bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan
akademik yang diukur dengan IQ yang tinggi tetapi lebih pada kecerdasan emosinya.
Peran IQ dalam mendukung keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua
sesudah EQ. Menurut Goleman (2000), beberapa konsep yang perlu diperhatikan
adalah:
18. Kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah.” Pada saat-saat tertentu
yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah melainkan sikap tegas.
Kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan perasaan untuk
berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresi dengan
tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju
sasaran bersama.
Dalam sebuah perusahaan yang banyak mengandalkan kerja kelompok atau tim,
EQ mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung keberhasilan tim. Menurut
Druskat dan Wolf (2001) hasil studi menunjukkan bahwa sebuah tim akan lebih kreatif
dan produktif ketika di dalam tim tersebut tercipta suatu partisipasi, kooperasi dan
kolaborasi di antara anggotanya. Akan tetapi perilaku interaktif tersebut memerlukan
tiga kondisi yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya saling percaya di antara
anggota (mutual trust among member) , kedua, setiap anggota mempunyai sense of
identity, yaitu bahwa timnya adalah suatu yang unik, kemudian yang ketiga, setiap
anggota tim mempunyai sense of efficacy, yaitu suatu kepercayaan bahwa tim akan
bekerja lebih efektif jika setiap anggota bekerjasama dibandingkan apabila setiap
anggota bekerja sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang cukup baik. Syarat
tersedianya kondisi tersebut di atas adalah adanya emosi. Ketiga hal tersebut akan
muncul dalam suatu lingkungan yang dalam hal ini emosi dikelola dengan baik.
EQ sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). EQ memberi kita
kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Goleman (2000)
menyatakan bahwa EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara
efektif.
Menyusul temuan tentang EQ ini, pada akhir abad kedua puluh ditemukan lagi
jenis kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual, yang melengkapi gambaran
utuh mengenai kecerdasan manusia. Zohar dan Marshall (2000) mendefinisi kecerdasan
spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ merupakan landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, dan SQ ini merupakan
kecerdasan manusia yang paling tinggi tingkatannya.
SQ digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu ketika
orang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan
masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ dapat juga menjadikan orang
19. lebih cerdas secara spiritual dalam beragama, artinya seseorang yang memiliki SQ
tinggi mungkin menjalankan agamanya tidak secara picik, eksklusif, fanatik atau
prasangka. SQ juga memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat
intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan
orang lain. Seseorang yang memiliki SQ tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin
yang penuh pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang
lebih tinggi kepada orang lain, dan bisa memberi inspirasi kepada orang lain.
Kecerdasan Emosi-Spiritual (ESQ)
Kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) merupakan sinergi dari EQ dan SQ yang pertama kali
digagas oleh Ginanjar (2001) sebagai penggabungan antara kepentingan dunia (EQ)
dan kepentingan spiritual (SQ). Kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar mengenali
dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga perasaan serta suara
hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar kecerdasan emosi-spiritual dalam
membangun ketangguhan pribadi sekaligus membangun ketangguhan sosial (Ginanjar,
2001).
Kecerdasan emosi-spiritual juga merupakan kemampuan untuk merasakan,
memahami, dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai informasi,
koneksi dan pengaruh yang manusiawi untuk mencapai sinergi, yakni saling menjalin
kerjasama antara seseorang atau kelompok orang dengan orang lain atau kelompok lain
dan saling menghargai berbagai perbedaan, yang bersumber dari suara hati manusia
sebagai dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri,
juga perasaan serta suara hati orang lain.
Selama ini IQ, EQ dan bahkan SQ yang ada hanya berorientasi pada hubungan
antar manusia, sedangkan nilai-nilai transendental (Ketuhanan) baru sebatas filosofis
saja. SQ yang dipaparkan Danah Zohar dan Ian Marshall baru membahas sebatas
adanya God-Spot pada otak manusia, tetapi tidak memiliki nilai transendental atau
hubungan dengan Tuhan. Sedangkan kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) sebagai sinergi
dari EQ dan SQ ini sudah menjangkau nilai-nilai Ketuhanan. ESQ Model yang
dikembangkan ini merupakan perangkat kerja dalam hal pengembangan karakter dan
kepribadian berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam, yang pada akhirnya
akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu
mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya
(Ginanjar, 2001).
20. Kecerdasan emosi-spiritual senantiasa berpusat pada prinsip atau kebenaran
yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Ginanjar (2001) mengungkapkan
beberapa tahapan yang digunakan membangun kecerdasan emosi-spiritual, yaitu:
Penjernihan emosi (Zero Mind Process); tahap ini merupakan titik tolak dari kecerdasan
emosi, yaitu kembali pada hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari segala
belenggu. Ada tujuh hal yang dapat membelenggu dan menutupi fitrah (God-Spot),
yaitu: prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut
pandang, pembanding literatur. Tanpa disadari semua itu membuat manusia menjadi
buta, sehingga tidak memiliki radar hati sebagai pembimbing. Manusia terjerumus ke
dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan, kerusakan dan kehancuran, dan pada akhirnya
mengakibatkan kegagalan.
Membangun mental (Mental Building); berkenaan dengan pembentukan alam berpikir
dan emosi secara sistematis berdasarkan Rukun Iman. Pada bagian ini diharapkan akan
tercipta format berpikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri, serta sesuai dengan hati
nurani terdalam dari diri manusia. Di sini akan terbentuk karakter manusia yang
memiliki tingkat kecerdasan emosi-spiritual sesuai dengan fitrah manusia, yang
mencakup enam prinsip:
Star Principle (prinsip bintang); terkait dengan rasa aman, kepercayaan diri, intuisi,
integritas, kebijaksanaan dan motivasi yang tinggi, yang dibangun dengan landasan
iman kepada Allah SWT.
Angel Principle (prinsip malaikat); yakni keteladanan malaikat, antara lain mencakup
loyalitas, integritas, komitmen, kebiasaan memberi dan mengawali, suka menolong dan
saling percaya.
Leadership Principle (prinsip kepemimpinan); setiap orang adalah pemimpin
bagi dirinya sendiri untuk mengarahkan hidupnya. Untuk menjadi seorang pemimpin
yang baik disyaratkan melampaui lima tangga kepemimpinan (Ginanjar, 2001), yaitu
pemimpin yang dicintai, pemimpin yang dipercaya, pemimpin yang menjadi
pembimbing, pemimpn yang berkepribadian, dan menjadi pemimpin yang abadi.
Dengan demikian pemimpin sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi
perhatian kepada orang lain sehingga ia pun dicintai, memiliki integritas yang kuat
sehingga dipercaya pengikutnya, selalu membimbing dan mengajarkan kepada
pengikutnya, memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten, dan yang terpenting adalah
memimpin berlandaskan atas suara hati yang fitrah.
Learning Principle (prinsip pembelajaran); mencakup kebiasaan membaca buku,
membaca situasi, kebiasaan berpikir kritis, kebiasaan mengevaluasi, menyempurnakan
dan memiliki pedoman. Manusia diberi kelebihan akal untuk berpikir, dan firman Tuhan
yang pertama adalah berupa perintah membaca (Iqra’). Umat manusia diperintahkan
21. untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut bermanfaat untuk kemanusiaan.
Membaca merupakan awal mulanya ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan keberhasilan
manusia.
Vision Principle (prinsip masa depan); yakni selalu berorientasi pada tujuan
akhir dalam setiap langkah yang ditempuh, setiap langkah tersebut dilakukan secara
optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial dengan kesadaran akan
adanya “Hari Kemudian,” memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki
ketenangan batin yang tinggi, yang tercipta oleh adanya keyakinan akan “Hari
Pembalasan.”
Well Organized Principle (prinsip keteraturan); selalu berorientasi pada
manajemen yang teratur, disiplin, sistematis dan integratif. Perusahaan yang berhasil
umumnya memiliki keteraturan manajemen yang baik, di samping diawali dengan misi
dan visi yang jelas. Setiap bagian organisasi harus menyadari adanya saling keterkaitan
satu dengan yang lain dalam kesatuan misi dan visi. Setiap orang harus memiliki
perasaan yang sama bahwa mereka mempunyai tugas suci di dalam perusahaan untuk
mencapai tujuan bersama.
Ketangguhan pribadi (Personal Strength); merupakan langkah pengasahan hati
yang telah terbentuk, yang dilakukan secara berurutan dan sangat sistematis berdasarkan
Rukun Islam, yang terdiri atas:
Mission Statement; penetapan misi melalui syahadat yakni membangun misi kehidupan,
membulatkan tekad, membangun visi, menciptakan wawasan, transformasi visi, dan
komitmen total.
Character Building; pembangunan karakter melalui shalat, yang merupakan
relaksasi, membangun kekuatan afirmasi, meningkatkan ESQ, membangun pengalaman
positif, pembangkit dan penyeimbang energi batiniah dan pengasahan prinsip.
Self Contolling; pengendalian diri melalui puasa guna meraih kemerdekaan
sejati, memelihara fitrah, mengendalikan suasana hati, meningkatkan kecakapan emosi
secara fisiologis, serta pengendalian prinsip.
Ketangguhan sosial (Social Strength); merupakan suatu pembentukan dan
pelatihan untuk melakukan aliansi, atau sinergi dengan orang lain, serta lingkungan
sosialnya. Hal ini merupakan suatu perwujudan tanggung jawab sosial seorang manusia
yang telah memiliki ketangguhan pribadi, yang dapat diperoleh melalui hal-hal berikut:
Collaboration Strategy; sinergi melalui zakat, hal ini dapat membangun landasan
kooperatif, investasi kepercayaan, komitmen, kredibilitas, keterbukaan, empati dan
kompromi.
22. Tatal Action; aplikasi total melalui haji, yang dalam hal ini haji memiliki
landasan zero mind (melalui ihram), meningkatkan pengasahan komitmen dan integritas
(melalui thawaf), pengasahan Adversity Quotient (AQ) yakni kecerdasan seseorang
untuk mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup atau tidak berputus asa (melalui
sa’i), evaluasi dan visualisasi (melalui wukuf), mampu menghadapi tantangan (dengan
melontar jumrah) serta melakukan sinergi (dengan berjama’ah haji).
2.5 Membangun Kapabilitas Dan Kompetensi Sdm
Ada beberapa kasus yang menggambarkan adanya risiko mempekerjakan
karyawan pada lingkungan bisnis saat ini. Keberhasilan semakin tergantung pada
kemampuan yang tidak dapat diukur dan jarang ditemukan pada seseorang seperti
misalnya fleksibilitas dan pengetahuan lintas budaya. Kekeliruan yang sering terjadi
dalam mempekerjakan karyawan dikarenakan adanya jebakan-jebakan yang bertujuan
untuk merefleksi beberapa aspek sifat manusia dan kebutuhan mendesak untuk
menentukan solusi yang bijaksana, yaitu: pendekatan reaktif, spesifikasi yang tidak
realistis, evaluasi seseorang secara mutlak, menerima karyawan pada nilai luar,
mempercayai referensi, bias “hanya seperti saya”, kesalahan delegasi, wawancara yang
tidak terstruktur, mengabaikan kecerdasan emosional dan tekanan potensial pada
keahlian sosial.
Schuler (1990) menyebutkan bahwa isu tentang manusia sekarang berubah menjadi isu
tentang hubungan bisnis-manusia, yang mencakup:
- Mengelola kemampuan karyawan
- Mengelola keragaman karyawan
- Mengelola tingkat persaingan yang makin tinggi
- Mengelola globalisasi
Secara umum, saat ini dunia bisnis dihadapkan pada lima tantangan kritis, di mana
tantangan tersebut menuntut organisasi untuk membangun kapabilitas baru. Sumber
daya manusia memiliki peluang untuk mengembangkan kapabilitas tersebut dan
memainkan leadership role dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Adapun
tantangan-tantangan kritis itu adalah sebagai berikut:
- Globalisasi
- Profitabilitas melalui pertumbuhan
- Teknologi
- Modal intelektual
23. - Perubahan
Lima tantangan tersebut di atas memiliki implikasi bagi bisnis. Dalam ekonomi
baru, perusahaan yang unggul dalam persaingan adalah perusahaan yang cepat tanggap
dalam merespon berbagai perubahan dan memaksimumkan kontribusi dan komitmen
karyawan serta menciptakan kondisi bagi perubahan yang tiada henti.
Robert Stenberg dalam Ginanjar (2001) menyatakan bahwa salah satu sikap paling
membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja moderen adalah bahwa kita
tidak boleh, dalam situasi apa pun, mempercayai suara hati atau persepsi kita. Namun
berbagai survei terhadap para eksekutif, manajer dan para pengusaha yang berhasil
menunjukkan bahwa sebagian besar di antara mereka telah bertahun-tahun
menggantungkan diri pada dorongan hati, selain bermacam-macam bentuk lain
kecerdasan emosional dalam hampir semua keputusan dan interaksi.
Ironisnya, pendidikan di Indonesia selama ini terlalu menekankan arti penting nilai
akademik atau kecerdasan intelektual semata. Dari pendidikan tingkat dasar sampai
tingkat tinggi jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang
mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan
mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan dan penguasaan diri atau sinergi,
padahal justru hal-hal itulah yang terpenting. Akibatnya karakter dan kualitas sumber
daya manusia era 2000 masih patut dipertanyakan, yang berbuntut pada krisis ekonomi
yang berkepanjangan saat ini. Hal tersebut ditandai dengan krisis moral atau buta hati
yang terjadi di segala bidang. Meskipun mereka berpendidikan sangat tinggi dengan
bermacam-macam gelar di depan maupun di belakang namanya, mereka hanya
mengandalkan logika dan mengabaikan suara hati yang sebenarnya mampu memberikan
informasi sangat penting untuk meraih keberhasilan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Robert K. Cooper, Ph.D. dalam Ginanjar (2001),
bahwa hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu
yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak dapat
diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan
komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita
belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani.
Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa
yang harus diperbuat, artinya bahwa setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah
radar hati sebagai pembimbingnya. Oleh karena itu, memegang teguh kata hati nurani
24. merupakan tantangan hidup yang perlu dikembangkan dalam menghadapi perubahan
kehidupan yang begitu cepat dan dinamis dewasa ini. Namun, kebanyakan program
pelatihan selama ini telah berpegang pada suatu model akademis, dan ini merupakan
kekeliruan terbesar dan telah menghamburkan waktu dan dana yang tak terhitung
jumlahnya. Yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
sekarang ini adalah cara berpikir yang sama sekali baru tentang apa saja yang dapat
membantu orang mengembangkan kecerdasan emosional (Ginanjar, 2001).
Pada umumnya dampak nyata sebuah pelatihan apa pun jenisnya adalah mereka
hanya mendapatkan angin energi baru. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat, karena
setelah itu biasanya para peserta tersebut akan kembali pada kebiasaan semula saat
sebelum pelatihan. Dan hasil yang paling umum dari suatu pelatihan adalah
meningkatkan rasa percaya diri peserta, setidaknya untuk sementara waktu. Jadi,
pemahaman saja tidaklah cukup, diperlukan suatu pelatihan yang berkelanjutan
sehingga bisa menjadi suatu kebiasaan dan kemudian membentuk suatu karakter yang
diharapkan, dan dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan menghilang.
Kecakapan, pada hakikatnya dapat dipandang sebagai sekumpulan kebiasaan yang
terkoordinasi, apa yang dipikirkan, dirasakan dan dikerjakan agar suatu tugas terlaksana
(Goleman, 2000). Kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja. Berbeda dengan IQ,
kecerdasan emosi dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang waktu selama
hidup. Kemudian timbul pertanyaan, mekanisme pelatihan seperti apa yang mampu
memberikan suatu pelatihan kecerdasan emosi yang bisa berjalan seumur hidup
tersebut, karena pada umumnya pelatihan yang dilakukan hanya memberi implikasi
sesaat dan relatif terbukti bahwa pelatihan sesingkat itu tidak banyak memberikan arti
dalam pembentukan karakter. Sekarang ini yang dibutuhkan adalah pelatihan sepanjang
waktu, yang mampu membentuk suatu karakter dengan tingkat kecerdasan emosi yang
tinggi (internalisasi), yakni pelatihan yang di dalamnya para peserta mengikuti program
pelatihan yang didasari oleh kesadaran diri yang kuat, yang sesuai dengan suara hati.
Peran ESQ dalam Perbaikan Kualitas Sumber Daya Manusia
Efek yang akan merugikan perusahaan apabila kecerdasan emosi tidak dikelola dengan
baik adalah moral yang buruk dari sumber daya manusia yang ada di perusahaan,
munculnya pemimpin yang arogan, banyaknya pekerja yang diintimidasi dan
sebagainya. Sangat dimungkinkan efek tersebut tidak bisa segera dirasakan secara
langsung oleh manajemen, tetapi efek tersebut akan muncul dalam bentuk yang berbeda
misalnya produktivitas yang menurun, tidak tercapainya target waktu yang telah
ditentukan dan sebagainya (Scott, 1996).
25. Peran manajemen sumber daya manusia menjadi semakin kompleks karena
harus selalu mengembangkan kompetensi untuk membentuk budaya dan kebiasaan
masing-masing individu yang ada dengan cara membangun EQ yang baik untuk
individu, tim maupun organisasi melalui pelatihan dan pengembangan sumber daya
manusia (Harrison, 1997).
Pfeffer (1995), mengemukakan praktek-praktek pengelolaan karyawan, yang
mencakup:jaminan kerja, selektif dalam perekrutan, upah yang tinggi, pemberian
insentif, kepemilikan karyawan, sharing informasi, partisipasi dan pemberdayaan, self-
managed team, pelatihan dan pengembangan skill, cross-utilization dan cross-training,
egalitarianisme simbolik, penekanan upah, dan promosi dari dalam perusahaan.
Secara konsep fungsi manajemen sumber daya manusia di suatu perusahaan tidak
mengalami perubahan. Fungsi-fungsi tersebut tergambar seperti berikut ini:
- Managing the human resource environ-ment
- Acquiring and preparing human resource
- Assesment and development of human resource
- Competitiveness
Di dalam praktek, aktivitas-aktivitas dalam masing-masing fungsi tersebut sangat
dinamis dan selalu mengalami banyak perubahan. Aktivitas tersebut harus selalu terkait
dengan manajemen strategis yang dimiliki perusahaan. Tiga pertanyaan strategis yang
harus dijawab oleh perusahaan sebagaimana diungkapkan Noe, et al. (2000) adalah:
- Di mana kita berkompetisi
- Bagaimana kita berkompetisi
- Dengan apa kita berkompetisi
Manajemen sumber daya manusia mempunyai peran yang besar dalam menjawab
pertanyaan terakhir dari tiga pertanyaan strategis di atas. Pengelola sumber daya
manusia bertanggung jawab terhadap kapabilitas sumber daya manusia, baik
keterampilan, kemampuan dan pengetahuan serta kecerdasan emosi dan spiritual yang
memegang peranan yang sangat besar.
Kecerdasan emosi merupakan bagian kapabilitas sumber daya manusia. Menurut
Goleman (2000) kemampuan kecerdasan emosi terdiri atas:
26. a. Mandiri: masing-masing menyumbang secara unik kepada performa kerja.
Saling tergantung: masing-masing sampai batas tertentu memerlukan hal-hal tertentu
pada yang lain, dengan interaksi intensif.
b. Hirarki:kemampuan kecerdasan emosi membentuk bangun yang bertingkat. Sebagai
contoh, kesadaran diri penting sekali untuk pengaturan diri dan empati. Pengaturan diri
dan kesadaran diri ikut membangun motivasi.
Perlu, tapi tidak cukup: artinya dengan memiliki kemampuan kecerdasan emosi sebagai
dasar, belum menjamin orang akan mengembangkan atau memperlihatkan kecakapan-
kecakapan terkait, misalnya dalam hal kerjasama dan kepemimpinan. Faktor-faktor
seperti iklim perusahaan, atau minat seseorang terhadap pekerjaannya, juga akan
menentukan apakah kecakapannya akan terwujud.
c. Generik: walaupun daftar umum ini sampai batas tertentu berlaku bagi semua
pekerjaan, pekerjaan berbeda memerlukan kecakapan yang berbeda pula.
Sebagaimana dikemukakan oleh Ashor dalam Harrison (1997) bahwa dalam
menghadapi suatu persaingan, perusahaan harus melakukan inovasi terus menerus,
mengatasi masalah secara kreatif, proses belajar yang terus menerus dan mengelola
keanekaragaman yang semakin besar. Namun demikian dalam lingkungan yang
dinamis, hal-hal lain yang diperlukan adalah adanya keinginan bersama untuk
melakukan efisiensi, yang dapat dicapai melalui kerjasama di dalam tim dan antar tim,
gaya kepemimpinan yang menekankan pada semangat efisiensi dan keunggulan mutu
dalam organisasi. Semua hal tersebut mensyaratkan adanya kecerdasan emosi-spiritual,
yang dalam hal ini sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa kecerdasan emosi-
spiritual merupakan dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati
kita sendiri dan juga perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar
kecerdasan emosi-spiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus
membangun ketangguhan sosial (Ginanjar, 2001).
Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Salgado dalam Behling (1998),
bahwa berkaitan dengan karakter dan sikap karyawan, ada lima dimensi kepribadian
yang merupakan pola-pola perilaku yang bertahan dalam berbagai situasi dan masa
hidup manusia yang sering disebut sebagai lima besar, yaitu:ekstrovert, stabilitas emosi,
mudah bekerja sama, kecermatan, dan keterbukaan terhadap pengalaman. Kecerdasan
memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap kinerja dalam pelatihan (Flee & Earles,
dalam Behling, 1998). Kecerdasan umum secara konsisten mampu memprediksi kinerja
dengan baik. Namun kecerdasan tidaklah cukup untuk menjamin keberhasilan
seseorang.
27. Humorolog Jaya Suprana dalam Goestiandi (2002) mengungkapkan adanya teori
5i, bahwa untuk sukses dalam pekerjaan dan kehidupan, seseorang harus memiliki 5i,
yaitu:
1. Informasi; knowledge and information is the power, bahwa semakin banyak
informasi makin besar peluang untuk melihat realitas dan kemungkinan dalam
hidup ini.
2. Intelijensi; diperlukan untuk bisa menyaring informasi itu yang berdaya guna dan
mana yang tidak. Meski telah diungkapkan sebelumnya bahwa IQ tidak
menjamin keberhasilan, namun keberadaannya tetap diperlukan. Penekanannya
bukan pada aspek kepemilikan tapi lebih pada pemanfaatan kecerdasan tersebut
3. Inovasi; banyak ide-ide baru yang tidak tercakup dalam informasi sehingga perlu
daya inovatif untuk menggali gagasan-gagasan baru tersebut.
4. Inisiatif; merupakan prakarsa untuk merealisasi atau mewujudkan gagasan-
gagasan tersebut di atas.
5. Insya Allah; artinya jika Tuhan mengijinkan, bahwa sebagus apapun rencana dan
tindakan manusia pada akhirnya memerlukan restu dari Yang di Atas untuk
sukses.
Hal-hal tersebut di atas tentunya tidak berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di
bagian terdahulu berkaitan dengan kecerdasan emosional-spiritual.
Ginanjar (2001) menggagas konsep pemikiran baru yang disebut sebagai ESQ
Model, sebagai cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun
Iman dan Rukun Islam, sehingga akan tercipta suatu kecerdasan emosi-spiritual
sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas. Dan pada akhirnya nanti akan
terbentuk pula suatu pemahaman, visi, keterbukaan, integritas, konsistensi dan sifat
kreatif yang didasari atas kesadaran diri serta sesuai dengan suara hati yang terdalam,
yang pada akhirnya pula akan menjadikan Islam tidak hanya sebatas agama ritual tetapi
juga sebagai “the way of life.”
Konsep ESQ Model ini diyakini mampu melahirkan manusia unggul, namun
bukanlah suatu program pelatihan kilat. Hal ini memerlukan proses yang berkelanjutan
dan komitmen yang kuat. ESQ Model akan senantiasa berpusat pada prinsip atau
kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Sejarah menunjukkan bahwa
orang-orang yang sukses adalah orang yang berpegang teguh pada prinsip. Prinsip dasar
adalah suatu kesadaran fitrah (awareness), yang berpegang pada Pencipta yang Abadi,
yakni prinsip akan Keesaan Tuhan.
28. Jadi ESQ merupakan konsep universal yang mampu mengantarkan seseorang
pada ‘predikat yang memuaskan’ bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. ESQ
Model yang dikembangkan ini tidak hanya untuk umat Islam, meskipun di dalamnya
mengacu pada Rukun Iman dan Rukun Islam. Sebagaimana yang disampaikan Emha
Ainun Nadjib seperti yang diungkapkan kembali oleh Ginanjar (2001) bahwa meski di
dalamnya terkandung Rukun Iman dan Rukun Islam, bukan berarti eksklusifisme aliran
atau agama, tapi keinginan untuk menyampaikan kebenaran, meskipun ada Al Qur’an,
itu bukan untuk golongan, tapi untuk seluruh umat manusia. Bukan Al Qur’an untuk
Islam, bukan dunia untuk Islam, tapi Al Qur’an dan Islam untuk dunia. Islam
merindukan perdamaian dan kebahagiaan sejati bersama dengan yang lain.
Sumber Daya Manusia Kapabilitas
Barney (1991) mengemukakan empat kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu
sumber daya dapat disebut sebagai sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan sebagai
berikut:
(1) merupakan sumber daya organisasional yang sangat berharga (valuable), terutama
dalam kaitannya dengan kemampuan untuk mengeksploitasi kesempatan dan atau
menetralisasi ancaman dari lingkungan perusahaan.
(2) relative sulit untuk dikembangkan, sehingga menjadi langka di lingkungan
kompetitif.
(3) sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi.
(4)tidak dapat dengan muddah digantikan substitute yang secara strategis signifikan.
masalahnya adalah bagaimana “menterjemahkan” berbagai strategi, kebijakan dan
praktik MSDM menjadi keunggulan kompetitif berkelanjutan.
2.6 Pengertian Audit Manajemen
Audit manajemen adalah pengevaluasian terhadap efesiensi dan efektivitas
operasi perusahaan berupa suatu rancangan sistematis untuk mengaudit aktivitas,
program yang diselenggarakan keseluruhan atau sebagian dari entitas untuk menilai dan
melaporkan apakah sumber daya dan dana telah digunakan secara efisien dan apakah
tujuan dari program dan aktivitas yang telah direncanakan telah dicapai dan tidak
melanggar ketentuan dan kebijakan yang ditetapkan perusahaan.
29. Ruang Lingkup dan Sasaran Audit Manajemen
Ruang lingkup audit manajemen meliputi seluruh aspek kegiatan manajemen, yang
berupa seluruh atau sebagian kegiatan,program, atau aktivitas yang dilakukan
perusahaan. Periode yang dicakup juga beragam, bisa untuk jangka waktu satu minggu
satu/beberapa bulan, satu/beberapa tahun, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai.
Audit manajemen dalam ruang lingkup perusahaan terdiri atas:
a) Audit manajemen dan fungsi pemasaran
Untuk menilai bagaimana setiap aktivitas pemasaran yang dilakukan mencapai tujuan
melalui SDM yang ekonomis dan efisien.
b) Audit manajemen pada fungsi produksi dan operasi
Untuk melakukan pengujian terhadap ketaatan perusahaan dalam menerapkan aturan
dan kebijakan yang telah ditetapkan dalam operasi perusahaan.
c) Audit manajemen pada fungsi sumber daya manusia
Untuk menilai apakah kebutuhan SDM suatu perusahaan sudah terpenuhi dengan cara
yang hemat,efisien,dan efektifitas.
d) Audit manajemen pada fungsi system informasi
Untuk menekankan pada penilaian terhadap keandalan system informasi yang dimiliki
perusahaan untuk menghasilkan berbagai informasi yang diperlukan secara akurat dan
tepat waktu.
e) Audit manajemen lingkungan
Untuk menilai sejauh mana perusahaan telah melaksanakan tanggung jawab
lingkungannya.
f) Audit system manajemen kualitas
Untuk menilai apakah system kepastian kualitas yang ditetapkan perusahaan telah
mampu memandu proses operasi perusahaan untuk dapat mencapai kualitas produk
sesuai dengan satandar yang ditetapkan.
g) Audit manajemen bidang perpajakan
Untuk memantau apakah perusahaan telah menjalankan kewajiban membayar pajak
sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Sasaran dalam audit manajemen adalah kegiatan, aktivitas,program, dan bidang-
bidang dalam perusahaan yang diidentifikasi masih memerlukan perbaikan dari segi
efisiensi, efektivitas, dan ekonomisasi.
A. Efisiensi
Optimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah di
tetapkan.
B. Efektivitas
a) Pencapaian tujuan program dan kegiatan yang sudah ditetapkan
b) Pemanfaatan hasil program
30. c) Pengaruh pemanfaatan hasil program atau kegiatan terhadap pencapaian tujuan
perusahaan secara keseluruhan
C. Ekonomisasi
Ekonomisasi menekankan pada bagaimana setiap kegiatan dalam objek audit
mengelola dana yang dimiliki objek audit dalam memperoleh hasil yang lebih besar dan
alternative pelaksanaan kegiatan dalam mencapai tujuan dengan biaya yang lebih
rendah.
Dalam penentuan Tujuan audit terdapat 3 elemen penting
1) Kriteria
Merupakan Norma,standard maupun sekumpulan standar yang menjadi panduan setiap
individu dalam melakukan aktivitasnya sebagai pelaksanaan atas wewenang dan
tanggung jawab yang diberikan padanya.
2) Penyebab
Tindakan maupun aktivitas actual yang dilakukan oleh individu (kelompok yang ada di
objek audit)
3) Akibat
Hasil pengukuran dan pembandingan antara aktivitas individu (kelompok) dengan
criteria yang telah ditetapkan terhadap aktivitas tersebut.
Prinsip Dasar Audit Manajemen
Ada tujuh prinsip dasar:
1. Audit dititikberatkan pada objek audit yang mempunyai potensi untuk diperbaiki
2. Audit dititikberatkan pada berbagai hal yang masih memerlukan perbaikan untuk
mencapai kondisi optimal dalam mengelola sumber daya yang dimiliki perusahaan.
3. Audit merupakan prasyarat penilaian terhadap kegiatan objek audit
4. Penilaian yang akurat baik terhadap kinerja manajemen maupun berbagai program
atau metode operasi yang dilaksanakan membutuhkan audit yang seksama, dengan
penilaian ini dapat diketahui apakah program yang telah ditetapkan dapat dengan efektif
mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
5. Pengungkapan dalam laporan mengenai adanya temuan-temuan yang positif dan
negative
6. Selain menyajikan temuan-temuan negative yang berupa kelemahan dalam
pengeloalan perusahaan seorang auditor juga harus menyajikan temuan-temuan positif
yang biasanya berupa keberhasilan yang dicapai manajemen dalam mengelola berbagai
program dalam aktivitas operasinya.
7. Identif ikasi individu yang bertanggung jawab terhadap kekurangan-kekurangan yang
terjadi.
31. Auditor dapat mengidentifikasi dan menemukan individu-individu yang
bertanggung jawab terhadap berbagai kelemahan yang terjadi di suatu perusahaan.
Penentuan tindakan terhadap individu yang seharusnya bertanggung jawab
Auditor dapat memberikan berbagai pertimbangan dalam menentukan sanksi yang akan
diberikan oleh pihak yang lebih tinggi dari petugas yang bersangkutan
Pengungkapan adanya pelanggaran hukum.
Auditor mungkin dapat menemukan berbagai pelanggaran yang terjadi dalam
perusahaan,walaupun bukan tugas utama auditor untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelanggaran hukum,auditor harus menyampaikan temuan tersebut ke
atasannya tentang adanya pelanggaran tersebut.
Penyelidikan dan pencegahan kecurangan (fraud)
Jika terjadi kecurangan pada objek audit,auditor harus memberikan perhatian khusus
dan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam terhadap hal tersebut.
Tahap- Tahap Audit Manajemen
1. Audit Pendahuluan
Untuk mendapatkan informasi mengenai latar belakang objek audit, seperti menelaah
berbagai peraturan, ketentuan, atau kebijakan yang terkait; menganalisis informasi
untuk mengidentifikasi potensi kelemahan. Tahap ini dapat menghasilkan tentative
audit objective
2. Review dan Pengujian Pengendalian Manajemen
Auditor melakukan review terhadap pengendalian manajemen untuk menilai
efektivitasnya. Hasil pengujian ini dapat mendukung tentative audit objective sehingga
menjadi definitive audit objective
3. Audit Terinci
Auditor mela kukan pengumpulan bukti kompeten dala m jumla h yang mencapai
tujuan audit yang telah ditetapkan. Hasil pada tahap ini dituangkan dalam kertas kerja
audit, untuk mendukung kesimpulan dan rekomendasi yang diberikan.
4. Pelaporan
Tahapan ini untuk mengkomunikasikan hasil audit dan rekomendasi.
5. Tindak Lanjut
Tahap ini untuk mendorong dilakukannya per baikan sesuai dengan rekomendasi yang
diberikan.
2.7 Pelaksanaan Audit Kinerja
Penerapan Prosedur Pelaksanaan Audit Kinerja meliputi:
32. A. Penugasan Audit Kinerja
Penugasan Audit Kinerja berdasarkan Program Kerja Pemeriksaan Tahunan
(PKPT) atau bisa juga berdasarkan permintaan langsung dari Pemegang saham
Perusahaan (Non PKPT).
B. Perencanaan Pemeriksaan dan Program Audit Kinerja
a) Perencanaan Pemeriksaan
Setelah adanya penugasan untuk melakukan Audit Kinerja, auditor melaksanakan
perencanaan pemeriksaan.
Auditor akan membuat lembar perencanaan pemeriksaan dengan memperhatikan:
1. Dasar pemeriksaan
2. Obyek pemeriksaan
3. Alamat Obyek pemeriksaan
4. Sasaran Pemeriksaan
5. Nomor Kartu Penugasan
6. Petugas Pemeriksa, terdiri dari:
- Pengawas
- Ketua Team
- Anggota Team (jumlah anggota team disesuaikan dengan obyek audit)
7. Lampiran berkas:
- Surat tugas
- Kesimpulan Hasil Review Internal Control
- Internal Control Questioneres
- Program Audit
- Laporan Audit tahun lalu
- Kertas Kerja Pemeriksaan tahun lalu
Urutan Pelaksanaan Pekerjaan Perencanaan Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
o Penyusunan Rencana Pemeriksaan oleh Ketua Team
o Rencana Pemeriksaan yang selesai disusun, diserahkan kepada Pengawas untuk
direview
o Rencana Pemeriksaan selesai direview pengawas diserahkan kepada Pembantu
Penanggung jawab untuk disetujui
b) Program Audit
Sebelum pelaksanaan Audit Kinerja, perlu dibuat program audit yang
merupakan langkah kerja yang harus dilakukan selama pelaksanaan audit. BPKP
menggunakan program audit sebagai alat pengendali dari setiap kegiatan audit yang
dilakukan. Untuk setiap tahap audit harus dipersiapkan program kerja audit secara
33. tertulis. Program kerja audit harus dituangkan dalam suatu kertas kerja audit, dan setiap
penugasan mengandung bagian pokok:
a. Pendahuluan yang memuat:
- Informasi latar belakang mengenai kegiatan/program yang diperiksa yang
berguna bagi para auditor untuk dapat melaksanakan program kerja auditnya
- Komentar mengenai kegiatan/program yang sedang diaudit dari berbagai pihak
seperti hasil audit BPKP atau lembaga audit lainnya dan komentar auditor
sendiri.
b. Pernyataan Tujuan Audit, yaitu memaparkan tujuan-tujuan khusus audit yang
menentukan arah audit, Cara pendekatan dan metode audit yang dipilih.
c. Instruksi-instruksi Khusus, bagian ini memuat instruksiinstruksi khusus BPKP perlu
mendapat perhatian khusus auditor, seperti penyampaian laporan, masalah koordinasi
audit dan lain-lain.
d. Langkah-langkah kerja, yang memuat pengarahanpengarahan khusus dalam
pelaksanaan tugas audit.
Dalam pembuatan program kerja audit, auditor harus memperhatikan dasar-
dasar sebagai berikut:
- Tujuan audit harus dinyatakan secara jelas dan harus dapat dicapai atas dasar
pekerjaan yang direncanakan dalam program kerja audit
- Program kerja audit harus disusun sesuai dengan penugasan yang bersangkutan
- Program kerja audit harus mempertimbangkan hasil audit tahap sebelumnya
- Setiap langkah kerja harus merinci pekerjaan yang harus dilakukan disertai
alasan-alasannya
- Setiap langkah kerja harus berbentuk instruksi mengenai pekerjaan-pekerjaan
yang harus dilakukan
- Program kerja audit harus menggambarkan urutan prioritas langkah-langkah
kerja yang harus dilaksanakan
- Program kerja audit harus fleksibel, setiap perubahan harus dengan persetujuan
Pengendali Teknis/Pengendali Mutu
- Dalam penyusunan program kerja audit, auditor harus memperhatikan Aturan
Perilaku Pemeriksa, Norma Pemeriksaan APFP, Standar Audit Pemerintahan
(SAP), dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
- Program kerja audit harus menyertakan taksiran-taksiran waktu yang diperlukan
sesuai dengan perencanaan kerja audit guna melaksanakan kegiatan yang
bersangkutan. Anggaran waktu diperlukan juga untuk menentukan jumlah
tenaga audit yang harus dikerahkan agar tugas audit dapat diselesaikan dalam
waktu yang tepat.
34. - Program kerja audit disiapkan oleh ketua tim audit dan harus disetujui
Pengendali Teknis dan Pengendali Mutu.
C. Persiapan Audit
1. Persiapan Audit Kinerja yang dilakukan oleh Tim Audit, meliputi kegiatan-kegiatan:
a) Ketua Tim bersama-sama pengawas pemeriksaan mengadakan pembicaraan dengan
pemimpin obyek pemeriksaan
b) Tim mengumpulkan informasi mengenai seluk-beluk operasi perusahaan antara lain
jenis kegiatan/usaha, struktur organisasi
c) Tim melakukan review dan penilaian terhadap system pengendalian intern obyek
pemeriksaan. Ketua Tim menyusun program pemeriksaan berdasarkan hasil penilaian
sistem pengendalian intern
d) Pengawas pemeriksaan mereview hasil penilaian terhadap sistem pengendalian intern
dan program pemeriksaan
2. Persiapan Pemeriksaan Dalam Pemeriksaan Ulangan
a) Tim mempelajari Kertas Kerja Audit (KKA) tahun terakhir pemeriksaan
b) Ketua Tim bersama-sama pengawas pemeriksaan mengadakan pembicaraan dengan
pemimpin obyek pemeriksaan
c) Tim melakukan review dan penilaian terhadap system pengendalian intern dan
program pemeriksaan obyek yang diperiksa yang telah dipersiapkan oleh tim pemeriksa
sebelumnya
d) Pengawas pemeriksaan mereview hasil penilaian terhadap sistem pengendalian intern
dan program pemeriksaan.
Dalam tahap persiapan audit, tim audit mengumpulkan informasi pendukung
kegiatan audit mencakup:
1. Informasi mencakup keseluruhan organisasi
2. Peraturan perundangan yang berlaku
3. Tujuan, Visi, Misi, sasaran, strategi dan kegiatan usaha auditan
4. Sistem dan prosedur yang digunakan di perusahaan yang diaudit
5. Data keuangan, untuk mengetahui tingkat kesehatan perusahaan
6. Informasi lainnya yang relevan.
Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, auditor mengadakan kerjasama
dengan satuan pengawas intern dari auditan atau yang diperiksa. Cara yang dilakukan
auditor untuk memperoleh informasi agar informasi yang diperoleh memiliki kualitas,
valid, akurat, dan relevan dengan sasaran kegiatan yang diaudit adalah:
1. Pembicaraan dengan auditan
35. Untuk memperoleh informasi yang bernilai dari para pejabat dan pegawai terkait,
khususnya mengenai kelemahankelemahan yang belum ada penyelesaiannya.
2. Wawancara dengan pihak lain (stakeholders auditan).
Dapat diperoleh informasi yang berguna dalam menetapkan tujuan audit dan
mengidentifikasikan kelemahan auditan.
3. Pengamatan/observasi fisik
Pengamatan fisik berguna dalam survei yang berkaitan dengan keekonomisan dan
efisiensi.
4. Mereview laporan Manajemen
Informasi dari perbandingan realisasi dengan anggarannya, laporan keuangan, laporan
biaya masing-masing bagian, laporan informasi, dan sebagainya. Auditor perlu
menganalisis laporan dengan menggunakan perbandingan, melihat perbedaan yang
penting dan mengungkapkannya
5. Mereview laporan hasil audit sebelumnya
Suatu sumber informasi dalam setiap auditan adalah arsip mengenai studi dan laporan
audit pada audit yang bersangkutan. Hasil pemeriksaan Satuan Pengawas Intern
(SPI) dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan mengenai ruang
lingkup survei dan audit.
6. Mereview sistem dan prosedur
Dengan mereviu sistem dan prosedur dapat diperoleh informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan pengendalian manajemen perusahaan. Akhir dari kegiatan tahap persiapan
Audit Kinerja, Tim audit kemudian membuat simpulan kegiatan dari hasil kegiatan
persiapan audit yang memuat mengenai kelemahan-kelemahan
yang dijumpai dalam kegaiatan audit. Kelemahan yang teridentifikasi tersebut akan
dikembangkan lebih lanjut dalam tahap audit berikutnya, yaitu tahap pengujian
pengendalian manajemen.
D. Pengujian Pengendalian Manajemen
Langkah-langkah pendekatan pengujian pengendalian manajemen antara lain adalah:
1. Memahami komponen pengendalian yang berupa:
a. Lingkungan pengendalian
b. Penaksiran risiko yang berkaitan dengan permasalahan keuangan dan non
keuangan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
c. Aktivitas pengendalian.
2. Menentukan kekuatan dan kelemahan pengendalian manajemen
3. Mengidentifikasi masalah-masalah pokok dan kondisi yang perlu dilaporkan
4. Memvalidasi bukti-bukti yang diuji
36. 5. Melakukan penilaian akhir
6. Mengidentifikasi tindakan korektif
7. Membuat simpulan pengujian pengendalian manajemen.
Hasil evaluasi harus dapat menentukan dimana kekuatan dan kelemahan sistem
pengendalian intern. Jika pemeriksa mengidentifikasikan adanya kelemahan dalam
system yang mempengaruhi aspek lainnya termasuk terjadinya in-efisiensi dalam
produksi atau kegiatan lain, maka tanggung jawab pemeriksa yaitu memberitahukan
temuannya kepada manajemen. Untuk menyampaikan rekomendasi pemeriksaan
manajemen dapat menggunakan Surat Kepada Manajemen (Manajemen Letter).
E. Pemantauan Tindak Lanjut hasil Audit Kinerja
Setelah melaksanakan aktivitas-aktivitas utama audit, masih ada aktivitas lain yang
perlu dilakukan yaitu tahap penindaklanjutan. Dalam tahap ini akan melibatkan auditor,
pihak manajemen (auditee), dan pihak yang berkompeten. Tahap penindaklanjutan
bertujuan untuk memastikan/memberikan pendapat apakah rekomendasi yang diusulkan
oleh auditor sudah diimplementasikan.
Prosedur penindaklanjutan dimulai dengan tahap perencanaan melalui
pertemuan dengan pihak manajemen untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi
organisasi dalam mengimplementasikan rekomendasi auditor. Kemudian auditor
mengumpulkan data-data yang ada dan melakukan analisis terhadap data-data tersebut
untuk kemudian disusun dalam sebuah laporan.
Peranan auditor dalam mengimplementasikan rekomendasi audit hanya sebagai
pendukung, untuk menjaga obyektivitas dan independensi auditor, karena ada
kemungkinan dimasa-masa yang akan datang organisasi tersebut akan diaudit oleh
auditor yang sama. Auditor akan memberikan penjelasan tentang bagaimana dan
mengapa sebuah rekomendasi diberikan dan memonitor tindakan manajemen
sehubungan dengan laporan audit untuk mengetahui perkembangan
pengimplementasian rekomendasi audit.
37. BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Audit manajemen adalah pengevaluasian terhadap efesiensi dan efektivitas
operasi perusahaan berupa suatu rancangan sistematis untuk mengaudit aktivitas,
program yang diselenggarakan keseluruhan atau sebagian dari entitas untuk menilai dan
melaporkan apakah sumber daya dan dana telah digunakan secara efisien dan apakah
tujuan dari program dan aktivitas yang telah direncanakan telah dicapai dan tidak
melanggar ketentuan dan kebijakan yang ditetapkan perusahaan.