SlideShare a Scribd company logo
1 of 22
1
LITERASI JASMANI: ORIENTASI TUBUH-SUBJEK
Oleh Made Pramono1
Abstrak
Dalam sejarah pemikiran mainstream, tubuh manusia menempati peran
ambigu dan paradoksal dalam kategorisasi kultural. Pemetaan dan pemahaman
tentang pemikiran yang berhubungan dengan tubuh (kaitannya dengan jiwa)
adalah langkah awal yang sebenarnya direkonstruksikan ke arah analisis dan
penelitian implementatif terhadap berbagai persoalan umat manusia yang berakar
dari pandangan filosofis terhadap kebertubuhannya. Pada tataran individual,
literasi jasmani ini penting maknanya dalam interaksi kebertubuhan manusia
dengan lingkungannya sehingga diharapkan mampu mengarahkan motivasi,
kepercayaan diri, kompetensi jasmani, pengetahuan, dan pemahaman yang
mengokohkan pendayagunaan tubuh yang optimal sebagai bagian dari gaya hidup
sehat dan positip. Sejak usia dini hingga dewasa, literasi jasmani bisa
diperkenalkan melalui berbagai macam media dan cara, baik melalui pendidikan
maupun non-kependidikan. Tubuh tidak selalu menjadi objek. Subjektivitas tubuh
patut dikonseptualisasikan juga dalam literasi jasmani, dengan mengikutsertakan
juga instrumen, daya implementatif, dan evaluasi mendalam. Pada tataran
pendidikan, maka pendidikan jasmani sesungguhnya tidak hanya mendidik tubuh
atau melalui tubuh berproseslah kemanusiaan sang subjek didik, tetapi pendidikan
jasmani juga berarti pendidikan oleh tubuh, atas dasar itu hidup kemanusiaan utuh
material-spiritual, jiwa-raga.
Kata kunci: Literasi Jasmani, Tubuh-Subjek, Pendidikan Jasmani
A. Pendahuluan
Sejak diperkenalkan terutama di awal abad ke-21, istilah literasi jasmani
secara global telah menjadi topik yang menarik di bidang pendidikan jasmani dan
kesehatan. Banyak penulis (misalnya Whitehead & Murdoch, 2006; Mandigo,
Francis, Lodewyk, & Lopez, 2012) yang mewakili berbagai negara telah
membuka wawasan ke arah penerimaan dan implementasi istilah ini. Beberapa
negara seperti Inggris dan Kanada selama beberapa tahun terakhir mengangkat
dan memuji nilai dari konsep multifaset literasi jasmani (Roetert & Jefferies,
2014). Jurnal Sport and Health Science pada tahun 2015 mempublikasikan isu
khusus literasi jasmani dengan 10 artikel yang mereviu konsep dan aplikasibilitas
1
Dr. Made Pramono, M.Hum. adalah dosen Filsafat di unit kerja Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Surabaya. Email: madepramono@unesa.ac.id
2
literasi jasmani. Literasi jasmani benar-benar telah menjadi fokus utama
pendidikan jasmani, aktivitas jasmani, serta olahraga dan sudah secara ekstensif
dipergunakan dan diperkenalkan di bidang-bidang itu.
Tulisan ini secara bergantian mempersamakan jasmani dengan istilah tubuh,
di mana tubuh/jasmani yang dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu
kesatuan kompleksitas struktur fisiologis, anatomis, biologis yang tampak sebagai
keseluruhan jasad yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut
(KBBI, 2008). Kata jasad mengacu pada sesuatu yang dapat “dikontraskan”
dengan pikiran, roh, sifat, atau tingkah laku.
Wacana tentang tubuh dalam ranah ilmu-ilmu sosial mulai muncul sekitar
tahun 1980-an, terutama dipicu dengan pro dan kontra aspek sosial dan politis dari
feminisme, persoalan rumit seputar teknologi medis dalam fertilisasi, teknologi
realitas virtual, teknologi cyborg di bidang industri dan kemiliteran, serta estetika
tubuh dalam budaya konsumtif modern. Kemunculan bermacam-macam wacana
sosiologi tubuh dipengaruhi tradisi teoritis filsafati tertentu, namun demikian
karya-karya Michel Foucault bisa dianggap karya paling signifikan dalam analisis
sosial tentang kebertubuhan. Perlu dicatat di sini, perspektif Foucault tentang
disiplin tubuh bercorak perspektif fenomenologis a la Merleau-Ponty. Tentu saja
peran Husserl, Heidegger, dan juga Wilhelm Dilthey harus dipertimbangkan
sebagai satu garis pertumbuhan eksplorasi dan pemahaman sosiologi-
fenomenologis tubuh. Tanggapan kritis terhadap pandangan rasionalisme
Cartesian - yang memisahkan substansi kejiwaan dan ketubuhan - menyeruak dan
mengambil tempat kemudian ke dalam orientasi post-strukturalis, dengan
menggagas tema-tema tentang emosi, hasrat dan kasih sayang, diri modern
menuntut sensibilitas dan emosi-emosi, dan keintiman kebertubuhan (Pramono,
2014: 89).
Istilah “Pendidikan Jasmani” dan “Aktivitas Jasmani”, dikenal luas
masyarakat Indonesia dengan berbagai konsep dan pemikiran tentangnya.
Pengenalan istilah lain seperti “Literasi Jasmani” bisa dicurigai kabur, atau
memunculkan beberapa pertanyaan misalnya: apakah literasi jasmani dapat
meningkatkan profesionalisme, menjelaskan apa yang sudah dikerjakan dengan
3
lebih akurat dan gamblang, serta berfungsi sebagaimana “literasi-literasi” yang
sudah ada seperti literasi komputer, literasi finansial, literasi kesehatan, dan
sebagainya? Literasi jasmani pertama-tama bukan kelatahan wacana pseudo-
ilmiah, tetapi tentu dengan banyaknya tulisan jurnal internasional tentang tema
ini, menunjukkan kekuatan argumentatif ilmiah untuk diposisikan sebagai fokus
kajian yang sekaligus memiliki daya guna aplikatif.
Meskipun konsep literasi jasmani dalam bahasa Indoensia sampai tulisan
ini dibuat masih sangat jarang diketemukan (melalui mesin pencari Google hanya
ada satu hasil penelusuran, itupun juga tidak relevan untuk dijadikan rujukan),
namun literasi jasmani tentu bernilai universal. Tulisan ini merupakan upaya awal
untuk lebih memperkenalkan konsep dan urgensi literasi jasmani yang terbatas
pada eksplorasi ide-ide pokok filosofis dan ilmiah. Subjektivitas tubuh (tubuh
yang juga dilihat sebagai subjek, sebagai “aku”) adalah orientasi filosofis yang
hendak dibangun dalam tulisan ini yang berangkat dari kerangka konseptual
literasi jasmani.
B. Pembahasan
1. Urgensi Literasi Jasmani
Secara umum istilah “literasi” mencakup komponen pengetahuan,
pemahaman, pemikiran, komunikasi, dan aplikasi. Istilah “literasi” bukan hal baru
di dunia pendidikan. United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) tahun 2004 telah menyatakan latar belakang dan
pendefinisian literasi. Literasi oleh UNESCO diidentifikasikan lebih dari sekedar
membaca dan menulis. Literasi adalah tentang bagaimana berkomunikasi sosial,
dan ini mencakup juga praktek dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana
pengetahuan, bahasa, dan budaya.
Salah satu subjek literasi yang muncul di awal-awal abad ke-21 adalah
literasi jasmani, meskipun sebenarnya di pertengahan abad sebelumnya sudah
disinggung-singgung oleh penulis seperti Morrison (1969). Margaret Whitehead
(2013b) yang merupakan tokoh utama literasi jasmani, mendeskripsikan literasi
jasmani dengan memperluas pandangan dari UNESCO di atas sebagai:
4
kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi,
mencipta, merespon secara efektif, dan mengkomunikasikan
menggunakan dimensi ketubuhan manusia dalam cakupan luas situasi
dan konteks. Literasi jasmani meliputi pembelajaran kontinuum yang
memampukan individu untuk mencapai tujuannya dalam membangun
pengetahuan dan potensialnya serta untuk berpartisipasi penuh dalam
komunikasinya dan masyarakat yang lebih luas (hal. 26).
Perdebatan literasi jasmani di kalangan ilmuwan olahraga terutama dipicu
dari konsep literasi jasmani yang dikembangkan Whitehead (2001). Sebagaimana
diindikasikan Higgs (2010), konsep literasi jasmani berakar baik dalam tulisan
akademik maupun aktivitas-aktivitas keseharian guru-guru pendidikan jasmani,
praktisi-praktisi rekreasi, dan para pelatih. Salah satu definisi orisinil dan paling
awal tentang literasi jasmani diungkapkan Morrison (1969) yang mengintrodusir
pendekatan holistik dengan menyatakan bahwa individu-individu yang literat
secara jasmani tidak hanya bergerak secara efisien tetapi juga bergerak secara
kreatif, secara kompeten, dan dengan antusias. Mandigo, Francis, Lodewyk, dan
Lopez (2012) menengarai bahwa gerakan yang kompeten tidak bergerak dalam
keterpisahan dengan lingkungan sosialnya, dan ini menandakan bahwa individu-
individu yang literat secara jasmaniah memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
sikap untuk hidup sehat bagi dirinya sendiri, sementara juga membantu yang lain
untuk mencapai kecakapan-kecakapan tersebut.
Dengan kata lain, individu yang literat secara jasmaniah adalah seseorang
yang mewujudkan hakikat jasmaniah gerakan dan menggunakan pengalaman serta
pengetahuannya untuk berinteraksi dengan lingkungan (Whitehead & Murdoch,
2006; Whitehead, 2001). Literasi jasmani mendidik individu tentang
kejasmaniahannya, yang tidak sekedar untuk “menjadi jasmaniah”, tetapi
merangkum pemahaman menubuh tentang bagaimana menjadi jasmaniah melalui
interaksi dengan lingkungan yang berbeda-beda dan menantang (Whitehead &
Murdoch, 2006; Whitehead, 2001; Killingbeck, dkk, 2007). Sebagai tambahan,
Corbin (2016) menekankan bahwa “literasi jasmani menghadirkan pondasi bagi
olahraga elit, kesehatan masyarakat, dan pendidikan jasmani...”. Dalam hal ini,
UNESCO (2015) menegaskan bahwa kualitas pendidikan jasmani (QPE, Quality
5
Physical Education) adalah bagian inti dari kurikulum sekolah yang penting bagi
siswa dan khususnya lagi bagi guru-guru pendidikan jasmani.
Gaya hidup aktif secara jasmani adalah penting bagi kesehatan. Whitehead
(2013a) juga memodifikasi definisinya sendiri tentang literasi jasmani sebagai
kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas tubuh di mana individu
tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi jasmani, pengetahuan,
dan pemahaman untuk menilai dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga
pencapaian dan aktivitas fisik yang bermanfaat di sepanjang hidupnya. Definisi
ini digunakan Whitehead dalam tulisannya dalam tema khusus Bulletin of the
International Council of Sport Science and Physical Education of UNESCO, yang
dapat digambarkan sebagai kapabilitas untuk gaya hidup aktif secara sehat.
Terdapat empat unsur esensial dan saling terkoneksi dari definisi literasi jasmani
di atas: motivasi dan percaya diri (domain afektif), kompetensi jasmani (domain
fisik), pengetahuan dan pemahaman (domain kognitif), dan keterlibatan dalam
aktivitas jasmani (domain behavioral). Hal ini dipublikasikan Whitehead pada
International Physical Literacy Association (2014), yang menjadi isyarat kuat
bahwa literasi jasmani harus dibedakan namun bersinggungan erat dengan istilah
pendidikan jasmani, aktivitas jasmani, maupun olahraga.
Individu yang literat secara jasmaniah akan bergerak dengan percaya diri
dan kompeten di antara spektrum luas kondisi dan peluang aktivitas fisik,
termasuk aktivitas di tanah, salju, es, air, atau udara (PHE Canada, 2014).
Kebalikannya, dapat ditebak individu yang bersusah payah di perjalanan literasi
jasmaninya akan sedikit terlibat dalam aktivitas jasmani, meningkatkan resiko
mereka untuk persoalan-persoalan kesehatan (Tremblay, dkk, 2010). Tentara atau
atlit adalah dua profil profesional yang bisa dijadikan contoh konfidensi dan
kompetensi gerak dari ke-literat-an tersebut.
Literasi jasmani tidak hanya berkaitan dengan relevansi psikologis atau
fisiologis. Penulis melalui tesis, disertasi, dan beberapa karya ilmiah lain secara
filosofis telah mengeksplorasi permasalahan tubuh dalam hubungannya dengan
jiwa dalam suatu kerangka kategorisasi antara objektivitas dan subjektivitas.
Penghargaan atas tubuh adalah salah satu tahapan hasil analisis-sintesis itu, vis-a-
6
vis tubuh yang diperlakukan sebagai objek, yang diproyeksikan untuk bidang ilmu
keolahragaan. “Aku adalah tubuhku” merupakan jargon yang dikonsepsikan para
filsuf seperti Merleau-Ponty dan Gabriel Marcel untuk menunjukkan hakikat
tubuh secara fenomenologis yang berimplikasi signifikan terhadap perlakuan dan
literasi manusia terhadap tubuhnya (Pramono, 2003; 2004; 2014; 2015).
2. Literasi Jasmani dalam/melalui Pendidikan Jasmani
Dunia pendidikan bagaimanapun tetap sepakat bahwa apapun keahlian dan
aktivitas seseorang, kesehatan dan kebugaran tubuh merupakan prakondisi yang
vital. Pengabaian pemenuhan standar kebutuhan dan kepentingan tubuh, apapun
kepentingan manusia bisa dipastikan tidak akan seimbang yang cenderung
mengarah pada ketidaktuntasan bahkan penghancuran diri. Bukankah hal ini juga
berlaku bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan jiwa?
Jasmani atau aktivitas jasmani merupakan objek material dari bidang kajian
yang disebut secara luas sebagai pendidikan jasmani (pendidikan jasmani).
Pendidikan jasmani secara umum bisa diartikan sebagai “pendidikan dari dan
melalui aktivitas fisik yang diterima individu secara formal khususnya dalam
konteks institusional” (Newell, 1990: 227). Tulisan ini secara bergantian
mempersamakan jasmani dengan istilah tubuh, di mana tubuh/jasmani yang
dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu kesatuan kompleksitas struktur
fisiologis, anatomis, biologis yang tampak sebagai keseluruhan jasad yang
kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut (KBBI, 2008). Kata jasad
mengacu pada sesuatu yang dapat dikontraskan dengan pikiran, roh, sifat, atau
tingkah laku.
Permasalahan filosofis muncul ketika mengidentifikasi apa objek formal
dari pendidikan jasmani ini yang memperbedakannya dengan bidang-bidang
kajian lain yang juga membahas jasmani seperti biologi, antropologi, filsafat
manusia, dan sebagainya. Pernyataan yang paling mudah dikemukakan secara
harfiah untuk menjawab apa objek formal pendidikan jasmani adalah bahwa
pendidikan jasmani mengkaji jasmani dalam konteks pendidikan. Menurut
pendapat ini, bisa disebutkan bahwa objek material pendidikan jasmani adalah
7
jasmani dilihat dari perspektif pendidikan terhadapnya. Secara lebih singkat,
pendidikan jasmani berarti mendidik jasmani/tubuh. Hal ini dianut secara luas
oleh beberapa ilmuwan, termasuk dalm tulisan Newell di atas. Frase “...education
of and through physical activity...” sebagaimana ditulis Newell (2012: 227)
menegaskan makna relatif antara pendidikan dan aktivitas fisik yang terhubung
kata sambung “dari” (lebih cocok diganti “untuk” dengan melihat konteks
penjelasan Newell lebih lanjut di tulisannya) dan “melalui”.
Objek formal pendidikan jasmani dengan demikian juga bisa ditegaskan di
sini: jasmani yang dilihat sebagai medium untuk mentransfer pengetahuan atau
menanamkan karakter atau memampukan kecakapan tertentu. Secara singkat,
objek formalnya adalah jasmani sebagai medium pendidikan. Jika yang pertama
berfokus pada jasmani dari perspektif pendidikan (di mana jasmani sebagai objek
yang menjadi tujuan proses pendidikan), maka yang kedua ini lebih menekankan
jasmani sebagai medium proses pendidikan. Medium untuk mendidik siapa?
Tentu kepada “subjek” manusia.
Kedua perspektif di atas secara gamblang melihat jasmani sebagai objek,
meskipun dengan tekanan yang berbeda. Subjek yang mendidik dan/atau yang
dididik adalah diri yang berupa jiwa. Dualisme Cartesian sangat kental dalam
kedua perspektif ini: bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai dua
substansi terpisah, di mana yang disebut “Aku” biasanya selalu merujuk pada
jiwa, bukan pada tubuh. Pernyataan Rene Descartes yang terkenal “cogito, ergo
sum” menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat ini. Pemisahan
substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans) menelurkan konsep dunia
mekanis yang saat ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu (termasuk
dalam pendidikan jasmani), dan memengaruhi secara luar biasa banyak aspek
kehidupan. Bagi Descartes, tubuh lebih serupa mesin yang digunakan oleh jiwa
(Bertens, 2001: 140; Capra, 1997: 32).
Perspektif lain bisa diteruskan (bukan hasil negasi) dari pemaknaan
“pendidikan dari/untuk tubuh” atau “pendidikan melalui tubuh” ini, yakni tubuh
yang mendidik. Tubuh mereferensikan pengalamannya (pre-reflektif dan reflektif)
kepada tubuh lain atau kepada jiwa (diri atau orang lain). Perspektif ketiga ini
8
berada di antara dualisme menuju monisme. Kesadaran tubuh ini pada puncak
aktualisasinya mewakili monisme murni yang melihat “Aku” sebagai kesatuan:
kesatuan pikiran dan gerak raga, kesatuan tubuh dan jiwa. Tidak ada pembedaan
substansial antara tubuh dan jiwa sebagai “Aku”.
Jasmani yang dididik, jasmani sebagai medium proses mendidik, dan
jasmani yang mendidik adalah tiga perspektif yang bisa diajukan sebagai objek
formal pendidikan jasmani. Meskipun perspektif ketiga tidak semudah dua
perspektif lain dalam memahami dan menangkap operasionalitasnya, sebenarnya
ketiga perspektif ini ada dalam praktek “pendidikan jasmani” di Indonesia baik
secara formal (diawali tahun 1941 dengan didirikannya AILO oleh Belanda)
maupun informal (perlu penelitian lebih detail untuk mengidentifikasi
“pendidikan jasmani informal” ini, misalnya jejak sejarah kanuragan nusantara).
Berikut diuraikan ketiga perspektif tersebut.
a. Jasmani yang Dididik
Hylomorphisme Aristotelian bisa diajukan sebagai ilustrasi filosofis
paling tepat untuk menggambarkan bagaimana melalui pendidikan jasmani,
tubuh dididik oleh subjek jiwa dengan serangkaian dimensi: fisik, teknik,
strategik, taktik, dan mental. Sebagai wadah (hyle dalam filsafat Aristoteles),
tubuh diisi/dididik dengan dimensi-dimensi di atas beserta berbagai tahapan
dan implementasi temuan-temuan ilmiah tentangnya. Jiwa (morphe dalam
filsafat Aristoteles) mengisi tubuh dengan hal-hal tersebut secara terfokus dan
bertujuan khas (Bertens, 2001). Fokus dan tujuan tersebut bisa berupa
kesehatan, kepulihan, ketangkasan, kelincahan, kecepatan, daya tahan, dan
sebagainya. Penekanan utama dari perspektif ini adalah pada kebutuhan dan
kepentingan tubuh sebagai tujuan terpenting, yang berkonsekuensi pada
kebutuhan dan kepentingan jiwa.
Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun
demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga
tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan
jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup
9
pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI
Keolahragaan, dalam Pramono, 2014).
Tubuh adalah objek, jiwa adalah subjek. Pandangan fundamental seperti
ini menjadikan tubuh diperlakukan relatif sebagai sesuatu yang hanya
berfungsi reseptif dan pasif. Tetapi sebagai objek yang lekat dengan
multidimensionalitas manusia sebagai pemiliknya, tubuh juga diyakini bisa
berubah seiring perlakuan terhadapnya, baik secara natural maupun artifisial.
Tingkat penerimaan yang terorganisir dari masyarakat olahraga terhadap
kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta penerapan skema behavioristik dan
stimulus-respon merupakan bukti yang jelas untuk hal ini, yang meneguhkan
pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih sering diobjektivikasi dan
direduksi sedemikian rupa (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995).
Untuk tujuan kesehatan, tubuh yang bisa melapuk dan rusak ini dididik
untuk memperlama masa optimalnya dalam upaya jiwa agar selama mungkin
hidup dan selama mungkin sehat bugar. Demikian juga halnya dengan tujuan
kepulihan, di mana tubuh dikenakan berbagai perlakuan untuk kembali kepada
masa optimalnya dalam menghadapi kehidupan. Tubuh tidak hanya
diupayakan optimal, tetapi juga maksimal. Atas dasar hasrat naluriah tersebut,
tubuh dikuatkan, dilincahkan, di-daya tahan-kan, dimampukan untuk lebih
cepat, tangkas, kokoh, dan awet bugar. Karakter reseptif dan pasif dari tubuh
dengan demikian dianggap sebagai lokus kepentingan diadakannya pendidikan
jasmani, dengannya tubuh dididik untuk mematuhi kebutuhan-kebutuhan diri
di atas: diri yang adalah berupa “Aku-jiwa”.
b. Jasmani sebagai Medium
Perspektif kedua ini tidak mudah dipisahkan bahkan diperbedakan dari
perspektif pertama. Melanjutkan pandangan yang pertama di atas, manusia
menghendaki sesuatu, yang agar tercapai memerlukan medium berupa jasmani.
Pendisiplinan tubuh agar sesuai dengan standar/ukuran tertentu, adalah salah
satu contohnya. Ketika manusia (lebih spesifik lagi: jiwanya) menghendaki
agar orang-orang lain mengaguminya, maka tubuh dicitrakan sedemikian rupa
10
sehingga standar-standar citra tubuh ideal diupayakan. Melalui pendidikan
jasmani maupun olahraga, tubuh diperlakukan sedemikian rupa sehingga bisa
diproyeksikan ke orang-orang lain dan dirinya sendiri bahwa “dia” (subjek)
layak untuk dianggap pantas, ideal, seksi, macho, disegani, dan hal-hal lain
sejenisnya.
Berbeda tipis dari perspektif pertama, titik tekan perspektif tubuh sebagai
medium proses pendidikan ini adalah pada tujuan lain sebagai hasil proses
pendidikan jasmani, dan bukan didominasi untuk berhenti pada kebutuhan dan
kepentingan tubuh. Atas dasar itulah, tujuan lain tersebut berarti bukan bersifat
kebertubuhan, atau setidaknya melampaui kebutuhan dan kepentingan tubuh
sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya. Citra tubuh ideal,
pembentukan karakter, gaya hidup, dan prestasi (terutama di bidang olahraga)
adalah berbagai kerangka tujuan tersebut. Objektivitas tubuh meskipun tidak
setajam perspektif pertama, namun juga ditekankan dengan cara “mengendarai
tubuh” menuju arah tujuan tertentu tersebut.
Pendidikan melalui jasmani bagi fenomenologi tubuh Merleau-Ponty, tak
sekedar dihayati secara sempit dalam hal olahraga, namun setiap pengalaman
darinya persepsi, dunia, dan tubuhku tumpang tindih, niscaya diterima tidak
hanya oleh pikiranku tetapi juga oleh tubuhku. Sebagai konsekuensi
praktisnya, pendidikan melalui tubuh/jasmani, berarti sama maknanya dengan
pendidikan melalui pikiran/jiwa. Ini berlangsung resiprokal. Pendidikan (atau
pengetahuan) melalui pikiran/jiwa, identik – bahkan secara ontologis didahului
- dengan pendidikan melalui tubuh. Kedua ungkapan resiprokal ini hanya perlu
diberi catatan bahwa “tugas” untuk setiap jenis pengetahuan/pengalaman sudah
dibedakan secara anatomis-fisiologis (misalnya suara didengar telinga, ingatan
disimpan otak) (Pramono, 2014).
c. Jasmani yang Mendidik
Kesadaran primordial atau pra-reflektif merupakan titik awal sekaligus
dasar dari argumen perspektif ketiga ini. Objek-Dunia menyentuh Aku-Subjek
pertama-tama melalui tubuh. Merleau-Ponty menyebut “ontologi daging”
11
untuk menggambarkan sentuhan dari kesatuan tak terpisahkan antara aku dan
duniaku ini - yang dia istilahkan sebagai chiasmus. Bukan pikiran yang
pertama-tama mengidentifikasi persentuhan sesuatu dengan tubuh, tetapi
daging. Hanya saja di tahap primordial ini daging berikatan atau bersentuhan
dengan sesuatu (misalnya hawa udara atau kulit tangan) tanpa
mengobjektivikasikan sesuatu itu. Objektivikasi hanya terjadi di tahap reflektif,
tahap sesudah tubuh memancarkan pengetahuan untuk ditangkap pikiran.
Inilah mengapa paham monisme murni sangat kental di perspektif ini: “Aku
adalah (juga) tubuhku”. “Tubuh-subjek” adalah entitas atau realitas tunggal
yang bukan mental bukan pula fisik, tetapi serempak keduanya. Penerimaan
informasi pengetahuan apapun, termasuk dalam aktivitas fisik, dikelola oleh
aku yang sekaligus jiwa dan tubuh (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.),
1995; Pramono, 2014).
Berdasarkan pemahaman primordial tersebut, tubuh – yang bersama-
sama jiwa berada sebagai satu kesatuan tak terpisahkan – sesungguhnya
merupakan lautan pengetahuan maha luas. Hanya sebagian dari pengetahuan
itu yang tersaring sebagai pengetahuan yang disadari, pengetahuan jiwa.
Kondisi primordial ini adalah kondisi sangat azali, sangat alami, yang belum
dikenai standar-standar produk pemikiran apapun. Kepolosan dan kealamiahan
kesadaran tubuh inilah yang bagi penulis dianggap penting untuk
memunculkan istilah “tubuh yang mendidik”, di mana tubuhlah yang
menggerakkan “aku”2
untuk berkarakter, berpengetahuan, bersikap, dan
bergerak dalam rentang kualitas tertentu.
Pendidikan jasmani menurut perspektif ini berarti optimalisasi tubuh
yang membentuk karakter tertentu, memberi pengetahuan tertentu, menuntun
untuk bersikap tertentu, dan memampukan bergerak sesuai ukuran tertentu.
Tentu saja kerja jiwa seperti pikiran, ingatan, atau kesadaran tetap penting,
namun lebih sebagai pengarah atau penyelaras. Patut ditekankan lagi, bahwa
2
Tanda petik untuk menandai pemaknaan teks yang sebenarnya tidak relevan di kondisi penyatuan
atau chiasmus.
12
hubungan tubuh dan jiwa ibarat dua sisi dari uang yang sama. Satu substansi
dari dua aspek manunggal dari diri manusia.
3. Bidang Studi dan Fokus Aktivitas
Di Indonesia, pendidikan jasmani dan olahraga merupakan bagian dari
olahraga pendidikan, satu di antara tiga domain ruang lingkup olahraga dalam UU
No. 3 SKN (Sistem Keolahragaan Nasional). Dua domain yang lain adalah
olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Adanya olahraga prestasi sebagai domain
tersendiri secara tegas mengindikasikan bahwa pendidikan jasmani tidak
diarahkan untuk menelurkan olahragawan berprestasi, tetapi untuk tujuan yang
segaris dengan Sistem Pendidikan Nasional. Jabaran UUD 1945 tentang
pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3
menyebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Pendidikan jasmani, menurut logika hukum, berada di wilayah pembidangan
pendidikan, yang berarti juga patuh pada tujuan pendidikan nasional (bukan untuk
tujuan lain). Tentu saja ada rasionalisasinya ketika melalui pendidikan jasmani,
olahraga prestasi mendapatkan bibit olahragawan sejak usia dini.
Pembentukan habituasi olahraga seperti suasana menyenangkan dalam
beraktivitas, pengajaran keterampilan gerak yang benar, penanaman nilai-nilai
sportivitas, motivasi berolahraga yang tinggi, adalah beberapa relevansi
pendidikan jasmani terhadap identifikasi dini olahraga prestasi di lembaga
pendidikan. Tetapi pendidikan jasmani tidak valid untuk diarahkan membentuk
olahragawan prestasi, karena, sekali lagi, bukan itu tujuan pendidikan jasmani.
Konsekuensinya, guru/dosen yang memberi materi dominan olahraga prestasi di
mata pelajaran/kuliah pendidikan jasmani, berarti melakukan tindakan
13
menyimpang, baik secara legal maupun substansial. Prestasi ke-cabor-an (cabang
olahraga) hanya bagian kecil (bukan dominan) dari keseluruhan muara pendidikan
jasmani. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) mengeksplisitkan hal ini:
Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan bagian integral
dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan
aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir
kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan
moral, aspek pola hidup sehat dan pengetahuan lingkungan bersih
melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang dirancang
secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan jasmani memang berobjek kajian jasmani, tetapi tidak
sembarang keberadaan atau aktivitas jasmani. Pendidikan jasmani lebih
mengarusutamakan jasmani dalam konteks dasar-dasar keterampilan gerak yang
benar dalam konteks keolahragaan atau kesehatan. Itulah sebabnya Ivo Jirasek
menggantikan istilah physical education dengan kinanthropology untuk
menekankan pada fokus aktivitas jasmani yang terarah pada konteks keolahragaan
dan kesehatan (Jirasek, 2003).
Literasi jasmani (physical literacy) dalam konteks kesehatan atau
keolahragaan, bisa menjadi tema utama sekaligus muara dari pendidikan jasmani.
Tubuh tidak hanya didekati dari sudut pandang ilmu keolahragaan atau
pendidikan jasmani, tetapi juga bisa dilihat dari berbagai bidang kajian lain seperti
kesehatan/kedokteran, fisika, biokimia, bahkan sosiologi atau sejarah. Literasi
jasmani dalam konteks pendidikan jasmani oleh karenanya dibatasi pada
penguasaan aspek-aspek mendasar tentang tubuh, entah fisiognomi dasar,
keterampilan gerak dasar, sosioantropologi dasar. Penguasaan wawasan
kebertubuhan dasar ini pada akhirnya memberi ruang pada guru/dosen dan
siswa/mahasiswa untuk selalu membuka diri terhadap kerelatifan kebenaran
tentang tubuh sekaligus membuka diri terhadap ruang-ruang gelap yang belum
sepenuhnya disibak oleh pengetahuan modern. Tulisan Frithjof Capra (1997) atau
Deepak Chopra (1996) yang mempersandingkan kearifan timur dengan sains
mutakhir, masih sangat relevan dipertimbangkan sebagai cakrawala wawasan
kebertubuhan yang terbuka dan unfinished truth.
14
Tubuh sebagai objek sebagamana tergambar di sepanjang sejarah ilmu dan
filsafat di berbagai belahan dunia, pada hakikatnya memposisikan tubuh selalu
dalam posisi subordinat jiwa. Pandangan subordinasi tubuh (tubuh sebagai objek)
memang tidak perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan, termasuk dalam proses
pendidikan jasmani, selama tubuh tidak diperlakukan sebagai semata-mata objek
pemuas jiwa yang dipaksa-paksa, dimanipulasi, diracuni, atau bahkan dimutilasi
untuk melayani “kebutuhan” jiwa. Kasus kerja paksa, doping atlit, operasi
penghilangan jari kelingking kaki untuk peraga sepatu, dan sejenisnya adalah
contoh perlakuan tidak pada tempatnya bagi tubuh. Dominasi instrumentalisme
kebudayaan kontemporer yang fokus pada manusia sebagai homo faber
memungkinkan pandangan sesat terhadap relasi tubuh dan jiwa yang bisa– dan
sudah – terjadi. Penolakan dan kewaspadaan beberapa pemikir seperti Maine de
Biran, Ludwig Feuerbach, Friedrich Nietzsche, Merleau-Ponty, dan Gabriel
Marcell mewakili paham yang mengangkat objektivikasi tubuh ke pemikiran
sebaliknya: subjektivitas tubuh.
4. Revolusi Kopernikan Tubuh
Tubuh adalah subjek, atau, Aku adalah tubuhku. Tubuh bukan sejenis alat
sebagaimana gunting untuk memotong kertas, bukan pula wadah tempat jiwa
tumbuh berkembang. Tubuh adalah subjek kesatuan manusia dengan dunianya.
Subjek tidak bisa dipisahkan dari tubuh (Merleau-Ponty, 1962). Manusia
terhubung dengan dunia pertama-tama bukan oleh jiwanya, tetapi oleh tubuhnya.
Menurut Merleau-Ponty, seseorang adalah tubuhnya, dan berbeda dengan
Descartes, seseorang tidak terhubung dengan tubuhnya sebagai objek eksternal.
Pengetahuan yang terlibatpun bukanlah pengetahuan reflektif. Inilah apa yang
disebut Merleau-Ponty sebagai “kerajaan pra-objektif” (Syamsuddin, 2014).
Persepsi merupakan fenomena jasmaniah (digunakan dalam arti yang sama
oleh penulis dengan istilah kebertubuhan), bukan peristiwa mental yang terjadi di
akhir rantai sebab-akibat fisis sebagaimana dugaan Descartes. Tubuhlah yang
menyadari, bukan pikiran. Artinya, aku menyadari bukan sebagai subjek
berhadap-hadapan dengan objek, namun sebagai agen-agen jasmaniah di dalam
15
dan terhadap dunia. Merleau-Ponty memahami persepsi sebagai aspek apa yang
disebutnya, mengikuti Heidegger, “being in the world” (être au monde). Misteri
persepsi dengan demikian adalah misteri bahwa meskipun kita sendiri ‘tertanam”
di dalam dan bagian dari dunia, yang pada dirinya sendiri tidak sepenuhnya kabur
dan tak dapat dimasuki, namun terbuka bagi kita sebagai medan kesadaran dan
tindakan. “Persepsi”, demikian tulis Carman, “adalah selalu sekaligus pasif dan
aktif, situasional dan praktis, terkondisikan dan bebas” (Carman, 2008). Tubuh
dan dunia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh
dengan menyentuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia.
Sebaliknya dunia menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh (Pramono,
2014).
Struktur bawaan, kemampuan umum dasar, dan kemampuan kebudayaan
yang berangkat dari tubuh yang tumpang tindih dengan dunia dan kesadaran,
dalam penelitian ini dikerucutkan pada konsep dan konteks skill (kecakapan).
Merleau-Ponty menggunakan istilah “habit” (kebiasaan) sebagai sinonim “skill”,
sehingga ketika dia merujuk pada pencapaian kecakapan dia mengatakan
“pencapaian kebiasaan” (Merleau-Ponty, 1962). Kemampuan mengalami baginya
seolah sama dengan pencapaian kecakapan menubuh.
The analysis of motor habit as an extension of existence leads... to an
analysis of perceptual habit as the coming into possession of a world.
Conversely, every perceptual habit is still a motor habit and here equally
the process of grasping a meaning is performed by the body (Merleau-
Ponty, 1962: 153).
Pancaran intensional (intentional arc)3
diajukan Dreyfus sebagai cara
mengokohkan persepsi dan aksi kecakapan, suatu cara kecakapan menubuh dalam
menentukan cara segala sesuatu menunjukkan diri ke seseorang (Dreyfus, 1996).
3
Fenomena inti dari perhatian ke fenomenologis adalah intensionalitas – suatu kelangsungan
objek (the object-directedness), atau ke-apa-an (“aboutness”) dari pengalaman. “Intensionalitas”
sebagai salah satu tema pokok dan dasar fenomenologi digunakan oleh Husserl untuk
menunjukkan hubungan kesadaran dengan objeknya (dalam konteks pengenalan), namun pada
Merleau-Ponty paham yang sama terutama berperan untuk melukiskan kaitan subjek dengan
dunianya. Bagi Merleau-Ponty kaitan subjek dengan dunianya bersifat pra-reflektif, artinya
mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini bukan lagi dalam konteks pengenalan, tetapi pada
taraf eksistensi.
16
Pancaran intensional ini dianggap sebagai interkoneksi menubuh dari tindakan
dan persepsi kecakapan. Tubuh yang mendidik digambarkan dengan cara
pancaran intensional ini: mengangkat kesatuan perseptual pra-reflektif subjek
didik, dunia, dan kesadaran sebagai awal dari kesadaran reflektif untuk
mengidentifikasi, mengklasifikasi, menstrukturisasi, mensistematisasi, dan
seterusnya, berbagai konsep hasil dari pancaran-pancaran intensional terpilih.
Literasi jasmani mengokohkan pancaran intensional ini dalam rangka
mengkonstruksi berbagai hal, dalam hal ini me(re)konstruksi pemahaman, sikap,
dan arah bagaimana seseorang (siswa/mahasiswa) memperlakukan tubuhnya dan
tubuh yang-lain, menyimpulkan sesuatu dari kesadaran menubuh tersebut
(misalnya pembentukan karakter), serta memproyeksikan kebertubuhannya dalam
konteks kebertubuhan (dan, dengan demikian, kemanusiaan) universal.
Pendidikan jasmani tidak lagi sekedar mengobjektivikasi tubuh, tetapi justru
tubuhlah yang menjadi subjek mendidik darinya berbagai konsep, teori, atau
tindakan mengambil tempat yang semestinya. Komunikasi literasi jasmani dengan
pancaran intensional ini bersifat niscaya dan terus menerus, sehingga pendidikan
jasmani juga sudah semestinya dilihat sebagai proses pendidikan yang terbuka dan
dinamis.
Meskipun pancaran intensional ini tidak selalu (bahkan jarang) signifikan
bagi munculnya revisi literasi tubuh yang sudah ada, tetapi “tubuh universal” juga
tidak selalu sepenuhnya dipatuhi oleh “tubuh subjektif”. Ini berarti, seorang siswa
bisa saja memiliki kekhasan untuk mampu berenang cepat di lintasan yang
ditentukan, misalnya dengan memejamkan mata di setiap hitungan atau tanda
tertentu, di luar apa yang diinformasikan oleh literasi jasmani yang ada.
Pengalaman pada dirinya sendiri selalu bersifat sangat subjektif dan spontan atau
pra-kesadaran sebagai gambaran dari proyeksi-proyeksi pancaran intensional terus
menerus tersebut. Pengalaman ini untuk menjadi pengetahuan bersama,
dikoneksikan dengan berbagai wawasan yang sudah ada, dalam hal ini literasi
jasmani. Pengalaman tubuh, oleh karena itu, selalu merupakan penjumlahan
pancaran intensional tak terbatas sebagai karakter primordial dari “Aku”
(digambarkan secara detail melalui model berikut ini).
17
Pengalaman tubuh
Jumlah seluruh pengalaman yang menyatu sebagai Aku, yang dibuat dalam pengembangan tubuh
sendiri baik individual maupun sosial, menjadi kognitif atau afektif, sadar atau tak sadar
Gambar 1. Model struktural pengalaman tubuh (Pramono, 2014: 97)
Aktivitas jasmani (olahraga maupun non-olahraga) didominasi pengalaman
langsung. Pengalaman langsung tidak mengenal apapun objek murni, namun
selalu berupa subjek yang mengalami. Subjek yang mengalami dalam
persentuhannya dengan dunia ini adalah subjek alami, subjek yang ada hanya
melalui tubuhnya (Syamsuddin, 2014). Ilustrasi tentang mengendarai mobil yang
diketengahkan Merleau-Ponty sebagai corporeal schema, menarik untuk lebih
memahami “pengalaman langsung” tersebut dalam arti praktis. Saat mengendarai
mobil, seseorang tidak berpikir “tentang” mobil, namun berpikir “sebagai” mobil,
“dari sudut pandang mobil”. Konsentrasi di jalan tidak dapat terjadi jika seseorang
masih berpikir tentang mobil. Mobil telah menubuh dalam corporeal schema
Skema Tubuh
Aspek neurofisiologis dari pengalaman
tubuh, mengisi seluruh tampilan perspektif-
kognitif dari individu tentang tubuhnya
sendiri
Kesan Tubuh
Aspek psikologis-fenomenologis dari
pengalaman tubuh yang mengisi seluruh
tampilan emosional-afektif individu
tentang tubuhnya sendiri
Orientasi Tubuh
Orientasi dalam dan pada tubuh sendiri
dengan sensibilitas luar dan dalam,
khususnya persepsi kinesthetik
Kesadaran Tubuh
Representasi psikologis dari tubuh atau
bagian tubuh dalam pikiran individual atau
perhatian langsung ke arah tubuh sendiri
Estimasi Ukuran Tubuh
Estimasi dimensi ukuran dan ruang tubuh
sendiri
Batas Tubuh
Pengalaman batas-batas tubuh; tubuh
dalam perbedaannya dengan lingkungan
Sikap-Sikap Tubuh
Sikap total ke arah tubuh dan
penampakannya, khususnya kepuasan
tubuh (atau ketidakpuasannya)
Pengetahuan Tubuh
Pengetahuan faktual bangunan dan fungsi
tubuh serta bagian-bagiannya termasuk
perbedaan kanan-kiri
18
seseorang itu dan dengan demikian menjadi perluasan tubuh manusia
(Syamsuddin, 2014).
Instruktur/guru/dosen dalam membelajarkan pendidikan jasmani menurut
logika ini tidak mencukupkan diri dengan menyodorkan diktat/modul/buku sesuai
kurikulum untuk dilaksanakan di kelas secara bersama-sama, namun juga selalu
mengkomunikasikan pengalaman siswa sebagai feed back berharga yang bisa saja
direkonseptualisasikan sebagai modifikasi (penambahan, pengubahan,
pengurangan) dari materi yang sudah ada. “Ayunan” antara tubuh sebagai objek
dan tubuh sebagai subjek terus menerus terjadi bahkan dalam hitungan yang
“serentak” dalam proses pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani di satu sisi
menempatkan jasmani sebagai objek, tetapi di saat yang sama menempatkannya
sebagai subjek. Pengetahuan yang berjalanpun, tidak hanya berasal dari “luar”,
yang “universal”, tetapi juga bisa berasal dari “dalam”, yang “subjektif”; tidak
hanya berasal dari buku-buku, modul, literasi tubuh, perundang-undangan, tetapi
juga bisa berasal dari pengalaman spontan dan otentik dari tubuh.
Setidaknya ada konsekuensi filosofis ketika cara pandang relatif terhadap
posisi objek dan subjek suatu hal dianalisis secara intensif, bahkan bisa jadi hal itu
menghasilkan suatu revolusi kopernikan (meminjam istilah Kant untuk usahanya
mengubah arah pandang proses berpikir filsafat). Revolusi kopernikan
pengalaman tubuh di pendidikan jasmani ini memang mengkonsekuensikan
pembalikan cara pandang: yang semula tubuh semata-mata objek yang diberi
perlakuan atau diisi pengetahuan tertentu, diubah secara drastis bahwa tubuh
adalah subjek yang mendidik. Manusia yang di posisi subjek didik pendidikan
jasmani, berarti senantiasa memeriksa cara pandang terhadap tubuhnya dalam
kaitannya dengan berbagai dimensi ketubuhannya mulai dari dimensi fisiognomi
hingga psikososial, dari struktur fisik ke universalitas entitas, dari urusan perut
hingga ke urusan spiritual.
C. Simpulan
Literasi jasmani adalah kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas
tubuh di mana individu tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi
19
jasmani, pengetahuan, dan pemahaman untuk menilai dan mengambil tanggung
jawab dalam menjaga pencapaian dan aktivitas fisik yang bermanfaat di sepanjang
hidupnya. Literasi jasmani tidak hanya berkaitan dengan gaya hidup, tetapi juga
dengan hidup itu sendiri. Semua pemenuhan standar kebutuhan dan kepentingan
tubuh sejak dari hal-hal fisiologis (makan, minum, seks), hingga sosio-psikologis
(citra tubuh ideal) berhubungan dengan orientasi kebertubuhan filosofis yang
memberikan dasar paradigmatik metafisis: tubuh seperti apa yang hendak
dicitrakan, diidealisasikan, diwacanakan, atau bahkan ditransendensikan. Apakah
tubuh hendak ditundukkan demi kebutuhan dan kepentingan jiwa semata seperti
kepuasan, kebanggaan, keberadaban, dan juga kerelijiusan? atau secara holistik
mengangkat tubuh sebagai subjek yang mendidik manusia menuju hidup yang
sungguh-sungguh berharga jiwa dan raga?
Literasi jasmani dengan demikian juga menentukan penghargaan individu
terhadap tubuhnya dan tubuh individu-individu lain. Literasi jasmani tidak harus
semata-mata melihat jasmani sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek. Tubuh di
satu saat adalah objek yang dikaji, diteliti, dilatih, didisiplinkan, tetapi seketika itu
pula bisa menjadi subjek yang mendidik jiwa untuk menyadari kesatuan
primordial tubuh dan jiwa dengan dunianya.
Literasi jasmani, jika dikedepankan dalam pendidikan jasmani, entah
dalam konteks tubuh sebagai objek maupun sebagai subjek, maka keseluruhan
paradigma “tubuh” yang dihabituasikan ke subjek didik niscaya akan menentukan
hidup sang subjek didik, dan kehidupan dengannya sang subjek didik menjalin
jaringan. Pendidikan jasmani sesungguhnya tidak hanya mendidik tubuh atau
melalui tubuh berproseslah kemanusiaan sang subjek didik, tetapi pendidikan
jasmani juga berarti pendidikan oleh tubuh, atas dasar itu hidup kemanusiaan utuh
material-spiritual, jiwa-raga.
20
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar, BSNP.
Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan, alih bahasa: M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya,
Yogyakarta.
Carman, 2008, Merleau-Ponty, Routledge, Oxon.
Chopra, Deepak, 1996, Tubuh Yang Tak Kenal Tua, Pikiran Abadi: Alternatif
Untuk Menjalani Kehidupan, alih bahasa T. Hermaya, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Corbin CB. 2016. Implications of Physical Literacy for Research and Practice: A
Commentary. Research Quarterly for Exercise and Sport 87: 14–27.
doi: 10.1080/02701367.2016.1124722 PMID: 26889581.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dreyfus, Hubert L., The Current Relevance of Merleau-Ponty's Phenomenology of
Embodiment, dalam The Electronic Journal of Analytic Philosophy, 4
(Spring 1996) Philosophy Department, Sycamore Hall 026, Indiana
University, Bloomington.
Higgs, C. 2010. Physical Literacy: Two Approaches, One Concept. Physical and
Jealth Education. Spring, 6-7.
Jirásek, I, 2003b, Philosophy of Sport, or Philosophy of Physical Culture? an
Experience from the Czech Republic: Philosophical Kinanthropology,
dalam Sport Education and Society, 8(1), 2003b, 105–117.
Journal of Sport and Health Science, Volume 4, Issue 2, Pages 105-210 (June
2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.jshs.2015.03.001.
Killingbeck M, Bowler M, Golding D, Gammon P. 2007. Physical Education and
Physical Literacy. Physical Education Matters 2: 20–24.
21
Mandigo, J., Francis, N., Lodewyk, K., & Lopez, R. 2012. Physical Literacy for
Educators. Physical Education and Health Journal. 75(3). 27-30.
Meier, K.V., 1995, “Embodiment, Sport and Meaning”, dalam William J. Morgan
dan Klause V. Meier (ed.), Philosophic Inquiry in Sport, Second
Edition, Human Kinetics, Champaign, USA.
Merleau-Ponty, M., 1962, The Phenomenology of Perception, Colin Smith
(transl.), Routledge and Kegan Paul, London.
Morrison R. 1969. A Movement Approach to Educational Gymnastics. London:
J.M. Dent & Sons.
Newell, Karl M., 1990, Physical Education in Higher Education: Chaos Out of
Order, Quest, 42:3, 227-242. Published online 2012.
PHE Canada. 2014. What is Physical Literacy? Physical and Health Education
Canada; Available at: http://www.phecanada.ca/programs/physical-
literacy/what-physical-literacy. Accessed April 22, 14 A.D.
Pramono, Made, 2003, Peran Fenomenologi Tubuh dalam Pengembangan Ilmu
Keolahragaan, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta,
Tidak diterbitkan.
----------, 2004, Filsafat Olahraga, Unesa University Press, Surabaya.
----------, 2014, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif
Ontologi dan Sumbangannya bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu
Keolahragaan, Disertasi, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM
Yogyakarta, Tidak diterbitkan.
----------, 2015, Filsafat Ilmu Keolahragaan, , Unesa University Press, Surabaya.
Roetert EP, Jefferies SC. 2014. Embracing Physical Literacy. Journal of Physical
Education, Recreation and Dance 85: 38–40.
Sukendro, 2012, Telaah Kurikulum Pendidikan Jasmani di Indonesia, Jurnal
Cerdas Sifa Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Hal. 1-9.
Syamsuddin, M.Mukhtasar, 2014, Mind-Body Interconnection (A Philosophical
Investigation on the Western and Eastern Approaches to the Human
Nature), Kanisius, Yogyakarta.
22
Tremblay MS, Colley RC, Saunders TJ, Healy GN, Owen N. 2010. Physiological
and Health Implications of a Sedentary Lifestyle. Appl Physiol Nutr
Metab. 2010; 35(6):725–40.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
UNESCO. 2004. The Plurality of Literacy and Its Implication for Policies and
Programmes (Position Paper, UNESCO Education Sector). France:
Author. Retrieved from
http://unesdoc.UNESCO.org/image/0013/001362/126246e.pdf.
UNESCO. 2015. Quality Physical Education: Guidelines for Policy Makers. In:
UNESCO (Ed.). Paris.
Whitehead, M. 2001. The Concept of Physical Literacy. European journal of
Physical Education. 6. 127-138.
-----------------. 2010. The Concept of Physical Literacy. In Whitehead, M. (Ed.).
Physical Literacy through the Lifecourse. (pp. 10-20). London:
England.
-----------------. 2013a. Definition of Physical Literacy and Clarification of Related
Issues. ICSSPE Bulletin. 65. Oktober.
-----------------. 2013b. The History and Development of Physical Literacy.
ICSSPE Bulletin. 65. Oktober.
-----------------. 2014. International Physical Literacy Association.
https://www.physical-literacy.org.uk/.
Whitehead ME, Murdoch E. 2006. Physical Literacy and Physical Education:
Conceptual Mapping. Physical Education Matters 1: 6–9.

More Related Content

What's hot

Psikologi kepelatihan olahraga
Psikologi kepelatihan olahraga Psikologi kepelatihan olahraga
Psikologi kepelatihan olahraga SAHBANARIDHA
 
Pengertian pendekatan
Pengertian pendekatan Pengertian pendekatan
Pengertian pendekatan Dedi Yulianto
 
Ppt evaluasi dengan model cipp
Ppt evaluasi dengan model cippPpt evaluasi dengan model cipp
Ppt evaluasi dengan model cippMahfudin Fc
 
kode etik guru terhadap masyarakat
kode etik guru terhadap masyarakatkode etik guru terhadap masyarakat
kode etik guru terhadap masyarakatCecep Kustandi
 
Asas-Asas Pendidikan
Asas-Asas PendidikanAsas-Asas Pendidikan
Asas-Asas PendidikanIntan Irawati
 
Nilai karakter
Nilai karakterNilai karakter
Nilai karakterPuji L
 
PPT Penjaskes: Bola Besar
PPT Penjaskes: Bola BesarPPT Penjaskes: Bola Besar
PPT Penjaskes: Bola BesarUNESA
 
RPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docx
RPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docxRPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docx
RPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docxMTs Nurul Huda Sukaraja
 
TEORI BELAJAR HUMANISTIK
TEORI BELAJAR HUMANISTIKTEORI BELAJAR HUMANISTIK
TEORI BELAJAR HUMANISTIKRanny Rolinda R
 
Penerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan Jasmani
Penerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan JasmaniPenerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan Jasmani
Penerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan JasmaniAwal Akbar Jamaluddin
 
Rpp renang gaya dada
Rpp renang gaya dadaRpp renang gaya dada
Rpp renang gaya dadaadipurwoko85
 
Lembaga pendidikan dan fungsinya ppt
Lembaga pendidikan dan fungsinya pptLembaga pendidikan dan fungsinya ppt
Lembaga pendidikan dan fungsinya pptsri rahayu
 
Makalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahragaMakalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahragaHabibi Muhammad
 
Presentasi konsep dasar perkembangan peserta didik
Presentasi konsep dasar perkembangan peserta didikPresentasi konsep dasar perkembangan peserta didik
Presentasi konsep dasar perkembangan peserta didikharis07_slideshare
 
Media pembelajaran penjas
Media pembelajaran penjasMedia pembelajaran penjas
Media pembelajaran penjasistana walet
 

What's hot (20)

Psikologi kepelatihan olahraga
Psikologi kepelatihan olahraga Psikologi kepelatihan olahraga
Psikologi kepelatihan olahraga
 
Pengertian pendekatan
Pengertian pendekatan Pengertian pendekatan
Pengertian pendekatan
 
Ppt evaluasi dengan model cipp
Ppt evaluasi dengan model cippPpt evaluasi dengan model cipp
Ppt evaluasi dengan model cipp
 
Pencak Silat
Pencak SilatPencak Silat
Pencak Silat
 
kode etik guru terhadap masyarakat
kode etik guru terhadap masyarakatkode etik guru terhadap masyarakat
kode etik guru terhadap masyarakat
 
Asas-Asas Pendidikan
Asas-Asas PendidikanAsas-Asas Pendidikan
Asas-Asas Pendidikan
 
Nilai karakter
Nilai karakterNilai karakter
Nilai karakter
 
KOMPETENSI GURU
KOMPETENSI GURUKOMPETENSI GURU
KOMPETENSI GURU
 
PPT Penjaskes: Bola Besar
PPT Penjaskes: Bola BesarPPT Penjaskes: Bola Besar
PPT Penjaskes: Bola Besar
 
Inovasi pendidikan di Indonesia
Inovasi pendidikan di IndonesiaInovasi pendidikan di Indonesia
Inovasi pendidikan di Indonesia
 
RPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docx
RPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docxRPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docx
RPS dan Silabus Sosiologi Pendidikan.docx
 
TEORI BELAJAR HUMANISTIK
TEORI BELAJAR HUMANISTIKTEORI BELAJAR HUMANISTIK
TEORI BELAJAR HUMANISTIK
 
Sosiologi pendidikan
Sosiologi pendidikanSosiologi pendidikan
Sosiologi pendidikan
 
Penerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan Jasmani
Penerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan JasmaniPenerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan Jasmani
Penerapan Model Teori Belajar Kontruktivis ke Dalam Pendidikan Jasmani
 
Rpp renang gaya dada
Rpp renang gaya dadaRpp renang gaya dada
Rpp renang gaya dada
 
Lembaga pendidikan dan fungsinya ppt
Lembaga pendidikan dan fungsinya pptLembaga pendidikan dan fungsinya ppt
Lembaga pendidikan dan fungsinya ppt
 
Makalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahragaMakalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahraga
 
Presentasi konsep dasar perkembangan peserta didik
Presentasi konsep dasar perkembangan peserta didikPresentasi konsep dasar perkembangan peserta didik
Presentasi konsep dasar perkembangan peserta didik
 
Karakteristik guru
Karakteristik guruKarakteristik guru
Karakteristik guru
 
Media pembelajaran penjas
Media pembelajaran penjasMedia pembelajaran penjas
Media pembelajaran penjas
 

Similar to LITERASI JASMANI SUBJEKTIF

Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikanAnjunfdl
 
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5ArifUtomo7
 
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...Lovita Ivan Hidayatullah S. Pd.I
 
Psikologi.1
Psikologi.1Psikologi.1
Psikologi.1Shan Cyu
 
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanPengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanSeptian Muna Barakati
 
Makalah psikologi holistik dan humanistik
Makalah psikologi holistik dan humanistikMakalah psikologi holistik dan humanistik
Makalah psikologi holistik dan humanistikcahya ningsih
 
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...Ndya2
 
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docxMakalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docxYanuarAndiPratama
 
Psikologi umum Holistik dan Humanistik
Psikologi umum Holistik dan HumanistikPsikologi umum Holistik dan Humanistik
Psikologi umum Holistik dan Humanistikcahya ningsih
 
Konsep sosio-antropologi pendidikan
Konsep sosio-antropologi pendidikan Konsep sosio-antropologi pendidikan
Konsep sosio-antropologi pendidikan Setadewa Okreina
 
Makalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina Amril
Makalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina AmrilMakalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina Amril
Makalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina AmrilHidayat Amin
 
PPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGAPPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGAAchmady1
 
Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)Tobi Dwi
 
Bab iv filsafat
Bab iv filsafatBab iv filsafat
Bab iv filsafatMask Kur
 
landasan pedagogik
landasan pedagogiklandasan pedagogik
landasan pedagogikhasanah lyla
 
PARAGRAF.pptx
PARAGRAF.pptxPARAGRAF.pptx
PARAGRAF.pptxNabawiKun
 

Similar to LITERASI JASMANI SUBJEKTIF (20)

Filsafat pendidikan
Filsafat pendidikanFilsafat pendidikan
Filsafat pendidikan
 
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 5
 
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
Makalah fpi a.n lovita ivan hidayatullah (tujuan pendidikan islam di tengah k...
 
Tugas nulis
Tugas nulisTugas nulis
Tugas nulis
 
Psikologi.1
Psikologi.1Psikologi.1
Psikologi.1
 
Teori humanistic dan filosofinya
Teori humanistic dan filosofinyaTeori humanistic dan filosofinya
Teori humanistic dan filosofinya
 
filsafat olahraga
filsafat olahraga filsafat olahraga
filsafat olahraga
 
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikanPengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
Pengertian dan sejarah sosiologi pendidikan
 
Makalah psikologi holistik dan humanistik
Makalah psikologi holistik dan humanistikMakalah psikologi holistik dan humanistik
Makalah psikologi holistik dan humanistik
 
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidi...
 
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docxMakalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
Makalah Filsafat Olahraga M Rifqi Agytya Wibowo.docx
 
Psikologi umum Holistik dan Humanistik
Psikologi umum Holistik dan HumanistikPsikologi umum Holistik dan Humanistik
Psikologi umum Holistik dan Humanistik
 
Konsep sosio-antropologi pendidikan
Konsep sosio-antropologi pendidikan Konsep sosio-antropologi pendidikan
Konsep sosio-antropologi pendidikan
 
Makalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina Amril
Makalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina AmrilMakalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina Amril
Makalah filsafat pendidikan a/n Fitri Ramadhani & Gina Amril
 
PPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGAPPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGA
 
Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan Sepanjang HayatPendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan Sepanjang Hayat
 
Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)Makalah (filsafat olga)
Makalah (filsafat olga)
 
Bab iv filsafat
Bab iv filsafatBab iv filsafat
Bab iv filsafat
 
landasan pedagogik
landasan pedagogiklandasan pedagogik
landasan pedagogik
 
PARAGRAF.pptx
PARAGRAF.pptxPARAGRAF.pptx
PARAGRAF.pptx
 

More from UNESA - Universitas Negeri Surabaya (12)

MP PKM 2018
MP PKM 2018MP PKM 2018
MP PKM 2018
 
Analisis Sosial untuk Legislatif (Mhs)
Analisis Sosial untuk Legislatif (Mhs)Analisis Sosial untuk Legislatif (Mhs)
Analisis Sosial untuk Legislatif (Mhs)
 
Menuju kampus pancasila
Menuju kampus pancasilaMenuju kampus pancasila
Menuju kampus pancasila
 
Mp pkm unesa
Mp pkm unesaMp pkm unesa
Mp pkm unesa
 
Mp kti
Mp   ktiMp   kti
Mp kti
 
Dasar filsafat
Dasar filsafatDasar filsafat
Dasar filsafat
 
Template ppt fik-unesa
Template ppt fik-unesaTemplate ppt fik-unesa
Template ppt fik-unesa
 
Mulai menulis dengan 5 w 1 h
Mulai menulis dengan 5 w 1 hMulai menulis dengan 5 w 1 h
Mulai menulis dengan 5 w 1 h
 
4 a daya tarik n asas manfaat tulisan
4 a daya tarik n asas manfaat tulisan4 a daya tarik n asas manfaat tulisan
4 a daya tarik n asas manfaat tulisan
 
Kupu kupu 2
Kupu kupu 2Kupu kupu 2
Kupu kupu 2
 
Pelat elearning 25 mei madepram
Pelat elearning 25 mei madepramPelat elearning 25 mei madepram
Pelat elearning 25 mei madepram
 
Pengembangan elearning moodle made pramono weblog
Pengembangan elearning moodle made pramono weblogPengembangan elearning moodle made pramono weblog
Pengembangan elearning moodle made pramono weblog
 

Recently uploaded

Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau tripletMelianaJayasaputra
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASreskosatrio1
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfkustiyantidew94
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 

Recently uploaded (20)

Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPASaku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
aku-dan-kebutuhanku-Kelas 4 SD Mapel IPAS
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdfHARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
HARMONI DALAM EKOSISTEM KELAS V SEKOLAH DASAR.pdf
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 

LITERASI JASMANI SUBJEKTIF

  • 1. 1 LITERASI JASMANI: ORIENTASI TUBUH-SUBJEK Oleh Made Pramono1 Abstrak Dalam sejarah pemikiran mainstream, tubuh manusia menempati peran ambigu dan paradoksal dalam kategorisasi kultural. Pemetaan dan pemahaman tentang pemikiran yang berhubungan dengan tubuh (kaitannya dengan jiwa) adalah langkah awal yang sebenarnya direkonstruksikan ke arah analisis dan penelitian implementatif terhadap berbagai persoalan umat manusia yang berakar dari pandangan filosofis terhadap kebertubuhannya. Pada tataran individual, literasi jasmani ini penting maknanya dalam interaksi kebertubuhan manusia dengan lingkungannya sehingga diharapkan mampu mengarahkan motivasi, kepercayaan diri, kompetensi jasmani, pengetahuan, dan pemahaman yang mengokohkan pendayagunaan tubuh yang optimal sebagai bagian dari gaya hidup sehat dan positip. Sejak usia dini hingga dewasa, literasi jasmani bisa diperkenalkan melalui berbagai macam media dan cara, baik melalui pendidikan maupun non-kependidikan. Tubuh tidak selalu menjadi objek. Subjektivitas tubuh patut dikonseptualisasikan juga dalam literasi jasmani, dengan mengikutsertakan juga instrumen, daya implementatif, dan evaluasi mendalam. Pada tataran pendidikan, maka pendidikan jasmani sesungguhnya tidak hanya mendidik tubuh atau melalui tubuh berproseslah kemanusiaan sang subjek didik, tetapi pendidikan jasmani juga berarti pendidikan oleh tubuh, atas dasar itu hidup kemanusiaan utuh material-spiritual, jiwa-raga. Kata kunci: Literasi Jasmani, Tubuh-Subjek, Pendidikan Jasmani A. Pendahuluan Sejak diperkenalkan terutama di awal abad ke-21, istilah literasi jasmani secara global telah menjadi topik yang menarik di bidang pendidikan jasmani dan kesehatan. Banyak penulis (misalnya Whitehead & Murdoch, 2006; Mandigo, Francis, Lodewyk, & Lopez, 2012) yang mewakili berbagai negara telah membuka wawasan ke arah penerimaan dan implementasi istilah ini. Beberapa negara seperti Inggris dan Kanada selama beberapa tahun terakhir mengangkat dan memuji nilai dari konsep multifaset literasi jasmani (Roetert & Jefferies, 2014). Jurnal Sport and Health Science pada tahun 2015 mempublikasikan isu khusus literasi jasmani dengan 10 artikel yang mereviu konsep dan aplikasibilitas 1 Dr. Made Pramono, M.Hum. adalah dosen Filsafat di unit kerja Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya. Email: madepramono@unesa.ac.id
  • 2. 2 literasi jasmani. Literasi jasmani benar-benar telah menjadi fokus utama pendidikan jasmani, aktivitas jasmani, serta olahraga dan sudah secara ekstensif dipergunakan dan diperkenalkan di bidang-bidang itu. Tulisan ini secara bergantian mempersamakan jasmani dengan istilah tubuh, di mana tubuh/jasmani yang dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu kesatuan kompleksitas struktur fisiologis, anatomis, biologis yang tampak sebagai keseluruhan jasad yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut (KBBI, 2008). Kata jasad mengacu pada sesuatu yang dapat “dikontraskan” dengan pikiran, roh, sifat, atau tingkah laku. Wacana tentang tubuh dalam ranah ilmu-ilmu sosial mulai muncul sekitar tahun 1980-an, terutama dipicu dengan pro dan kontra aspek sosial dan politis dari feminisme, persoalan rumit seputar teknologi medis dalam fertilisasi, teknologi realitas virtual, teknologi cyborg di bidang industri dan kemiliteran, serta estetika tubuh dalam budaya konsumtif modern. Kemunculan bermacam-macam wacana sosiologi tubuh dipengaruhi tradisi teoritis filsafati tertentu, namun demikian karya-karya Michel Foucault bisa dianggap karya paling signifikan dalam analisis sosial tentang kebertubuhan. Perlu dicatat di sini, perspektif Foucault tentang disiplin tubuh bercorak perspektif fenomenologis a la Merleau-Ponty. Tentu saja peran Husserl, Heidegger, dan juga Wilhelm Dilthey harus dipertimbangkan sebagai satu garis pertumbuhan eksplorasi dan pemahaman sosiologi- fenomenologis tubuh. Tanggapan kritis terhadap pandangan rasionalisme Cartesian - yang memisahkan substansi kejiwaan dan ketubuhan - menyeruak dan mengambil tempat kemudian ke dalam orientasi post-strukturalis, dengan menggagas tema-tema tentang emosi, hasrat dan kasih sayang, diri modern menuntut sensibilitas dan emosi-emosi, dan keintiman kebertubuhan (Pramono, 2014: 89). Istilah “Pendidikan Jasmani” dan “Aktivitas Jasmani”, dikenal luas masyarakat Indonesia dengan berbagai konsep dan pemikiran tentangnya. Pengenalan istilah lain seperti “Literasi Jasmani” bisa dicurigai kabur, atau memunculkan beberapa pertanyaan misalnya: apakah literasi jasmani dapat meningkatkan profesionalisme, menjelaskan apa yang sudah dikerjakan dengan
  • 3. 3 lebih akurat dan gamblang, serta berfungsi sebagaimana “literasi-literasi” yang sudah ada seperti literasi komputer, literasi finansial, literasi kesehatan, dan sebagainya? Literasi jasmani pertama-tama bukan kelatahan wacana pseudo- ilmiah, tetapi tentu dengan banyaknya tulisan jurnal internasional tentang tema ini, menunjukkan kekuatan argumentatif ilmiah untuk diposisikan sebagai fokus kajian yang sekaligus memiliki daya guna aplikatif. Meskipun konsep literasi jasmani dalam bahasa Indoensia sampai tulisan ini dibuat masih sangat jarang diketemukan (melalui mesin pencari Google hanya ada satu hasil penelusuran, itupun juga tidak relevan untuk dijadikan rujukan), namun literasi jasmani tentu bernilai universal. Tulisan ini merupakan upaya awal untuk lebih memperkenalkan konsep dan urgensi literasi jasmani yang terbatas pada eksplorasi ide-ide pokok filosofis dan ilmiah. Subjektivitas tubuh (tubuh yang juga dilihat sebagai subjek, sebagai “aku”) adalah orientasi filosofis yang hendak dibangun dalam tulisan ini yang berangkat dari kerangka konseptual literasi jasmani. B. Pembahasan 1. Urgensi Literasi Jasmani Secara umum istilah “literasi” mencakup komponen pengetahuan, pemahaman, pemikiran, komunikasi, dan aplikasi. Istilah “literasi” bukan hal baru di dunia pendidikan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2004 telah menyatakan latar belakang dan pendefinisian literasi. Literasi oleh UNESCO diidentifikasikan lebih dari sekedar membaca dan menulis. Literasi adalah tentang bagaimana berkomunikasi sosial, dan ini mencakup juga praktek dan hubungan-hubungan sosial sebagaimana pengetahuan, bahasa, dan budaya. Salah satu subjek literasi yang muncul di awal-awal abad ke-21 adalah literasi jasmani, meskipun sebenarnya di pertengahan abad sebelumnya sudah disinggung-singgung oleh penulis seperti Morrison (1969). Margaret Whitehead (2013b) yang merupakan tokoh utama literasi jasmani, mendeskripsikan literasi jasmani dengan memperluas pandangan dari UNESCO di atas sebagai:
  • 4. 4 kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, mencipta, merespon secara efektif, dan mengkomunikasikan menggunakan dimensi ketubuhan manusia dalam cakupan luas situasi dan konteks. Literasi jasmani meliputi pembelajaran kontinuum yang memampukan individu untuk mencapai tujuannya dalam membangun pengetahuan dan potensialnya serta untuk berpartisipasi penuh dalam komunikasinya dan masyarakat yang lebih luas (hal. 26). Perdebatan literasi jasmani di kalangan ilmuwan olahraga terutama dipicu dari konsep literasi jasmani yang dikembangkan Whitehead (2001). Sebagaimana diindikasikan Higgs (2010), konsep literasi jasmani berakar baik dalam tulisan akademik maupun aktivitas-aktivitas keseharian guru-guru pendidikan jasmani, praktisi-praktisi rekreasi, dan para pelatih. Salah satu definisi orisinil dan paling awal tentang literasi jasmani diungkapkan Morrison (1969) yang mengintrodusir pendekatan holistik dengan menyatakan bahwa individu-individu yang literat secara jasmani tidak hanya bergerak secara efisien tetapi juga bergerak secara kreatif, secara kompeten, dan dengan antusias. Mandigo, Francis, Lodewyk, dan Lopez (2012) menengarai bahwa gerakan yang kompeten tidak bergerak dalam keterpisahan dengan lingkungan sosialnya, dan ini menandakan bahwa individu- individu yang literat secara jasmaniah memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk hidup sehat bagi dirinya sendiri, sementara juga membantu yang lain untuk mencapai kecakapan-kecakapan tersebut. Dengan kata lain, individu yang literat secara jasmaniah adalah seseorang yang mewujudkan hakikat jasmaniah gerakan dan menggunakan pengalaman serta pengetahuannya untuk berinteraksi dengan lingkungan (Whitehead & Murdoch, 2006; Whitehead, 2001). Literasi jasmani mendidik individu tentang kejasmaniahannya, yang tidak sekedar untuk “menjadi jasmaniah”, tetapi merangkum pemahaman menubuh tentang bagaimana menjadi jasmaniah melalui interaksi dengan lingkungan yang berbeda-beda dan menantang (Whitehead & Murdoch, 2006; Whitehead, 2001; Killingbeck, dkk, 2007). Sebagai tambahan, Corbin (2016) menekankan bahwa “literasi jasmani menghadirkan pondasi bagi olahraga elit, kesehatan masyarakat, dan pendidikan jasmani...”. Dalam hal ini, UNESCO (2015) menegaskan bahwa kualitas pendidikan jasmani (QPE, Quality
  • 5. 5 Physical Education) adalah bagian inti dari kurikulum sekolah yang penting bagi siswa dan khususnya lagi bagi guru-guru pendidikan jasmani. Gaya hidup aktif secara jasmani adalah penting bagi kesehatan. Whitehead (2013a) juga memodifikasi definisinya sendiri tentang literasi jasmani sebagai kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas tubuh di mana individu tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi jasmani, pengetahuan, dan pemahaman untuk menilai dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga pencapaian dan aktivitas fisik yang bermanfaat di sepanjang hidupnya. Definisi ini digunakan Whitehead dalam tulisannya dalam tema khusus Bulletin of the International Council of Sport Science and Physical Education of UNESCO, yang dapat digambarkan sebagai kapabilitas untuk gaya hidup aktif secara sehat. Terdapat empat unsur esensial dan saling terkoneksi dari definisi literasi jasmani di atas: motivasi dan percaya diri (domain afektif), kompetensi jasmani (domain fisik), pengetahuan dan pemahaman (domain kognitif), dan keterlibatan dalam aktivitas jasmani (domain behavioral). Hal ini dipublikasikan Whitehead pada International Physical Literacy Association (2014), yang menjadi isyarat kuat bahwa literasi jasmani harus dibedakan namun bersinggungan erat dengan istilah pendidikan jasmani, aktivitas jasmani, maupun olahraga. Individu yang literat secara jasmaniah akan bergerak dengan percaya diri dan kompeten di antara spektrum luas kondisi dan peluang aktivitas fisik, termasuk aktivitas di tanah, salju, es, air, atau udara (PHE Canada, 2014). Kebalikannya, dapat ditebak individu yang bersusah payah di perjalanan literasi jasmaninya akan sedikit terlibat dalam aktivitas jasmani, meningkatkan resiko mereka untuk persoalan-persoalan kesehatan (Tremblay, dkk, 2010). Tentara atau atlit adalah dua profil profesional yang bisa dijadikan contoh konfidensi dan kompetensi gerak dari ke-literat-an tersebut. Literasi jasmani tidak hanya berkaitan dengan relevansi psikologis atau fisiologis. Penulis melalui tesis, disertasi, dan beberapa karya ilmiah lain secara filosofis telah mengeksplorasi permasalahan tubuh dalam hubungannya dengan jiwa dalam suatu kerangka kategorisasi antara objektivitas dan subjektivitas. Penghargaan atas tubuh adalah salah satu tahapan hasil analisis-sintesis itu, vis-a-
  • 6. 6 vis tubuh yang diperlakukan sebagai objek, yang diproyeksikan untuk bidang ilmu keolahragaan. “Aku adalah tubuhku” merupakan jargon yang dikonsepsikan para filsuf seperti Merleau-Ponty dan Gabriel Marcel untuk menunjukkan hakikat tubuh secara fenomenologis yang berimplikasi signifikan terhadap perlakuan dan literasi manusia terhadap tubuhnya (Pramono, 2003; 2004; 2014; 2015). 2. Literasi Jasmani dalam/melalui Pendidikan Jasmani Dunia pendidikan bagaimanapun tetap sepakat bahwa apapun keahlian dan aktivitas seseorang, kesehatan dan kebugaran tubuh merupakan prakondisi yang vital. Pengabaian pemenuhan standar kebutuhan dan kepentingan tubuh, apapun kepentingan manusia bisa dipastikan tidak akan seimbang yang cenderung mengarah pada ketidaktuntasan bahkan penghancuran diri. Bukankah hal ini juga berlaku bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan jiwa? Jasmani atau aktivitas jasmani merupakan objek material dari bidang kajian yang disebut secara luas sebagai pendidikan jasmani (pendidikan jasmani). Pendidikan jasmani secara umum bisa diartikan sebagai “pendidikan dari dan melalui aktivitas fisik yang diterima individu secara formal khususnya dalam konteks institusional” (Newell, 1990: 227). Tulisan ini secara bergantian mempersamakan jasmani dengan istilah tubuh, di mana tubuh/jasmani yang dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu kesatuan kompleksitas struktur fisiologis, anatomis, biologis yang tampak sebagai keseluruhan jasad yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut (KBBI, 2008). Kata jasad mengacu pada sesuatu yang dapat dikontraskan dengan pikiran, roh, sifat, atau tingkah laku. Permasalahan filosofis muncul ketika mengidentifikasi apa objek formal dari pendidikan jasmani ini yang memperbedakannya dengan bidang-bidang kajian lain yang juga membahas jasmani seperti biologi, antropologi, filsafat manusia, dan sebagainya. Pernyataan yang paling mudah dikemukakan secara harfiah untuk menjawab apa objek formal pendidikan jasmani adalah bahwa pendidikan jasmani mengkaji jasmani dalam konteks pendidikan. Menurut pendapat ini, bisa disebutkan bahwa objek material pendidikan jasmani adalah
  • 7. 7 jasmani dilihat dari perspektif pendidikan terhadapnya. Secara lebih singkat, pendidikan jasmani berarti mendidik jasmani/tubuh. Hal ini dianut secara luas oleh beberapa ilmuwan, termasuk dalm tulisan Newell di atas. Frase “...education of and through physical activity...” sebagaimana ditulis Newell (2012: 227) menegaskan makna relatif antara pendidikan dan aktivitas fisik yang terhubung kata sambung “dari” (lebih cocok diganti “untuk” dengan melihat konteks penjelasan Newell lebih lanjut di tulisannya) dan “melalui”. Objek formal pendidikan jasmani dengan demikian juga bisa ditegaskan di sini: jasmani yang dilihat sebagai medium untuk mentransfer pengetahuan atau menanamkan karakter atau memampukan kecakapan tertentu. Secara singkat, objek formalnya adalah jasmani sebagai medium pendidikan. Jika yang pertama berfokus pada jasmani dari perspektif pendidikan (di mana jasmani sebagai objek yang menjadi tujuan proses pendidikan), maka yang kedua ini lebih menekankan jasmani sebagai medium proses pendidikan. Medium untuk mendidik siapa? Tentu kepada “subjek” manusia. Kedua perspektif di atas secara gamblang melihat jasmani sebagai objek, meskipun dengan tekanan yang berbeda. Subjek yang mendidik dan/atau yang dididik adalah diri yang berupa jiwa. Dualisme Cartesian sangat kental dalam kedua perspektif ini: bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai dua substansi terpisah, di mana yang disebut “Aku” biasanya selalu merujuk pada jiwa, bukan pada tubuh. Pernyataan Rene Descartes yang terkenal “cogito, ergo sum” menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat ini. Pemisahan substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans) menelurkan konsep dunia mekanis yang saat ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu (termasuk dalam pendidikan jasmani), dan memengaruhi secara luar biasa banyak aspek kehidupan. Bagi Descartes, tubuh lebih serupa mesin yang digunakan oleh jiwa (Bertens, 2001: 140; Capra, 1997: 32). Perspektif lain bisa diteruskan (bukan hasil negasi) dari pemaknaan “pendidikan dari/untuk tubuh” atau “pendidikan melalui tubuh” ini, yakni tubuh yang mendidik. Tubuh mereferensikan pengalamannya (pre-reflektif dan reflektif) kepada tubuh lain atau kepada jiwa (diri atau orang lain). Perspektif ketiga ini
  • 8. 8 berada di antara dualisme menuju monisme. Kesadaran tubuh ini pada puncak aktualisasinya mewakili monisme murni yang melihat “Aku” sebagai kesatuan: kesatuan pikiran dan gerak raga, kesatuan tubuh dan jiwa. Tidak ada pembedaan substansial antara tubuh dan jiwa sebagai “Aku”. Jasmani yang dididik, jasmani sebagai medium proses mendidik, dan jasmani yang mendidik adalah tiga perspektif yang bisa diajukan sebagai objek formal pendidikan jasmani. Meskipun perspektif ketiga tidak semudah dua perspektif lain dalam memahami dan menangkap operasionalitasnya, sebenarnya ketiga perspektif ini ada dalam praktek “pendidikan jasmani” di Indonesia baik secara formal (diawali tahun 1941 dengan didirikannya AILO oleh Belanda) maupun informal (perlu penelitian lebih detail untuk mengidentifikasi “pendidikan jasmani informal” ini, misalnya jejak sejarah kanuragan nusantara). Berikut diuraikan ketiga perspektif tersebut. a. Jasmani yang Dididik Hylomorphisme Aristotelian bisa diajukan sebagai ilustrasi filosofis paling tepat untuk menggambarkan bagaimana melalui pendidikan jasmani, tubuh dididik oleh subjek jiwa dengan serangkaian dimensi: fisik, teknik, strategik, taktik, dan mental. Sebagai wadah (hyle dalam filsafat Aristoteles), tubuh diisi/dididik dengan dimensi-dimensi di atas beserta berbagai tahapan dan implementasi temuan-temuan ilmiah tentangnya. Jiwa (morphe dalam filsafat Aristoteles) mengisi tubuh dengan hal-hal tersebut secara terfokus dan bertujuan khas (Bertens, 2001). Fokus dan tujuan tersebut bisa berupa kesehatan, kepulihan, ketangkasan, kelincahan, kecepatan, daya tahan, dan sebagainya. Penekanan utama dari perspektif ini adalah pada kebutuhan dan kepentingan tubuh sebagai tujuan terpenting, yang berkonsekuensi pada kebutuhan dan kepentingan jiwa. Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup
  • 9. 9 pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan, dalam Pramono, 2014). Tubuh adalah objek, jiwa adalah subjek. Pandangan fundamental seperti ini menjadikan tubuh diperlakukan relatif sebagai sesuatu yang hanya berfungsi reseptif dan pasif. Tetapi sebagai objek yang lekat dengan multidimensionalitas manusia sebagai pemiliknya, tubuh juga diyakini bisa berubah seiring perlakuan terhadapnya, baik secara natural maupun artifisial. Tingkat penerimaan yang terorganisir dari masyarakat olahraga terhadap kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta penerapan skema behavioristik dan stimulus-respon merupakan bukti yang jelas untuk hal ini, yang meneguhkan pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih sering diobjektivikasi dan direduksi sedemikian rupa (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995). Untuk tujuan kesehatan, tubuh yang bisa melapuk dan rusak ini dididik untuk memperlama masa optimalnya dalam upaya jiwa agar selama mungkin hidup dan selama mungkin sehat bugar. Demikian juga halnya dengan tujuan kepulihan, di mana tubuh dikenakan berbagai perlakuan untuk kembali kepada masa optimalnya dalam menghadapi kehidupan. Tubuh tidak hanya diupayakan optimal, tetapi juga maksimal. Atas dasar hasrat naluriah tersebut, tubuh dikuatkan, dilincahkan, di-daya tahan-kan, dimampukan untuk lebih cepat, tangkas, kokoh, dan awet bugar. Karakter reseptif dan pasif dari tubuh dengan demikian dianggap sebagai lokus kepentingan diadakannya pendidikan jasmani, dengannya tubuh dididik untuk mematuhi kebutuhan-kebutuhan diri di atas: diri yang adalah berupa “Aku-jiwa”. b. Jasmani sebagai Medium Perspektif kedua ini tidak mudah dipisahkan bahkan diperbedakan dari perspektif pertama. Melanjutkan pandangan yang pertama di atas, manusia menghendaki sesuatu, yang agar tercapai memerlukan medium berupa jasmani. Pendisiplinan tubuh agar sesuai dengan standar/ukuran tertentu, adalah salah satu contohnya. Ketika manusia (lebih spesifik lagi: jiwanya) menghendaki agar orang-orang lain mengaguminya, maka tubuh dicitrakan sedemikian rupa
  • 10. 10 sehingga standar-standar citra tubuh ideal diupayakan. Melalui pendidikan jasmani maupun olahraga, tubuh diperlakukan sedemikian rupa sehingga bisa diproyeksikan ke orang-orang lain dan dirinya sendiri bahwa “dia” (subjek) layak untuk dianggap pantas, ideal, seksi, macho, disegani, dan hal-hal lain sejenisnya. Berbeda tipis dari perspektif pertama, titik tekan perspektif tubuh sebagai medium proses pendidikan ini adalah pada tujuan lain sebagai hasil proses pendidikan jasmani, dan bukan didominasi untuk berhenti pada kebutuhan dan kepentingan tubuh. Atas dasar itulah, tujuan lain tersebut berarti bukan bersifat kebertubuhan, atau setidaknya melampaui kebutuhan dan kepentingan tubuh sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya. Citra tubuh ideal, pembentukan karakter, gaya hidup, dan prestasi (terutama di bidang olahraga) adalah berbagai kerangka tujuan tersebut. Objektivitas tubuh meskipun tidak setajam perspektif pertama, namun juga ditekankan dengan cara “mengendarai tubuh” menuju arah tujuan tertentu tersebut. Pendidikan melalui jasmani bagi fenomenologi tubuh Merleau-Ponty, tak sekedar dihayati secara sempit dalam hal olahraga, namun setiap pengalaman darinya persepsi, dunia, dan tubuhku tumpang tindih, niscaya diterima tidak hanya oleh pikiranku tetapi juga oleh tubuhku. Sebagai konsekuensi praktisnya, pendidikan melalui tubuh/jasmani, berarti sama maknanya dengan pendidikan melalui pikiran/jiwa. Ini berlangsung resiprokal. Pendidikan (atau pengetahuan) melalui pikiran/jiwa, identik – bahkan secara ontologis didahului - dengan pendidikan melalui tubuh. Kedua ungkapan resiprokal ini hanya perlu diberi catatan bahwa “tugas” untuk setiap jenis pengetahuan/pengalaman sudah dibedakan secara anatomis-fisiologis (misalnya suara didengar telinga, ingatan disimpan otak) (Pramono, 2014). c. Jasmani yang Mendidik Kesadaran primordial atau pra-reflektif merupakan titik awal sekaligus dasar dari argumen perspektif ketiga ini. Objek-Dunia menyentuh Aku-Subjek pertama-tama melalui tubuh. Merleau-Ponty menyebut “ontologi daging”
  • 11. 11 untuk menggambarkan sentuhan dari kesatuan tak terpisahkan antara aku dan duniaku ini - yang dia istilahkan sebagai chiasmus. Bukan pikiran yang pertama-tama mengidentifikasi persentuhan sesuatu dengan tubuh, tetapi daging. Hanya saja di tahap primordial ini daging berikatan atau bersentuhan dengan sesuatu (misalnya hawa udara atau kulit tangan) tanpa mengobjektivikasikan sesuatu itu. Objektivikasi hanya terjadi di tahap reflektif, tahap sesudah tubuh memancarkan pengetahuan untuk ditangkap pikiran. Inilah mengapa paham monisme murni sangat kental di perspektif ini: “Aku adalah (juga) tubuhku”. “Tubuh-subjek” adalah entitas atau realitas tunggal yang bukan mental bukan pula fisik, tetapi serempak keduanya. Penerimaan informasi pengetahuan apapun, termasuk dalam aktivitas fisik, dikelola oleh aku yang sekaligus jiwa dan tubuh (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995; Pramono, 2014). Berdasarkan pemahaman primordial tersebut, tubuh – yang bersama- sama jiwa berada sebagai satu kesatuan tak terpisahkan – sesungguhnya merupakan lautan pengetahuan maha luas. Hanya sebagian dari pengetahuan itu yang tersaring sebagai pengetahuan yang disadari, pengetahuan jiwa. Kondisi primordial ini adalah kondisi sangat azali, sangat alami, yang belum dikenai standar-standar produk pemikiran apapun. Kepolosan dan kealamiahan kesadaran tubuh inilah yang bagi penulis dianggap penting untuk memunculkan istilah “tubuh yang mendidik”, di mana tubuhlah yang menggerakkan “aku”2 untuk berkarakter, berpengetahuan, bersikap, dan bergerak dalam rentang kualitas tertentu. Pendidikan jasmani menurut perspektif ini berarti optimalisasi tubuh yang membentuk karakter tertentu, memberi pengetahuan tertentu, menuntun untuk bersikap tertentu, dan memampukan bergerak sesuai ukuran tertentu. Tentu saja kerja jiwa seperti pikiran, ingatan, atau kesadaran tetap penting, namun lebih sebagai pengarah atau penyelaras. Patut ditekankan lagi, bahwa 2 Tanda petik untuk menandai pemaknaan teks yang sebenarnya tidak relevan di kondisi penyatuan atau chiasmus.
  • 12. 12 hubungan tubuh dan jiwa ibarat dua sisi dari uang yang sama. Satu substansi dari dua aspek manunggal dari diri manusia. 3. Bidang Studi dan Fokus Aktivitas Di Indonesia, pendidikan jasmani dan olahraga merupakan bagian dari olahraga pendidikan, satu di antara tiga domain ruang lingkup olahraga dalam UU No. 3 SKN (Sistem Keolahragaan Nasional). Dua domain yang lain adalah olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Adanya olahraga prestasi sebagai domain tersendiri secara tegas mengindikasikan bahwa pendidikan jasmani tidak diarahkan untuk menelurkan olahragawan berprestasi, tetapi untuk tujuan yang segaris dengan Sistem Pendidikan Nasional. Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pendidikan jasmani, menurut logika hukum, berada di wilayah pembidangan pendidikan, yang berarti juga patuh pada tujuan pendidikan nasional (bukan untuk tujuan lain). Tentu saja ada rasionalisasinya ketika melalui pendidikan jasmani, olahraga prestasi mendapatkan bibit olahragawan sejak usia dini. Pembentukan habituasi olahraga seperti suasana menyenangkan dalam beraktivitas, pengajaran keterampilan gerak yang benar, penanaman nilai-nilai sportivitas, motivasi berolahraga yang tinggi, adalah beberapa relevansi pendidikan jasmani terhadap identifikasi dini olahraga prestasi di lembaga pendidikan. Tetapi pendidikan jasmani tidak valid untuk diarahkan membentuk olahragawan prestasi, karena, sekali lagi, bukan itu tujuan pendidikan jasmani. Konsekuensinya, guru/dosen yang memberi materi dominan olahraga prestasi di mata pelajaran/kuliah pendidikan jasmani, berarti melakukan tindakan
  • 13. 13 menyimpang, baik secara legal maupun substansial. Prestasi ke-cabor-an (cabang olahraga) hanya bagian kecil (bukan dominan) dari keseluruhan muara pendidikan jasmani. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) mengeksplisitkan hal ini: Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengetahuan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang dirancang secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan jasmani memang berobjek kajian jasmani, tetapi tidak sembarang keberadaan atau aktivitas jasmani. Pendidikan jasmani lebih mengarusutamakan jasmani dalam konteks dasar-dasar keterampilan gerak yang benar dalam konteks keolahragaan atau kesehatan. Itulah sebabnya Ivo Jirasek menggantikan istilah physical education dengan kinanthropology untuk menekankan pada fokus aktivitas jasmani yang terarah pada konteks keolahragaan dan kesehatan (Jirasek, 2003). Literasi jasmani (physical literacy) dalam konteks kesehatan atau keolahragaan, bisa menjadi tema utama sekaligus muara dari pendidikan jasmani. Tubuh tidak hanya didekati dari sudut pandang ilmu keolahragaan atau pendidikan jasmani, tetapi juga bisa dilihat dari berbagai bidang kajian lain seperti kesehatan/kedokteran, fisika, biokimia, bahkan sosiologi atau sejarah. Literasi jasmani dalam konteks pendidikan jasmani oleh karenanya dibatasi pada penguasaan aspek-aspek mendasar tentang tubuh, entah fisiognomi dasar, keterampilan gerak dasar, sosioantropologi dasar. Penguasaan wawasan kebertubuhan dasar ini pada akhirnya memberi ruang pada guru/dosen dan siswa/mahasiswa untuk selalu membuka diri terhadap kerelatifan kebenaran tentang tubuh sekaligus membuka diri terhadap ruang-ruang gelap yang belum sepenuhnya disibak oleh pengetahuan modern. Tulisan Frithjof Capra (1997) atau Deepak Chopra (1996) yang mempersandingkan kearifan timur dengan sains mutakhir, masih sangat relevan dipertimbangkan sebagai cakrawala wawasan kebertubuhan yang terbuka dan unfinished truth.
  • 14. 14 Tubuh sebagai objek sebagamana tergambar di sepanjang sejarah ilmu dan filsafat di berbagai belahan dunia, pada hakikatnya memposisikan tubuh selalu dalam posisi subordinat jiwa. Pandangan subordinasi tubuh (tubuh sebagai objek) memang tidak perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan, termasuk dalam proses pendidikan jasmani, selama tubuh tidak diperlakukan sebagai semata-mata objek pemuas jiwa yang dipaksa-paksa, dimanipulasi, diracuni, atau bahkan dimutilasi untuk melayani “kebutuhan” jiwa. Kasus kerja paksa, doping atlit, operasi penghilangan jari kelingking kaki untuk peraga sepatu, dan sejenisnya adalah contoh perlakuan tidak pada tempatnya bagi tubuh. Dominasi instrumentalisme kebudayaan kontemporer yang fokus pada manusia sebagai homo faber memungkinkan pandangan sesat terhadap relasi tubuh dan jiwa yang bisa– dan sudah – terjadi. Penolakan dan kewaspadaan beberapa pemikir seperti Maine de Biran, Ludwig Feuerbach, Friedrich Nietzsche, Merleau-Ponty, dan Gabriel Marcell mewakili paham yang mengangkat objektivikasi tubuh ke pemikiran sebaliknya: subjektivitas tubuh. 4. Revolusi Kopernikan Tubuh Tubuh adalah subjek, atau, Aku adalah tubuhku. Tubuh bukan sejenis alat sebagaimana gunting untuk memotong kertas, bukan pula wadah tempat jiwa tumbuh berkembang. Tubuh adalah subjek kesatuan manusia dengan dunianya. Subjek tidak bisa dipisahkan dari tubuh (Merleau-Ponty, 1962). Manusia terhubung dengan dunia pertama-tama bukan oleh jiwanya, tetapi oleh tubuhnya. Menurut Merleau-Ponty, seseorang adalah tubuhnya, dan berbeda dengan Descartes, seseorang tidak terhubung dengan tubuhnya sebagai objek eksternal. Pengetahuan yang terlibatpun bukanlah pengetahuan reflektif. Inilah apa yang disebut Merleau-Ponty sebagai “kerajaan pra-objektif” (Syamsuddin, 2014). Persepsi merupakan fenomena jasmaniah (digunakan dalam arti yang sama oleh penulis dengan istilah kebertubuhan), bukan peristiwa mental yang terjadi di akhir rantai sebab-akibat fisis sebagaimana dugaan Descartes. Tubuhlah yang menyadari, bukan pikiran. Artinya, aku menyadari bukan sebagai subjek berhadap-hadapan dengan objek, namun sebagai agen-agen jasmaniah di dalam
  • 15. 15 dan terhadap dunia. Merleau-Ponty memahami persepsi sebagai aspek apa yang disebutnya, mengikuti Heidegger, “being in the world” (être au monde). Misteri persepsi dengan demikian adalah misteri bahwa meskipun kita sendiri ‘tertanam” di dalam dan bagian dari dunia, yang pada dirinya sendiri tidak sepenuhnya kabur dan tak dapat dimasuki, namun terbuka bagi kita sebagai medan kesadaran dan tindakan. “Persepsi”, demikian tulis Carman, “adalah selalu sekaligus pasif dan aktif, situasional dan praktis, terkondisikan dan bebas” (Carman, 2008). Tubuh dan dunia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh dengan menyentuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia. Sebaliknya dunia menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh (Pramono, 2014). Struktur bawaan, kemampuan umum dasar, dan kemampuan kebudayaan yang berangkat dari tubuh yang tumpang tindih dengan dunia dan kesadaran, dalam penelitian ini dikerucutkan pada konsep dan konteks skill (kecakapan). Merleau-Ponty menggunakan istilah “habit” (kebiasaan) sebagai sinonim “skill”, sehingga ketika dia merujuk pada pencapaian kecakapan dia mengatakan “pencapaian kebiasaan” (Merleau-Ponty, 1962). Kemampuan mengalami baginya seolah sama dengan pencapaian kecakapan menubuh. The analysis of motor habit as an extension of existence leads... to an analysis of perceptual habit as the coming into possession of a world. Conversely, every perceptual habit is still a motor habit and here equally the process of grasping a meaning is performed by the body (Merleau- Ponty, 1962: 153). Pancaran intensional (intentional arc)3 diajukan Dreyfus sebagai cara mengokohkan persepsi dan aksi kecakapan, suatu cara kecakapan menubuh dalam menentukan cara segala sesuatu menunjukkan diri ke seseorang (Dreyfus, 1996). 3 Fenomena inti dari perhatian ke fenomenologis adalah intensionalitas – suatu kelangsungan objek (the object-directedness), atau ke-apa-an (“aboutness”) dari pengalaman. “Intensionalitas” sebagai salah satu tema pokok dan dasar fenomenologi digunakan oleh Husserl untuk menunjukkan hubungan kesadaran dengan objeknya (dalam konteks pengenalan), namun pada Merleau-Ponty paham yang sama terutama berperan untuk melukiskan kaitan subjek dengan dunianya. Bagi Merleau-Ponty kaitan subjek dengan dunianya bersifat pra-reflektif, artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini bukan lagi dalam konteks pengenalan, tetapi pada taraf eksistensi.
  • 16. 16 Pancaran intensional ini dianggap sebagai interkoneksi menubuh dari tindakan dan persepsi kecakapan. Tubuh yang mendidik digambarkan dengan cara pancaran intensional ini: mengangkat kesatuan perseptual pra-reflektif subjek didik, dunia, dan kesadaran sebagai awal dari kesadaran reflektif untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, menstrukturisasi, mensistematisasi, dan seterusnya, berbagai konsep hasil dari pancaran-pancaran intensional terpilih. Literasi jasmani mengokohkan pancaran intensional ini dalam rangka mengkonstruksi berbagai hal, dalam hal ini me(re)konstruksi pemahaman, sikap, dan arah bagaimana seseorang (siswa/mahasiswa) memperlakukan tubuhnya dan tubuh yang-lain, menyimpulkan sesuatu dari kesadaran menubuh tersebut (misalnya pembentukan karakter), serta memproyeksikan kebertubuhannya dalam konteks kebertubuhan (dan, dengan demikian, kemanusiaan) universal. Pendidikan jasmani tidak lagi sekedar mengobjektivikasi tubuh, tetapi justru tubuhlah yang menjadi subjek mendidik darinya berbagai konsep, teori, atau tindakan mengambil tempat yang semestinya. Komunikasi literasi jasmani dengan pancaran intensional ini bersifat niscaya dan terus menerus, sehingga pendidikan jasmani juga sudah semestinya dilihat sebagai proses pendidikan yang terbuka dan dinamis. Meskipun pancaran intensional ini tidak selalu (bahkan jarang) signifikan bagi munculnya revisi literasi tubuh yang sudah ada, tetapi “tubuh universal” juga tidak selalu sepenuhnya dipatuhi oleh “tubuh subjektif”. Ini berarti, seorang siswa bisa saja memiliki kekhasan untuk mampu berenang cepat di lintasan yang ditentukan, misalnya dengan memejamkan mata di setiap hitungan atau tanda tertentu, di luar apa yang diinformasikan oleh literasi jasmani yang ada. Pengalaman pada dirinya sendiri selalu bersifat sangat subjektif dan spontan atau pra-kesadaran sebagai gambaran dari proyeksi-proyeksi pancaran intensional terus menerus tersebut. Pengalaman ini untuk menjadi pengetahuan bersama, dikoneksikan dengan berbagai wawasan yang sudah ada, dalam hal ini literasi jasmani. Pengalaman tubuh, oleh karena itu, selalu merupakan penjumlahan pancaran intensional tak terbatas sebagai karakter primordial dari “Aku” (digambarkan secara detail melalui model berikut ini).
  • 17. 17 Pengalaman tubuh Jumlah seluruh pengalaman yang menyatu sebagai Aku, yang dibuat dalam pengembangan tubuh sendiri baik individual maupun sosial, menjadi kognitif atau afektif, sadar atau tak sadar Gambar 1. Model struktural pengalaman tubuh (Pramono, 2014: 97) Aktivitas jasmani (olahraga maupun non-olahraga) didominasi pengalaman langsung. Pengalaman langsung tidak mengenal apapun objek murni, namun selalu berupa subjek yang mengalami. Subjek yang mengalami dalam persentuhannya dengan dunia ini adalah subjek alami, subjek yang ada hanya melalui tubuhnya (Syamsuddin, 2014). Ilustrasi tentang mengendarai mobil yang diketengahkan Merleau-Ponty sebagai corporeal schema, menarik untuk lebih memahami “pengalaman langsung” tersebut dalam arti praktis. Saat mengendarai mobil, seseorang tidak berpikir “tentang” mobil, namun berpikir “sebagai” mobil, “dari sudut pandang mobil”. Konsentrasi di jalan tidak dapat terjadi jika seseorang masih berpikir tentang mobil. Mobil telah menubuh dalam corporeal schema Skema Tubuh Aspek neurofisiologis dari pengalaman tubuh, mengisi seluruh tampilan perspektif- kognitif dari individu tentang tubuhnya sendiri Kesan Tubuh Aspek psikologis-fenomenologis dari pengalaman tubuh yang mengisi seluruh tampilan emosional-afektif individu tentang tubuhnya sendiri Orientasi Tubuh Orientasi dalam dan pada tubuh sendiri dengan sensibilitas luar dan dalam, khususnya persepsi kinesthetik Kesadaran Tubuh Representasi psikologis dari tubuh atau bagian tubuh dalam pikiran individual atau perhatian langsung ke arah tubuh sendiri Estimasi Ukuran Tubuh Estimasi dimensi ukuran dan ruang tubuh sendiri Batas Tubuh Pengalaman batas-batas tubuh; tubuh dalam perbedaannya dengan lingkungan Sikap-Sikap Tubuh Sikap total ke arah tubuh dan penampakannya, khususnya kepuasan tubuh (atau ketidakpuasannya) Pengetahuan Tubuh Pengetahuan faktual bangunan dan fungsi tubuh serta bagian-bagiannya termasuk perbedaan kanan-kiri
  • 18. 18 seseorang itu dan dengan demikian menjadi perluasan tubuh manusia (Syamsuddin, 2014). Instruktur/guru/dosen dalam membelajarkan pendidikan jasmani menurut logika ini tidak mencukupkan diri dengan menyodorkan diktat/modul/buku sesuai kurikulum untuk dilaksanakan di kelas secara bersama-sama, namun juga selalu mengkomunikasikan pengalaman siswa sebagai feed back berharga yang bisa saja direkonseptualisasikan sebagai modifikasi (penambahan, pengubahan, pengurangan) dari materi yang sudah ada. “Ayunan” antara tubuh sebagai objek dan tubuh sebagai subjek terus menerus terjadi bahkan dalam hitungan yang “serentak” dalam proses pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani di satu sisi menempatkan jasmani sebagai objek, tetapi di saat yang sama menempatkannya sebagai subjek. Pengetahuan yang berjalanpun, tidak hanya berasal dari “luar”, yang “universal”, tetapi juga bisa berasal dari “dalam”, yang “subjektif”; tidak hanya berasal dari buku-buku, modul, literasi tubuh, perundang-undangan, tetapi juga bisa berasal dari pengalaman spontan dan otentik dari tubuh. Setidaknya ada konsekuensi filosofis ketika cara pandang relatif terhadap posisi objek dan subjek suatu hal dianalisis secara intensif, bahkan bisa jadi hal itu menghasilkan suatu revolusi kopernikan (meminjam istilah Kant untuk usahanya mengubah arah pandang proses berpikir filsafat). Revolusi kopernikan pengalaman tubuh di pendidikan jasmani ini memang mengkonsekuensikan pembalikan cara pandang: yang semula tubuh semata-mata objek yang diberi perlakuan atau diisi pengetahuan tertentu, diubah secara drastis bahwa tubuh adalah subjek yang mendidik. Manusia yang di posisi subjek didik pendidikan jasmani, berarti senantiasa memeriksa cara pandang terhadap tubuhnya dalam kaitannya dengan berbagai dimensi ketubuhannya mulai dari dimensi fisiognomi hingga psikososial, dari struktur fisik ke universalitas entitas, dari urusan perut hingga ke urusan spiritual. C. Simpulan Literasi jasmani adalah kecenderungan untuk mendayagunakan kapabilitas tubuh di mana individu tersebut memiliki motivasi, kepercayaan diri, kompetensi
  • 19. 19 jasmani, pengetahuan, dan pemahaman untuk menilai dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga pencapaian dan aktivitas fisik yang bermanfaat di sepanjang hidupnya. Literasi jasmani tidak hanya berkaitan dengan gaya hidup, tetapi juga dengan hidup itu sendiri. Semua pemenuhan standar kebutuhan dan kepentingan tubuh sejak dari hal-hal fisiologis (makan, minum, seks), hingga sosio-psikologis (citra tubuh ideal) berhubungan dengan orientasi kebertubuhan filosofis yang memberikan dasar paradigmatik metafisis: tubuh seperti apa yang hendak dicitrakan, diidealisasikan, diwacanakan, atau bahkan ditransendensikan. Apakah tubuh hendak ditundukkan demi kebutuhan dan kepentingan jiwa semata seperti kepuasan, kebanggaan, keberadaban, dan juga kerelijiusan? atau secara holistik mengangkat tubuh sebagai subjek yang mendidik manusia menuju hidup yang sungguh-sungguh berharga jiwa dan raga? Literasi jasmani dengan demikian juga menentukan penghargaan individu terhadap tubuhnya dan tubuh individu-individu lain. Literasi jasmani tidak harus semata-mata melihat jasmani sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek. Tubuh di satu saat adalah objek yang dikaji, diteliti, dilatih, didisiplinkan, tetapi seketika itu pula bisa menjadi subjek yang mendidik jiwa untuk menyadari kesatuan primordial tubuh dan jiwa dengan dunianya. Literasi jasmani, jika dikedepankan dalam pendidikan jasmani, entah dalam konteks tubuh sebagai objek maupun sebagai subjek, maka keseluruhan paradigma “tubuh” yang dihabituasikan ke subjek didik niscaya akan menentukan hidup sang subjek didik, dan kehidupan dengannya sang subjek didik menjalin jaringan. Pendidikan jasmani sesungguhnya tidak hanya mendidik tubuh atau melalui tubuh berproseslah kemanusiaan sang subjek didik, tetapi pendidikan jasmani juga berarti pendidikan oleh tubuh, atas dasar itu hidup kemanusiaan utuh material-spiritual, jiwa-raga.
  • 20. 20 DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, BSNP. Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, alih bahasa: M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. Carman, 2008, Merleau-Ponty, Routledge, Oxon. Chopra, Deepak, 1996, Tubuh Yang Tak Kenal Tua, Pikiran Abadi: Alternatif Untuk Menjalani Kehidupan, alih bahasa T. Hermaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Corbin CB. 2016. Implications of Physical Literacy for Research and Practice: A Commentary. Research Quarterly for Exercise and Sport 87: 14–27. doi: 10.1080/02701367.2016.1124722 PMID: 26889581. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dreyfus, Hubert L., The Current Relevance of Merleau-Ponty's Phenomenology of Embodiment, dalam The Electronic Journal of Analytic Philosophy, 4 (Spring 1996) Philosophy Department, Sycamore Hall 026, Indiana University, Bloomington. Higgs, C. 2010. Physical Literacy: Two Approaches, One Concept. Physical and Jealth Education. Spring, 6-7. Jirásek, I, 2003b, Philosophy of Sport, or Philosophy of Physical Culture? an Experience from the Czech Republic: Philosophical Kinanthropology, dalam Sport Education and Society, 8(1), 2003b, 105–117. Journal of Sport and Health Science, Volume 4, Issue 2, Pages 105-210 (June 2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.jshs.2015.03.001. Killingbeck M, Bowler M, Golding D, Gammon P. 2007. Physical Education and Physical Literacy. Physical Education Matters 2: 20–24.
  • 21. 21 Mandigo, J., Francis, N., Lodewyk, K., & Lopez, R. 2012. Physical Literacy for Educators. Physical Education and Health Journal. 75(3). 27-30. Meier, K.V., 1995, “Embodiment, Sport and Meaning”, dalam William J. Morgan dan Klause V. Meier (ed.), Philosophic Inquiry in Sport, Second Edition, Human Kinetics, Champaign, USA. Merleau-Ponty, M., 1962, The Phenomenology of Perception, Colin Smith (transl.), Routledge and Kegan Paul, London. Morrison R. 1969. A Movement Approach to Educational Gymnastics. London: J.M. Dent & Sons. Newell, Karl M., 1990, Physical Education in Higher Education: Chaos Out of Order, Quest, 42:3, 227-242. Published online 2012. PHE Canada. 2014. What is Physical Literacy? Physical and Health Education Canada; Available at: http://www.phecanada.ca/programs/physical- literacy/what-physical-literacy. Accessed April 22, 14 A.D. Pramono, Made, 2003, Peran Fenomenologi Tubuh dalam Pengembangan Ilmu Keolahragaan, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, Tidak diterbitkan. ----------, 2004, Filsafat Olahraga, Unesa University Press, Surabaya. ----------, 2014, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif Ontologi dan Sumbangannya bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu Keolahragaan, Disertasi, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, Tidak diterbitkan. ----------, 2015, Filsafat Ilmu Keolahragaan, , Unesa University Press, Surabaya. Roetert EP, Jefferies SC. 2014. Embracing Physical Literacy. Journal of Physical Education, Recreation and Dance 85: 38–40. Sukendro, 2012, Telaah Kurikulum Pendidikan Jasmani di Indonesia, Jurnal Cerdas Sifa Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Hal. 1-9. Syamsuddin, M.Mukhtasar, 2014, Mind-Body Interconnection (A Philosophical Investigation on the Western and Eastern Approaches to the Human Nature), Kanisius, Yogyakarta.
  • 22. 22 Tremblay MS, Colley RC, Saunders TJ, Healy GN, Owen N. 2010. Physiological and Health Implications of a Sedentary Lifestyle. Appl Physiol Nutr Metab. 2010; 35(6):725–40. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. UNESCO. 2004. The Plurality of Literacy and Its Implication for Policies and Programmes (Position Paper, UNESCO Education Sector). France: Author. Retrieved from http://unesdoc.UNESCO.org/image/0013/001362/126246e.pdf. UNESCO. 2015. Quality Physical Education: Guidelines for Policy Makers. In: UNESCO (Ed.). Paris. Whitehead, M. 2001. The Concept of Physical Literacy. European journal of Physical Education. 6. 127-138. -----------------. 2010. The Concept of Physical Literacy. In Whitehead, M. (Ed.). Physical Literacy through the Lifecourse. (pp. 10-20). London: England. -----------------. 2013a. Definition of Physical Literacy and Clarification of Related Issues. ICSSPE Bulletin. 65. Oktober. -----------------. 2013b. The History and Development of Physical Literacy. ICSSPE Bulletin. 65. Oktober. -----------------. 2014. International Physical Literacy Association. https://www.physical-literacy.org.uk/. Whitehead ME, Murdoch E. 2006. Physical Literacy and Physical Education: Conceptual Mapping. Physical Education Matters 1: 6–9.