MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Tugas nulis
1. E. Pendidikan dan Pengajaran
Secara implisit di depan telah dibedakan antara konsep pendidikan dan
pengajaran. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pedidikan lebih terkait
dengan transfer nilai-nilai kemanusiaan sedang pengajaran lebih terkait dengan
transfer ilmu pengetahuan atau informasi. Sebagian media menjelaskan perbedaan
antara konsep pendidikan dan pengajaran berikut ini Penulis menyusun tembang
dan lagu debgab judul “Guru Profesional”.
Syair yang terdapat dalam tembang lebih berisi pesan nilai-nilai
kemanusiaan yang harus diinternalisasi dalam diri seorang pendidik yang
profesional. Tembang Asmaradana diidentifikasi sebagai cocok untuk
memberikan nasihat dan penanaman nila-nilai kemanusiaan. Dengan demikian
tembang berikut lebih merupakan perwujudan dari konsep pendidikan. Konsep
profesional dalam hal ini diturunkan dari ketentuan dalam UU RI No.14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen,yang Harus memiliki empat kompetensi,yaitu:
kompetensi paedagogik, kompetensikepribadian, kompetensi sosial,dan
kompetensi profesional (Bagian Kelima, Pasal 32, ayat (2)). Kompetensi
profesional juga dapat disebut kompetensi akademik, untuk membedakan dengan
tiga kompetensi lainnya yang sebenarnya masuk kompetensi profesional juga.
Sementara yang terdapat dalam lagu berikutnya lebih merupakan pernyataan atau
informasi saja, maka lebih mewujudkan suatu konsep pengajaran.
Karena tentang pendidikan telah banyak diuraikan di depan, maka sekarang
gilirannya untuk menguraikan secara lebih jauh tentang pengajaran. Dari konsep
pendidikan arti yang luas telah dipaparkan bahwa pendidikan adalah
memanusiakan manusia lewat pembudayaan, memberdayakan dan
membudayakan, yang terwujud sebagai manusia dewasa yang susila atau
manusia seutuhnya. Marilah kita telaah manusia seutuhnya dari sudut pandang
konsep pengajaran dalam bentuknyabsebagai proses pembelajaran (pendidikan
arti khusus) yang terjadi di sekolah. Berbicara manusia seutuhnya menyangkut
tentang hakikat manusia. Marilah kita memasuki sedikit kawasan filsafat manusia.
Dalam filsafat mnusia dirumuskan hakikat manusia sebagai makhluk
monodualis(dwitunggal) dan monopluralis(sarwatunggal) (Sunoto, 1982:54-
58),yang oleh para ahli filsafat disebut sebagai paradok, dua kenyataan yang
bertentangan tetapi hanya benar dalam kesatuan dari keduanya (Drijarkara,tt,16-
36;Sijders,2004:97-142).
Sebagai makhluk mnodualis terdiri atas badan yang menjiwa (anyukma
raga, raganya menjadi sukma, badannya menjadi/sebagai roh) atau jiwa yang
membadan (angraga sukma, sukmanya menjadi/sebagai raga, rohnya menjadi
2. badan). Orang Jawa, dalam kitab Centini, menggambarkannya sebagai:tunggal
tan tunggal,roro pan tan roro,lir jiwo lawan ragane,katon tunggal ketingal
kekalih (satu bukan satu,dua juga bukan dua,seperti jiwa dilihat dengan
raganya,kelihatan satu tampak dua)(Drijarkara,tt:151). Dalam kaitannya dengan
pengajaran, bahwa proses pembelajaran harus menumbuhkan raga(fisik) dan
mengembangkan jiwa (mentalitas, psikis,kejiwaan) secara harmonis (serasi,
selaras, dan seimbang).
Sebagai makhluk mnopluralis, manusia terdiri atas cipta (kognitif), rasa
(emotif), karsa (konatif)(emotif dan konatif = afektif),dan karya (psikomotorik).
Dalam kaitanyya dengan pengajaran, pembelajaran harus mengembangkan ranah
kognitif, afektif dan menumbuhkn psikomototikyang disebut dengan
pengembangan multiinteligen : inteligent quotient (IQ), emotioal quotient (EQ),
religion quetient (RQ), dan social quetient (SQ), juga spirital quotient (SQ).
Tentang istilah EQ dikoreksi oleh Drost (2006 : 56) menjadi EI (emmotional
intelligence) karena emosi tidak dapat diukur padahal pengertian quotient
merupakan hasil dari sejumlah tes. Dengan demikian : bukan social quotient
melainkan social intelligence, bukan spiritual quotient melainkan spiritual
intelligence, dan bukan religion quotient melainkan religion intelligence, kecuali
IQ tetap karena intelligensia memang dapat diukur dengan tes. Kecerdasan juga
mencangkup liguistik, matematika, visual / spasial. Kinestetik / perasa, musikal,
immpersonal, intrapersonal, dan intuisi (DePorter & Hernacki, 2007 : 31).
Pengembangan kecerdasarn tersebut dilaksanakan dalam Contextual Teaching &
Learning (CTL), yang menjadikan kegiatan belajar – mengajar mengasikkan dan
bermakna (Johnson, 2007 : 31 – 59).
Pegajaran juga perlu dibedakan dari pelatihan. Dalam kaitannya dengan
menumbuhkan ranah psikomotorik, dalam praktik yang dikenal “pendidikan
jasmani”. Sesungguhnya, dalam pengertian yang mendasar, tidak ada pendidikan
jasmani (penjas), yang ada adalah “pelatihan jasmani” atau “olah raga”. Dalam
Peraturan pemerintah RI Nommor 19Tahun 2005 tentang Standar nasional
Pendidikan disebut dengan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan
kesehatan (Bab III, Bagian Kedua, Pasar 6, ayat (1)e). Bagaimana dengan konsep
“pendidikan agama”? Berikut ini telaah rinciannya.
F. Pendidikan atau Pengajaran Agama ?
Sekaras dengan hasil telaah di muka, bahwa tidak ada pendidikan yang
formal, semua pendidikan adalah informal, dan sekolah adalah suatu pendidikan
formal, maka dalam pengertian yang sebenarnya tidak ada pendidikan agaman di
sekolah. Di Sekolah, seagai jalur pendidikan formal, yang ada adalah
“pengajaran” agama.
3. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional disebut
tentang “pendidika keagamaan” yang dapat diselenggaraka pada jalur pendidika
formal, nonformal, dan informal (Pasal 30) dan “pendidikan agama” yang wajib
dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi
(Pasal 37). Pemakaian istilah “pendidikan agama” di sekolah perlu dimaknai
sebagai pendidikan dalam arti yang sempit, kerena sebagaimana yang teah disebut
di depan, UU Sisdiknas mencampur – adukkan antara istilah pendidikan dan
sekolah; antara konsep pendidikan (pedagogi) dan pengajaran (edukasi). Hal
tersebut telah menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan dalam proses
penyusunan dan pengesahan RUU Sisidiknas (Soegeng, 2005 : 40 -54).
Bagaumanapun, sebagaimana yang telah dipaparkan di depan, pendidikan
dan pengajaran dapat tejadi dalam satu tindakan yang sama. Dalam mendidik
selalu terkandung unsur mengajar dan mengajar yang baik selalu mengandung
unsur mendidik. Seorang pengajar mendidik dengan mengajar dan mengajar
dengan mendidik. Seorang pelajar dididik dengan belajar dan diajar dengan
dididik (Drost, 2006 : 55).
Demikian halnya dengan pendidikan yang selalu terjadi dalam bentuk
informal itu, juga terdapat unsur – unsur pengajaran; sedang pengajaran (yang di
sekolah dalam kaitannya dengan agama disebut “pendidikan agama”) bila
dilaksaakan dengan baik selalu terjadi proses mendidik. Apabila didalam proses
penyusunan dan pengesahan RUU Sisdiknas terjadi perdebatan yang serius, hal
itu merupakan dinamika politik bagi bangsa Indonesia yang sedang dalam proses
menuju demokrasi dan pemahaman serta penghargaan terhadap hak – hak azasi
menusia ddengan baik dan benar. Dalam praktik pelaksanaannya di lapanan tidak
seserius itu yang terjadi. Itulah karateristik sejati bangsa Indonesia.
G. Pendidikan dan pengajran Sepanjang Hayat
Masih ada satu hal penting dalam kaitannya dengan konsep pendidikan dan
pengajaran. Satu hal penting itu adalah penggunaan istilah pendidikan sepanjang
hayataa. Telaah hal itu terkait dengan pertanyaan kapan sebenarnya pendidikan itu
berakhir.
Sesuai dengan pembatasan pendidikan sebagai proses pembentukan manusia
muda yang belum dewasa dan susila, yang muncu dari eksistensia atau cara
manusia berada secara otentik, menuju manusia seeutuhnya (deasa dan susila) dan
tidak pernah selesai (Drhakara,t.t : 240 – 243), maka dapat dipastikan bahwa
pendidikan terlaksana dalam sepanjang hayat (life education, the lifelong
education. From the cradle to the burial). Dalam kaitannya dengan tujuan
pendidikan untuk membentuk diri sendiri (self – forming) menuju kesempurnaan
4. sebagai manusia dewasa dan susila, tidaklah bertentangan kalau Drost (2000 : 21)
mengatakan bahwa manusia dididiklah antara umur 0 tahun sampai 20 tahun(masa
kanan – kanak anak, remaja, dan pemuda atau adolesens). Bila sesudah umur 20
tahun masih dididik, artinya pendidikan itu gagal, maka disimpulkan tidak ada
pendidikan tinggi.
Yang berakhir pada umur 20 tahun itu adalah bantuan yang diberikan oleh
manusia dewasa dan susila. Pendidikan hanya terjadi oleh manusia dewasa dan
susila kepada manusia muda yang belum dewasa dan susila. Tidak ada pendidikan
bagi orang dewasa. Setelah umur 20 tahun manusia seharusnya sudah dewasa dan
susila tidak memerlukan bantuan dari manusia dewasa dan susila yang lain.
Apabila masih terjadi proses pendidikan, itulah yang disebut autodidak, mendidik
diri sendiri.
Lain halnya dengan pendidikan yang tidak mungkin terjadi oleh manusia
dewasa dan susila untuk manusia dewasa dan susila yang lain, untuk pengajaran
dapat terjadi , bahkan dapat pula terjadi oleh anak muda untuk orang yang telah
deawsa dan susila. Anak dapat mengajar orangtua, Jawa mengatakan kebo nusu
gudel (kerbau menyusu anak kerbau). Dengan demikian terjadi pula pengajaran
sepanjang hayat, sejauh yang bersangkutan masih ada minat, dan pengajaran dapat
berakhirbkapan saja, bila sudah tidak berminatatau tidak ada
kesempatan/kemungkinan untuk belajar.
MENDIDIK DAN MENGAJAR
A.PENDAHULUAN
Dapat ditegaskan bahwa pendidikan adalah suatu upaya yang bertujuan
untuk menghasilkan suatu tipe pribadi tertentu dan bahwa hal ini dilakukan
dengan transmisi (pemindahan) pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman dari
satu pribadi ke pribadi yang lain. Peran dari ahli filsafat adalah menguraikan
berbagai asumsi dan pembenaran yang dibuat dan diberikan oleh para praktisi dan
para ahli teori dalam bidang ini. Sebagai konsekuensinya, kit telah menguji dalam
suatu cara dasar/permulaan pernyataan-pernyataan seperti tujuan-tujuan dan
haraan-harapan pendidikan,hakikat dari menteorikan pendidikan dan hakikat dari
pengetahuan. Sekarang kita perlu meninjau aspek transmisi dari pendidikan.
Kurikulum telah menetapkan apa yang harus diajarkan dan, sekali lagi, secara
tidak langsung menimbulkan permasalahan pmbenaran. Transmisi mencakupi
paedagogi dan hal ini sebaliknya menimbulkan masalah-masalah klarifikasi dan
pembenaran. Sekarang kita tidak berkenan terlalu banyak dengan apa yang
diajarkan melainkan dengan bagaimana hal itu diajarkan, dengan konsep-konsep
5. mengajar dan melatih dan dengan isu indoktriasi yang terkait. Daam mengkaji
topik-topik ini kita akan berkenan dengan peran dan kedudukan guru dan siswa
dan dengan keluasannya hingga pada mengajar dan mendidik yang mencakupi
konsep-konsep otoritas, disiplin, dan hukuman.
B.MENGAJAR DAN MENDIDIK
Mengajar secara jelas dan erat dikaitkan dengan pendidikan. Ya atau tidak
pendidikan dapat berlangsung dalam tiadanya pengajaran dapat diperdebatkan,
tetapi dalam praktik mengajar adalah sentral bagi upaya tersebut. Bagaimanapun,
konsep mengajar tidak dengan sendirinya merupakan suatu upaya yang mudah
untuk ditangani. Untuk satu hal, kata ‘mengajar’ bukanlah nama dari salah satu
aktivitas. Mengajar dapat mencakupi banyak jenis kegiatan yang berbeda:
berbicara, bertanya, menulis di papan tulis, mengatur situasi di mana para siswa
dapat belajar, dan banak yang lain. Sering sulit untuk menarik garis yang
memisahkan mengajar dari kegiatan-kegiatan lain yang dapat mirip dengannya.
Misalnya, apakah memberikan informasi itu mengaiar? Apakah seorang guru
mengajar dengan gayanya, dengan cara hidupnya, dengan contohnya? Apakah
berpakaian secara konvensional (kolot) atau modern merupakan suatu jenis
mengajar? Daptkah seorang mengajar secara tidak dikehendaki, dengan
kebetulan-kebetulan? Ini semua bukan masalah yang tidak penting. Seorang guru
akan lebih dulu memegang tanggungjawab terhadap pengajarannya dan dengan
demikian hal itu harus menjadi jelas tentang apa yang diperimbangkan sebagai
mengajar dan apa yang tidak. Analisis yang diberikan dalam bagian ini akan
menujuk pada dua simpulan. Pertama, bahwa mengajar perlu melibatkan
keinginan bahwa seseorang akan belajar sebagai suatu akibat dari apa yang
dilakukan guru; kedua, bahwa mengajar menuntut suatu pengakuan oleh keduanya
guru dan siswa tentang suatu hubungan khusus yang ada diantara mereka.
Mengajar merupakan suatu masalah yang dinginkan. Mengajar adalah
menginginkan bahwa seseorang akan mempelajari sesuatu. Bila tidak ada
keinginan ini, maka apapun yang dilakukan-bertindak, mempertunjukkan,
menarik perhatian diri sendiri –ia tidak terikat dalam mengajar walaupun ia
barang kali merasa demikian. Oleh karena itu, adalah tidak penting bahwa siswa
nyatanya akan mempelajari sesuatu. Mengajar tidak memerlukan berhasil baik.
Tetapi jika guru menempatkan tugasnya dalam suatu cara yang cocok terhadap
kesempatan tersebut, sesuai dengan usia dan kemampuan dari para siswanya,
dengan keinginan bahwa mereka akan mempelajari sesuatu, maka sejauh itu ia
sedang mengajar. Ini berarti bahwa walaupun seseorang dapat mengajar tetapi
tidak berhasil, sesorang tidak dapat mengajar secara kebetulan, atau tidak
dikehendaki. Adalah mungkin bahwa siswa akan mempelajari sesuatu yang tidak
diinginkan guru. Ia dapat mempelajari sesuatu dari logat guru, atau cara
6. bertindaknya, atau gaya berpakaiannya, tetapi hal itu tidak mengikuti dari ini
bahwa guru mengajar dia untuk berbicara atau bertingkah laku atau berdandan
dalam suatu cara. Sesorang dapat belajar tanpa diajar. Seorang guru yang tidak
simpatik atau berkelakuan jelek tidak mengajar seorang anak untuk membenci
sejarah atau matematiak, walaupun anak tersebut dapat menjadi membenci
matapelajaran tersebut hanya karena ia membenci guru tersebut. Ia belajar untuk
membenci matapelajaran itu tetapi ia tidak telah diajar untuk berlaku demikian itu.
Mengajar telah berlangsung ketika apa yang dipelajari, dipelajari sebagai suatu
akibat dari keinginan bebas seseorang.
Perlu dibuat kualifikasi di sini berkenaan dengan pernyataan tersebut di atas
bahwa mengajar tidak harus berhasil. Umumnya hal ini memang demikian.
Seorang guru dapat mengajar sepanjang hari, menghendaki bahwa para siswanya
akan belajar,tetapi dikalahkan oleh kemalasannya, atau kelelahannya atau oleh
suatu pengaruh dari luar,kegaduhan atau kekacauan. Dalam hal ini ia dapat
dengan jelas dikatakan telah sedang mengajar, walaupun tidak berhasil,
sebagaimana orang dapat dikatakan telah membuang waktu sepanjang hari untuk
memancing walaupun tidak ada sesuatu yang diajarkan. Bagaimanapun, ada suatu
perasaan ‘mengajar’ dalam hal mana pernyataan tentang....