SlideShare a Scribd company logo
1 of 32
Kebijakan Kriminal
Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH
Kebijakan...
Kata “Kebijakan” atau “Policy”
kerap digunakan dengan perdikat
tertentu:
Kebijakan Negara (State Policy)
Kebijakan Publik (Public Policy)
Kebijakan Sosial (Social Policy)
Kebijakan Hukum (Legal Policy)
Kebijakan...
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) adalah “rational
organization to respons of crime”, sehingga kata
“kebijakan” sebagai padanan dari kata “policy” disini lebih
ditujukan pada adanya tanggapan masyarakat atau
“social respons” terhadap kejahatan dan segala
problematikanya.
Dengan demikian kata “kriminal” merujuk pada objek dari
kebijakan tersebut, yaitu “tindak pidana, orang yang
melakukan tindak pidana tersebut dan sanksinya
(pemidanaan)”.
Dilihat dari objeknya tersebut Kebijakan Kriminal dapat
juga disebut dengan “Criminal Law Policy” atau
“Kebijakan Hukum Pidana”
Kebijakan Kriminal dan
Kebijakan Sosial
Kebijakan Kriminal merupakan
bagian dari Kebijakan Sosial
(Social Policy), yaitu merupakan
ejawantah dari Kebijakan
Kriminal merupakan bagian dari
kebijakan Perlindungan
Masyarakat (Social Defense
Policy) disamping Kebijakan
Kesejahteraan Sosial (Sosial
Welfare Policy)
Dua Pendekatan dalam
Kebijakan Hukum Pidana...
Kebijakan Hukum Pidana dapat dilakukan
dengan dua pendekatakan:
Kebijakan Penal (Penal Policy), yaitu
kebijakan dengan memberdayakan
Sistem Peradilan Pidana atau Criminal
Justice System (penegakan hukum
pidana)
Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy),
yaitu kebijakan dengan menggunakan
sarana lain di luar hukum pidana
Tiga Objek Pengkajian
Kebijakan Hukum Pidana...
Pengkajian terhadap Kebijakan Hukum Pidana diarahkan pada
tiga tahap kebijakan:
Kebijakan Legislatif (Legislatif Policy), yaitu kebijakan hukum
pidana dalam tahap perumusan (formulasi) masalah-masalah
yang berhubungan dengan hukum pidana
Kebijakan Yudikatif (Judicative Policy), yaitu kebijakan hukum
pidana dalam tahap penerapan (aplikasi) ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pidana
Kebijakan Eksekutif(Executive Policy), yaitu kebijakan hukum
pidana dalam tahap fungsionalisasi oleh pejabat yang
berwenang menyuruh menjalankan keputusan-keputusan
dalam bidang hukum pidana
Kebijakan Legislatif dalam
Bidang Hukum Pidana
Pengkajian terhadap Kebijakan Legislatif dalam
bidang Hukum Pidana dilakukan dengan
memperhatikan beberapa kecenderungan:
Adanya over criminalization terhadap berbagai
kejahatan-kejahatan konvensional (blue collar
crime), sehingga perlu kebijakan
dekriminalisasi dan/atau depenalisasi
Adanya under legislation terhadap berbagai
kejahatan-kejahatan baru, terutama yang
memanfaatkan teknologi informasi, yang
hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
mempunyai kedudukanan sosial tertentu
(white collar crime) sehingga diperlukan
kebijakan kriminalisasi dan penalisasi
Over Criminalization
Over Criminalization adalah keadaan dimana perbuatan-
perbuatan tertentu yang telah dipandang sebagai
“perbuatan biasa” oleh masyarakat, tetapi masih
dinyatakan sebagai tindak pidana
Over Criminalization boleh jadi timbul karena perubahan
cara padang masyarakat tentang suatu perbuatan,
misalnya dari “kejahatan” menjadi “perilaku
menyimpang” (deviation behaviour) sehingga dipandang
perlu pendekatan-pendekatan baru untuk
menanggulanginya selain dengan hukum pidana atau
perlu “treatment” baru selain bentuk-bentuk pemidanaan
yang ada
Over Criminalization dapat pula terjadi karena perobahan
masyarakat tentang sifat tercelanya suatu perbuatan,
sehingga jika menurut pandangan lama merupakan
sesuatu yang “kriminal” sedangkan menurut pendekatan
baru justru bersifat “legal”, sehingga perlu dikeluarkan
dari ruang lingkup hukum pidana
Over Criminalization...
Over Criminalization dapat juga sebagai lanjutan
dari perubahan kebijakan negara, sehubungan
dengan perubahan bentuk negara (federatif kepada
negara kesatuan atau sebaliknya), perubahan pola
hubungan pusat-daerah (sentralistis kepada
otonomi daerah) perubahan sistem pemerintahan
(otoriter kepada demokratis), atau perubahan
kebijakan perekonomian negara (ekonomi tertutup
menuju ekonomi pasar).
Over Criminalization dapat juga timbul karena
perubahan atau kecenderungan global atau
perkembangan dalam masyarakat internasional,
baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan/keamanan
Under Legislation
Under Legislation in criminal matters adalah keadaan
dimana perbuatan-perbuatan tertentu yang telah
dipandang sebagai “kriminal” oleh masyarakat, tetapi
masih belum dinyatakan sebagai tindak pidana
Under Legislation in criminal matters boleh jadi timbul
karena perkembangan teknologi, misalnya dengan
adanya modus dan objek kejahatan baru, seperti cyber
crime, dimana peraturan perundangn-undangan yang
berlaku belum “adekwaat” apabila dibandingkan dengan
perkembangan yang ada.
Under Legislation in criminal matters dapat pula terjadi
karena perobahan dalam pergaulan internasional, seperti
menguatnya penghormatan terhadap hak asasi manusia
(gross violation of human rights), kesadaran akan
pentingnya kelestarian lingkungan, ataupun
demokratisasi
Criminalization dan
Decriminalization
Criminalization adalah proses
penetapan suatu perbuatan yang
tadinya dipandang legal menjadi
suatu tindak pidana
Decriminalization adalah proses
penetapan suatu perbuatan yang
tadinya sebagai tindak pidana
menjadi suatu perbuatan yang
legal.
Penalization dan Depenalization
Penalization adalah proses penetapan
suatu sanksi, dari sanksi non hukum
pidana menjadi sanksi pidana atau
dari sanksi pidana yang lebih ringan
menjadi sanksi pidana yang lebih
berat
Depenalization adalah proses
penetapan sanksi dari sanksi pidana
yang berat menjadi sanksi pidana
yang lebih ringan atau dari sanksi
pidana menjadi sanksi non hukum
pidana
Trend of Criminalization
Criminalization berpangkal tolak dari
berbagai persoalan:
1. Perobahan yang terjadi dalam organisasi
sosial dan ekonomi.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknogi
3. Harmonisasi perundang-undangan dengan
negara-negara satu kawasan atau seluruh
dunia.
4. Perlindungan lingkungan global sebagai
wujud perencanaan kelangsungan di bumi.
5. Penyempitan dan Perluasan Pemidanaan
Trend of Decriminalization
Decriminalization berpangkal tolak dari berbagai persoalan:
1. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika
kelakukan tersebut untuk selanjutnya dilihat sebagai
sesuatu yang legitim.
2. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan
apabila ada pendapat lain mengenai peranan negara
yang mengakibatkan bahwa negara tidak perlu lebih
jauh mencampuri beberapa kepentingan tertentu.
3. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika
fungsionalisasi hukum pidana (upayanya) lebih jelek jika
dibandingkan dengan keadaan yang dihadapi.
4. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan
apabila telah ditemukan suatu cara lain bereaksi yang
lebih baik daripada cara menurut hukum pidana.
Kebijakan Yudikatif dalam
Bidang Hukum Pidana
Pengkajian terhadap Kebijakan
Yudikatif dalam bidang Hukum Pidana
terutama difokuskan pada dua hal:
1.Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System), baik sistem dalam arti
abstrak maupun dalam arti konkrit.
2.Administrasi Peradilan Pidana Criminal
Justice Administration), baik dalam arti
kewenangan maupun pengelolaannya.
Kebijakan Yudikatif Terhadap
Sistem Peradilan Pidana
Kebijakan Yudikatif terhadap Sistem Peradilan Pidana
terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan untuk meningkatkan keterpaduan Sistem
Peradilan Pidana (Integreated Criminal Justice System),
baik keterpaduan diantara subsistem dalam CJS, maupun
keterpaduan antara CJS dengan sistem peradilan lainnya.
2. Kecenderungan untuk meningkatkan Fleksibilitas Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System Flexibility), baik
dalam tahap penyidikan (misalnya police waiver), dalam
tahap penuntutan (prosecutor diversion), dalam tahap
pemeriksaan dimuka pengadilan (judge discretion)
Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi
Peradilan Pidana dalam tahap Penyidikan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap
penyidikan terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan meningkatnya difersivikasi (meragamnya)
kewenangan menyidik, sehingga potensial terjadinya sengketa
wewenang menyidik. Misalnya, dalam penyidikan tindak pidana korupsi
yang menjadi kewenangan KPK, Polri dan Kejaksaan RI.
2. Kecenderungan meningkatnya pembentukan penyidik khusus
(Misalnya: Penyidik BPOM, Penyidik Bea dan Cukai, Penyidik Pajak,
Penyidik Pasar Modal, Penyidik Perikanan, Penyidik TNI AL, Penyidik
Daerah dll) berhadap-hadapan dengan penyidik Polri juga berpotensi
terjadinya benturan kepentingan atau infektivitas dalam penyidikan.
Misalnya, penyidikan atas tindak pidana yang terjadi di laut antara
Penyidik POLAIRUD, Penyidik TNI AL, dan Penyidik Perikanan.
3. Kecenderungan meningkatnya interdependensi antara penyidik (CJS)
dengan lembaga-lembaga non-yudisial. Misalnya, interdependensi
antara penyidik Polri dan PPATK dalam tindak pidana pencucian uang
atau interdependensi antara penyidik Kejaksaan RI dan KOMNAS HAM
dalam tindak pidana pelanggaran HAM berat.
Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi
Peradilan Pidana dalam tahap Penuntutan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap
penuntutan terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan meningkatnya motiv/latar belakang konflik politik yang
berujung pada penuntutan pidana.
2. Kecenderungan meningkatnya intervensi pejabat struktural terhadap
pejabat teknis yang memiliki kewenangan (fungsional) penuntutan
Misalnya, adanya keharusan RENTUT dalam mengajukan “Tuntutan”
(Requisitoir) dalam pelaksanaan penuntutan perkara pidana.
3. Kecenderungan meningkatnya pencampuadukan penilaian peran antara
saksi dan ahli dalam pembuktian perkara pidana. Misalnya, dalam
pembuktian tindak pidana korupsi auditor cenderung dipandang ahli
daripada saksi atau sebaliknya.
4. Kecenderungan meningkatnya penggunaan undang-undang khusus
sebagai “multipurposes act” dalam pelaksanaan penuntutan perkara
pidana. Misalnya, penggunaan UU Korupsi untuk Tindak Pidana
dibidang Kepabeanan, Tindak Pidana dibidang Perbankan, Tindak
Pidana dibidang Perpajakan, Tindak Pidana dibidang Kehutanan.
Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan
Pidana dalam tahap Pemeriksaan di Muka Persidangan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap
pemeriksaan di muka persidangan terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) putusan pidana
dalam perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu orang
(penyertaan). Misalnya dalam tindak pidana korupsi dalam perumusan,
penetapan dan pelaksanaan APBD
2. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam
perkara-perkara pidana yang sebenarnya hampir sama tetapi diputus
oleh pengadilan-pengadilan yang berbeda. Misalnya, tindak pidana
narkotika dan psikotropika di Pengadilan Negeri Tangerang dan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau tindak pidana korupsi di
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) dan
Pengadilan Negeri pada umumnya.
3. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam
perkara yang mendapat perhatian besar dari masyarakat dan perkara
yang sama tetapi tidak mendapat perhatian yang signifikan dari
masyarakat.
Kebijakan Eksekutif
Dalam Bidang Hukum Pidana
Hukum Pidana Indonesia menganut Double
Track System (Sistem Dua Jalur), sehingga
Kebijakan Eksekutif dalam bidang hukum
pidana diarahkan pada dua sektor:
1. Kebijakan Eksekutif terhadap
fungsionalisasi/operasionalisasi pidana (straf),
baik pidana pokok maupun pidana tambahan.
2. Kebijakan Eksekutif terhadap
fungsionalisasi/operasionalisasi tindakan
(matreegeel), baik yang terdapat dalam KUHP
maupun di luar KUHP.
Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Pokok
Kebijakan fungsionalisasi/operasionalisasi pidana pokok ditandai
dengan berbagai kecenderungan:
1. Abolisionisasi atau Empowerment pidana mati.
2. Maksimalisasi penggunaan pidana penjara dan pembentukan
pidana lain sebagai pengganti pidana penjara.
3. Defungsionalisasi “pidana tutupan”. Pidana tutupan adalah pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap pembuat tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara, tetapi melakukan perbuatan
tersebut untuk maksud yang patut dihormati
4. Defungsionalisasi pidana kurungan, karena nyaris tidak ada
perbedaan dengan pidana penjara
5. Menempatkan pidana denda pada posisi “second line” termasuk
terhadap tindak pidana yang behubungan dengan
keuangan/perekonomian.
Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Mati
Umumnya dibedakan empat kelompok negara terhadap pidana
mati, yaitu: (1) negara yang telah menghapuskan pidana
mati secara de jure; (2) negara yang telah menghapuskan
pidana mati secara de facto tetapi masih menerapkannya
secara de jure karena masih mencantumkannya dalam
peraturan perundang-undangannnya; (3) negara yang masih
memberlakukan pidana mati, baik secara de jure maupun de
facto; (4) negara yang secara de jure menghapuskan pidana
mati tetapi secara de facto masih memberlakukannya;
Indonesia adalah negara yang menghapuskan pidana mati
secara de facto tetapi tidak secara de jure, karena eksekusi
pidana mati dibawah 10%;
Meningkatnya fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana adminstratif (misalnya narkoba) dan terhadap
tindak pidana khusus (misalnya terorisme), sedangkan
fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
umum cenderung menurun ;
Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Penjara
Keadaaan umum Prison di berbagai negara termasuk
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia cenderung melebihi
daya tampung (over capacity), sehingga fokus dari penal
policy di berbagai negara adalah upaya mengatasinya
dengan berbagai cara:
1. Amesti umum untuk pidana penjara kurang dari tiga bulan;
2. Mengganti pidana penjara singkat waktu (short time
sentence) yang tidak lebih dari enam bulan dengan berbagai
alternatif;
3. Penerapan night only dan weekend detention;
4. Penerapan Community Service Order (Pidana Kerja Sosial);
5. Penerapan pidana denda sebagai model eksekusi pidana
penjara;
6. Pembentukan Penjara Khusus (Misalnya: Khusus Pecandu
Narkotika) dan pelaksanaan sistem pemenjaraan dalam
bentuk khusus seperti “sistem penjara terbuka” (open prison)
KebijakanFungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Denda
Kelemahan dan dampak stigmatisasi pidana
perampasan kemerdekaan seharusnya mendorong
menguatnya maksimalisasi pidana denda, tetapi di
Indonesia kecenderungan sangat bervariasi;
Terhadap tindak pidana dalam KUHP pidana denda
nyaris tidak lagi diterapkan karena tidak mempunyai
efek jera akibat ancaman yang terlalu ringan;
Terhadap tindak pidana di luar KUHP pidana denda
diterapkan secara alternatif/kumulatif dengan pidana
penjara/kurungan;
Pidana denda diancamkan bagi korporasi tetapi tidak
ditentukan alternatif apabila denda tidak dibayar
sehingga dapat menjadi non applicable;
Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Tambahan
Penggunaan pidana tambahan khususnya yang
ditentukan di luar KUHP menunjukkan kecenderungan
yang meningkat;
Dalam tindak pidana korupsi terdapat pidana tambahan
berupa “pembayaran uang pengganti”;
Pidana tambahan “pembayaran uang pengganti”
cenderung diterapkan sebagai “pembayaran ganti
kerugian”. Dalam hal ini pidana tambahan
“pembayaran uang pengganti” bukan hanya ditetapkan
terhadap sejumlah uang yang diperoleh terdakwa dari
tindak pidana korupsi, tetapi juga seluruh “kerugian”
dari tindak pidana tersebut;
Terdapat problem yuridis serius dalam hal “pembayaran
uang pengganti” ini tidak dapat dipenuhi oleh
Terpidana, apakah dapat diganti dengan “pidana pokok”
padahal ini hanyalah pidana tambahan ataukah dapat di
“putihkan” tanpa putusan pengadilan.
Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Tindakan
Penggunaan tindakan sebagai
sarana non penal masih minim
digunakan;
Tindakan terkadang mempunyai
efek “detterence” yang lebih tinggi
daripada pidana tetapi dapat
mengurangi impak stigmatisasi
dari suatu sanksi;
Analisis Kebijakan
dan Kebijakan Kriminal
Kebijakan kriminal sebagai sebuah disiplin juga
menggunakan medote analisis tertentu, yang pada
umumnya merupakan bagian dari “analisis kebijakan”
dalam arti luas;
Analisis kebijakan dalam arti luas dibedakan antara
analisis kebijakan sebagai seni praktek dan analisis
kebijakan sebagai ilmu. Dalam pada itu Kebijakan
kriminal cenderung lebih ditempatkan sebagai ilmu
daripada sebagai seni praktek;
Walaupun demikian analisis kebijakan kriminal juga
dapat ditempatkan sebagai seni praktek sepanjang
analist-nya mempunyai kedudukan sebagai
pengambil kebijakan dalam bidang hukum pidana itu
sendiri;
Kebijakan Kriminal
dalam kuadran analisis kebijakan sebagai bagian dari
Kuadran Teknis dari Perspektif Administrator atau Teknokrat
Kuadran
politis
Kuadran
Deliberative
Kuadran
Teknis
Kuadran
Strategis
Stakeholder perspective
Policy Analist perspective
Politician’s
perspective
Administrator/
Technocrat
perspective
Analisis Kebijakan Kriminal Sebagai Ilmu
Kebijakan kriminal sebagai ilmu mempunyai filosofi
dan grand theory-nya sendiri;
Dasar filosofi analisis kebijakan kriminal adalah
falsafah telelogis (kebijakan harus mengacu pada
tujuan) dan falsafat deontologis (pencapaian tujuan
dilakukan dengan proses yang benar);
Analisis Kebijakan kriminal berpangkal tolak dari
grand theory tentang sistem hukum. Friedmann
misalnya mengetengahkan tiga kombinasi dasar dari
sistem hukum, yaitu substance, structure dan
culture;
Identifikasi Analisis Kebijakan
Studi Analisis Kebijakan dapat diidentifikasi
kedalam berbagai bidang kajian (studi),
yaitu:
1. Analisis untuk merumuskan kebijakan
2. Analisis untuk memprediksi impak kebijakan
3. Analisis untuk memperbaiki isi kebijakan
4. Analisis untuk memperbaiki pelaksanaan
kebijakan
5. Analisis untuk memperbaiki proses kebijakan
Kebijakan Kriminal
dalam Penelitian tentang Kebijakan
Analisis Kebijakan kriminal terhadap
kebijakan legislastif merupakan penelitian
tentang Isi Kebijakan (policy contents)
Analisis Kebijakan kriminal terhadap
kebijakan yudikatif merupakan penelitian
tentang Proses Kebijakan (policy process)
Analisis Kebijakan kriminal terhadap
kebijakan eksekutif merupakan penelitian
tentang Hasil Kebijakan (policy outputs)
Langkah-langkah Menlakukan Analisis
Kebijakan Kriminal
Analisis kebijakan kriminal dilakukan dengan
langkah-langkah:
1. Menemukenali isu kebijakan kriminal;
2. Menetapkan isu kebijakan kriminal;
3. Melakukan analisis-evaluasi kebijakan kriminal;
4. Melakukan penilaian dan uji hasil sementara analisis
kebijakan terpilih;
5. Melakukan uji impak kebijakan kriminal;
6. Menyusun penilaian altenatif kebijakan kriminal;
7. Menetapkan alternatif kebijakan kriminal terpilih;
8. Menyampaikan hasil analiasis kebijakan kriminal;
9. Mendampingi proses perumusan kebijakan kriminal;
10. Mengawasi proses implementasi kebijakan kriminal;
11. Melakukan evaluasi “pasca kebijakan” kriminal;

More Related Content

Similar to Kebijakan Kriminal dari suatu keputusan .ppt

Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdfUpaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdfsurtiningsih3
 
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010Fathur Rohman
 
Peran PNS dalam membangun budaya.ppt
Peran PNS dalam membangun budaya.pptPeran PNS dalam membangun budaya.ppt
Peran PNS dalam membangun budaya.pptANDIILMIUTAMIIRWAN1
 
Fitriati 02211020 2005
Fitriati 02211020 2005Fitriati 02211020 2005
Fitriati 02211020 2005gaga sihab
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxEkoPriadi3
 
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptxAiniAzahraErinatasya
 
Korupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HAN
Korupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HANKorupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HAN
Korupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HANTri Widodo W. UTOMO
 
Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)
Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)
Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)nurul khaiva
 
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptxSuriskaDestriyanti
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxriopongsarani88
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxriopongsarani88
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxriopongsarani88
 
Maria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptx
Maria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptxMaria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptx
Maria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptxMariaDwinoverin
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalBrigita Manohara
 
Upaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan KorupsiUpaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan KorupsiDini Islamiana
 
T 2 makalah pih
T 2 makalah pihT 2 makalah pih
T 2 makalah pihMelyMely12
 

Similar to Kebijakan Kriminal dari suatu keputusan .ppt (20)

Pengertian Kriminologi
Pengertian KriminologiPengertian Kriminologi
Pengertian Kriminologi
 
Pidana peencurian
Pidana peencurianPidana peencurian
Pidana peencurian
 
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdfUpaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
Upaya Penanganan Korupsi Penal dan Non penal.pdf
 
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
Materi 1 b pengertian dan prinsip anti korupsi 2010
 
Peran PNS dalam membangun budaya.ppt
Peran PNS dalam membangun budaya.pptPeran PNS dalam membangun budaya.ppt
Peran PNS dalam membangun budaya.ppt
 
Fitriati 02211020 2005
Fitriati 02211020 2005Fitriati 02211020 2005
Fitriati 02211020 2005
 
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptxPengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
Pengertian & Prinsip-Prinsip Anti Korupsi.pptx
 
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
 
Korupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HAN
Korupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HANKorupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HAN
Korupsi Dalam Perspektif Kebijakan Publik dan HAN
 
Keputusan politik
Keputusan politikKeputusan politik
Keputusan politik
 
Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)
Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)
Part v & vi (perumusan, aktor2, nilai2...)
 
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
1-pengertian-dan-prinsip-anti-korupsi.pptx
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
 
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptxUPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
UPAYAH PEMBERANTASAN KORUPSI KELOMPOK 4 (1)-2.pptx
 
Maria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptx
Maria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptxMaria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptx
Maria Dwinoverine_2109112142_Pendidikan Kewarganegaraan.pptx
 
Uas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminalUas spp soal politik kriminal
Uas spp soal politik kriminal
 
Mph mahatma
Mph mahatmaMph mahatma
Mph mahatma
 
Upaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan KorupsiUpaya Pemberantasan Korupsi
Upaya Pemberantasan Korupsi
 
T 2 makalah pih
T 2 makalah pihT 2 makalah pih
T 2 makalah pih
 

More from padlah1984

Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...
Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...
Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...padlah1984
 
KJA Goes to Campus_All for accounting SME
KJA Goes to Campus_All for accounting  SMEKJA Goes to Campus_All for accounting  SME
KJA Goes to Campus_All for accounting SMEpadlah1984
 
Jenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logistic
Jenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logisticJenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logistic
Jenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logisticpadlah1984
 
KEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen logistik
KEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen  logistikKEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen  logistik
KEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen logistikpadlah1984
 
Penggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaan
Penggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaanPenggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaan
Penggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaanpadlah1984
 
Pengantar pembaharuan dari hukum pidana terbaru
Pengantar pembaharuan dari hukum pidana terbaruPengantar pembaharuan dari hukum pidana terbaru
Pengantar pembaharuan dari hukum pidana terbarupadlah1984
 
Retensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.ppt
Retensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.pptRetensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.ppt
Retensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.pptpadlah1984
 
0.3.SPI GCG PM.pdf
0.3.SPI GCG PM.pdf0.3.SPI GCG PM.pdf
0.3.SPI GCG PM.pdfpadlah1984
 
0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdf
0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdf0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdf
0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdfpadlah1984
 
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdfpadlah1984
 
7 S TRIO MOTOR BISA.ppt
7 S TRIO MOTOR BISA.ppt7 S TRIO MOTOR BISA.ppt
7 S TRIO MOTOR BISA.pptpadlah1984
 
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdfpadlah1984
 
Materi Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptx
Materi Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptxMateri Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptx
Materi Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptxpadlah1984
 
Materai Elektronik.pdf
Materai Elektronik.pdfMaterai Elektronik.pdf
Materai Elektronik.pdfpadlah1984
 
Pengembangan Investasi Daerah.pptx
Pengembangan Investasi Daerah.pptxPengembangan Investasi Daerah.pptx
Pengembangan Investasi Daerah.pptxpadlah1984
 
2. Peranan Humas.ppt
2. Peranan Humas.ppt2. Peranan Humas.ppt
2. Peranan Humas.pptpadlah1984
 
pajak-dalam-perusahaan.pptx
pajak-dalam-perusahaan.pptxpajak-dalam-perusahaan.pptx
pajak-dalam-perusahaan.pptxpadlah1984
 
1. RUPS WTI.pptx
1. RUPS WTI.pptx1. RUPS WTI.pptx
1. RUPS WTI.pptxpadlah1984
 
1. Ekonomi_china.ppt
1. Ekonomi_china.ppt1. Ekonomi_china.ppt
1. Ekonomi_china.pptpadlah1984
 
1. IKEA MNC.ppt
1. IKEA MNC.ppt1. IKEA MNC.ppt
1. IKEA MNC.pptpadlah1984
 

More from padlah1984 (20)

Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...
Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...
Pengertian Praktek Beacara pada Pengadilan Pidana Indonesia-pengadilan-pidana...
 
KJA Goes to Campus_All for accounting SME
KJA Goes to Campus_All for accounting  SMEKJA Goes to Campus_All for accounting  SME
KJA Goes to Campus_All for accounting SME
 
Jenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logistic
Jenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logisticJenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logistic
Jenis-Dokumen-Freight-Forwarding for logistic
 
KEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen logistik
KEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen  logistikKEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen  logistik
KEPABEANAN dalam konsep tata laksana manajemen logistik
 
Penggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaan
Penggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaanPenggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaan
Penggunaan-Azas-Domunius Litis pada kewenangan kejaksaan
 
Pengantar pembaharuan dari hukum pidana terbaru
Pengantar pembaharuan dari hukum pidana terbaruPengantar pembaharuan dari hukum pidana terbaru
Pengantar pembaharuan dari hukum pidana terbaru
 
Retensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.ppt
Retensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.pptRetensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.ppt
Retensi Kejahatan Harta Benda by Padlah Riyadi.ppt
 
0.3.SPI GCG PM.pdf
0.3.SPI GCG PM.pdf0.3.SPI GCG PM.pdf
0.3.SPI GCG PM.pdf
 
0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdf
0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdf0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdf
0.2. Sekretaris Perusahaan, Kehumasan GCG PM.pdf
 
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
 
7 S TRIO MOTOR BISA.ppt
7 S TRIO MOTOR BISA.ppt7 S TRIO MOTOR BISA.ppt
7 S TRIO MOTOR BISA.ppt
 
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf0.1  Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
0.1 Perbankan, Pelaporan Keuangan dan PU. PM.pdf
 
Materi Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptx
Materi Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptxMateri Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptx
Materi Sosialisasi JHT Sesi 2 final.pptx
 
Materai Elektronik.pdf
Materai Elektronik.pdfMaterai Elektronik.pdf
Materai Elektronik.pdf
 
Pengembangan Investasi Daerah.pptx
Pengembangan Investasi Daerah.pptxPengembangan Investasi Daerah.pptx
Pengembangan Investasi Daerah.pptx
 
2. Peranan Humas.ppt
2. Peranan Humas.ppt2. Peranan Humas.ppt
2. Peranan Humas.ppt
 
pajak-dalam-perusahaan.pptx
pajak-dalam-perusahaan.pptxpajak-dalam-perusahaan.pptx
pajak-dalam-perusahaan.pptx
 
1. RUPS WTI.pptx
1. RUPS WTI.pptx1. RUPS WTI.pptx
1. RUPS WTI.pptx
 
1. Ekonomi_china.ppt
1. Ekonomi_china.ppt1. Ekonomi_china.ppt
1. Ekonomi_china.ppt
 
1. IKEA MNC.ppt
1. IKEA MNC.ppt1. IKEA MNC.ppt
1. IKEA MNC.ppt
 

Recently uploaded

PPT-Business-Plan makanan khas indonesia
PPT-Business-Plan makanan khas indonesiaPPT-Business-Plan makanan khas indonesia
PPT-Business-Plan makanan khas indonesiaSukmaWati809736
 
LAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contoh
LAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contohLAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contoh
LAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contohkhunagnes1
 
PPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGAN
PPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGANPPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGAN
PPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGANdewihartinah
 
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...HaseebBashir5
 
Perspektif Psikologi dalam Perubahan Organisasi
Perspektif Psikologi dalam Perubahan OrganisasiPerspektif Psikologi dalam Perubahan Organisasi
Perspektif Psikologi dalam Perubahan OrganisasiSeta Wicaksana
 
1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppt
1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppt1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppt
1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppterlyndakasim2
 
"Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor"
"Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor""Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor"
"Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor"HaseebBashir5
 
Etika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptx
Etika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptxEtika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptx
Etika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptx23May1983
 
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptxerlyndakasim2
 
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2PutriMuaini
 
Slide tentang Akuntansi Perpajakan Indonesia
Slide tentang Akuntansi Perpajakan IndonesiaSlide tentang Akuntansi Perpajakan Indonesia
Slide tentang Akuntansi Perpajakan IndonesiaNovrinKartikaTumbade
 
SLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttx
SLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttxSLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttx
SLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttxdevina81
 
Memaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptx
Memaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptxMemaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptx
Memaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptxSintaDosi
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehFORTRESS
 
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di IndonesiaTajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di IndonesiaHaseebBashir5
 
MAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docx
MAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docxMAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docx
MAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docxYogiAJ
 
PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024
PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024
PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024HelmyTransformasi
 
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank TerpercayaUnikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercayaunikbetslotbankmaybank
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxFORTRESS
 
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs TogelTogel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs TogelHaseebBashir5
 

Recently uploaded (20)

PPT-Business-Plan makanan khas indonesia
PPT-Business-Plan makanan khas indonesiaPPT-Business-Plan makanan khas indonesia
PPT-Business-Plan makanan khas indonesia
 
LAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contoh
LAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contohLAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contoh
LAPORAN PKP yang telah jadi dan dapat dijadikan contoh
 
PPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGAN
PPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGANPPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGAN
PPT - PSAK 109 TENTANG INSTRUMEN KEUANGAN
 
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
 
Perspektif Psikologi dalam Perubahan Organisasi
Perspektif Psikologi dalam Perubahan OrganisasiPerspektif Psikologi dalam Perubahan Organisasi
Perspektif Psikologi dalam Perubahan Organisasi
 
1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppt
1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppt1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppt
1A. INTRODUCTION TO Good corporate governance .ppt
 
"Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor"
"Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor""Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor"
"Mengungkap Misteri Kemenangan di Xinslot: Situs Slot Online Gacor"
 
Etika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptx
Etika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptxEtika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptx
Etika wirausaha dan pentingnya presentasi 2.pptx
 
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
 
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
 
Slide tentang Akuntansi Perpajakan Indonesia
Slide tentang Akuntansi Perpajakan IndonesiaSlide tentang Akuntansi Perpajakan Indonesia
Slide tentang Akuntansi Perpajakan Indonesia
 
SLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttx
SLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttxSLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttx
SLIDE 2 BISNIS INTERNASIONAL.ppttttttttx
 
Memaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptx
Memaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptxMemaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptx
Memaksimalkan Waktu untuk Mendapatkan Kampus Impian melalui SBMPTN (1).pptx
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
 
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di IndonesiaTajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
Tajuk: SV388: Platform Unggul Taruhan Sabung Ayam Online di Indonesia
 
MAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docx
MAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docxMAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docx
MAKALAH MANAJEMEN BISNIS RIRIS DAN YUDI.docx
 
PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024
PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024
PRESTIGE BUSINESS PRESENTATION BULAN APRIL 2024
 
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank TerpercayaUnikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
 
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs TogelTogel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
 

Kebijakan Kriminal dari suatu keputusan .ppt

  • 1. Kebijakan Kriminal Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH
  • 2. Kebijakan... Kata “Kebijakan” atau “Policy” kerap digunakan dengan perdikat tertentu: Kebijakan Negara (State Policy) Kebijakan Publik (Public Policy) Kebijakan Sosial (Social Policy) Kebijakan Hukum (Legal Policy)
  • 3. Kebijakan... Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) adalah “rational organization to respons of crime”, sehingga kata “kebijakan” sebagai padanan dari kata “policy” disini lebih ditujukan pada adanya tanggapan masyarakat atau “social respons” terhadap kejahatan dan segala problematikanya. Dengan demikian kata “kriminal” merujuk pada objek dari kebijakan tersebut, yaitu “tindak pidana, orang yang melakukan tindak pidana tersebut dan sanksinya (pemidanaan)”. Dilihat dari objeknya tersebut Kebijakan Kriminal dapat juga disebut dengan “Criminal Law Policy” atau “Kebijakan Hukum Pidana”
  • 4. Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Sosial Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari Kebijakan Sosial (Social Policy), yaitu merupakan ejawantah dari Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari kebijakan Perlindungan Masyarakat (Social Defense Policy) disamping Kebijakan Kesejahteraan Sosial (Sosial Welfare Policy)
  • 5. Dua Pendekatan dalam Kebijakan Hukum Pidana... Kebijakan Hukum Pidana dapat dilakukan dengan dua pendekatakan: Kebijakan Penal (Penal Policy), yaitu kebijakan dengan memberdayakan Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System (penegakan hukum pidana) Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy), yaitu kebijakan dengan menggunakan sarana lain di luar hukum pidana
  • 6. Tiga Objek Pengkajian Kebijakan Hukum Pidana... Pengkajian terhadap Kebijakan Hukum Pidana diarahkan pada tiga tahap kebijakan: Kebijakan Legislatif (Legislatif Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap perumusan (formulasi) masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum pidana Kebijakan Yudikatif (Judicative Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap penerapan (aplikasi) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pidana Kebijakan Eksekutif(Executive Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap fungsionalisasi oleh pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan keputusan-keputusan dalam bidang hukum pidana
  • 7. Kebijakan Legislatif dalam Bidang Hukum Pidana Pengkajian terhadap Kebijakan Legislatif dalam bidang Hukum Pidana dilakukan dengan memperhatikan beberapa kecenderungan: Adanya over criminalization terhadap berbagai kejahatan-kejahatan konvensional (blue collar crime), sehingga perlu kebijakan dekriminalisasi dan/atau depenalisasi Adanya under legislation terhadap berbagai kejahatan-kejahatan baru, terutama yang memanfaatkan teknologi informasi, yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukanan sosial tertentu (white collar crime) sehingga diperlukan kebijakan kriminalisasi dan penalisasi
  • 8. Over Criminalization Over Criminalization adalah keadaan dimana perbuatan- perbuatan tertentu yang telah dipandang sebagai “perbuatan biasa” oleh masyarakat, tetapi masih dinyatakan sebagai tindak pidana Over Criminalization boleh jadi timbul karena perubahan cara padang masyarakat tentang suatu perbuatan, misalnya dari “kejahatan” menjadi “perilaku menyimpang” (deviation behaviour) sehingga dipandang perlu pendekatan-pendekatan baru untuk menanggulanginya selain dengan hukum pidana atau perlu “treatment” baru selain bentuk-bentuk pemidanaan yang ada Over Criminalization dapat pula terjadi karena perobahan masyarakat tentang sifat tercelanya suatu perbuatan, sehingga jika menurut pandangan lama merupakan sesuatu yang “kriminal” sedangkan menurut pendekatan baru justru bersifat “legal”, sehingga perlu dikeluarkan dari ruang lingkup hukum pidana
  • 9. Over Criminalization... Over Criminalization dapat juga sebagai lanjutan dari perubahan kebijakan negara, sehubungan dengan perubahan bentuk negara (federatif kepada negara kesatuan atau sebaliknya), perubahan pola hubungan pusat-daerah (sentralistis kepada otonomi daerah) perubahan sistem pemerintahan (otoriter kepada demokratis), atau perubahan kebijakan perekonomian negara (ekonomi tertutup menuju ekonomi pasar). Over Criminalization dapat juga timbul karena perubahan atau kecenderungan global atau perkembangan dalam masyarakat internasional, baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan/keamanan
  • 10. Under Legislation Under Legislation in criminal matters adalah keadaan dimana perbuatan-perbuatan tertentu yang telah dipandang sebagai “kriminal” oleh masyarakat, tetapi masih belum dinyatakan sebagai tindak pidana Under Legislation in criminal matters boleh jadi timbul karena perkembangan teknologi, misalnya dengan adanya modus dan objek kejahatan baru, seperti cyber crime, dimana peraturan perundangn-undangan yang berlaku belum “adekwaat” apabila dibandingkan dengan perkembangan yang ada. Under Legislation in criminal matters dapat pula terjadi karena perobahan dalam pergaulan internasional, seperti menguatnya penghormatan terhadap hak asasi manusia (gross violation of human rights), kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan, ataupun demokratisasi
  • 11. Criminalization dan Decriminalization Criminalization adalah proses penetapan suatu perbuatan yang tadinya dipandang legal menjadi suatu tindak pidana Decriminalization adalah proses penetapan suatu perbuatan yang tadinya sebagai tindak pidana menjadi suatu perbuatan yang legal.
  • 12. Penalization dan Depenalization Penalization adalah proses penetapan suatu sanksi, dari sanksi non hukum pidana menjadi sanksi pidana atau dari sanksi pidana yang lebih ringan menjadi sanksi pidana yang lebih berat Depenalization adalah proses penetapan sanksi dari sanksi pidana yang berat menjadi sanksi pidana yang lebih ringan atau dari sanksi pidana menjadi sanksi non hukum pidana
  • 13. Trend of Criminalization Criminalization berpangkal tolak dari berbagai persoalan: 1. Perobahan yang terjadi dalam organisasi sosial dan ekonomi. 2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknogi 3. Harmonisasi perundang-undangan dengan negara-negara satu kawasan atau seluruh dunia. 4. Perlindungan lingkungan global sebagai wujud perencanaan kelangsungan di bumi. 5. Penyempitan dan Perluasan Pemidanaan
  • 14. Trend of Decriminalization Decriminalization berpangkal tolak dari berbagai persoalan: 1. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika kelakukan tersebut untuk selanjutnya dilihat sebagai sesuatu yang legitim. 2. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan apabila ada pendapat lain mengenai peranan negara yang mengakibatkan bahwa negara tidak perlu lebih jauh mencampuri beberapa kepentingan tertentu. 3. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika fungsionalisasi hukum pidana (upayanya) lebih jelek jika dibandingkan dengan keadaan yang dihadapi. 4. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan apabila telah ditemukan suatu cara lain bereaksi yang lebih baik daripada cara menurut hukum pidana.
  • 15. Kebijakan Yudikatif dalam Bidang Hukum Pidana Pengkajian terhadap Kebijakan Yudikatif dalam bidang Hukum Pidana terutama difokuskan pada dua hal: 1.Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), baik sistem dalam arti abstrak maupun dalam arti konkrit. 2.Administrasi Peradilan Pidana Criminal Justice Administration), baik dalam arti kewenangan maupun pengelolaannya.
  • 16. Kebijakan Yudikatif Terhadap Sistem Peradilan Pidana Kebijakan Yudikatif terhadap Sistem Peradilan Pidana terutama ditandai oleh adanya: 1. Kecenderungan untuk meningkatkan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana (Integreated Criminal Justice System), baik keterpaduan diantara subsistem dalam CJS, maupun keterpaduan antara CJS dengan sistem peradilan lainnya. 2. Kecenderungan untuk meningkatkan Fleksibilitas Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System Flexibility), baik dalam tahap penyidikan (misalnya police waiver), dalam tahap penuntutan (prosecutor diversion), dalam tahap pemeriksaan dimuka pengadilan (judge discretion)
  • 17. Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap Penyidikan Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap penyidikan terutama ditandai oleh adanya: 1. Kecenderungan meningkatnya difersivikasi (meragamnya) kewenangan menyidik, sehingga potensial terjadinya sengketa wewenang menyidik. Misalnya, dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK, Polri dan Kejaksaan RI. 2. Kecenderungan meningkatnya pembentukan penyidik khusus (Misalnya: Penyidik BPOM, Penyidik Bea dan Cukai, Penyidik Pajak, Penyidik Pasar Modal, Penyidik Perikanan, Penyidik TNI AL, Penyidik Daerah dll) berhadap-hadapan dengan penyidik Polri juga berpotensi terjadinya benturan kepentingan atau infektivitas dalam penyidikan. Misalnya, penyidikan atas tindak pidana yang terjadi di laut antara Penyidik POLAIRUD, Penyidik TNI AL, dan Penyidik Perikanan. 3. Kecenderungan meningkatnya interdependensi antara penyidik (CJS) dengan lembaga-lembaga non-yudisial. Misalnya, interdependensi antara penyidik Polri dan PPATK dalam tindak pidana pencucian uang atau interdependensi antara penyidik Kejaksaan RI dan KOMNAS HAM dalam tindak pidana pelanggaran HAM berat.
  • 18. Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap Penuntutan Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap penuntutan terutama ditandai oleh adanya: 1. Kecenderungan meningkatnya motiv/latar belakang konflik politik yang berujung pada penuntutan pidana. 2. Kecenderungan meningkatnya intervensi pejabat struktural terhadap pejabat teknis yang memiliki kewenangan (fungsional) penuntutan Misalnya, adanya keharusan RENTUT dalam mengajukan “Tuntutan” (Requisitoir) dalam pelaksanaan penuntutan perkara pidana. 3. Kecenderungan meningkatnya pencampuadukan penilaian peran antara saksi dan ahli dalam pembuktian perkara pidana. Misalnya, dalam pembuktian tindak pidana korupsi auditor cenderung dipandang ahli daripada saksi atau sebaliknya. 4. Kecenderungan meningkatnya penggunaan undang-undang khusus sebagai “multipurposes act” dalam pelaksanaan penuntutan perkara pidana. Misalnya, penggunaan UU Korupsi untuk Tindak Pidana dibidang Kepabeanan, Tindak Pidana dibidang Perbankan, Tindak Pidana dibidang Perpajakan, Tindak Pidana dibidang Kehutanan.
  • 19. Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap Pemeriksaan di Muka Persidangan Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap pemeriksaan di muka persidangan terutama ditandai oleh adanya: 1. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) putusan pidana dalam perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu orang (penyertaan). Misalnya dalam tindak pidana korupsi dalam perumusan, penetapan dan pelaksanaan APBD 2. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam perkara-perkara pidana yang sebenarnya hampir sama tetapi diputus oleh pengadilan-pengadilan yang berbeda. Misalnya, tindak pidana narkotika dan psikotropika di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau tindak pidana korupsi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) dan Pengadilan Negeri pada umumnya. 3. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam perkara yang mendapat perhatian besar dari masyarakat dan perkara yang sama tetapi tidak mendapat perhatian yang signifikan dari masyarakat.
  • 20. Kebijakan Eksekutif Dalam Bidang Hukum Pidana Hukum Pidana Indonesia menganut Double Track System (Sistem Dua Jalur), sehingga Kebijakan Eksekutif dalam bidang hukum pidana diarahkan pada dua sektor: 1. Kebijakan Eksekutif terhadap fungsionalisasi/operasionalisasi pidana (straf), baik pidana pokok maupun pidana tambahan. 2. Kebijakan Eksekutif terhadap fungsionalisasi/operasionalisasi tindakan (matreegeel), baik yang terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP.
  • 21. Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Pokok Kebijakan fungsionalisasi/operasionalisasi pidana pokok ditandai dengan berbagai kecenderungan: 1. Abolisionisasi atau Empowerment pidana mati. 2. Maksimalisasi penggunaan pidana penjara dan pembentukan pidana lain sebagai pengganti pidana penjara. 3. Defungsionalisasi “pidana tutupan”. Pidana tutupan adalah pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pembuat tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, tetapi melakukan perbuatan tersebut untuk maksud yang patut dihormati 4. Defungsionalisasi pidana kurungan, karena nyaris tidak ada perbedaan dengan pidana penjara 5. Menempatkan pidana denda pada posisi “second line” termasuk terhadap tindak pidana yang behubungan dengan keuangan/perekonomian.
  • 22. Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Mati Umumnya dibedakan empat kelompok negara terhadap pidana mati, yaitu: (1) negara yang telah menghapuskan pidana mati secara de jure; (2) negara yang telah menghapuskan pidana mati secara de facto tetapi masih menerapkannya secara de jure karena masih mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangannnya; (3) negara yang masih memberlakukan pidana mati, baik secara de jure maupun de facto; (4) negara yang secara de jure menghapuskan pidana mati tetapi secara de facto masih memberlakukannya; Indonesia adalah negara yang menghapuskan pidana mati secara de facto tetapi tidak secara de jure, karena eksekusi pidana mati dibawah 10%; Meningkatnya fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana adminstratif (misalnya narkoba) dan terhadap tindak pidana khusus (misalnya terorisme), sedangkan fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana umum cenderung menurun ;
  • 23. Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Penjara Keadaaan umum Prison di berbagai negara termasuk Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia cenderung melebihi daya tampung (over capacity), sehingga fokus dari penal policy di berbagai negara adalah upaya mengatasinya dengan berbagai cara: 1. Amesti umum untuk pidana penjara kurang dari tiga bulan; 2. Mengganti pidana penjara singkat waktu (short time sentence) yang tidak lebih dari enam bulan dengan berbagai alternatif; 3. Penerapan night only dan weekend detention; 4. Penerapan Community Service Order (Pidana Kerja Sosial); 5. Penerapan pidana denda sebagai model eksekusi pidana penjara; 6. Pembentukan Penjara Khusus (Misalnya: Khusus Pecandu Narkotika) dan pelaksanaan sistem pemenjaraan dalam bentuk khusus seperti “sistem penjara terbuka” (open prison)
  • 24. KebijakanFungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Denda Kelemahan dan dampak stigmatisasi pidana perampasan kemerdekaan seharusnya mendorong menguatnya maksimalisasi pidana denda, tetapi di Indonesia kecenderungan sangat bervariasi; Terhadap tindak pidana dalam KUHP pidana denda nyaris tidak lagi diterapkan karena tidak mempunyai efek jera akibat ancaman yang terlalu ringan; Terhadap tindak pidana di luar KUHP pidana denda diterapkan secara alternatif/kumulatif dengan pidana penjara/kurungan; Pidana denda diancamkan bagi korporasi tetapi tidak ditentukan alternatif apabila denda tidak dibayar sehingga dapat menjadi non applicable;
  • 25. Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Tambahan Penggunaan pidana tambahan khususnya yang ditentukan di luar KUHP menunjukkan kecenderungan yang meningkat; Dalam tindak pidana korupsi terdapat pidana tambahan berupa “pembayaran uang pengganti”; Pidana tambahan “pembayaran uang pengganti” cenderung diterapkan sebagai “pembayaran ganti kerugian”. Dalam hal ini pidana tambahan “pembayaran uang pengganti” bukan hanya ditetapkan terhadap sejumlah uang yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi, tetapi juga seluruh “kerugian” dari tindak pidana tersebut; Terdapat problem yuridis serius dalam hal “pembayaran uang pengganti” ini tidak dapat dipenuhi oleh Terpidana, apakah dapat diganti dengan “pidana pokok” padahal ini hanyalah pidana tambahan ataukah dapat di “putihkan” tanpa putusan pengadilan.
  • 26. Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Tindakan Penggunaan tindakan sebagai sarana non penal masih minim digunakan; Tindakan terkadang mempunyai efek “detterence” yang lebih tinggi daripada pidana tetapi dapat mengurangi impak stigmatisasi dari suatu sanksi;
  • 27. Analisis Kebijakan dan Kebijakan Kriminal Kebijakan kriminal sebagai sebuah disiplin juga menggunakan medote analisis tertentu, yang pada umumnya merupakan bagian dari “analisis kebijakan” dalam arti luas; Analisis kebijakan dalam arti luas dibedakan antara analisis kebijakan sebagai seni praktek dan analisis kebijakan sebagai ilmu. Dalam pada itu Kebijakan kriminal cenderung lebih ditempatkan sebagai ilmu daripada sebagai seni praktek; Walaupun demikian analisis kebijakan kriminal juga dapat ditempatkan sebagai seni praktek sepanjang analist-nya mempunyai kedudukan sebagai pengambil kebijakan dalam bidang hukum pidana itu sendiri;
  • 28. Kebijakan Kriminal dalam kuadran analisis kebijakan sebagai bagian dari Kuadran Teknis dari Perspektif Administrator atau Teknokrat Kuadran politis Kuadran Deliberative Kuadran Teknis Kuadran Strategis Stakeholder perspective Policy Analist perspective Politician’s perspective Administrator/ Technocrat perspective
  • 29. Analisis Kebijakan Kriminal Sebagai Ilmu Kebijakan kriminal sebagai ilmu mempunyai filosofi dan grand theory-nya sendiri; Dasar filosofi analisis kebijakan kriminal adalah falsafah telelogis (kebijakan harus mengacu pada tujuan) dan falsafat deontologis (pencapaian tujuan dilakukan dengan proses yang benar); Analisis Kebijakan kriminal berpangkal tolak dari grand theory tentang sistem hukum. Friedmann misalnya mengetengahkan tiga kombinasi dasar dari sistem hukum, yaitu substance, structure dan culture;
  • 30. Identifikasi Analisis Kebijakan Studi Analisis Kebijakan dapat diidentifikasi kedalam berbagai bidang kajian (studi), yaitu: 1. Analisis untuk merumuskan kebijakan 2. Analisis untuk memprediksi impak kebijakan 3. Analisis untuk memperbaiki isi kebijakan 4. Analisis untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan 5. Analisis untuk memperbaiki proses kebijakan
  • 31. Kebijakan Kriminal dalam Penelitian tentang Kebijakan Analisis Kebijakan kriminal terhadap kebijakan legislastif merupakan penelitian tentang Isi Kebijakan (policy contents) Analisis Kebijakan kriminal terhadap kebijakan yudikatif merupakan penelitian tentang Proses Kebijakan (policy process) Analisis Kebijakan kriminal terhadap kebijakan eksekutif merupakan penelitian tentang Hasil Kebijakan (policy outputs)
  • 32. Langkah-langkah Menlakukan Analisis Kebijakan Kriminal Analisis kebijakan kriminal dilakukan dengan langkah-langkah: 1. Menemukenali isu kebijakan kriminal; 2. Menetapkan isu kebijakan kriminal; 3. Melakukan analisis-evaluasi kebijakan kriminal; 4. Melakukan penilaian dan uji hasil sementara analisis kebijakan terpilih; 5. Melakukan uji impak kebijakan kriminal; 6. Menyusun penilaian altenatif kebijakan kriminal; 7. Menetapkan alternatif kebijakan kriminal terpilih; 8. Menyampaikan hasil analiasis kebijakan kriminal; 9. Mendampingi proses perumusan kebijakan kriminal; 10. Mengawasi proses implementasi kebijakan kriminal; 11. Melakukan evaluasi “pasca kebijakan” kriminal;