2. Kebijakan...
Kata “Kebijakan” atau “Policy”
kerap digunakan dengan perdikat
tertentu:
Kebijakan Negara (State Policy)
Kebijakan Publik (Public Policy)
Kebijakan Sosial (Social Policy)
Kebijakan Hukum (Legal Policy)
3. Kebijakan...
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) adalah “rational
organization to respons of crime”, sehingga kata
“kebijakan” sebagai padanan dari kata “policy” disini lebih
ditujukan pada adanya tanggapan masyarakat atau
“social respons” terhadap kejahatan dan segala
problematikanya.
Dengan demikian kata “kriminal” merujuk pada objek dari
kebijakan tersebut, yaitu “tindak pidana, orang yang
melakukan tindak pidana tersebut dan sanksinya
(pemidanaan)”.
Dilihat dari objeknya tersebut Kebijakan Kriminal dapat
juga disebut dengan “Criminal Law Policy” atau
“Kebijakan Hukum Pidana”
4. Kebijakan Kriminal dan
Kebijakan Sosial
Kebijakan Kriminal merupakan
bagian dari Kebijakan Sosial
(Social Policy), yaitu merupakan
ejawantah dari Kebijakan
Kriminal merupakan bagian dari
kebijakan Perlindungan
Masyarakat (Social Defense
Policy) disamping Kebijakan
Kesejahteraan Sosial (Sosial
Welfare Policy)
5. Dua Pendekatan dalam
Kebijakan Hukum Pidana...
Kebijakan Hukum Pidana dapat dilakukan
dengan dua pendekatakan:
Kebijakan Penal (Penal Policy), yaitu
kebijakan dengan memberdayakan
Sistem Peradilan Pidana atau Criminal
Justice System (penegakan hukum
pidana)
Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy),
yaitu kebijakan dengan menggunakan
sarana lain di luar hukum pidana
6. Tiga Objek Pengkajian
Kebijakan Hukum Pidana...
Pengkajian terhadap Kebijakan Hukum Pidana diarahkan pada
tiga tahap kebijakan:
Kebijakan Legislatif (Legislatif Policy), yaitu kebijakan hukum
pidana dalam tahap perumusan (formulasi) masalah-masalah
yang berhubungan dengan hukum pidana
Kebijakan Yudikatif (Judicative Policy), yaitu kebijakan hukum
pidana dalam tahap penerapan (aplikasi) ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pidana
Kebijakan Eksekutif(Executive Policy), yaitu kebijakan hukum
pidana dalam tahap fungsionalisasi oleh pejabat yang
berwenang menyuruh menjalankan keputusan-keputusan
dalam bidang hukum pidana
7. Kebijakan Legislatif dalam
Bidang Hukum Pidana
Pengkajian terhadap Kebijakan Legislatif dalam
bidang Hukum Pidana dilakukan dengan
memperhatikan beberapa kecenderungan:
Adanya over criminalization terhadap berbagai
kejahatan-kejahatan konvensional (blue collar
crime), sehingga perlu kebijakan
dekriminalisasi dan/atau depenalisasi
Adanya under legislation terhadap berbagai
kejahatan-kejahatan baru, terutama yang
memanfaatkan teknologi informasi, yang
hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
mempunyai kedudukanan sosial tertentu
(white collar crime) sehingga diperlukan
kebijakan kriminalisasi dan penalisasi
8. Over Criminalization
Over Criminalization adalah keadaan dimana perbuatan-
perbuatan tertentu yang telah dipandang sebagai
“perbuatan biasa” oleh masyarakat, tetapi masih
dinyatakan sebagai tindak pidana
Over Criminalization boleh jadi timbul karena perubahan
cara padang masyarakat tentang suatu perbuatan,
misalnya dari “kejahatan” menjadi “perilaku
menyimpang” (deviation behaviour) sehingga dipandang
perlu pendekatan-pendekatan baru untuk
menanggulanginya selain dengan hukum pidana atau
perlu “treatment” baru selain bentuk-bentuk pemidanaan
yang ada
Over Criminalization dapat pula terjadi karena perobahan
masyarakat tentang sifat tercelanya suatu perbuatan,
sehingga jika menurut pandangan lama merupakan
sesuatu yang “kriminal” sedangkan menurut pendekatan
baru justru bersifat “legal”, sehingga perlu dikeluarkan
dari ruang lingkup hukum pidana
9. Over Criminalization...
Over Criminalization dapat juga sebagai lanjutan
dari perubahan kebijakan negara, sehubungan
dengan perubahan bentuk negara (federatif kepada
negara kesatuan atau sebaliknya), perubahan pola
hubungan pusat-daerah (sentralistis kepada
otonomi daerah) perubahan sistem pemerintahan
(otoriter kepada demokratis), atau perubahan
kebijakan perekonomian negara (ekonomi tertutup
menuju ekonomi pasar).
Over Criminalization dapat juga timbul karena
perubahan atau kecenderungan global atau
perkembangan dalam masyarakat internasional,
baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan/keamanan
10. Under Legislation
Under Legislation in criminal matters adalah keadaan
dimana perbuatan-perbuatan tertentu yang telah
dipandang sebagai “kriminal” oleh masyarakat, tetapi
masih belum dinyatakan sebagai tindak pidana
Under Legislation in criminal matters boleh jadi timbul
karena perkembangan teknologi, misalnya dengan
adanya modus dan objek kejahatan baru, seperti cyber
crime, dimana peraturan perundangn-undangan yang
berlaku belum “adekwaat” apabila dibandingkan dengan
perkembangan yang ada.
Under Legislation in criminal matters dapat pula terjadi
karena perobahan dalam pergaulan internasional, seperti
menguatnya penghormatan terhadap hak asasi manusia
(gross violation of human rights), kesadaran akan
pentingnya kelestarian lingkungan, ataupun
demokratisasi
11. Criminalization dan
Decriminalization
Criminalization adalah proses
penetapan suatu perbuatan yang
tadinya dipandang legal menjadi
suatu tindak pidana
Decriminalization adalah proses
penetapan suatu perbuatan yang
tadinya sebagai tindak pidana
menjadi suatu perbuatan yang
legal.
12. Penalization dan Depenalization
Penalization adalah proses penetapan
suatu sanksi, dari sanksi non hukum
pidana menjadi sanksi pidana atau
dari sanksi pidana yang lebih ringan
menjadi sanksi pidana yang lebih
berat
Depenalization adalah proses
penetapan sanksi dari sanksi pidana
yang berat menjadi sanksi pidana
yang lebih ringan atau dari sanksi
pidana menjadi sanksi non hukum
pidana
13. Trend of Criminalization
Criminalization berpangkal tolak dari
berbagai persoalan:
1. Perobahan yang terjadi dalam organisasi
sosial dan ekonomi.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknogi
3. Harmonisasi perundang-undangan dengan
negara-negara satu kawasan atau seluruh
dunia.
4. Perlindungan lingkungan global sebagai
wujud perencanaan kelangsungan di bumi.
5. Penyempitan dan Perluasan Pemidanaan
14. Trend of Decriminalization
Decriminalization berpangkal tolak dari berbagai persoalan:
1. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika
kelakukan tersebut untuk selanjutnya dilihat sebagai
sesuatu yang legitim.
2. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan
apabila ada pendapat lain mengenai peranan negara
yang mengakibatkan bahwa negara tidak perlu lebih
jauh mencampuri beberapa kepentingan tertentu.
3. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika
fungsionalisasi hukum pidana (upayanya) lebih jelek jika
dibandingkan dengan keadaan yang dihadapi.
4. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan
apabila telah ditemukan suatu cara lain bereaksi yang
lebih baik daripada cara menurut hukum pidana.
15. Kebijakan Yudikatif dalam
Bidang Hukum Pidana
Pengkajian terhadap Kebijakan
Yudikatif dalam bidang Hukum Pidana
terutama difokuskan pada dua hal:
1.Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System), baik sistem dalam arti
abstrak maupun dalam arti konkrit.
2.Administrasi Peradilan Pidana Criminal
Justice Administration), baik dalam arti
kewenangan maupun pengelolaannya.
16. Kebijakan Yudikatif Terhadap
Sistem Peradilan Pidana
Kebijakan Yudikatif terhadap Sistem Peradilan Pidana
terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan untuk meningkatkan keterpaduan Sistem
Peradilan Pidana (Integreated Criminal Justice System),
baik keterpaduan diantara subsistem dalam CJS, maupun
keterpaduan antara CJS dengan sistem peradilan lainnya.
2. Kecenderungan untuk meningkatkan Fleksibilitas Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System Flexibility), baik
dalam tahap penyidikan (misalnya police waiver), dalam
tahap penuntutan (prosecutor diversion), dalam tahap
pemeriksaan dimuka pengadilan (judge discretion)
17. Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi
Peradilan Pidana dalam tahap Penyidikan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap
penyidikan terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan meningkatnya difersivikasi (meragamnya)
kewenangan menyidik, sehingga potensial terjadinya sengketa
wewenang menyidik. Misalnya, dalam penyidikan tindak pidana korupsi
yang menjadi kewenangan KPK, Polri dan Kejaksaan RI.
2. Kecenderungan meningkatnya pembentukan penyidik khusus
(Misalnya: Penyidik BPOM, Penyidik Bea dan Cukai, Penyidik Pajak,
Penyidik Pasar Modal, Penyidik Perikanan, Penyidik TNI AL, Penyidik
Daerah dll) berhadap-hadapan dengan penyidik Polri juga berpotensi
terjadinya benturan kepentingan atau infektivitas dalam penyidikan.
Misalnya, penyidikan atas tindak pidana yang terjadi di laut antara
Penyidik POLAIRUD, Penyidik TNI AL, dan Penyidik Perikanan.
3. Kecenderungan meningkatnya interdependensi antara penyidik (CJS)
dengan lembaga-lembaga non-yudisial. Misalnya, interdependensi
antara penyidik Polri dan PPATK dalam tindak pidana pencucian uang
atau interdependensi antara penyidik Kejaksaan RI dan KOMNAS HAM
dalam tindak pidana pelanggaran HAM berat.
18. Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi
Peradilan Pidana dalam tahap Penuntutan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap
penuntutan terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan meningkatnya motiv/latar belakang konflik politik yang
berujung pada penuntutan pidana.
2. Kecenderungan meningkatnya intervensi pejabat struktural terhadap
pejabat teknis yang memiliki kewenangan (fungsional) penuntutan
Misalnya, adanya keharusan RENTUT dalam mengajukan “Tuntutan”
(Requisitoir) dalam pelaksanaan penuntutan perkara pidana.
3. Kecenderungan meningkatnya pencampuadukan penilaian peran antara
saksi dan ahli dalam pembuktian perkara pidana. Misalnya, dalam
pembuktian tindak pidana korupsi auditor cenderung dipandang ahli
daripada saksi atau sebaliknya.
4. Kecenderungan meningkatnya penggunaan undang-undang khusus
sebagai “multipurposes act” dalam pelaksanaan penuntutan perkara
pidana. Misalnya, penggunaan UU Korupsi untuk Tindak Pidana
dibidang Kepabeanan, Tindak Pidana dibidang Perbankan, Tindak
Pidana dibidang Perpajakan, Tindak Pidana dibidang Kehutanan.
19. Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan
Pidana dalam tahap Pemeriksaan di Muka Persidangan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap
pemeriksaan di muka persidangan terutama ditandai oleh adanya:
1. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) putusan pidana
dalam perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu orang
(penyertaan). Misalnya dalam tindak pidana korupsi dalam perumusan,
penetapan dan pelaksanaan APBD
2. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam
perkara-perkara pidana yang sebenarnya hampir sama tetapi diputus
oleh pengadilan-pengadilan yang berbeda. Misalnya, tindak pidana
narkotika dan psikotropika di Pengadilan Negeri Tangerang dan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau tindak pidana korupsi di
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) dan
Pengadilan Negeri pada umumnya.
3. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam
perkara yang mendapat perhatian besar dari masyarakat dan perkara
yang sama tetapi tidak mendapat perhatian yang signifikan dari
masyarakat.
20. Kebijakan Eksekutif
Dalam Bidang Hukum Pidana
Hukum Pidana Indonesia menganut Double
Track System (Sistem Dua Jalur), sehingga
Kebijakan Eksekutif dalam bidang hukum
pidana diarahkan pada dua sektor:
1. Kebijakan Eksekutif terhadap
fungsionalisasi/operasionalisasi pidana (straf),
baik pidana pokok maupun pidana tambahan.
2. Kebijakan Eksekutif terhadap
fungsionalisasi/operasionalisasi tindakan
(matreegeel), baik yang terdapat dalam KUHP
maupun di luar KUHP.
21. Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Pokok
Kebijakan fungsionalisasi/operasionalisasi pidana pokok ditandai
dengan berbagai kecenderungan:
1. Abolisionisasi atau Empowerment pidana mati.
2. Maksimalisasi penggunaan pidana penjara dan pembentukan
pidana lain sebagai pengganti pidana penjara.
3. Defungsionalisasi “pidana tutupan”. Pidana tutupan adalah pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap pembuat tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara, tetapi melakukan perbuatan
tersebut untuk maksud yang patut dihormati
4. Defungsionalisasi pidana kurungan, karena nyaris tidak ada
perbedaan dengan pidana penjara
5. Menempatkan pidana denda pada posisi “second line” termasuk
terhadap tindak pidana yang behubungan dengan
keuangan/perekonomian.
22. Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Mati
Umumnya dibedakan empat kelompok negara terhadap pidana
mati, yaitu: (1) negara yang telah menghapuskan pidana
mati secara de jure; (2) negara yang telah menghapuskan
pidana mati secara de facto tetapi masih menerapkannya
secara de jure karena masih mencantumkannya dalam
peraturan perundang-undangannnya; (3) negara yang masih
memberlakukan pidana mati, baik secara de jure maupun de
facto; (4) negara yang secara de jure menghapuskan pidana
mati tetapi secara de facto masih memberlakukannya;
Indonesia adalah negara yang menghapuskan pidana mati
secara de facto tetapi tidak secara de jure, karena eksekusi
pidana mati dibawah 10%;
Meningkatnya fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana adminstratif (misalnya narkoba) dan terhadap
tindak pidana khusus (misalnya terorisme), sedangkan
fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
umum cenderung menurun ;
23. Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Penjara
Keadaaan umum Prison di berbagai negara termasuk
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia cenderung melebihi
daya tampung (over capacity), sehingga fokus dari penal
policy di berbagai negara adalah upaya mengatasinya
dengan berbagai cara:
1. Amesti umum untuk pidana penjara kurang dari tiga bulan;
2. Mengganti pidana penjara singkat waktu (short time
sentence) yang tidak lebih dari enam bulan dengan berbagai
alternatif;
3. Penerapan night only dan weekend detention;
4. Penerapan Community Service Order (Pidana Kerja Sosial);
5. Penerapan pidana denda sebagai model eksekusi pidana
penjara;
6. Pembentukan Penjara Khusus (Misalnya: Khusus Pecandu
Narkotika) dan pelaksanaan sistem pemenjaraan dalam
bentuk khusus seperti “sistem penjara terbuka” (open prison)
24. KebijakanFungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Denda
Kelemahan dan dampak stigmatisasi pidana
perampasan kemerdekaan seharusnya mendorong
menguatnya maksimalisasi pidana denda, tetapi di
Indonesia kecenderungan sangat bervariasi;
Terhadap tindak pidana dalam KUHP pidana denda
nyaris tidak lagi diterapkan karena tidak mempunyai
efek jera akibat ancaman yang terlalu ringan;
Terhadap tindak pidana di luar KUHP pidana denda
diterapkan secara alternatif/kumulatif dengan pidana
penjara/kurungan;
Pidana denda diancamkan bagi korporasi tetapi tidak
ditentukan alternatif apabila denda tidak dibayar
sehingga dapat menjadi non applicable;
25. Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Pidana Tambahan
Penggunaan pidana tambahan khususnya yang
ditentukan di luar KUHP menunjukkan kecenderungan
yang meningkat;
Dalam tindak pidana korupsi terdapat pidana tambahan
berupa “pembayaran uang pengganti”;
Pidana tambahan “pembayaran uang pengganti”
cenderung diterapkan sebagai “pembayaran ganti
kerugian”. Dalam hal ini pidana tambahan
“pembayaran uang pengganti” bukan hanya ditetapkan
terhadap sejumlah uang yang diperoleh terdakwa dari
tindak pidana korupsi, tetapi juga seluruh “kerugian”
dari tindak pidana tersebut;
Terdapat problem yuridis serius dalam hal “pembayaran
uang pengganti” ini tidak dapat dipenuhi oleh
Terpidana, apakah dapat diganti dengan “pidana pokok”
padahal ini hanyalah pidana tambahan ataukah dapat di
“putihkan” tanpa putusan pengadilan.
26. Kebijakan Fungsionalisasi/
Operasionalisasi Tindakan
Penggunaan tindakan sebagai
sarana non penal masih minim
digunakan;
Tindakan terkadang mempunyai
efek “detterence” yang lebih tinggi
daripada pidana tetapi dapat
mengurangi impak stigmatisasi
dari suatu sanksi;
27. Analisis Kebijakan
dan Kebijakan Kriminal
Kebijakan kriminal sebagai sebuah disiplin juga
menggunakan medote analisis tertentu, yang pada
umumnya merupakan bagian dari “analisis kebijakan”
dalam arti luas;
Analisis kebijakan dalam arti luas dibedakan antara
analisis kebijakan sebagai seni praktek dan analisis
kebijakan sebagai ilmu. Dalam pada itu Kebijakan
kriminal cenderung lebih ditempatkan sebagai ilmu
daripada sebagai seni praktek;
Walaupun demikian analisis kebijakan kriminal juga
dapat ditempatkan sebagai seni praktek sepanjang
analist-nya mempunyai kedudukan sebagai
pengambil kebijakan dalam bidang hukum pidana itu
sendiri;
28. Kebijakan Kriminal
dalam kuadran analisis kebijakan sebagai bagian dari
Kuadran Teknis dari Perspektif Administrator atau Teknokrat
Kuadran
politis
Kuadran
Deliberative
Kuadran
Teknis
Kuadran
Strategis
Stakeholder perspective
Policy Analist perspective
Politician’s
perspective
Administrator/
Technocrat
perspective
29. Analisis Kebijakan Kriminal Sebagai Ilmu
Kebijakan kriminal sebagai ilmu mempunyai filosofi
dan grand theory-nya sendiri;
Dasar filosofi analisis kebijakan kriminal adalah
falsafah telelogis (kebijakan harus mengacu pada
tujuan) dan falsafat deontologis (pencapaian tujuan
dilakukan dengan proses yang benar);
Analisis Kebijakan kriminal berpangkal tolak dari
grand theory tentang sistem hukum. Friedmann
misalnya mengetengahkan tiga kombinasi dasar dari
sistem hukum, yaitu substance, structure dan
culture;
30. Identifikasi Analisis Kebijakan
Studi Analisis Kebijakan dapat diidentifikasi
kedalam berbagai bidang kajian (studi),
yaitu:
1. Analisis untuk merumuskan kebijakan
2. Analisis untuk memprediksi impak kebijakan
3. Analisis untuk memperbaiki isi kebijakan
4. Analisis untuk memperbaiki pelaksanaan
kebijakan
5. Analisis untuk memperbaiki proses kebijakan
31. Kebijakan Kriminal
dalam Penelitian tentang Kebijakan
Analisis Kebijakan kriminal terhadap
kebijakan legislastif merupakan penelitian
tentang Isi Kebijakan (policy contents)
Analisis Kebijakan kriminal terhadap
kebijakan yudikatif merupakan penelitian
tentang Proses Kebijakan (policy process)
Analisis Kebijakan kriminal terhadap
kebijakan eksekutif merupakan penelitian
tentang Hasil Kebijakan (policy outputs)
32. Langkah-langkah Menlakukan Analisis
Kebijakan Kriminal
Analisis kebijakan kriminal dilakukan dengan
langkah-langkah:
1. Menemukenali isu kebijakan kriminal;
2. Menetapkan isu kebijakan kriminal;
3. Melakukan analisis-evaluasi kebijakan kriminal;
4. Melakukan penilaian dan uji hasil sementara analisis
kebijakan terpilih;
5. Melakukan uji impak kebijakan kriminal;
6. Menyusun penilaian altenatif kebijakan kriminal;
7. Menetapkan alternatif kebijakan kriminal terpilih;
8. Menyampaikan hasil analiasis kebijakan kriminal;
9. Mendampingi proses perumusan kebijakan kriminal;
10. Mengawasi proses implementasi kebijakan kriminal;
11. Melakukan evaluasi “pasca kebijakan” kriminal;