2. Anamnesis
• Identitas Pasien
– Nama, umur, Jenis Kelamin, alamat, pekerjaan, agama, status
pernikahan
• Keluhan utama
– Apakah ada gejala hidung tersumbat yang berlangsung lama?
– Apakah disertai dengan mimisan pada satu sisi hidung dan
bersifat berulang ?
– Apakah ada gejala nyeri kepala?
– Apakah ada keluhan bengkak di wajah ?
– Apakah pasien merasa mata tampak lebih menonjol?
– Apakah ada gejala keluar cairan dari hidung? Penurunan fungsi
penghidu?
– Apakah ada penurunan fungsi pendengaran dan nyeri pada
telinga?
3. Lanjutan
• Riwayat Berobat
– Sebelumnya sudah berobat ? Bila sudah berobat
ke mana dan minum obat apa dan patuh terhadap
obatnya?
• Riwayat Penyakit Dahulu
– Apakah dahulu pernah mengalami keluhan
serupa?
– Apakah ada DM, Hipertensi?
4. Lanjutan
• Riwayat Penyakit Keluarga
– Apakah ada keluarga pernah mengalami keluhan
serupa?
– Apakah ada DM, Hipertensi?
• Riwayat Alergi
– Makanan
– obat
5. Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum :
Kesadaran : compos mentis
Kesan sakit : ringan/sedang/berat?
– Status Gizi : BB, TB, BMI
• Tanda – tanda vital :
Tekanan darah
Nadi
Respirasi
Suhu
6. Pemeriksaan Fisik
• Kepala :
Wajah: bentuk dan ukuran simetris
Mata : konjungtiva? Sklera? Nistagmus?
Telinga :
Meatus acusticus externus, canalis acusticus (mukosa, serumen,
sekret)?
Membran timpani?
Hidung : Mukosa hiperemis? Deviasi septum nasi? Nyeri tekan
daerah sinus paranasal?
Rhinoskopi anterior : Mukosa hiperemis/ edema? Sekret?
Hipertrofi konka?
Rhinoskopi posterior : apakah koana tampak penuh? Apakah
ada masa di bagian posterioi? Epistaksis posterior? Apakah ada
masa di nasofaring?
Mulut : mukosa, ukuran dan permukaan tonsil? mukosa faring?
Mukosa lidah ?
7. Pemeriksaan Fisik
• Leher : letak trakea sentral? KGB membesar?
• Thoraks
Pulmo
Inspeksi :bentuk dan pergerakan?
Palpasi : bentuk dan pergerakan, taktil fremitus?
Perkusi : Sonor?
Auskultasi : VBS kanan dan kiri, suara nafas tambahan,
vocal fremitus, wheezing? Ronchi?
Cor :
Inspeksi : ictus cordis
Palpasi : ictus cordis
Perkusi : batas – batas jantung
Auskultasi : bunyi jantung S1, S2, murmur
10. Usulan Pemeriksaan Penunjang
• CT Scan dengan kontras
– Tanda Holman Miller ( pendorongan fossa
pterigoideus ke belakang sehingga fissura
pterigopalatina akan melebar)
• Foto Kepala Anteroposterior, lateral dan
waters
• Angiografi Arteri karotis eksterna
• Biopsi setelah pengangkatan tumor
11. Penatalaksanaan
• Tindakan penatalaksanaan dilakukan bila sudah mengetahui
gradingnya.
• Bila stadium I dan II pengobatan hormonal dapat diberikan
dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid) atau di
ekstirpasi tumor
• Bila stadium III dan IV ekstirpasi tumor atau tindakan
Endoscopy Eksisi
13. Definisi
• Angiofibroma Nasofaring Belia / Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) adalah
tumor jinak pembuluh darah yang secara
histologi bersifat jinak, secara klinis bersifat
ganas karena memiliki kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan
sekitar, serta mudah berdarah dan sulit
dihentikan
14. Insidensi
• Biasa terjadi pada remaja dan dewasa muda
(14 – 25 tahun).
• Laki laki >>>, karena tinggi kadar ekspresi
reseptor androgen, karena JNA bergantung
pada androgen.
• 0,5% tumor Kepala leher dengan
perbandingan 1 : 150.000 individu.
15. Klasifikasi
• Berdasarkan klinis dan radiologi :
– Tipe I
• Lokasi di kavitas nasal, sinus paranasalis, nasofaring
atau fossa pterigopalatina
– Tipe II
• Menyebar ke fossa infratemporal, are buccal, atau
cavitas orbita dengan penyebaran sampai ke fossa
cranii anterior dan atau minimal ke fossa cranii media
tanpa menyebar ke duramater.
– Tipe III
• Menyebar hingga fossa cranii media
16. ETIOLOGI
• Unknown
• Teori yang yang sekarang teori hormonal
– JNA mengekspresikan kadar reseptor hormon
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang
sangat tinggi yang normalnya berada pada mukosa
nasal, sehingga JNA akan semakin bertumbuh.
– Teori genetika delesi kromosom 17 termasuk
tumor supresor gen p53.
17. Pola pertumbuhan tumor
• Tumor bersifat infiltratif dan biasanya penyebaran
berdasarkan penempelan tumor di nasofaring dan
jaringan sekitarnya. Tumor pertama tumbuh di mukosa
posterior dan lateral koana (atap nasofaring) meluas
ke bawah mukosa mencapai posterior septum dan
meluas ke atap rongga hidung posterior
• Perluasan anterior mengisi rongga hidung,
mendorong septum ke sisi kontralateral dan
memipihkan konka.
• Perluasan ke lateral melebar ke foramen
sphenopalatina lalu ke fossa pterigopalatina dan
mendesak posterior sinus maksila.
• Meluas lebih masif ke fossa infratemporal dan
menimbulkan benjolan di pipi bahkan ke mata (muka
kodok)
18. Diagnosis
• Anamnesis
– Obstruksi nasal (80 – 90%)
– Epistaksis (45 – 60%) biasanya unilateral dan
rekuren. Severe epistaksis.
– Nyeri kepala (25%) jika sinus paranasal tertutup.
– Bengkak wajah (10-18%)
– Gejala lainnya unilateral rinore, anosmia
hiposmia, ketulian, otalgia, bengkak di palatum,
deformitas tulang
19. Diagnosis
• Pemeriksaan Fisik
– Rinoskopi posterior
• Masa tumor kenyal dengan warna bervariasi (merah,
abu)
• Bagian tumor dekat nasofaring berselaput lendir ungu,
yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih abu.
• Usia muda metah muda, usia tua kebiruan (karena
lebih banyak komponen fibroma) .
• Mukosa hipervaskularisasi, dan sering ulserasi
20. Diagnosis
• Pemeriksaan Penunjang
– CT Scan dengan kontras
• Gambaran soft tissue tumor yang muncul dari
nasofaring atau dinding lateral hidung.
• Terkadang di fossa pterigopalatina (jarang)
– MRI
– Biopsi
• Makroskopik : berbentuk sesil, lobulus, elastis, dan
berwarna merah muda sampai abu abu.
• Mikroskopis : berkapsul dan berkomponen jaringan
vaskular dan stroma fibrosa dengan serat kolagen.
Pembuluh darah mengalami penipisan , kurang serat
elastis, memiliki jaringan otot polos yang tidak komplit
serta berbentuk ste;at karena kompresi stroma.
21. Potongan koronal CT SCAN
Terdapat masa yang mengisi kavitas
nasal sebelah kiri dan sinus
ethmoidales, memblok sinus
maksila dan deviasi septum nasi ke
kanan
Gambaran aksial CT Scan
dengan keterlibatan lesi di
kavitas nasal kanan dan sinus
paranasal
22. Staging menurut Session
Stadium IA terbatas di nares posterior/ nasofaring
Stadium IB Meliputi nares posterioir dan atau
nasofaringeal dengan meluas sedikitnya 1
sinus paranasalis
Stadium IIA meluas ke fossa pterigomaksila
Stadium IIB tumor memenuhi fossa pterigomaksila
tanpa mengerosi tulang orbita
Stadium IIIA tumor mengerosi dasar tengkorak dan
meluas sedikit ke intrakranial
Stadium IIIB meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
meluas ke sinus kavernosus
23. Staging menurut Fisch
• Stadium I
– Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa
mendestruksi tulang
• Stadium II
– Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus
paranasal dengan mendestruksi tulang
• Stadium III
– Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan
atau regio paraselar
• Stadium IV
– Tumor mengivasi sinus kafernosus, regio chisama
optikum, dan atau fossa pituitary
24. Penatalaksanaan
• Ekstirpasi Tumor primary Treatment
• Lesi kecil Maxillectomy melalui lateral rhinotomy atau insisi degloving
midfacial.
• Bila menyebar keluar nasofaring sampai sinus paranasal osteotomy Le
Fort Tipe I (akan mencapai maksila dan sinus ethmoid dan canalis
pterigopalatina.
• Lesi besar (mencapai fossa infratemporal) facial transplantasi dengan
memberi akses ventilasi besar.
• Eksisi endoskopi (untuk stadium III) untuk mencapai rongga intranasal.
Low rekurensi. Terutama bila dikombinasi antara open dan proses
endoskopi.
• Preoperatif dapat dilakukan dengan embolisasi aliran darah menuju tumor
untuk mengurangi risiko perdarahan intraoperatif
• Terapi hormonal
– Reseptor testosteron bloker : Flutamide berespon 44% pada tumor stage I dan II.
• Radioterapi (3000 cGY Radiation)
– Dilakukan bila mengalami rekurensi setelah operasi dan menyebar ke intrakranial.