Dokumen tersebut membahas tentang konsep mutu dan keselamatan pasien di fasilitas kesehatan. Secara singkat, dibahas mengenai standar-standar mutu pelayanan kesehatan yang meliputi hak pasien, pendidikan pasien, kesinambungan pelayanan, dan penggunaan metode peningkatan kinerja untuk mengevaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien.
2. Nama : dr. Tjahjono Kuntjoro MPH, DrPH
Jabatan : Dir SDM & PP RS Ken Saras
Riwayat Pendidikan :
Dokter – FK UGM 1980
MPH - Univ of Hawaii 1989
DrPH - Univ of Hawaii 1996
Riwayat Pekerjaan:
Ka Puskesmas di Kab Purworejo 1981 – 1987
Widyaiswara BLKM Salaman : 1987 – 1993
Ka Bapelkes Gombong: 1993 – 2009
Ka Bid K2PK Din Kes Prov Jateng 2009 – 2010
Dir Umum & SDM RS Ken Saras 2010 – 2013
Direktur Utama RS Ken Saras 2014 – 2020
Dir SDM & PP RS Ken Saras 2020 – sekarang
HP/WA : 0811282500
10. Quality (IOM, 2001)
The degree to which health
services for individuals and
populations increase the likelihood
of desired health outcomes and
are consistent with current
professional knowledge
11. PENGERTIAN
MUTU LAYANAN KESEHATAN
“Tingkat layanan kesehatan untuk individu
dan masyarakat yang dapat meningkatkan
luaran kesehatan yang optimal, diberikan
sesuai dengan standar pelayanan, dan
perkembangan ilmu pengetahuan terkini,
serta untuk memenuhi hak dan kewajiban
pasien”.
Bandingkan dengan
Definisi dari IOM (Institure of Medicine)
20. TEORI EDWARD W. DEMING
DALAM PEMECAHAN MASALAH
UNSUR PDSA PDCA
Masalah
Masalah kompleks adalah
yang terdiri dari banyak
faktor penyebab
Masalah sederhana
adalahmasalah yang satu
penyebab
Fokus Pembelajarandan
peningkatanmutu
Perubahan dan kepatuhan
terhadap standar
Periode
Waktu
Perlu uji coba
Membutuhkan waktu
cukup lama, (maksimum 6
bulan)
Waktu singkat
(Few minute_less than
one month)
Proses
Pelaksanaan
1. Identifikasi masalah
2. Kumpulkandata bukti
3. Analisa masalah-sebab
4. Rencana Ujicoba
5. Ujicoba
6. Pelajarihasilnya
7. Tindaklanjut ke unit
kerja lainnya
1. Identifikasi masalah
2. Analisa masalah
3. Rencana solusi
4. Kerjakan
5. Cek hasilnya
6. Lakukan untuk
seterusnya
PerbedaanantaraPDCA denganPDSA
PDSA
31. History of Quality
Management
Gerakan mutu sudah dimulai sejak abad 13 di Eropa
diantara pada serikat pengrajin yang menetapkan
ketentuan-ketentuan yang ketat untuk produk dan
layanan yang disediakan. Agar ketentuan-ketentuan
yang ketat tersebut diterapkan dengan baik, maka
dilakukan inspeksi. Pendekatan dalam pengelolaan
mutu ini berlanjut sampai dengan masa revolusi
industry pada awal abad 19, yang dikenal dengan
model inspeksi.
32. Gerakan mutu di Eropa pada masa tersebut juga
diikuti oleh gerakan mutu di Amerika, tetapi pada akhir
abad 19, Taylor mencetuskan pendekatan yang baru
dalam manajemen yang menekankan pada
peningkatan produktivitas tanpa diimbangi dengan
peningkatkan keterampilan dari para pekerja.
Peningkatan produktivitas tersebut ternyata berakibat
pada turunnya mutu, sehingga model inspeksi tetap
diterapkan dengan dibentuknya unit kerja khusus yang
melakukan inspeksi.
33. Setelah Perang Dunia kedua, mutu menjadi komponen
yang sangat penting di Amerika terutama pada
peralatan militer yang harus aman pada saat
dioperasikan, dan berkembang penerapan tehnik
statistik untuk pengendalian mutu melalui pelatihan-
pelatihan yang dilakukan oleh Shewhart.
Pada awal abad 20 mulai diperkenalkan oleh
Shewhart tentang pengendalian proses, perhatian
tidak hanya pada produk akhir, tetapi juga terhadap
proses yang menghasilkan produk tersebut, maka
berkembang pendekatan yang baru, yaitu
pengendalian mutu. Metoda pengendalian mutu
tersebut diterapkan baik di Amerika maupun Jepang
oleh Deming.
34. Jepang dalam upaya memperbaiki mutu terbuka
dengan konsep-konsep yang dikembangkan oleh
Amerika, dan memanfaatkan tenaga ahli mutu, yaitu
Deming dan Juran, dan berkembang pendekatan baru
yang disebut dengan “Total Quality Management”.
Pendekatan tersebut tidak hanya tergantung kepada
inspeksi, tetapi juga berfokus pada perbaikan proses
melalui orang-orang yang bekerja pada proses
tersebut. Pendekatan ini mendorong Jepang untuk
memproduksi barang-barang dengan kualitas ekspor
dengan harga yang lebih rendah. Pada masa tersebut
berkembang “Quality Circle” yang diterapkan
diberbagai industry di Jepang, termasuk industry
otomotif.
35. Pada awalnya Amerika menganggap bahwa keberhasilan
Jepang karena menjual dengan harga yang lebih rendah,
tetapi dengan berkembangnya persaingan pasar, para
pimpinan industry di Amerika mengadopsi pendekatan
tersebut. Pendekatan Total Quality Management berlanjut
dilaksanakan oleh berbagai negara sampai dengan akhir
abad 20.
Inisiatif untuk peningkatan mutu juga diikuti oleh standarisasi
yang diinisiasi oleh International Organization for
Standardization dengan diterbitkannya seri Standar ISO 9000
pada tahun 1987 untuk standar system manajemen mutu,
yang kemudian berkembang dengan versi-versi terbaru dari
standar system manajemen mutu tersebut .
https://asq.org/quality-resources/history-of-quality
36. Perkembangan mutu pelayanan Kesehatan di Indonesia
dimulai pada sekitar tahun 1990 dengan pendekatan Total
Quality Management dengan diterapkannya Gugus Kendali
Mutu di berbagai rumah sakit, yang kemudian juga diikuti
penerapan di Puskesmas. Banyak rumah sakit dan
puskesmas, bahkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
melakukan standarisasi system manajemen mutu dengan
mengikuti sertifikasi ISO 9000. Upaya perbaikan mutu
tersebut kemudian didorong dengan diterapkannya akreditasi
rumah sakit mulai dari tahun 1995 sampai sekarang, dan
diikuti juga dengan dimulainya penerapan akreditasi fasiltas
pelayanan Kesehatan tingkat pertama pada tahun 2014
39. Quality 4.0 represents an opportunity to utilize
those Industry 4.0 technologies to realign
quality functions with broader organizational
strategy.
Developing an effective Quality 4.0 strategy will enable
organizations to address long-standing quality issues
Quality 4.0 presents an opportunity for organizations
to review the root causes of current barriers to quality
success, and engage in strategic planning to explore
how new technologies and the advantages they
deliver – such as improved data transparency and
high quality data-driven insights – can be leveraged to
achieve a culture of excellence.
40.
41.
42.
43.
44.
45. Quality 4.0 is the digitalization of quality,
management systems and compliance. It
does not focus exclusively on the technology itself, but rather on
the improvements in culture, collaboration,
competency and leadership that are produced by those
technologies.
it basically includes, but is not limited to, quality
engineering, quality management systems,
quality control and quality assurance. Quality 4.0
integrates all these elements utilizing new technologies
that can be integrated into management systems,
certifications, and more.
(Quality Resource Center)
56. PMK No 11 tahun 2017 tentang
Sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman:
asesmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
KESELAMATAN PASIEN
57. Pasal 5:
Ayat 1. Setiap Faskes wajib menyelenggarakan keselamatan pasien
Ayat 2. Pembentukan sistem pelayanan yang menerapkan:
a. Standar keselamatan pasien
b. Sasaran keselamatan pasien
c. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien
58. Ayat 3: Sistem Pelayanan tsb menjamin:
Asuhan pasien lebih aman
Pelaporan dan analisis insiden
Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera
59. Ps 5 ay 4: 7 Standar Keselamatan Pasien:
1. Hak pasien
2. Pendidikan bagi pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dalam
kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metod peningkatan kinerj
untuk melakukan evaluasi dan
peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam
meningkatkan keselamatan pasien
6. Pendidikan staf tentang keselamatan
pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf
untuk mencapai keselamatan pasien
60. Ps 5 ay 5:
6 Sasaran Keselamatan Pasien:
1. Identifikasi pasien dengan benar
2. Komunikasi efektif
3. Meningkatkan keamanan obat yang
harus diwaspadai
4. Memastikan lokasi pembedahan yang
benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang bena
5. Mengurangi risiko infeksi akibat
perawatan kesehatan
6. Mengurangi risiko cedera pasien
akibat terjatuh
61. Ps 5 ay 6: 7 langkah menunju keselamatan
pasien:
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Memimpin dan mendukung staf
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Mengembangkan sistem pelaporan
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
62. 1. Standar hak pasien: merupakan
hak pasien dan keluarganya untuk
mendapatkan informasi tentang
diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis,
alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi,
prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan, dan perkiraan biaya
pengobatan (Ps 6)
Kriteria standar hak pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
harus ada dokter penanggung
jawab pelayanan;
rencana pelayanan dibuat oleh
dokter penanggung jawab
pelayanan; dan
penjelasan secara jelas dan benar
kepada pasien dan keluarganya
dilakukan oleh dokter penanggung
jawab pelayanan.
63. 2. Standar Pendidikan pada pasien : mendidik pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien (Ps 7)
3. Standar Kesinambungan pelayanan: kesinambungan :
upaya fasilitas pelayanan kesehatan di bidang Keselamatan
Pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. (Ps 8)
4. Standar penggunaan metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan Keselamatan
Pasien merupakan kegiatan mendesain proses baru atau
memperbaiki proses yang telah ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis
insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta Keselamatan Pasien.
64. 5. Standar peran kepemimpinan dalam meningkatkan
Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (4) huruf e merupakan kegiatan pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dalam:
mendorong dan menjamin implementasi Keselamatan
Pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui
penerapan tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien;
menjamin berlangsungnya kegiatan identifikasi risiko
Keselamatan Pasien dan menekan atau mengurangi insiden
secara proaktif;
menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
Keselamatan Pasien;
mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk
mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja fasilitas
pelayanan kesehatan serta meningkatkan Keselamatan
Pasien; dan
mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusi setiap
unsur dalam meningkatkan kinerja fasilitas pelayanan
kesehatan dan Keselamatan Pasien.
65. 6. Standar pendidikan kepada staf tentang Keselamatan Pasien
merupakan kegiatan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan
pasien.
7. Standar komunikasi merupakan kegiatan fasilitas pelayanan
kesehatan dalam merencanakan dan mendesain proses
manajemen informasi Keselamatan Pasien untuk memenuhi
kebutuhan informasi internal dan eksternal yang tepat waktu dan
akurat.
66. Insiden Keselamatan Pasien (Ps 14)
KTD : Kejadian Tidak Diharapkan
Insiden yang mengakibatkan cedera pada
pasien.
KTC : Kejadian Tidak Cedera
Insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak
timbul cedera.
KNC : Kejadian Nyaris Cedera
terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke
pasien.
KPC : Kondisi Potensial Cedera
kondisi yang sangat berpotensi untuk
menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi
insiden.
67. Kejadian sentinel (Ps 15)
merupakan suatu Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
yang mengakibatkan kematian, cedera permanen, atau
cedera berat yang temporer dan membutuhkan
intervensi untuk mempetahankan kehidupan, baik fisik
maupun psikis, yang tidak terkait dengan perjalanan
penyakit atau keadaan pasien.
68. Pasal 16 ayat 2:
Penanganan Insiden di fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pembentukan tim Keselamatan Pasien yang ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan sebagai pelaksana kegiatan penanganan Insiden.
Pasal 17 ayat 1 & 2:
(1) Tim Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) bertanggung
jawab langsung kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Keanggotaan Tim Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri
atas unsur manajemen fasilitas pelayanan kesehatan dan unsur klinisi di fasilitas pelayanan kesehatan.
69. Patient safety culture
Just culture refers to a values-supportive model of shared
accountability. It's a culture that holds organizations accountable for
the systems they design and for how they respond to staff
behaviors fairly and justly.
In turn, staff members are accountable for the quality of their
choices and for reporting both their errors and system
vulnerabilities (Griffith, 2009).
A just culture recognizes that individual practitioners should not be
held accountable for system failings over which they have no
control.
A just culture also recognizes that many individual or active errors
represent predictable interactions between human operators and
the system in which they work. However, in contrast to a culture
that touts no blame as its governing principle, a just culture does
not tolerate conscious disregard of clear risks to patients or gross
misconduct, such as falsifying a record, performing professional
duties while intoxicated, etc.
70. Non blaming, just culture
Budaya tidak menyalahkan dan perlakuan yang adil
Budaya memperlakukan dengan adil, budaya yang mendukung nilai tanggung
jawab bersama: organisasi bertanggung jawab thd sistem dan memperlakukan
perilaku staf secara adil, staf beranggung jawab thd kualitas pekerjaannya dan
melaporkan jika terjadi error dan melaporkan jika menjumpai masalah pada
sistem
71. Budaya yang tidak meminta pertanggung jawaban praktisi klinis
terhadap kegagalan sistem yang tidak dapat mereka kendalikan
72. Mengakui bahwa error dalam pelayanan merupakan representasi interaksi
yang dapat diprediksi antara manusia sebagai operator dan sistem tempat
manusia bekerja
73. Budaya yang tidak mentoleransi tindakan yang mengabaikan risiko pada
pasien atau tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan (misconduct),
misalnya memalsukan catatan, melakukan tindakan yang bukan
kompetensinya, dsb