2. LATAR BELAKANG
Ulama-ulama serta umat islam indonesia sedari dulu
berpendapat, bahwa sembahyang yang tertinggal wajib diqadha,
dibayar, baik yang tertinggal karena lupa, atau karena tertidur atau
yang sengaja ditinggalkan.
Andai kata yang tertinggal itu belum dibayar (belum diqadha)
dan ia wafat, maka ahli warisnya wajib untuk membayarnya fijah
sembahyang yang tertinggal itu, yaitu memberi makan fakir miskin,
sebagai yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab fiqih.
Tetapi kepercayaan yang baik itu menjadi goncang, karena ada
segelintir orang berfatwa, bahwa sembahyang yang ditinggalkan
dengan sengaja tidak wajib diqadha.
3. HUKUM DALAM MADZHAB SYAFI’I
Kesimpulan dalam Madzhab Syafi’I dalam kitab Syarah
Muslim, juzu’V, halaman 181, yaitu :
a) Seseorang yang ketinggalan sembahyang fardhu, wajib diqadha.
b) Jika ketinggalan itu karena udzur yang memaksa, maka qadha
boleh dilambatkan, tetapi sunat menyegerakan.
c) Jika ketinggalan itu tanpa udzur, umpamanya ketinggalan itu
karena disengaja, maka wajib qadha dengan segera.
d) Membayar sembahyang yang banyak tertinggal harus dibayar
menurut tata tertib cara tinggalnya, yang dahulu didahulukan dan
yang kemudian di kemudiankan. Tertib ini hukumnya sunat.
e) Kalau yang tinggal itu sembahyang sunat rawatib, juga harus
diqadha.
4. DALIL-DALIL MADZHAB SYAFI’I
1) Dalam Kitab Sahih Muslim, yaitu :
Artinya : “Ketahuilah bahwasanya dalam keadaan tertidur tidak ada
sia-sia; Yang sia-sia (yang akan dapat hukuman) ialah orang yang
tidak mengerjakan sembahyang sampai datang waktu sembahyang
yang lain. Maka barangsiapa yang memperbuat demikian,
hendaklah ia bayar ketika ia ingat akan sembahyang itu.” (H.
Riwayat Imam Muslim – Sahih Muslim 1 hal.275).
5. Dari hadist ini dapat dipetik hukum :
1) Sembahyang yang tertinggal karena tertidur tidaklah berdosa.
Yang berdosa ialah meninggalkan sembahyang dengan sengaja.
2) Waktu sembahyang selain subuh adalah panjang.
Setiap orang mesti sembahyang pada waktunya, kalau tak
dapat pada awal waktu di tengahnya atau di akhirnya. Tidak boleh
sama sekali ditinggalkan.
6. 2) Tersebut dalam kitab hadist :
Artinya : “Barangsiapa yang lupa sembahyang atau tertidu maka ia
harus membayarkan sembahyangnya itu apabila ia ingat, ada
bayaran mereka selain dari itu”. (HR.Imam Muslim, Syarah Muslim,
Juzu’V, hal 193)
7. Dari hadist ini dapat dipetik hukum :
1) Meninggalkan sembahyang dengan sebab tertidur atau karena
lupa tidak berdosa, karena lupa atau tidur diluar kekuasaan
manusia. Tetapi tentu asal jangan dilupa-lupakan atau ditidu-
tidurkan.
2) Membayar sembahyang yang tinggal itu ialah mengqadha
sembahyang itu apabila sudah ingat atau sudah bangun.
3) Sebaliknya, kalau ia meninggalkan sembahyang dengan sengaja
mendapat dua hukuman : 1. Berdosa dan 2. Mengqadha.
8. 3) Tersebut dalam kitab hadist :
Artinya : “Dari Ibnu Abbas Rda, beliau berkata : Bhwasanya seorang
wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu
ia bertanya : Bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau
wafat sebelum membayar nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya
membayarkan nadzarnya itu, yakni naik haji? Jawab Nabi : Ya boleh,
naik hajilah engkau pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu
berutang tentu engkau harus membayar utangnya itu, maka utang
kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar.” (HR. Imam Bukhari, lihat
Fathul Bari, Juzu’IV, hal 473)
9. Dari dalam hadist ini dapat diambil hukum-hukum :
1) Ibadah haji boleh dijadikan nadzar, umpamanya dinadzarkan,
kalau ia sembuh dari penyakit ia akan naik haji tahun di muka.
Haji nadzar itu menjadi haji wajib, karena nadzar itu.
2) Kalau kewajiban nadzar yang belum terbayar karena wafat boleh
dibayar oleh anaknya, dengan arti bahwa ibu yang bernadzar
tidak berdosa lagi karena meninggalkan membayar nadzar itu.
3) Utang kepada manusia mesti dibayar, dan utang kepada Allah
SWT yang lebih mesti untuk dibayar.
4) Sembahyang yang ditinggalkan, dengan sebab apapun atau
dengan tidak sebab apapun wajib dibayar, karena sembahyang itu
adalah utang yang wajib dibayar oleh manusia kepada Allah SWT.
10. 5) Barangsiapa yang berfatwa bahwa sembahyang yang ditinggal
dengan sengaja tidak wajib dibayar, maka ia menentang hadist
ini.
6) Bukan saja utang nadzar atau utang sembahyang , sekalian
utang kepada Allah SWT umpamanya puasa, zakat, haji, dll.
Wajib diqadha kalau tertinggal.
7) Dalam hadist ini Nabi Muhammad SAW memakai kiyas, memakai
perbandingan, yaitu dibandingkan oleh Nabi nadzar haji yang
wajib dibayar dengan sekalian utang kepada Allah yang wajib
dibayar atau diqadha.
8) Hadist ini menjadi dalil juga, bahwa qiyas itu (perbandingan)
adalah salah satu sumber hukum fiqih.
11. MADZHAB IBNU HAZM
Beliau memfatwakan bahwa sembahyang yang
ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha, karena seseorang
tidak lagi kuasa mengqadha sembahyang yang sudah
ditinggalkan dan kalau ia buat juga maka sembahyangnya tidak
sah.
Orang yang meninggalkan sembahyang itu – kata Ibnu
Hazm – harus memperbanyak saja berubuat kebajiakn, dan
embuat sembahyang sunah supaya timbangannya di hari akhir
menjadi berat, yang tentu bisa mengejar sembahyangnya yang
tertinggal itu.
12. Dalam menjawab fatwa Ibnu Hazm ini, Imam Nawawi, seorang
pemuka madzab Syafi’I berkata :
“Ibnu Hazm dalam soal ini telah menentang ijma’
(kesepakatan) imam-imam mujtahid, dan dalil yang dikemukakan
oleh Ibnu Hazm adalah dalil yang batil.”
Mungkin Ibnu Hazm bertujuan baik dalam fatwa ini, yakni untuk
menakut-nakuti orang Islam yang mau meninggalkan sembahyang
dengan sengaja, supaya jangan dikerjakan, karena sembahyang
yang tinggal itu, tak dapat diburu lagi, selain hanya harus
dipertanggungjawabkan saja di muka Allah di akhirat nanti.
13. Tetapi Ibnu Hazm lupa, bahwa watak manusia pada akhir
zaman, yang kebanyakannya lalai beribadat dan lalai sembahyang,
dengan fatwa macam ini akan berakibat sebaliknya, yaitu mereka
tambah berani meninggalkan sembahyang dan fatwa ini
merangsang mereka untuk meninggalkan sembahyang.
Adapun dosa, banyak orang di akhir zaman ini tidak takut lagi,
mereka mengatakan bahwa kalau akan wafat nanti minta taubat
saja pada Allah SWT Yang Pengampun dan Penyayang.
14. KESIMPULAN
Dengan demikian, maka ulama-ulama Islam – kata Imam
Nawawi – telah Ijma’ (sepakat) memfatwakan,
“BAHWA SEMBAHYANG YANG
DITINGGALKAN DENGAN
SENGAJA WAJIB DIQADHA
SEGERA”.
Itulah fatwa dalam madzhab Syafi’i, yang semuanya
berdasarkan Al-Qur’an dan sunah Rasul SAW.