3. • Awal dan akhir Ramadhan ditetapkan
berdasarkan pantauan bulan.
• Mayoritas ulama berpendapat; jika suatu
negeri berhasil melihat bulan, hasil
pantauan hilal negeri itu berlaku bagi
seluruh kaum Muslim di dunia, tanpa
memperhatikan perbedaan mathla‘ maupun
batas negara.
4. Ketentuan ini didasarkan hadis sabda Nabi saw:
واُموُصِل واُرِطْفَأ َو ِهِتَيْؤُرِلِبُغ ْنِإَف ِهِتَيْؤُرْمُكْيَلَع َي
َانَبْعَش َةَّدِع واُلِمْكَأَفَلَثَينِث
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan
berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika
pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah
hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
5. Imam Hashfaki menyatakan,
“Perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan
pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di
siang hari, sebelum zuhur, atau menjelang
zuhur. Dalam hal ini, penduduk di wilayah timur
harus mengikuti (ru’yat kaum Muslim) yang ada
di barat jika ru’yat mereka diterima (sah)
menurut syariah.”
(Imam al-Hashfaki, Ad-Durr al-Mukhtâr wa Radd al-
Muhtâr, II/131-132)
7. RUKUN PUASA
ADA DUA:
1. Niat pada malam hari;
2. Imsak, yakni menahan diri dari
semua hal yang membatalkan
puasa.
8. Terkait niat puasa pada malam hari,
Rasulullah saw. bersabda:
ْنَمْبَق َامَي ِالص ْتِيَبُي ْمَلَي ِص َلَف ِرََْْْال َلُهَل َام
“Siapa saja yang tidak berniat puasa sebelum
fajar maka tidak ada puasa bagi dirinya.”
(HR Khamsah)
9. • Ibnu Umar, Jabir bin Yazid dari golongan Sahabat,
al-Nashir, al-Muayyid Billah, Imam Malik, al-Laits
dan Ibnu Abi Dzaib mewajibkan niat pada malam
hari tanpa membedakan puasa wajib (Ramadhan
dan tathawwu’ [Sunnah]).
• Adapun Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, al-
Hadi dan al-Qasim mengharuskan niat pada malam
hari khusus untuk puasa fardhu (Ramadhan), tidak
untuk puasa sunnah. Mereka menyatakan bahwa
puasa tidak sah bila tidak ada niat pada malam hari
(Nayl al-Awthar, IV/574).
10. • Orang yang baru berniat puasa
Ramadhan pada siang hari karena
lupa, ia wajib segera berniat ketika
ingat, wajib menahan diri layaknya
orang yang sedang berpuasa.
• Namun, puasanya dihukumi batal
dan harus diganti pada hari lain.
11. • Imam Syafii dan Ibnu Mundzir berpendapat
bahwa niat harus dilakukan setiap malam
bulan Ramadhan.
• Namun, menurut Imam Malik, Ishaq, dan
Imam Ahmad niat puasa sah untuk puasa
selama satu bulan.
• Pendapat Imam Syafii dalam hal ini lebih
kuat.
• Sebab, puasa merupakan ibadah khusus
yang waktunya dibatasi.
(Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, hlm. 257)
12. • Apakah sah puasa diniatkan pada
siang hari untuk puasa besok harinya?
• Imam Abu Hanifah menyatakan, “Sah
puasa Ramadhan dan puasa yang
ditetapkan dengan berniat pada
siang harinya.” (Syarh Kabîr, III/23).
13. HAL-HAL YANG BISA MEMBATALKAN PUASA
1. Berniat membatalkan puasa;
2. Makan dan minum dengan sengaja;
3. Muntah dengan sengaja;
4. Bersetubuh atau mengeluarkan air mani dengan
sengaja;
5. Haid dan nifas;
6. Merokok atau memasukkan obat-obatan dari hidung
atau mulut.
Selain dari enam hal ini tidaklah membatalkan puasa
seperti berkumur, menyikat gigi, dan lain sebagainya.
15. PUASA DIWAJIBKAN ATAS:
1. Muslim;
2. Balig;
3. Berakal;
4. Suci dari haid dan nifas (bagi wanita);
5. Mukim, tidak sedang safar;
6. Sanggup berpuasa.
16. • Orang kafir tidak wajib berpuasa.
• Sebab, puasa merupakan ibadah yang
disyaratkan di dalamnya keIslaman.
• Jika orang kafir masuk Islam pada bulan
Ramadhan, ia wajib melaksanakan puasa
Ramadhan.
• Jika ia masuk Islam pada siang hari, mulai
saat itu ia wajib menahan diri tidak
mengerjakan perbuatan yang dapat
membatalkan puasa hingga datang saat
maghrib.
17. • Ini juga berlaku bagi orang yang murtad dari Islam.
• Apabila orang yang murtad kembali masuk Islam
pada saat bulan Ramadhan, ia wajib berpuasa.
• Jika ia masuk Islam pada malam hari, ia wajib
berniat puasa dan mengerjakan puasa mulai subuh
hingga maghrib.
• Jika ia masuk Islam pada siang hari, ia wajib
menahan diri dari semua hal yang membatalkan
dan merusak pahala puasa.
• Ia juga wajib meng-qadha’ puasa yang ia tinggalkan
pada saat ia murtad
(Imam asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imâm asy-
Syâfi’i, 1/177)
18. Anak kecil (belum balig) tidak diwajibkan
berpuasa. Ini didasarkan pada sabda
Rasulullah saw:
ْنَع ٍةَث َلَث ْنَع ُمَلَقْال َعِفُرْيَتْسَي ىَّتَح ِمِئاَّنالْنَع َو َظِق
َع َو َمِلَتْحَي ىَّتَح ِيِبَّصالىَّتَح ِونُنَْْمْال ْنْعَيَلِق
“Diangkat kalam (taklif hukum) dari tiga
orang: (1) dari orang yang tidur hingga ia
bangun; (2) dari anak kecil hingga ia balig;
(3) dari orang gila sampai ia waras.”
(HR Ashhabus Sunan dan al-Hakim)
19. Namun demikian, anak kecil hendaknya diajari
berpuasa, sebagaimana hadis yang
menyatakan:
“Kami, para Sahabat, berpuasa sesudah
mendengar itu, dan menyuruh anak-anak
kecil berpuasa. Kami pergi ke masjid dan kami
buat untuk anak-anak mainan dari bulu
domba. Bila seorang anak menangis untuk
meminta makanan, kami berikan mainan itu
kepada dia hingga waktu berbuka.”
(HR al-Bukhari dan Muslim)
20. • Orang gila tidak wajib berpuasa dan
tidak wajib meng-qadha’ puasanya
tatkala ia masih gila.
• Bila ia kembali waras pada bulan
Ramadhan maka ia wajib
melaksanakan puasa, dan imsak
pada sisa harinya.
21. • Wanita yang sedang haid atau nifas juga
tidak wajib berpuasa.
• Jika ia telah suci dari haid atau nifasnya, ia
wajib meng-qadha’ puasa yang ia
tinggalkan selama haid dan nifas.
• Ini didasarkan pada hadis penuturan Muadz
bahwa ‘Aisyah ra. berkata, “Kami haid pada
masa Rasulullah saw. Lalu kami
diperintahkan supaya meng-qadha’ puasa
dan kami tidak diperintahkan untuk meng-
qadha’ shalat.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-
Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain-lain)
22. • Orang yang bepergian juga tidak
diwajibkan berpuasa.
• Mereka boleh berpuasa dalam
safarnya atau tidak.
• Bila ia tidak berpuasa dalam
safarnya, ia wajib mengganti puasa
sejumlah hari yang ia tinggalkan
(Lihat: QS al-Baqarah [2]: 184)
23. • Puasa pun tidak diwajibkan bagi orang sakit.
• Bila si sakit sembuh dari sakitnya, ia wajib
mengganti sebanyak hari yang ia tinggalkan
(Lihat: QS al-Baqarah [2]: 184)
• Kata [marîdh] dalam QS al-Baqarah [2]: 184
berfaedah pada makna umum, dan tidak
disyaratkan sakit keras atau lemah. Demikianlah
pendapat Atha’ dan Ahlu al-Dzahir, Bukhari dan
Ibnu Sirin (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni)
• Adapun yang dimaksud dengan orang yang tidak
mampu berpuasa pada ayat di atas adalah orang
yang sangat tua, atau orang yang tidak sanggup
sama sekali berpuasa. Mereka diberi keringanan
(rukhshah) tidak berpuasa, tetapi wajib
membayar fidyah (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 184).
25. SYARAT SAH PUASA ADA EMPAT:
1. Islam sepanjang hari;
2. Suci dari haid, nifas dan wilâdah;
3. Tamyîz, yakni dapat membedakan antara
yang baik dan tidak baik;
4. Berpuasa pada waktunya.
Jika salah satu dari empat syarat di atas tidak dipenuhi
maka puasanya tidak sah
27. • Para ulama berbeda pendapat
apakah qadha’ puasa mesti dilakukan
berurutan atau tidak.
• Mayoritas ulama berpendapat boleh
memilih antara berurutan atau
terpisah-pisah harinya.
28. • Rasulullah saw. bersabda:
، َقَّرَف َءَاش ْإن َانَضَمَر ُءاَضَقَعَباَت َءَاش ْنِإ َو
“Qadha’ puasa Ramadhan boleh dilakukan
dengan berurutan atau terpisah-pisah
harinya.” (HR ad-Daruquthni)
• Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Tidak mengapa
meng-qadha’ puasa dengan terpisah-
pisah, sebagaimana firman Allah SWT:
Sempurnakan puasa kalian pada hari yang
lain.” (Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, hlm. 299).
29. • Batas waktu meng-qadha’ puasa adalah
hingga menjelang bulan Ramadhan
(Sya’ban)
• Pendapat ini didasarkan pada hadis
riwayat ‘Aisyah ra. yang berkata, “Aku
memiliki tanggungan puasa dari bulan
Ramadhan. Aku tidak meng-qadha’
puasa itu hingga datang bulan
Sya’ban.” (HR al-Bukhari)
30. • Bila seseorang tidak meng-qadha’ puasanya
hingga datang bulan Ramadhan berikutnya,
sebagian ulama mewajibkan orang tersebut
membayar fidyah selain kewajiban meng-
qadha’ puasanya.
• Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa
orang tersebut tetap wajib qadha’, dan tidak
diwajibkan membayar fidyah baik karena
udzur atau tidak. Ini adalah pendapat al-
Hasan dan ulama Hanafiyyah.
• Imam Malik, Syafii, Ahmad dan Ishaq
sependapat dengan ulama Hanafiyyah jika
orang tersebut mempunyai udzur; namun
bila tidak ada udzur, wajib membayar fidyah.
31. • Bila seseorang mati dengan menyisakan
puasa Ramadhan, walinya tidak wajib
membayar fidyah.
• Bila si mati bernadzar maka si walinya harus
melaksanakan nadzar si mati.
• Ketetapan ini didasarkan sabda Rasulullah
saw., “Siapa saja yang meninggal dunia,
sedangkan ia memiliki tanggungan puasa
yang dia tinggalkan, tetapi tidak dikerjakan
pada masa hidupnya, dipuasakanlah untuk
dia oleh walinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
• Atas dasar itu, jumhur ulama sepakat bahwa
wali si mati harus mengganti puasa yang
ditinggalkan.
33. • Fidyah adalah memberikan makanan kepada
fakir miskin setiap hari, dengan takaran
sebanyak 1 mud (lebih dari 6 ons).
• Ketentuan ini didasarkan QS al-Baqarah (2)
ayat 184, juga hadis dari Ibnu ‘Abbas, “Siapa
saja yang telah sangat tua dan tidak
sanggup berpuasa Ramadhan, maka ia
memberi fidyah sehari sebanyak 1 mud
gandum.” (HR al-Bukhari)
34. • Yang dimaksud orang yang tidak
mampu adalah orang yang sudah
sangat tua, atau orang yang memang
tidak sanggup sama sekali berpuasa.
• Mereka diberi keringanan (rukhshah)
tidak berpuasa, namun wajib
membayar fidyah.
35. • Sebagian ulama memasukkan wanita
hamil dan menyusui ke dalam
kelompok “orang-orang yang tidak
mampu berpuasa”.
• Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, bahwa Ibnu
‘Abbas menyatakan, “Ayat tersebut juga
berlaku bagi wanita hamil dan yang
sedang menyusui.” (HR Abu Dawud)
36. • Ibn Hazm meriwayatkan dari Hammad Ibn Salah dari
Ayub dari Nafi’ bahwa seorang perempuan Quraisy
yang sedang hamil bertanya kepada Ibnu Umar
tentang puasanya. Ibnu Umar menjawab,
“Berbukalah dan berilah makan seorang miskin
setiap harinya dan tidak usah meng-qadha’-nya.”
(Ibn Hazm, Al-Muhalla, VI/263)
• Hadis di atas adalah hadis mawqûf. Sebagian ulama
mengamalkan hadits di atas, dan berpendapat bahwa
orang yang hamil, menyusui dan orang sakit
menahun harus berbuka dan tidak perlu meng-
qadha’-nya. Ia hanya diwajibkan membayar fidyah.
Itu pun jika ia mampu.
37. • Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah
wanita hamil dan menyusui tetap wajib
berpuasa jika tidak ada kesulitan atas dirinya.
• Ia hanya dibolehkan berbuka ketika sudah tidak
sanggup meneruskan puasanya karena kesulitan
yang membahayakan dirinya dan ia harus meng-
qadha’ puasa yang ditinggalkan tanpa harus
membayar fidyah.
• Jika tidak mampu meng-qadha’, ia wajib
membayar fidyah.
38. Termasuk golongan yang tidak
mampu berpuasa adalah orang yang
sakit sangat akut, menahun dan
tidak bisa diharapkan sembuh.
40. Dalam kitab At-
Targhîb disebutkan, jika
seseorang meninggalkan
kewajiban puasa dengan
sengaja secara i’tiqâdi maka ia
telah terjatuh dalam kekufuran.
41. َثَلَث ِْنيٍالد ُدِعا َوَق َو ِمَلْسِإلْا ىَرُعْسِإلْا ُسُسُأ َّنِهْيَلَع ٌةْنَم ِمَل
ٌرِفاَك َاهِب َوُهَف ًةَد ِاح َو َّنِهْنِم َكَرَتِمَّدال ُلَلَح:َل ْنَأ ُةَداَهَش
َو ُةَب ْوُتْكَملْا ُةَلَّصال َو ُهللا َّلِإ َهَلِإُم ْوَصَانَضَمَر
“Sendi-sendi dan dasar-dasar agama Islam ada tiga dan
Islam dibangun di atas tiga sendi ini. Siapa saja yang
meninggalkan salah satu dari ketiganya adalah kufur dan
halal-lah darahnya, yaitu: mengakui bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, shalat fardhu, dan puasa
Ramadhan.” (HR Abu Ya’la)
42. REFERENSI TAMBAHAN
• Hukum-Hukum Seputar Puasa (I)
• Hukum-Hukum Seputar Puasa (II)
• Hukum-Hukum Seputar Puasa (II)
• Hukum Seputar Fidyah Puasa
• Hukum Qadha Puasa Bagi Orang Yang
Membatalkan Puasa Tanpa Udzur Syar’i
• Hukum Seputar Puasa Wanita
• Hukum Puasa Bagi Wanita Yang Hamil,
Menyusui, dan Melahirkan
• Soal Jawab : Hisab Astronomis dalam
Masalah Puasa