Pengaruh dari Keberlanjutan Program Satu Juta Rumah
1. UTS Fajar Rian Wulandari
Senin, 2 November 2020 1706973464
Pengaruh dari Keberlanjutan
Program Satu Juta Rumah
Latar Belakang
Program Satu Juta Rumah merupakan gagasan yang dijanjikan oleh Presiden Indonesia
yang ke-7, yaitu Bapak Ir. H. Joko Widodo pada awal pemerintahannya di periode I
(2014-2019). Tepatnya pada tanggal 29 April 2015, dicanangkannya Program Satu Juta
Rumah. Alasan yang paling mendasar yang melatarbelakangi pembuatan program ini
adalah karena setiap warga negara berhak atas tempat tinggal seperti yang tercantum
dalam Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 H ayat 1, negara menjamin
pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau dalam
upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.
Selain itu, juga dikarenakan belum tercapainya tujuan pemenuhan kebutuhan rumah bagi
setiap warga negara yang ditargetkan pada periode I (2004-2009) pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yaitu berupa program 1000 tower rusun. Karena terhambat
dan tidak tercapainya program tersebut, membuat kebutuhan akan rumah semakin
menumpuk di pemerintahan Presiden Joko Widodo karena tidak terpenuhinya di tahun-
tahun sebelumnya (2009-2014).
Jika dihitung, penduduk meningkat setiap tahun maka begitupun dengan jumlah
permintaan (demand) akan tempat tinggal yang layak. Akan tetapi program 1000 tower
rusun ini pembangunannya tidak dilanjutkan di periode II (2009-2014) pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu artinya supply rumah pada tahun-tahun
tersebut hanya berasal dari pemerintah daerah, pengembang, atau pihak swasta. Jika
digambarkan dalam pertumbuhan grafik yang konsisten, maka terlihat seperti grafik di
bawah ini.
Gambar 1. Grafik penggambaran backlog di tahun 2009-2014.
2. UTS Fajar Rian Wulandari
Senin, 2 November 2020 1706973464
Daerah yang berwarna merah merupakan angka backlog, dimana persediaan rumah
(supply) tidak dapat memenuhi permintaan (demand). Oleh karena itu, Presiden Joko
Widodo mencanangkan Program Satu Juta Rumah untuk menurunkan angka backlog
tersebut.
Implementasi
Program Satu Juta Rumah ini diaplikasikan dalam berbagai bentuk perumahan, ada yang
berupa Rumah Susun Sewa (Rusunawa), Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BJPS),
rumah khusus, maupun rumah swadaya.
Dalam Program Satu Juta Rumah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) bekerja sama dengan pihak swasta dan stakeholder lainnya sebagai penyedia
perumahan bagi rakyat. Pada paruh pertama, program ini mengalami kesulitan dalam
mencapai angka yang sudah ditargetkan yaitu 1 juta rumah per tahun. Berdasarkan data
dari kementrian, pada tahun 2015 hanya mencapai 669.770 unit, tahun 2016 mencapai
805.169 unit, tahun 2017 mencapai 904.758 unit, dan baru mencapai target di tahun 2018
yaitu mencapai 1.132.621 unit dan di tahun 2019 mencapai 1.257.852 unit. Dengan
945.161 unit untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 312.691 unit untuk non
MBR. Kesulitan itu disebabkan oleh beberapa faktor seperti harga tanah yang semakin
mahal, kemampuan pemerintah yang belum memadai, ketersediaan lahan dan anggaran
yang tidak memadai, serta regulasi perizinan yang cukup rumit ikut memperpanjang
proses perealisasian program tersebut.
Keterkaitan masalah dengan dampaknya pada program tersebut (Suhendra, 2016)
1. Harga Tanah yang Semakin Mahal
Harga tanah di kota-kota besar semakin melambung tinggi. Di Jakarta, harga tanah
bahkan sudah mencapai puluhan juta rupiah per meternya. Dengan harga tanah yang
sedemikian mahal, maka tidak heran kalau harga rumah juga ikut mahal. Intinya,
dengan harga tanah yang sudah mahal, membuat produk dari program tersebut juga
memiliki harga yang mahal pula. Oleh karena itu, perumahan tersebut tetap tidak bisa
dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Itulah kenapa banyak warga
ibukota yang memilih untuk mengontrak atau kos dibanding provinsi lainnya.
Dengan harga yang semakin tak terjangkau, persediaannya pun semakin terbatas.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),
3. UTS Fajar Rian Wulandari
Senin, 2 November 2020 1706973464
back log rumah mencapai 7,6 juta unit pada tahun 2014 berdasarkan konsep
penghunian dan 13,5 juta unit berdasarkan konsep kepemilikan
2. Kemampuan Pemerintah yang Belum Memadai
Kemampuan pemerintah dalam hal penyediaan rumah masih terbatas. Berdasarkan
data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pemerintah
hanya dapat membangun 10 persen dari target yang dibangun. Sedangkan Perum
Perumnas sebagai BUMN pengembang juga masih terbatas dalam menyediakan
rumah tapak dan rusun yaitu sekitar 10.000 unit hunian per tahun. Oleh karena itu,
pemerintah membutuhkan pihak-pihak lain yang merupakan stakeholder terkait yang
dapat meningkatkan angka pembangunan rumah untuk memenuhi yang sudah
ditargetkan.
3. Ketersediaan Lahan yang Tidak Memadai
Lahan untuk perumahan semakin sempit. Kalaupun ada dan di tempat yang strategis,
pasti harganya mahal. Sedangkan yang harganya terjangkau pasti letaknya kurang
strategis. Hal ini disebabkan semakin masifnya pembangunan di kota. Terlebih
banyak juga orang-orang yang menimbun lahan untuk dijadikan investasi, yaitu
membeli lahan tapi tidak untuk dibangun melainkan dijual kembali dengan harga
yang lebih tinggi. Oleh karena itu, hal tersebut mempersulit pemerintah untuk
mendapatkan lahan untuk dibangun.
4. Ketersediaan Anggaran yang Tidak Memadai
Anggaran masyarakat berpenghasilan rendah tetap tidak mencukupi walaupun
pemerintah memberikan subsidi bunga dan penurunan suku bunga KPR untuk
meringankan beban pembayaran. Akan tetapi, tetap saja harga rumah bersubsidi
masih terasa mahal bagi sebagian orang. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan
hal-hal tambahan di samping itu, seperti mengalokasikan dana, memberikan subsidi
uang tunai, dll.
5. Regulasi Perizinan yang Cukup Rumit
Untuk membangun suatu bangunan harus memiliki banyak izin dan dalam
memprosesnya memerlukan waktu yang cukup lama. Terlebih di Indonesia belum
memiliki lembaga yang dapat mengelola sisi permintaan perumahan, penerbit kredit
perumahan, mengelola persediaan hunian, dan juga memalkukan pemeliharaan hunian
yang sudah dibangun seperti Housing Development Board (HBD) di Singapura. Oleh
karena itu, pemerintah harus bekerja keras menangani hal-hal terkait regulasi
walaupun sudah dibentuk perum perumnas yang memiliki fungsi serupa.
4. UTS Fajar Rian Wulandari
Senin, 2 November 2020 1706973464
Setelah program tersebut dijalankan pada periode I, dapat dinilai bahwa Program Satu
Juta Rumah memiliki sisi positif dan negatifnya. Hal positif yang dapat dirasakan adalah
dengan terpenuhinya permintaan (demand) dan sekaligus menurunnya angka backlog dari
7,6 juta dengan pembangunan 5 juta unit sampai tahun 2019. Hasilnya ditambah dengan
kebutuhan rumah baru per tahunnya yang mencapai 500-700 ribu unit, maka 6,1 juta pada
tahun 2024. Oleh karena itu, pada periode ke II Presiden Joko Widodo meningkatkan
angkanya menjadi 1,25 juta rumah per tahun. Maka jika dikalkulasikan akan terjadi
surplus (kelebihan) pada tahun 2024.
7,6 – 5 = 2,6 juta …(1)
Pertumbuhan 2,6 + 5(0,7) = 6,1 Juta …(2)
Pembangunan 1,25 x 5 = 6,25 Juta …(3)
Maka surplus pada tahun 2024 = 6,25 – 6,1 = 150.000 rumah.
Jika hal tersebut benar terjadi, maka masalah kebutuhan tempat tinggal dapat terpenuhi.
Akan tetapi, ada juga sisi negatif yang ditemukan seperti proses untuk mendapatkan
rumah dari program tersebut cukup rumit. Banyak hal yang perlu disiapkan dan
persyaratan yang perlu dipenuhi. Oleh karena itu, tidak sedikit yang tidak memprosesnya
walaupun berhak atasnya. Kebanyakan lebih memilih untuk rumah yang tidak terlalu
terikat oleh peraturan dan sebagainya. Selain itu, terkadang rumah yang disediakan
walaupun layak, tetapi letaknya tidak strategis. Oleh karena itu, banyak yang memilih
rumah yang walaupun tidak layak, tetapi tempatnya strategis, dekat dengan sekolah,
rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Adapun terdapat rumah dari program
tersebut menjadi tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan yang membelinya bukanlah
masyarakat yang berpenghasilan rendah, melainkan yang menengah atau bahkan yang
sudah berpenghasilan tinggi untuk dimonopoli.
Hak dari rumah Program tersebut memiliki beberapa status kepemilikan seperti milik
pemerintah, milik individu, dan juga milik umum. Untuk milik pemerintah itu biasanya
berupa rumah yang disewakan kepada pekerja, PNS, dan TNI/POLRI. Lalu untuk milik
individu biasanya berupa rusunami dan rumah tapak yang diberi bantuan pembiayaan
perumahan untuk MBR. Sedangkan untuk milik umum biasanya berupa rusunami dan
rumah tapak yang disediakan pengembang untuk non MBR. Oleh karena itu, status
5. UTS Fajar Rian Wulandari
Senin, 2 November 2020 1706973464
kepemilikan dapat mempengaruhi pula ketersediaan MBR yang diberikan rumah untuk
menempatinya.
Evaluasi
Untuk masalah ketersediaan lahan yang semakin sedikit, dapat di atasi dengan
pemanfaatan lahan yang menganggur milik negara, pemerintah daerah, hingga Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang tersebar di berbagai wilayah perkotaan. Dengan
mengoptimalkan penggunaannya untuk pembangunan rumah publik, dapat menjadi
jawaban dari masalah keterbatasan lahan. Selain itu pemerintah juga dapat aktif membeli
tanah-tanah baru untuk sektor perumahan atau dengan menjalankan bank tanah. Bank
tanah merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kebutuhan lahan, yaitu dengan
memanfaatkan lahan yang ditabung oleh nasabah untuk membangun perumahan publik.
Untuk masalah harga perumahan yang tinggi bisa diminimalisir dengan penggunaan
teknologi dalam pembuatannya. Contohnya dalam pembuatan material yang lebih murah.
Selain itu juga perlu pemetaan lahan dengan bantuan teknologi agar potensi lahan dapat
dimanfaatkan secara maksimal untuk pembangunan rumah dan infrastruktur
pendukungnya.
Berdasarkan Program Satu Juta Rumah yang dilakukan di 2 periode pemerintahan
Presiden Joko Widodo, dengan mempertimbangkan masalah dan hambatan yang muncul
perlu dilakukan trial and error untuk pemerintahan selanjutnya. Hal ini berdasarkan
siklus kebijakan bahwa dalam membuat kebijakan perumahan pertama harus melakukan
identifikasi masalah, lalu menganalisis kebijakan tersebut dan dikonsultasikan kepada
pakarnya, lalu dikembangkan instrumennya, membangun koordinasi, sampai akhirnya
mengambil keputusan sebagai desain program, dan diimplementasikan sebagai kebijakan,
lalu tidak lupa untuk dievaluasi kembali. Oleh karena itu, Program Satu Juta Rumah ini
sudah cukup baik, hanya saja perlu dikembangnya pada pemanfaatan lahan dan ketepatan
sasarannya.
6. UTS Fajar Rian Wulandari
Senin, 2 November 2020 1706973464
Referensi:
1. Capaian Program Satu Juta Rumah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Direktorat Jenderal Perumahan. 2019
https://perumahan.pu.go.id/article/156/capaian-program-satu-juta-rumah
Diakses pada 2 November 2020
2. Suhendra. Mengukur Nasib Program 1 Juta Rumah Jokowi. 5 September 2016
https://tirto.id/mengukur-nasib-program-1-juta-rumah-jokowi-c8
Diakses pada 2 November 2020