Modul ini membahas tentang tindak pidana pencucian uang yang meliputi proses pencucian uang melalui tiga tahap yaitu placement, layering, dan integration serta unsur-unsur kejahatan tersebut. Modul ini juga menjelaskan transaksi keuangan mencurigakan dan ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait pencucian uang.
1. MODULPERKULIAHAN
HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN
Tindak Pidana Pencucian Uang
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh
Dosen
Pengampu
Prof. Dr.
Hapzi Ali,
CMA
FEB AKUNTANSI
06 1A2323EL SANTI RIZKI AMALIA
Abstract Kompetensi
Memahami tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
.
Memberikan pemahaman dan
pembelajaran tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
2. ‘18
2 Hukum Bisnis dan Lingkungan Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Disusun Oleh: Santi Rizki Amalia. http://www.mercubuana.ac.id
Perlindungan Konsumen
Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri
khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda.
Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up
crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut
sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai
unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan
proses pencucian.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa pencucian uang
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah
unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.
Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3),
(4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010. Intinya dalah bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi
dengan sengaja menempatkan, mentransfer,mengalihkan,membelanjakan,membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.
Para pakar telah menggolongkan proses pencucian uang (money laundering) ke dalam tiga
tahap, yakni:
Tahap Placement: tahap dimana menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas
kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan.
Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian uang tersebut akan
masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi misalnaya melalui
penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain,
menggabungkan antara uang tunai yang bersifat ilegal itu dengan uang diperoleh secara legal.
Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham,
mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing.
Tahap Layering: yang dimaksud dengan tahap layering ialah tahap dengan cara pelapisan.
Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik
ciri-ciri aslinya ataupun asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari
beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lain dan dapat dilakukan
berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal
usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi
derivatif, dan lain-lain. Seringkali kali pula terjadi bahwa si penyimpan dana itu sudah
merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan
sebelumnya. Bisa juga cara ini dilakukan misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di
bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal.
Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya yang secara
legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank
tadi.
3. ‘18
3 Hukum Bisnis dan Lingkungan Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Disusun Oleh: Santi Rizki Amalia. http://www.mercubuana.ac.id
Tahap Integration: merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah
melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut
dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa
aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal
sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
(sumber,http://72legalogic.wordpress.com)
Dari penjelasan di atas, dapt disimpulkan bahwa tujuan pelaku melakukan pencucian uang
adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak
terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja
tapi mengubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan
menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa
dalam berbagai kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan
pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari tuntutan
hukum.
Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Dari defenisi tindak pidana pencucian uang sebagaimana di jelaskan diatas, maka tindak
pidana pencucian uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. pelaku
2. perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal)
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal).
3. merupakan hasil tindak pidana
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif (actus reus) dan unsur
subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas
harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur
subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau
patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait perumusan tindak pidana pencucian
uang menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam pasal 1 angka (9) ditegaskan bahwa
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi
terdapat dalam pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan
dalam Undang-undang ini adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban
atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun
transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima
penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Transaksi
keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah transaksi keuangan yang
mencurikan atau patut dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses
pentransferan/memindahbukukan.
4. ‘18
4 Hukum Bisnis dan Lingkungan Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Disusun Oleh: Santi Rizki Amalia. http://www.mercubuana.ac.id
Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut ketentuan yang tertuang pada pasal 1 angka (5)
UU No. 8 Tahun 2010 adalah: transaksi keuangan yang menyimpang dari profil,
karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
1. transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
2. transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
3. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor
karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010,
dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan
pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8 Tahun 2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang
dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak pidana adalah harta yang berasal dari
kejahatan seperti: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja,
penyelundupan migrant, bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi,
kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan,
pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang perpajakan,
bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan dan perikanan serta tindak
pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun penjara.
Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang nantinya
hasil tindakan pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah
benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan
membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut. Bukan untuk
membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang
menghasilkan harta kekayaan.
Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010,
teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana
pencucian uang, yakni tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja:
1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama
sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta
tersebut diperoleh melalui tindak pidana.
2. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari
tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa
keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.
3. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri
atau atas nama pihak lain.
4. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya
sendiri ataupun atas nama pihak lain.
5. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang
diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak
lain.
5. ‘18
5 Hukum Bisnis dan Lingkungan Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Disusun Oleh: Santi Rizki Amalia. http://www.mercubuana.ac.id
6. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan harta
yang diproleh dari tindak pidana.
7. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau
patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat
berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul
harta kekayaan tersebut.
Pencucian di Bank Indonesia
Semakin canggih teknologi, semakin terbuka pula peluang melakukan tindak
kejahatan. Termasuk di sektor keuangan dan perbankan. Bagi dunia perbankan, kasus
pembobolan bank adalah bagian dari risiko operasional bank.
"Jadi, tidak ada masalah dengan bank-bank itu, nah ini namanya risiko operasional
bisa terjadi ya, kemudian ada risiko hukum yang perlu diselesaikan," tutur Deputi
Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah di gedung DPR, Senin (24/6).
Ada banyak kegiatan perbankan yang rentan terhadap tindak kejahatan. Dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 atau Undang-undang Perbankan, ada 13 jenis
tindak pidana perbankan.
Mulai dari pidana yang berkaitan dengan perizinan industri perbankan, tindak pidana
yang berkaitan dengan rahasia bank, tindak pidana yang berkaitan dengan
pengawasan dan pembinaan bank, yang berkaitan dengan usaha bank. Tindak pidana
kejahatan perbankan yang paling ekstrem adalah perampokan bank hingga pengalihan
rekening secara tidak sah.
Kejahatan perbankan pun kerap dilakukan melibatkan 'orang dalam'. Ini bisa terjadi
lantaran lemahnya sistem pengawasan dan administrasi sebuah bank. Kasus-kasus
kejahatan perbankan menjadi menarik diketahui. Sebab, yang paling dirugikan dari
kejahatan perbankan adalah nasabah yang sudah percaya dan menyimpan dananya di
bank. Di dalam negeri, ada beberapa kasus kejahatan pembobolan bank yang cukup
menarik perhatian dan menghebohkan seperti:
1. Kasus BLBI
Salah satu kasus kejahatan perbankan yang paling menghebohkan sepanjang sejarah
bangsa ini adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau yang lebih dikenal
dengan BLBI.
Meskipun kebijakan ini keluar sekitar tahun 1998, kasusnya kini mulai menarik
perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Satu per satu aktor yang berkaitan
dengan kebijakan itu, mulai diperiksa KPK.
BLBI sejatinya adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia
kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat terjadinya krisis moneter
6. ‘18
6 Hukum Bisnis dan Lingkungan Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Disusun Oleh: Santi Rizki Amalia. http://www.mercubuana.ac.id
1998. Setidaknya, telah terkucur bantuan likuiditas sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48
bank.
Namun, ternyata dana tersebut dibawa kabur oleh beberapa pemilik bank. Audit BPK
terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi
indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
2. Kasus Century
Kasus lain yang cukup menghebohkan dunia perbankan adalah Kasus Century yang
hingga kini tak jelas ujung permasalahan dan penyelesaiannya. Terlebih setelah kasus
ini disangkutpautkan dengan sisi politis.
Kasus ini disebut-sebut sebagai perampokan besar-besaran uang negara oleh segelintir
orang. Kasus Century bermula dari kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang
mengucurkan bailout untuk Bank Century pada sekitar 2008. Nilainya mencapai Rp
6,7 triliun. Dalihnya, menyelamatkan sektor perbankan nasional dari gejolak krisis
moneter yang tengah melanda dunia.
Kasus yang menyeret nama mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan Wakil
Presiden Boediono ini masih terus diselidiki. Kini bola panas berada di tangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. Pembobol Citibank
Belum lepas dari ingatan kita bagaimana lihainya pelaku pembobolan Citibank
berhasil menyedot dana hingga Rp 17 miliar. Kejahatan perbankan ini dilakukan oleh
orang dalam, yakni oleh Senior Manager Citibank Malinda Dee. Kasus ini mulai
terungkap pada 2011
Malinda melakukan penggelapan uang nasabah dengan cara mentransfer uang
tersebut ke sebuah perusahaan dirinya serta dibantu oleh seorang Teller. Perusahaan
yang menampung dana dari hasil penggelapan uang tersebut adalah milik Malinda
Dee.
Polisi menjerat para pelaku dengan Pasal 49 ayat 1 dan 2 UU No. 7 tahun 1992
sebagaimana diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan atau Pasal
6 UU no 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003
sebagaimana diubah dengan UU No. 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian
uang.
4. Kasus Bank Mega
Kasus pembobolan bank yang juga menarik perhatian adalah raibnya dana Rp 111
miliar milik PT Elnusa di Bank Mega. Elnusa akhirnya memenangkan gugatan
terhadap Bank Mega atas dugaan pembobolan dana nasabah deposito sebesar Rp 111
7. ‘18
7 Hukum Bisnis dan Lingkungan Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Disusun Oleh: Santi Rizki Amalia. http://www.mercubuana.ac.id
miliar yang dilakukan enam tersangka yang juga karyawan perusahaan Bank Mega
dan Elnusa.
Sejak kasus pembobolan dana nasabah Bank Mega mencuat, bank sentral telah
menjatuhkan beberapa hukuman terhadap Bank Mega, yaitu melarang bank milik
Chairul Tanjung tersebut membuka produk deposito on call atau sejenisnya. Bank
Mega juga dilarang membuka kantor cabang baru.
5. Kasus Bank Bali
Bank Bali mempunyai tagihan atas nama, di antaranya kepada PT Bank Umum
Nasional (BUN) dan PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yang semuanya
berstatus Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sehingga ditutup oleh Bank Indonesia
(BI) dan diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Tim pengelola BB menemukan suatu perjanjian cessie tanggal 11 Januari 1999.
Berdasarkan perjanjian tersebut, BB mengalihkan tagihan kepada PT Era Giat Prima
(EGP) dan sebagai imbalan, EGP akan menyerahkan kepada BB surat-surat berharga
yang diterbitkan BB atau bank-bank pemerintah senilai Rp 798 miliar.
Dari kasus Bank Bali, ada dua hal yang terjadi, penggembosan aset oleh pemilik lama,
dan pencairan tagihan Bank Bali dari BI. Agency Secretary BPPN menyatakan, Bank
Bali belum berada di bawah BPPN
karena kredit macetnya belum dialihkan dan belum direkapitalisasi. Akan tetapi,
setidaknya Bank Indonesia (yang berpartner dengan BPPN, langsung atau tidak
langsung dalam penyehatan perbankan) sudah tahu Bank Bali akan dimiliki
Pemerintah
8. ‘18
8 Hukum Bisnis dan Lingkungan Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Disusun Oleh: Santi Rizki Amalia. http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html
http://eduseabed.blogspot.co.id/2013/06/5-kasus-pembobolan-bank-pencucian-uang.html