Ada perbedaan pengaturan pajak penghasilan atas jasa konstruksi antara Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 23 UU PPh. Pasal 4 ayat 2 berlaku untuk pengusaha konstruksi bersertifikat, sedangkan Pasal 23 berlaku untuk yang belum bersertifikat. Hal ini menimbulkan dinamika tersendiri dalam penerapannya.
2. Riki Ardoni
Pengenaan Pajak Penghasilan atas Jasa Konstruksi mengalami dispute dan
dinamika tersendiri. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), jasa
konstruksi disebutkan dalam dua pasal yang berbeda. Selain di kenakan PPh final
pasal 4 Ayat (2) huruf d dan jasa konstruksi juga dapat dikenakan pemotongan PPh
tidak final, PPh pasal 23.
PERBEDAAN SUBJEK PAJAK
Pasal 4 ayat (2) huruf d :
“Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan”
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 :
“Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas :
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
dan
2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain”
Jika kita cermati bunyi Pasal 4 ayat (2) huruf d maupun Pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2 UU PPh, maka akan dapat kita lihat bahwa penggunaan istilah untuk ‘jasa
konstruksi’ di kedua pasal tersebut berbeda.
Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh frase kata yang digunakan adalah “usaha
jasa konstruksi”. Sementara dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh,
frase yang digunakan hanya “jasa konstruksi” tanpa didahului kata ‘usaha’ seperti
di Pasal 4 ayat (2).
3. Riki Ardoni
Perbedaan kedua frase kata dalam kedua pasal tersebut mengindikasikan bahwa
subjek pajak yang dimaksud kedua pasal itu juga berbeda. Perbedaan tersebut ada
pada ada atau tidak nya Sertifikasi Badan Usaha pada Wajib pajak meskipun jasa
yang dimaksudkan nyaris sama, yaitu jasa konstruksi.
A. JASA KONSTRUKSI PPH FINAL Pasal 4 Ayat (2)
Merujuk pada frase kata “usaha jasa konstruksi” yang digunakan dalam Pasal 4
ayat (2) UU PPh, Subjek pajak yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh
adalah subjek/ wajib pajak yang bidang usahanya secara formal adalah jasa
konstruksi. Artinya, telah memiliki Sertifikasi dan Kualifikasi sebagai profesional
dalam bidang konstruksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nomor 11 Tahun 2006.
Kesimpulan ini sejalan dengan memperhatikan historis sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008; PP Nomor 40 Tahun 2009, Pengenaan
PPh Final atas jasa konstruksi yang sebelumnya diatur oleh Peraturan Pemerintah
(PP) No. 140 Tahun 2000.
Dalam PP Nomor 140 Tahun 2000 kala itu menyebut secara implisit bahwa subjek
pajak yang tercakup dalam PP tersebut hanyalah pengusaha konstruksi yang sudah
memperoleh sertifikasi dan kualifikasi dalam bidang konstruksi. Bahkan umumnya
sudah mengantongi izin usaha di bidang konstruksi (Surat Izin Usaha Jasa
Konstruksi/SIUJK).
Lebih lanjut dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 Pasal 1 angka 4, 5 dan angka 6
disebutkan sebagai berikut:
“4. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
5. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang
mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan
4. Riki Ardoni
menjadi bentuk bangunan tau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan
konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering,
procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan
pembangunan (design and build).
6. Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi,
yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.”
Frase kata “…yang dinyatakan ahli yang profesional…” dalam ketiga definisi
tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya PP Nomor 51 Tahun 2008 memang
khusus diperuntukkan bagi mereka yang sudah mendapat Sertifikasi dan
Kualifikasi sebagai profesional dalam bidang konstruksi.
Dalam ketentuan umum jasa konstruksi, seperti dinyatakan dalam Peraturan
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008, salah satu
wujud dari pengakuan keahlian dan profesionalitas jasa konstruksi tersebut adalah
dengan adanya Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang diterbitkan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
SBU adalah sertifikat tanda bukti pengakuan formal atas tingkat/kedalaman
kompetensi dan kemampuan usaha dengan ketetapan klasifikasi dan kualifikasi
usaha. Jadi dari dokumen ini akan tercantum klasifikasi atau jenis pekerjaan yang
dapat dilaksanakan oleh pengusaha jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan,
dan/atau pengawasan) serta kualifikasinya sekaligus (kecil, menengah, atau besar).
SBU hanya berlaku selama 3 tahun sejak tanggal diterbitkan dengan ketentuan
wajib melakukan registrasi ulang pada tahun ke-2 dan tahun ke-3. Jika tidak
melakukan registrasi ulang, maka SBU yang bersangkutan dianggap tidak berlaku
untuk tahun yang bersangkutan dan tahun berikutnya. Meski SBU-nya dinyatakan
tidak berlaku, tetapi pengusaha jasa konstruksi tersebut tetap akan tercantum dan
teregister di dalam database LPJK, namun dapat dikatakan tidak mempunyai
kualifikasi. Nah mereka inilah yang dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor
5. Riki Ardoni
40 Tahun 2009 dapat dikenakan tarif PPh Final lebih besar, yaitu 4% untuk jasa
pelaksanaan konstruksi dan 6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan
konstruksi.
Sedangkan yang SBU-nya masih berlaku dikenakan tarif 2% untuk pelaksana
konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil, 3% untuk pelaksana konstruksi yang
memiliki kualifikasi usaha menengah dan besar serta tarif 4% untuk jasa
perencanaan dan pengawasan. Tarif jasa kontruksi Pasal 4 ayat (2)
No. Klsasifikasi Kualifikasi Jasa Konstruksi Pelaksana Perencanaan/ Pengawas
1 Kualifikasi Usaha Kecil 2% 4%
2 Kualifikasi Usaha Menengah dan Besar 3% 4%
3 Tidak memiliki Kualifikasi Usaha 4% 6%
*jumlah pembayaran tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi ke
dalam tiga kelompok yakni: kecil, menengah dan besar. Menurut Peraturan LPJK
Nomor 11 Tahun 2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut
grade yaitu tingkat kemampuan atau kompetensi dari si kontraktor, seperti tampak
pada tabel berikut :
Kualifikasi Kelompok Grade Kompetensi Peruntukan
Kecil K3 1 Rp0 - Rp100 Juta
Pengusaha perorangan dan
Badan usaha
Kecil K2 2 Rp100 Juta – Rp300 Juta
Pengusaha perorangan dan
Badan usaha
Kecil K1 3 Rp300 Juta – Rp600 Juta
Pengusaha perorangan dan
Badan usaha
Kecil 4 Rp600 Juta – Rp1 Miliar
Pengusaha perorangan dan
Badan usaha
Menengah M 5 Rp1 Miliar – Rp10 Miliar Badan usaha
Besar B2 6 Rp1 Miliar – Rp25 Miliar Badan usaha
Besar B1 7 Rp1 Miliar – tidak dibatasi
Badan usaha (termasuk
asing)
6. Riki Ardoni
B. JASA KONSTRUKSI PPh 23 (TIDAK FINAL)
Dalam hal wajib pajak yang belum teregister dalam LPJK dan otomatis tidak memiliki
Sertifikasi Badan Usaha, maka pengenaan PPh atas jasa konstruksi menggunakan
PPh Pasal 23 untuk wajib pajak Badan dan PPh Pasal 21 untuk wajib pajak orang
pribadi.
Sampai saat ini, masih ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa meskipun
pengusaha jasa konstruksi belum memiliki izin usaha dan sertifikat, tetap dikenakan
PPh Final Pasal 4 ayat (2) Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam PP
Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009. Alasannya karena Pasal 4 ayat
(2) UU PPh merupakan ketentuan yang lex specialis. Namun jika berpegang pada
pendapat ini, maka akan ada kesulitan bagi pengusaha jasa konstruksi yang
bersangkutan terutama bila dikaitkan dengan masih adanya pemotongan PPh Pasal
23 (tidak final) atas ‘jasa-jasa konstruksi’ seperti berikut:
Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau
TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
(Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1 ayat (2) huruf r Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 244/PMK.03/2008);
Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, listrik, telepon, air, gas, AC, TV
kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1
ayat (2) huruf s PMK Nomor 244/PMK.03/2008).
Jika ditelisik lebih jauh, maka akan dijumpai bahwa kedua jenis jasa tersebut di atas
dalam praktiknya merupakan satu kesatuan pekerjaan dalam sebuah proyek
pembangunan konstruksi. Lalu, apakah itu berarti pengusaha konstruksi yang tidak
mempunyai izin usaha dan/atau sertifikat jasa konstruksi ‘dipaksa’ harus memilah
mana pekerjaan yang dikenakan PPh Final dan mana yang dikenakan PPh Tidak
Final (PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21)? Di samping itu, ketentuan ini juga akan
mempersulit terutama dalam menentukan mana biaya-biaya usaha yang non-
7. Riki Ardoni
deductible expense (yang terkait dengan PPh Final) dan mana yang deductible
(yang tidak terkait PPh Final).
C. DINAMIKA PERMASALAHAN PPh ATAS JASA KONTRUKSI
Pasal 23 UU PPh yang di antaranya mengatur pemotongan PPh sebesar 2% aatas jasa
konstruksi dan tidak bersifat final tidak diatur lagi dengan pengaturan yang lebih
teknis.pengaturan teknis PPh Pasal 23 yang ada terkait dengan cakupan imbalan jasa
lain. hal tersebut diatur dalam Peraturan Menkeu (Peraturan Menkeu No. 141/PMK.
03/2015) yang menyarakan bahwa jasa lainnya mencakup di antaranya beberapa jasa
yang menjadi subklafikasi dari jasa konstruksi.
di dalam Pasal 21 UU PPh 2008, imbalan jasa tenaga ahli juga menjadi objek
pemotongan pajak ketentuan ini dijabarkan lagi dengan Peraturan Menkeu (Peraturan
Menkeu No. 252/PMK.03/2008) yang mengatur petunjuk pelaksanaannya dan
Peraturan Dirjen Pajak (Peraturan Dirjen Pajak No. Per- 16/PJ/2016)yang mengatur
pedoman teknis pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal
26. Peraturan Dirjen Pajak tersebut di antarannya mengatur bahwa tenaga ahli
mencakup di antarannya adalah arsitek. dengan demikian, imbalan kepada Arsitek
orang pribadi sebagai tenaga ahli merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21
jadi, berdasarkan rujukan beberapa Peraturan di atas, jasa konstruksi pada saat yang
bersamaan dapat dikenakan :
• PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan pelaksanaan terkait (Peraturan
Pemerintah No. 51/2008; Peraturan Pemerintah No. 40/2009);
• PPh Pasal 23 dengan tarif 2% atas jasa konstruksi sesuai Pasal 23 UU PPh dan
ketentuan ini tidak memerlukan Peraturan pelaksanaan;
• PPh Pasal 23 dengan tarif 2% atas jasa lainnya sesuai Pasal 23 UU PPh dan
Peraturan pelaksanaan terkait (Peraturan Menkeu No. 141/PMK.03/2015);
• PPh Pasal 21 atas imbalan jasa orang pribadi selaku tenaga ahli arsitek sesuai
Peraturan pelaksanaan terkait (Peraturan Menkeu No. 252/PMK.032008)
8. Riki Ardoni
Gambar 1. Perlakuan PPh atas Jasa Kontruksi
PPh Final
Pasal 4 ayat (2) UUPPh Pasal 21 UUPPh
Imbalankepadaarsitek
sebagai jasatenagaahli
Imbalanjasa
konstruksi
PPhNo. 51/2008 jo. PP No.
40/2009
PerMenKeuNo.
187/PMK.03/2008 s.t.d.d.
153/PMK.03/2009
PerMenKeuNo.
252/PMK.03/2008
PerMenKeuNo.
141/PMK.03/2015
PerDirjenPajakNo. Per-
32/PJ/2015
Imbalankepadakontraktor
pelaksana, pengawas, atau
perencanabaikorang pribadi
maupunbadan, denganatau
tanpakualifikasi
"dalam hal penghasilantidakdikenai pajakpenghasilanyang bersifat final denganperaturanpemerintahtersendiri, atas penghasilantersebut dikenai pajak
penghasilanberdasarkantarif sebagaimanadimaksud dalam pasal 17 UUPPh"
Pasal 19 PP No. 94/2010
Jasa Konstruksi
Jasalainnya: 1) jasa
instalasi/pemeliharaan/perawatan
tanpaSIUJK; 2) jasaarsitektur;
3) jasaperencanaankotadan
arsitektur landscape; 4) jasa
perancang (disign)
Pasal 23 UUPPh
PPh Non Final
9. Riki Ardoni
Berdasarkan uraian di atas dan merujuk pada Gambar 1, pengenaan pajak atas imbalan
jasa konstruksi bersifat final sesuai PP No. 51/2008 jo. PP No. 40/2009 dan ketentuan
jasa kontruksi pada Pasal 23 UU PPh dan peraturan MenKeu No. 141/PMK.03/2015
sepertinya menjadi ompong karena tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat lagi.
Demikian pula, objek PPh Pasal 21 atas jasa tenaga ahli Arsitek menjadi tidak efektif lagi
dikarenakan jasa Arsitek merupakan bagian dari jasa kontruksi dan sudah menjadi
objek PPh Pasal 4 (2).