3. Hudûd
Hudûd secara bahasa adalah jamak dari kata had yang berarti
memisahkan salah satu barang (sesuatu) agar tidak tercampur dengan yang
lain, atau salah satunya tidak melampaui batas atas yang lainnya. Kata ini
juga dalam ensiklopedi Al-Qur’an memberi makna “batas” atau sesuatu
yang “tajam”, karena secara bahasa hadid, berasal dari kata had.
Secara etimologi dapat dirumuskan bahwa hudûd adalah suatu
pemisah atau pembatas yang tidak boleh dilewati karena suatu pelanggaran
yang mempunyai hukuman.
Menurut syar’i, istilah hudûd adalah hukuman-hukuman
kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjerumusnya
seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya.
4. Ta’zîr
Ta’zîr adalah bentuk mashdar dari kata ‘azzara yang
secara etimologis berarti menolak dan mencegah. Adapun
menurut istilah hukum syara’ berarti pencegahan dan pengajaran
terhadap tindak pidana yang tidak mempunyai hukum had,
kafarat, dan qhisâs. Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai
hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah
SWT dan hak hamba yang tidak ditentukan Al-Qur’an dan
Hadis.
Ta’zîr berfungsi memberikan pengajaran kepada si
terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi
perbuatan serupa. Sebagian lain mengatakan sebagai sebuah
hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum
dengan hukuman had atau kafarat.
5. Qishâsh berasal dari kata قصص yang
artinya memotong atau berasal dari kata اقتص
yang artinya mengikuti, yakni mengikuti
perbuatan si penjahat sebagai pembalasan atas
perbuatannya. .
Menurut syara’ qishâsh ialah hukuman
balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan
maupun perusakan atau penghilangan fungsi
tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
.
Qishâsh
7. Hudûd
Hudûd meliputi tujuh jenis, yaitu :
1. Perzinahan. Zina adalah melakukan hubungan seksual yang diharamkan dikemaluan dan di dubur oleh
dua orang yang bukan suami istri. Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan
nasab.
2. Menuduh berzina (qasaf). Qazf adalah menuduh orang lain berzina, yang hukumannya dengan ta’zîr
dan termasuk dosa besar. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti)
ditegakkan untuk menjaga kehormatan dan harga diri.
3. Pencurian. Pencuri adalah mengambil harta yang tersimpan di tempat yang terjaga dengan sembunyi-
sembunyi. (hukuman pencuri) ditegakkan untuk menjaga harta.
4. Perampokan. Hirabah atau perampokan adalah tindakan bersenjata dari kelompok orang untuk
melakukan kekacauan, pertumpahan, merusak harta benda serta menentang perundang-undangan. Had
al-Hirabah (hukuman para perampok) ditegakkan untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri
kehormatan.
8. 5. Pemberontakan. Istilah lain dari pemberontakan yaitu al-bagyu atau makar kepada pemerintah
yang sah. Had al-Baghi (hukuman pemberontak) ditegakkan untuk menjaga agama dan jiwa.
6. Murtad. Kata murtad diistilahkan dengan riddah yang berarti menentang, menolak, menutup
atau mengembalikan. Murtad adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa kepada
kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain baik laki-laki maupun
perempuan. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) ditegakkan untuk menjaga agama.
7. Peminum Khamar. Arak ialah minuman keras. Dalam bahasa Arab dinamakan khamar, berasal
dari kata “khamara”, artinya menutupi dalam agama Islam, arak itu haram diminum, sebab
dapat menghilangkan akal pikiran. Seseorang yang meminum arak atau khamar biasanya mabuk
dan hilang kesadarannya. Ia lupa diri dan lupa tuhan. Had al-Khamr (hukuman orang minum
khamer (minuman memabukkan) ditegakkan untuk menjaga akal.
9. Ta’zîr
Berdasarkan hak yang dilanggar oleh pelaku, Imam Muhammad Abu Zahrah membagi hukuman
ta’zîr menjadi dua, yaitu sanksi ta’zîr yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan sanksi ta’zîr yang berkaitan
dengan pelanggaran hak manusia. Ia pun berpendapat sanksi-sanksi ta’zîr sama dengan sanksi-sanksi yang
telah ditentukan. Sebagian ada yang merupakan hak Allah SWT dan sebagian merupakan hak manusia. inilah
pembagiannya secara umum.
Contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan pelakunya
harus dihukum ta’zîr, di antaranya perbuatan bid’ah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW,
perdagangan manusia, berbisnis narkoba, manipulasi, riba, dan kesaksian palsu.
Contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak manusia, seperti dalam kasus
pembunuhan semi-sengaja. Di samping adanya kewajiban pemberian diyat oleh pelaku kepada keluarga
korban, masih terdapat satu sanksi lagi berupa ta’zîr untuk memelihara hak manusia. demikian
pula pemberlakuan hukuman ta’zîr dalam masalah penganiayaan yang tidak mungkin dihukum qishâsh.
Contoh lainnya yaitu percobaan pembunuhan atau kasus penyekapan.
10. Qishâsh
Qishâsh meliputi dua jenis, yaitu :
1. Qishâsh pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi
pembunuh).
2. Qishâsh anggota badan (yang merupakan hukuman bagi
pelaku tindak pidana melukai, merusak atau
menghilangkan fungsi anggota badan).
12. Hudûd
Hudûd adalah rahmat untuk makhluk dan kebaikan bagi mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya
orang yang menghukum manusia karena dosa-dosa mereka, bertujuan melakukannya untuk kebaikan dan rahmat
kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang
sakit.
Kata Hudûd dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak 14 kali. Salah satunya dalam penggalan ayat
surat Al-Baqarah ayat 187 sebagai berikut :
فال هلال حدود تلك
تقربوها
Artinya: “Itu adalah hudûd Allah SWT maka jangan kamu mendekatinya”.
Ayat di atas menerangkan bahwa hukum-hukum yang Allah SWT syariatkan kepada kita merupakan batasan-
batasan yang menegaskan antara perkara halal dan haram, maka kita dilarang mendekati hudûd agar tidak
terjerumus ke dalam perkara haram.
Selain itu, kata hudûd juga ditemukan dalam surat An-Nisa’ ayat 13, Al-Thalak ayat 1, Al-Baqarah
ayat 229, Al-Maidah ayat 13-14, Al-Mujadalah ayat 51 dan 20 serta At-Taubah ayat 63.
13. Ta’zîr
Dalam konsep Islam, ta’zîr dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku
kejahatan agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
دو ال اهیف عرشت ممل بونذ لع و
Artinya: “Ta’zîr adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan
hukumannya oleh syara’.”
Ta’zîr adalah hukuman yang tidak ada nash yang jelas dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits
sehingga harus ditetapkan oleh pemerintah atau waliyul amri dengan cara berijtihad. Hukuman ta’zîr
dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringannya suatu tindak pidana, situasi dan kondisi
masyarakat, serta tuntunan kepentingan umum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zîr
diterapkan tidak secara definitif, melainkan masih melihat situasi dan kondisi terlebih dahulu, dan
bagaimana perbuatan jarimah terjadi, kapan waktunya, siapa korbannya, dan sanksi apa yang pantas
dikenakan demi menjamin ketentraman dan kemaslahatan umat.
14. Ketetapan qishâsh diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW. sebagai respon atas perilaku
masyarakat Jahiliyah yang memperlakukan para pembunuh secara berlebihan. Dalam masyarakat Jahiliyah
terkait masalah pembunuhan berlaku ketentuan hukum adat yang menekankan pada keadilan pribadi suatu
sistem yang memprioritaskan balas dendam.
Tradisi ini sangat berbeda setelah kedatangan Islam. Al-Qur’an menetapkan untuk kasus
pembunuhan atau melukai badan patokan hukum berupa pembalasan yang adil dalam artian setara.
Dinyatakan secara tegas dalam penggalan ayat surat Al-Maidah ayat 45, sebagai berikut :
َْنیَعْلٱَو ِ
سْفَّنٱلِب َ
سْفَّنٱل َّنَأ ٓاَهیِف ْمِْهیَلَع اَنْبَتَكَو
ِْنیَعْلٱِب
Artinya: “Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata.”
Secara umum ayat di atas bermakna yang termasuk apa yang dimaksudkan Allah SWT dalam
Taurat adalah hukum qishâsh yang adil pada kasus pembunuhan dan melukai orang lain, dimana satu mata
mengganti satu mata, dan satu nyawa menjadi ganti satu nyawa, hukum ini bertujuan untuk melindungi jiwa
dan memproteksi anggota tubuh.
Qishâsh
16. • Imam Ahmad berpendapat, mengenai pencurian, pertama harta tidak disyaratkan harus
dengan kondisi disimpan dan terjaga atau diletakkan di tempat yang pantas. Hukuman
tetap dijatuhkan bagi pencuri meskipun harta yang dicuri diletakkan di berbagai tempat.
Kedua, mayoritas ulama imam mazhab seperti: Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa harta yang dicuri yang bisa menyebabkan had potong tangan,
disyaratkan harus disimpan dengan baik dan terjaga.
• Ulama berbeda pendapat tentang apakah qadzaf itu merupakan tindak pidana aduan atau
bukan, As-Syafi'i berpendapat bahwa qadzaf adalah tindak pidana aduan yang
sepenuhnya hak korban pencemaran (huquq al-Ibad). Konsekuensinya hakim tidak akan
mengadili pelaku qadzaf tanpa aduan dari korban, sementara hukuman dan dosanya akan
gugur sendiri jika korban telah memaafkannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah qadzaf
merupakan tindak pidana tanpa aduan dan merupakan hak Allah (huquq Allah SWT).
Konsekuensinya ialah bahwa hakim harus mengadili pelakunya meskipun tanpa
pengaduan dari korban, dan hukumannya tidak gugur meskipun korban memaafkannya,
hanya Allah SWT yang dapat menerima tobat, jika pelakunya bertobat.
Hudûd
17. Ta’zîr
Menurut ulama kalangan Hanafiyah, hukuman mati sebagai ta’zîr dapat
diterapkan sebagai pertimbangan politik negara dan berlaku jarimah tertentu seperti
sodomi, atau pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, merampok berulang kali
mencuri, dan berselingkuh.
Menurut sebagian ulama kalangan Syafi’iyah, hukuman mati sebagai ta’zîr
dapat diberlakukan terhadap orang yang mengajak orang lain untuk melakukan
penyimpangan-penyimpangan agama yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.
Menurut ulama kalangan Malikiyah, hukuman mati sebagai ta’zîr
diperbolehkan, sebagaimana hukuman mati bagi mata-mata Muslim tetapi memihak
musuh.
Menurut ulama kalangan Hanabilah, Ibnu Aqil berpendapat bahwa mata-
mata Muslim yang membocorkan rahasia kepada musuh boleh dihukum mati sebagai
ta’zîr. Pendapat ini sama dengan pendapat yang mengatakan bahwa para pelaku bid’ah
atau orang-orang yang selalu berbuat kerusakan juga boleh dihukum mati.
18. Qishâsh
■ Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa media pedang sebagai alat yang wajib
digunakan dalam menjalankan hukuman qishâs. Sedangkan ulama Syafi'iyah dan
Malikiyah mengartikan dalil-dalil yang menjadi rujukan qishâs, tidak hanya
terbatas pada media pedang, namun tergantung pada media yang digunakan
pelaku dalam menjalankan tindak pidananya.
■ Jumhur ulama (Malik, Syafi‘i, dan Ahmad ibn Hambal) berpendapat bahwa
seorang merdeka tidak boleh di qishâsh karena membunuh hamba sahaya.
Jumhur ulama dan Imam Qurthubi juga berpendapat bahwa orang Muslim tidak
diqishâsh karena membunuh orang kafir, Jika mustahiq al-qishâsh memaafkan
dengan tanpa meminta diyat, menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam
sebuah pendapat; maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyat secara
paksa.