Modul ini membahas lingkup kajian makna secara semantik dan pragmatik, relasi makna antara kata, serta makna kata, frasa, dan kalimat. Topik utama meliputi perbedaan antara semantik dan pragmatik, objek kajian semantik seperti makna kata dan relasi antarkata, serta makna frasa dan kalimat."
2. ii
PENDALAMAN MATERI BAHASA JEPANG
MODUL 4 KB 4
SEMANTIK DAN PRAGMATIK
Nama Penulis:
Dr. Kadek Eva Krishna Adnyani S.S., M.Si.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2019
3. iii
Daftar Isi
Cover Utama ............................................................................................................i
Kata Pengantar ........................................................................................................ii
Daftar Isi ................................................................................................................iii
Daftar Gambar ........................................................................................................vi
Daftar Tabel .........................................................................................................viii
Daftar Bagan ..........................................................................................................ix
A. Pendahuluan .......................................................................................................1
B. Inti ......................................................................................................................1
1. Capaian Pembelajaran .................................................................................1
2. Pokok-Pokok Materi ...................................................................................1
3. Uraian Materi ..............................................................................................1.
C. Penutup .............................................................................................................23
1. Rangkuman ...............................................................................................23
Daftar Pustaka .......................................................................................................24
5. 1
A. PENDAHULUAN
Modul ini merupakan modul pembelajaran semantik yang memuat lingkup
kajian makna secara semantik dan pragmatik, relasi makna (sinonim, antonim,
hiponimi dan hipernimi), serta makna kata frasa, dan kalimat. Isi materi ini
diharapkan dapat membantu pengajar sekaligus pembelajar bahasa Jepang untuk
memahami dasar-dasar semantik dan pragmatik bahasa Jepang yang akan sangat
berguna dalam kegiatan belajar-mengajar.
Mulailah dengan membaca capaian pembelajaran yang ingin dicapai
dalam modul ini. Selanjutnya pelajari isi materi dengan seksama. Selanjutnya
kerjakan tes formatif untuk mengukur hasil belajar dan tingkat pemahaman.
B. INTI
1. Capaian Pembelajaran: mampu memahami lingkup kajian makna secara
semantik dan pragmatik, relasi makna (sinonim, antonim, hiponimi dan
hipernimi), serta makna kata frasa, dan kalimat.
2. Pokok-Pokok Materi:
a. Lingkup kajian makna secara semantik
b) Lingkup kajian makna secara pragmatik
c) Relasi makna: sinonim, antonim, hiponimi dan hipernimi
d) Makna kata, frasa dalam idiom, kalimat
3. Uraian Materi
Sebelum mulai membahas mengenai semantik dan pragmatik, mari kita
mencermati secara seksama mengenai perbandingan antara objek kajian semantik
6. 2
dan bidang ilmu linguistik lain termasuk pragmatik. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.1. Objek Kajian Bidang Ilmu Linguistik
Pada gambar 4.1. semakin di tengah posisinya, maka semakin khusus
cakupannya dan sebaliknya, semakin berada di luar, cakupannya semakin luas.
Kita mulai dengan fonetik yang objek kajiannya adalah bunyi. Selanjutnya ada
fonologi yang objek kajiannya adalah fonem, morfologi yang objek kajiannya
kata, sintaksis yang objek kajiannya frasa dan kalimat, semantik yang objek
kajiannya makna harfiah dari frasa dan kalimat, dan terakhir, ada pragmatik yang
objek kajiannya adalah arti dalam suatu konteks wacana.
Crystal (2011: 428-429) menyebutkan bahwa semantik adalah cabang besar
linguistik yang mempelajari makna bahasa. Istilah ini juga digunakan dalam
filosofi dan logika, namun tidak dalam cakupan makna atau penekanan yang sama
dengan seperti di dalam linguistik. Istilah semantik linguistik sering digunakan
untuk membuat perbedaan ini jelas.
7. 3
Tjandra (2014: 2) menyebutkan bahwa semantik atau imiron (ilmu makna)
adalah ilmu yang mempelajari makna kata. Makna leksikal secara singkat adalah
makna kamus yaitu makna yang bersifat tidak mengikat, mengacu kepada acuan
berupa benda atau maksud hati / pikiran yang berwujud konkret maupun abstrak,
atau keadaan atau aksi perbuatan yang dapat ditangkap dengan panca indera.
Makna gramatikal adalah makna yang mengacu kepada suatu acuan gramatika
tertentu yang muncul dalam rangka pembentukan kalimat yang selalu bersifat
mengikat kehadiran morfem atau kata yang lain dan memperlihatkan hubungan
yang ada antara satu morfem dengan morfem lain atau antara satu kata dengan
kata lain yang melibatkan kemunculan makna gramatikal tersebut.
Bussmann (1998: 1048) menyebutkan bahwa semantik adalah istilah yang
digunakan oleh Bréal pada tahun 1897 untuk subdisiplin dari linguistik yang
berfokus pada analisis dan deskripsi dari apa yang disebut dengan „arti harfiah‟
ungkapan linguistik. Tergantung pada fokusnya, ada beberapa aspek yang penting
untuk dikaji; (a) struktur semantis internal dari ungkapan linguistik individual,
seperti digambarkan oleh analisis komponensial, postulasi arti, atau stereotip; (b)
relasi semantis antara ekspresi linguistik seperti sinonim dan antonym; (c) arti
keseluruhan kalimat sebagai keseluruhan arti dari leksem-leksem individual,
sebagaimana halnya hubungan gramatikal antara leksem-leksem tersebut; (d)
Hubungan antara ungkapan linguistik –atau artinya- dengan realita
ekstralinguistik (semantik referensial).
Chaer dan Muliastuti (2014) menyebutkan bahwa semantik (Inggris:
semantiks) diturunkan dari kata bahasa Yunani Kuno sema (bentuk nominal) yang
berarti "tanda" atau "lambang". Bentuk verbalnya adalah semaino yang berarti
menandai" atau "melambangkan". Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di
sini sebagai padanan kata "sema" itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe
linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Sudah
disebutkan bahwa tanda linguistik itu terdiri dari komponen penanda (Prancis:
signifie) yang berwujud bunyi, dan komponen petanda (Prancis: signifie) yang
berwujud konsep atau makna.
8. 4
Kata semantik ini, kemudian disepakati oleh banyak pakar untuk menyebut
bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda linguistik itu dengan
hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang
mempelajari makna-makna yang terdapat dalam satuan-satuan bahasa. Oleh
karena itu, semantik secara gamblang dapat dikatakan sebagai ilmu yang
mempelajari makna. Selain semantik, dalam studi tentang makna ada pula bidang
studi yang disebut semiotika (sering juga disebut semiologi dan semasiologi).
Bedanya, kalau semantik objek studinya adalah makna yang ada dalam bahasa
maka semiotika objek studinya adalah makna yang ada dalam semua sistem
lambang dan tanda.
Jadi, sebetulnya objek kajian semiotika lebih luas daripada objek kajian
semantik. Malah sebenarnya, studi semantik itu sesungguhnya berada di bawah
atau termasuk dalam kajian semiotik, sebab bahasa juga termasuk sebuah sistem
lambang. Dalam hal ini kiranya perlu dijelaskan dulu perbedaan antara lambang
dengan tanda. Lambang adalah sejenis tanda dapat berupa bunyi (seperti dalam
bahasa), gambar (seperti dalam tanda-lalu lintas), warna (seperti dalam lalu lintas),
gerak-gerik anggota tubuh dan sebagainya yang secara konvensional digunakan
untuk melambangkan atau menandai sesuatu. Misalnya, kata yang berbunyi
(kuda), digunakan untuk melambangkan sejenis binatang berkaki empat yang
biasa dikendarai, dan warna merah dalam lampu lalu lintas untuk melambangkan
tidak boleh berjalan terus. Sedangkan tanda adalah sesuatu yang menandai sesuatu
yang lain. Misalnya, adanya asap hitam membubung tinggi di kejauhan adalah
tanda adanya.
Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lalu, apakah semantik
mempelajari juga makna-makna, seperti yang terdapat dalam ungkapan bahasa
bunga, bahasa warna, dan bahasa perangko? Tentu saja tidak, sebab makna-makna
yang terdapat dalam ungkapan bahasa bunga, bahasa warna dan bahasa perangko
itu bukanlah merupakan makna bahasa melainkan makna dari sistem komunikasi
yang lambangnya berupa bunga, warna dan perangko. Jadi, sebenarnya tidak
termasuk objek kajian semantik, melainkan menjadi objek kajian semiotika.
Berlainan dengan sasaran analisis bahasa lainnya, semantik merupakan cabang
9. 5
linguistik yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lain, seperti
sosiologi, antropologi, dan psikologi.
Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantik karena sering dijumpai
kenyataan bahwa Kegunaan kata-kata tertentu untuk menyatakan suatu makna
dapat mendapat identitas kelompok dalam masyarakat. Seperti penggunaan kata
uang dan duit meskipun kedua kata itu memiliki makna yang sama, tetapi jelas
menunjukkan kelompok sosial yang berbeda. Bidang studi antropologi
mempunyai kepentingan dengan semantik, antara lain karena analisis makna
sebuah bahasa dapat memberikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya
pemakainya. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris tidak ada kata untuk
membedakan konsep padi, "gabah", "beras", dan "nasi" karena masyarakat Inggris
tidak memiliki budaya makan nasi. Untuk keempat konsep itu bahasa Inggris
hanya punya satu kata, yaitu rice, sedangkan bahasa Indonesia memiliki kata
untuk keempat konsep itu karena masyarakat Indonesia memiliki budaya makan
nasi. Sebaliknya, masyarakat Indonesia yang tidak pernah digeluti salju hanya
mempunyai satu kata untuk konsep salju, yaitu salju. Itu pun merupakan kata
serapan dari bahasa Arab, padahal dalam bahasa Eskimo ada lebih dari 20 kata
untuk mengungkap konsep salju karena barangkali sepanjang waktu bangsa
Eskimo selalu bergelut dengan salju.
a. Lingkup Kajian Makna secara Semantik
Tjandra (2016) menyebutkan bahwa semantik adalah ilmu bahasa yang
mempelajari makna dari satuan-satuan bahasa, khususnya semantik leksikal
adalah ilmu bahasa yang mempelajari makna dari kata. Makna leksikal yang
dipelajari ini merupakan makna yang bersifat konseptual karena mengandung isi
acuan yang sesuai dengan makna tersebut.
Lebih jauh, Tjandra (2014: 2) juga menyebutkan bahwa semantik atau
imiron (ilmu makna) adalah ilmu yang mempelajari makna kata. Makna leksikal
secara singkat adalah makna kamus yaitu makna yang bersifat tidak mengikat,
mengacu kepada acuan berupa benda atau maksud hati / pikiran yang berwujud
10. 6
konkret maupun abstrak, atau keadaan atau aksi perbuatan yang dapat ditangkap
dengan panca indera. Makna gramatikal adalah makna yang mengacu kepada
suatu acuan gramatika tertentu yang muncul dalam rangka pembentukan kalimat
yang selalu bersifat mengikat kehadiran morfem atau kata yang lain dan
memperlihatkan hubungan yang ada antara satu morfem dengan morfem lain atau
antara satu kata dengan kata lain yang melibatkan kemunculan makna gramatikal
tersebut.
Tetapi, di pihak lain, ada ilmu pengetahuan di luar ilmu bahasa yang juga
mempelajari makna kata. Cuma makna yang dipelajari tersebut bukan makna
yang bersifat konseptual, melainkan makna yang bersifat asosiatif yakni acuan
yang melambangkan sesuatu yang dikehendaki oleh pemakainya. Ilmu
pengetahuan yang mempelajari makna asosiatif tersebut yang memperlihatkan
hubungan timbal balik antara makna dan suatu tanda di dalam kehidupan adalah
ilmu yang disebut semiotik. Semiotik adalah ilmu pengetahuan yang berada di
luar ilmu bahasa. Singkatnya semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda atau
simbol tertentu.
Misalnya dalam bahasa Jepang ada kata Shiro bermakna leksikal “warna
putih” berarti “warna putih” adalah makna konseptual yang merupakan objek dari
semantik. Tetapi, selain itu, shiro juga bermakna orang yang tidak bersalah.
Makna “orang yang tidak bersalah” adalah acuan yang diacu oleh makna asal
“warna putih”, berarti “orang yang tidak bersalah” menjadi makna asosiatif dari
makna asal “warna putih”.
Dengan kata lain, acuan “orang yang tidak bersalah” menjadi simbol atau
tanda dari makna konseptual “warna putih”. Acuan yang menjadi simbol atau
tanda dari suatu kata merupakan objek dari ilmu semiotik. Pada dasarnya, dapat
dikatakan bahwa ilmu semnatikbertugas menguraikan komposisi dan isi makna
konseptual kata, sedangkan ilmu semiotik bertugas memaparkan tanda atau
simbol yang dilambangkan oleh kata tersebut.
Sutedi (2014: 127) menyebutkan bahwa semantik (dalam bahasa Jepang
dikenal dengan imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji
tentang makna.
11. 7
Objek kajian semantik antara lain :
a. Makna kata (Go no imi) : karena komunikasi dengan menggunakan suatu
bahasa yang sama seperti bahasa jepang, baru akan berjalan dengan lancar
jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut
makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicara.
b. Relasi makna antar satu kata dengan kata lainnya (Go to go no imi
kankei) : karena hasilnya dapat dijadikan bahan untuk menyusun
kelompok kata berdasarkan kategori tertentu.
c. Makna frasa (ku no imi) : dalam bahasa Jepang ada frasa yang hanya
bermakna secara leksikal saja, ada frasa yang bermakna secara
ideomatilalnya saja, dan ada juga yang bermakna kedua-duanya.
d. Makna kalimat (bun no imi) : karena suatu kalimat ditentukan oleh makna
setiap kata dan strukturnya.
Jenis dan Perubahan Makna
a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal dikenal dengan istilah jishoteki-imi atau goiteki-imi,
yaitu makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai
hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya.
Makna gramatikal disebut bunpouteki-imi, yaitu makna yang
muncul akibat proses gramatikalnya.
b. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif disebut meijiteki imi atau gaien, yaitu makna yang
berkaitan dengan dunia luar bahasa, seperti objek atau gagasan dan bisa
dijelaskan dengan analisis komponen makna.
Makna konotatif disebut anjiteki-imi atau naihou, yaitu makna
yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara dan lawan
bicaranya.
12. 8
c. Makna Dasar dan Makna Perluasan
Makna dasar disebut dengan kihon-gi merupakan makna asli yang
dimiliki oleh suatu kata, yaitu makna bahasa yang digunakan pada masa
sekarang ini.
Beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, diantara lain :
Dari konkret ke abstrak
Contoh kata atama (頭)<kepala> dan ude (腕)<lengan>
merupakan benda konkret dan berubah menjadi abstrak ketika digunakan
seperti berikut ini :
頭がいい (atama ga ii) = kepandaian
腕が上がる (ude ga agaru) = kemampuan
Dari ruang ke waktu
Contoh kata mae (前)<depan> dan nagai (長い)<panjang>
yang menyatakan arti <ruang>, berubah menjadi <waktu> seperti berikut
ini :
三年前 (san nen mae) = yang lalu
長い時間 (nagai jikan) = lama
Perubahan penggunaan indra
Contoh kata ookii (大きい) <besar> semula bila diamati dengan
indra penglihatan (mata), berubah ke indra penglihatan (telinga)
大きい声 (ookii koe) = suara keras
Dari khusus ke umum (generalisasi)
Kata kimono (着物) yang semula berarti „pakaian tradisional
jepang‟ digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum yaitu fuku
(服).
13. 9
Dari umum ke khusus (spesialisasi)
Kata hana (花) <bunga secara umum> dan tamago (卵) <telur
secara umum> digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus
seperti dalam penggunaan berikut :
花見 (hana mi) = bunga
sakura
卵を食べる (tamago o taberu) = telur ayam
Perubahan nilai ke arah positif
Contohnya kata boku (僕) <saya> dulu digunakan untuk budak
atau pelayan, tapi sekarang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Perubahan nilai ke arah negatif
Contoh kata kisama (貴様)<kamu> dulu sering digunakan untuk
menjukan kata anata (あなた) <anda>, tetapi sekarang digunakan untuk
orang yang dianggap rendah saja.
b. Lingkup Kajian Makna secara Pragmatik
Ilmu yang mengkaji tentang makna kata, frasa, dan klausa dalam suatu
kalimat dikenal dengan pragmatik (goyouron). Hudson dkk (2018) menyebutkan
bahwa selama 4 dekade terakhir, bahasa Jepang disebut sebagai salah satu bahasa
(selain bahasa dari benua Eropa) yang paling banyak dipelajari dalam hal
pragmatik. Dikarenakan oleh karakteristik yang ditampilkan oleh bahasa Jepang
dalam hal strukturnya, sebagaimana keunikan budaya yang diperlihatkan oleh
masyarakat tutur, studi bahasa Jepang telah berkontribusi terhadap pemahaman
mengenai bahasa manusia dengan mengkonfirmasi atau tidak mengkonfirmasi
penerapan beragam prinsip-prinsip pragmatik.
Sutedi (2014: 130) menyebutkan bahwa lingkup kajian makna semantik
dengan pragmatik perlu dibedakan mengingat kedua bidang tersebut sama-sama
mengkaji tentang makna. Misalnya pada kalimat: Kimi tokei o motte ru? <kamu
punya/bawa jam?>. Jika diucapkan pada anak kecil, maka anak yang tidak
14. 10
memakai jam akan menjawab: Iya, mottenai <tidak>, sedangkan anak yang
memakai jam akan menjawab dengan bangga: Hai, motte ru <Ya, punya>.
Lain halnya jika kalimat tersebut ditujukan pada orang dewasa, ia akan
menjawab, misalnya: 10ji 45-fun da yo <pukul 10:45>. Dengan demikian, kalimat
yang sama jika diucapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda, akan berbeda
pula maknanya. Hal seperti inilah yang menjadi objek garapan pragmatik. Jadi
kajian semantik dan pragmatik sama-sama menggarap makna kalimat tapi garapan
semantik menyangkut makna secara aslinya (makna dalam bahasa) sedangkan
untuk garapan pragmatik berupa makna kalimat yang tergantung pada situasi dan
kondisinya (makna luar bahasa).
Tjandra (2016: 62) menjelaskan mengenai 3 jenis makna yang merupakan
bidang dari pragmatik yaitu: makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
a) Makna lokusi adalah makna asli, apa adanya, atau makna secara harfiah.
Bisa juga disebut sebagai makna denotatif.
b) Makna Ilokusi adalah makna yang ditangkap oleh petutur atau pendengar
sebagai mitra tutur atau lawan bicara. Bisa juga disebut sebagai makna
konotatif oleh mitra tutur / lawan bicara.
c) Makna perlokusi adalah makna yang dikehendaki oleh penutur dan mau
disampaikan kepada lawan bicara. Bisa juga disebut sebagai makna
konotatif oleh penutur.
Contoh: makna kata takaramono di dalam percakapan berikut.
Situasi : Laki-laki A berbicara kepada temannya B tentang saudara C yang adalah
teman baiknya atau orang yang disayanginya.
A kepada B:
それはおれの宝物だから、付いて行こう。
Sore wa ore no takaramono dakara, tsuite ikou.
15. 11
Karena itu adalah harta karun milik saya, saya akan mengikutinya.
Makna lokusi “harta karun” adalah makna denotatif
Karena itu adalah barang yang amat berharga milik dia, dia akan mengikutinya.
Makna ilokusi “barang yang amat berharga” adalah makna konotatif oleh petutur/
pendengar.
Karena dia adalah orang yang amat penting bagi saya, saya mau menyusul.
Makna perlokusi “orang yang amat penting bagi saya” adalah makna konotatif
oleh penutur.
Chaniago, dkk. (1997: 15) mengemukakan bahwa suatu cabang ilmu bahasa,
pragmatik memiliki kajian atau bidang telaahan tertentu yaitu deiksis,
praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan.
1. Deiksis
Deiksis berhubungan dengan referensi atau penunjukkan kepada sesuatu
yang ada dalam teks, baik yang sudah disebut maupun yang akan disebut dan
penunjukkan kepada sesuatu yang di luar kalimat atau teks. Dalam kajian
pragmatik ada lima macam deiksis, yaitu
a. Deiksis orang ialah pemberian bentuk kepada personal atau orang, yang
mencakup ketiga kelas kata ganti diri, yaitu kata ganti orang pertama, kata ganti
orang kedua, dan kata ganti orang ketiga, baik bentuk tunggal maupun bentuk
jamak. Misalnya: saya, aku, untuk kata ganti orang pertama tunggal;kami, untuk
kata ganti orang pertama jamak; engkau, kamu, Saudara, untuk kata ganti orang
kedua tunggal dan kalian untuk kata ganti orang kedua jamak; ia, dia untuk kata
ganti orang ketiga tunggal dan mereka untuk kata ganti orang ketiga jamak.
b. Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi atau ruang yang
merupakan tempat dalam peristiwa berbahasa itu. Misalnya: di sini, di situ, di
sana.
16. 12
c. Deiksis waktu adalah pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu
dipandang dari waktu atau saat suatu ungkapan dibuat. Misalnya: kini, pada waktu
itu, kemarin, kemarin dulu, lusa, bulan ini.
d. Deiksis wacana adalah pemberian bentuk kepada bagian-bagian tertentu
dalam wacana yang telah disebut atau yang akan disebut, yang telah diuraikan
atau yang sedang dikembangkan. Misalnya: ini, itu yang terdahulu; yang berikut,
di bawah ini, sebagai berikut.
e. Deiksis sosial menunjukkan atau mengungkapkan adanya perbedaan-
perbedaan kemasyarakatan yang terdapat di antara peran serta, yaitu antara
pembicara dan pendengar yang dituju.
2. Praanggapan (presupposition)
Merupakan suatu dugaan yang menjadi prasyarat untuk menentukan benar
tidaknya suatu pernyataan yang kita dengar. Purwo dalam Chaniago, dkk. (1997:
16) memberikan beberapa macam praanggapan (Tanda /--- menunjukkan
pranggapan).
Contoh:
a. Gambaran yang tertentukan
1) Tono (tidak) melihat orang yang berkepala dua /--- Ada orang berkepala dua.
2) Anak di belakang rumah itu anak manja /--- Ada anak di belakang rumah.
b. Kata verbal yang mengandung kenyataan (faktive)
1) (tidak) aneh kalau orang Amerika itu sua durian /--- orang Amerika itu suka
durian.
2) Marta (tidak) menyesal membuang benda itu /--- Marta membuang benda itu. 7
c. Kata verbal implikatur
1) Saya (tidak) lupa beli buku /--- saya harus membeli buku.
2) Saya berhasil menipu anak itu /--- Saya menipu anak itu.
17. 13
d. Kata verbal yang mengganti keadaan
1) Dia sudah/ belum berhenti membaca surat itu /--- Dia membaca surat itu.
2) Dia sudah/ belum selesai membaca surat itu /--- Dia membaca surat itu.
e. Pengulang
1) Dia kembali berkuasa /--- Dia pernah berkuasa.
2) Dia (tidak) akan mencuri lagi /--- Dia pernah mencuri.
f. Kata waktu
1) Aku (tidak) mencuci piring, ketika Ali tidur /--- Ali tidur.
2) Sejak saya pindah ke Amerika, Amat (tidak) membenci ibunya /--- Saya pindah
ke Amerika.
g. Kalimat yang ada topik atau fokusnya
1) (bukan) Ali yang mencuri uang itu /--- Ali mencuri uang.
2) Yang menyanyi itu (bukan) Ali /--- Ada orang yang menyanyi.
3) Yang dicuri anak itu (bukan) uang /--- Anak itu mencuri sesuatu.
h. Kata bandingan
1) Anak saya (tidak) bisa melompat lebih jauh dari Ali /--- Ali bisa melompat.
2) Anak saya (tidak) bisa melompat sejauh Ali /--- Ali bisa melompat.
i. Aposisi Renggang
1) Paijem, yang saya perkenalkan kepadamu kemarin, (tidak) akan pulang pagi ini
/--- saya memperkenalkan Paijem kepadamu kemarin.
2) Pencuri itu, yang sedang ditangkap itu, masih muda /--- orang itu ditangkap.
j. Kondisional yang berlawanan
1) Kalau/ Andaikata anak itu bangun sebelum jam lima dia (tidak) akan terlambat
/--- Anak itu bangun sebelum jam lima.
18. 14
2) Kalau/ Andaikata anak itu tidak bangun sebelum jam lima dia (tidak) akan
melihat pencurian itu /--- Anak itu bangun sebelum jam lima.
k. Praanggapan pertanyaan
1) Kamu membeli apa di toko itu? /--- kamu membeli sesuatu di toko itu.
2) Mengapa dia membencimu? /--- Dia membencimu
3. Tindak ujaran (speech act)
Berhubungan dengan adanya keinginan untuk menindakkan sesuatu dari
pembicara atau penulis melalui kalimat yang diucapkan atau ditulisnya. Chaniago
(1997) menjelaskan tiga jenis tindakan dalam tindak ujaran (speech act) yaitu:
a. Tindak Lokusi (Locutionary act) adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Tindak lokusi yang mengaitkan suatu topik dengan keterangan dalam suatu
ungkapan. Tindak lokusi memandang suatu kalimat/ ujaran sebagai suatu
proposisi yang terdiri dari subjek/ topik dan predikat/ komentar.
b. Tindak Ilokusi (illocutionary act) merupakan pengucapan suatu pernyataan,
tawaran, janji, pertanyaan, pujian, permintaan, dan sebagainya yang dinyatakan
dengan bentuk-bentuk kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan. Tindak ilokusi
memandang suatu kalimat/ ujaran sebagai tindakan bahasa, misalnya menyuruh,
memanggil, menyatakan setuju, menyampaikan keberatan, dan sebagainya.
c. Tindak Perlokusi (perlocution act) ialah hasil atau efek yang ditimbulkan oleh
suatu ungkapan pada pendengar atau lawan tutur sesuai dengan situasi dan kondisi
pengucapan sebuah kalimat.
4. Implikatur percakapan (conversational implicature)
Merupakan kegiatan menganalisis ucapan pembicara untuk menentukan
makna yang tersirat/ terselubung dari ucapan yang dikeluarkan oleh pembicara itu.
Implikatur percakapan contohnya,
A : Rasanya kerongkonganku terasa kering sekali.
B : Kan ada warung di ujung jalan itu.
19. 15
Pada percakapan di atas, B tidak secara terus terang menanggapi ucapan A.
Meskipun demikian, apa yang diucapkannya secara tidak langsung menanggapi
ucapan A itu. Pernyataan tentang warung memberikan implikasi bahwa terdapat
minuman di situ. Jadi, baik A maupun B dapat membeli minuman di situ sehingga
kerongkongannya tidak akan terasa kering lagi. Selain dua macam implikatur di
atas terdapat pula aturan percakapan (conversational maxim) atau maksim yang
dikemukakan oleh Grice.
Grice mengemukakan empat maksim dalam percakapan yaitu:
a. Maksim Kuantitas Maksim kuantitas menetapkan bahwa setiap peserta
pembicaraan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sesuai dengan yang
diperlukan oleh lawan bicaranya.
b. Maksim Kualitas Maksim atau aturan kualitas menetapkan bahwa setiap peserta
pembicaraan harus mengatakan hal yang sebenarnya.
c. Maksim Hubungan atau Relevansi. Maksim relevansi menetapkan bahwa setiap
peserta pembicaraan harus memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah
pembicaraan.
d. Maksim Cara atau Maksim Pelaksanaan Maksim cara atau maksim pelaksanaan
menetapkan setiap peserta pembicaraan berbicara secara langsung, tidak kabur,
tidak taksa (ambiguity), dan tidak berlebihan secara runtut.
c. Relasi makna: sinonim, antonim, polisemi
Sutedi (2014: 140) mengungkapkan jika suatu imitokuchou (fitur semantik)
terdapat dalam beberapa kata, maka kata-kata tersebut dapat digolongkan ke
dalam satu medan makna yang sama. Misalnya, untuk imitokuchou dari kotoba o
hassuru (bertutur), terkandung dalam verba: hanasu (bicara), iu (berkata), shaberu
(ngomong), noberu (mengutarakan), kataru (bercerita), sasayaku (berbisik),
tsubuyaku (menggerutu), donaru (menghardik), wameku (berteriak), dan
sebagainya. Dari medan makna tersebut bisa dikelompokkan lagi berdasarkan
kategori tertentu sehingga bisa membuat suatu kelompok kata yang disebut
dengan goi. Pengelompokkan tersebut bisa berdasarkan relasi makna seperti
berikut:
20. 16
a. Ruigi Kankei (Hubungan Kesinoniman)
Sinonim merupakan beberapa kata yang maknanya hampir sama.
Momiyama (dalam Sutedi, 2014: 145) mengidentifikasi suatu sinonim sebagai
berikut :
- Chokkanteki (intuitif bahasa) bagi para penutur asli dengan
berdasarkan pada pengalaman hidupnya. Bagi penutur asli, jika
mendengar suatu kata, maka secara langsung dapat merasakan bahwa
kata tersebut bersinonim atau tidak.
- Beberapa kata jika diterjemahkan ke dalam bahasa asing, akan menjadi
satu kata. Misalnya, kata oriru,kudaru, sagaru, dan furu dalam bahasa
Indonesia bisa dipadankan dengan kata „turun‟.
- Dapat menduduki posisi yang sama dalam suatu kalimat dengan
perbedaan makna yang kecil.
- Dalam menegaskan suatu makna, kedua-duanya bisa digunakan secara
bersamaan (sekaligus). Misalnya, pada klausa kaidan o agaru dan
klausa kaidan o noboru sama-sama berarti „menaiki tangga’.
Sutedi (2014: 140) menyebutkan bahwa dua buah kata atau lebih yang
mempunyai salah satu imitokuchou yang sama, bisa dikatakan sebagai kata yang
bersinonim. Misalnya, kata agaru dan noboru. Akan tetapi, meskipun bersinonim,
hanya pada konteks tertentu saja karena tidak ada sinonim yang benar-benar sama
persis, melainkan dalam konteks tertentu pasti ditemukan suatu perbedaannya,
meskipun kecil. Pada kata agaru dan noboru, perbedaannya terletak pada fokus
(shouten) gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan
(toutatsuten) dalam artti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan
noboru menekankan pada jalan yang dilalui (keiro) dari gerak tersebut (proses).
Langkah-langkah dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan
analisis makna dalam sinonim antara lain :
a. Menentukan objek yang akan diteliti
b. Mencari literatur yang relevan
c. Mengumpulkan jitsurei
d. Mengklasifikasikan setiap jitsurei
21. 17
e. Membuat pasangan kata yang akan dianalisis
f. Melakukan analisis
g. Membuat kesimpulan
b. Han-gi Kankei (Hubungan keantoniman)
Tjandra (2016: 131) menjelaskan bahwa antonim adalah lawan kata dari
sinonim. Jadi antonim adalah kata-kata yang maknanya berlawanan. Berlawanan
dalam arti menurut tolok ukur yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Antonim
banyak ditemukan dalam kelas kata adjektif dan verba. Antonim pada adjektif
adalah mengenai keadaan di dalam kehidupan manusia atau alam semesta dan
antonim pada verba adalah mengenai aksi oleh manusia atau yang lain.
Keantoniman tersebut adalah mengenai suatu medan makna tertentu.
Sutedi (2014: 141) menyebutkan bahwa keantoniman dua buah kata dapat
juga dilihat dari imitokuchou-nya. Kendatipun sebagian besar imitokuchou-nya
sama, tetapi jika ada salah satu imitokuchou dianggap berlawanan, maka
hubungan kata tersebut bersifat antonim. Misalnya, kata noboru yang telah
disinggung sebelumnya, dapat dikontraskan dengan kata kudaru „turun‟ sehingga
akan nampak bahwa kedua kata tersebut berhubungan antonim. Perbedaan verba
noboru dan kudaru terletak pada arah gerak tersebut, yaitu dari atas ke bawah dan
dari bawah ke atas.
Jenis-jenis hubungan antonim antara lain mencakup:
- Oposisi mutlak (souhoteki-hangi-kankei): bisa diuji dengan formula,
jika bukan A pasti B. Contohnya, jika bukan hadir, maka pasti absen.
Tidak ada pilihan lain.
- Oposisi kutub (ryoukyokuteki-hangi-kankei): suatu hal dengan dua
jenis kata yang berlawanan baik secara ruang, waktu ataupun secara
kuantitas. Oposisi ini sifatnya tidak mutlak sehingga formula jika
bukan A pasti B tidak berlaku. Contohnya, antara kata choujou
(puncak gunung) dan fumoto (kaki gunung) di dalamnya masih ada
kata chuufuku (perut gunung).
22. 18
- Oposisi Hierarki (renzokuteki-hangi-kankei): hubungan yang
menyatakan deret jenjang atau tingkatan dalam suatu skala pengukuran.
Jika diuji dengan formula jika A, maka bukan B bisa diterima. Tetapi
untuk formula kalau bukan A pasti B tidak bisa diterima. Contohnya,
Tarou wa karada ga ookukunai (Taro badannya tidak besar), maka
badan Taro tersebut belum tentu chiisai (kecil) karena makna besar
dan kecil dalam kalimat tersebut relatif.
- Posisi hubungan rasional (gyakui-kankei): terjadi dalam peristiwa/
perkara dari sudut mana kita memandang perkara tersebut. Misalnya,
pada kata saka (jalan mendaki) jika dilihat dari atas, maka digunakan
kudarizaka (turunan) dan sebaliknya jika dilihat dari bawah maka
digunakan kata noborizaka (tanjakan) padahal merujuk objek yang
sama.
c. Jouge-kankei (hubungan hiponimi dan hipernimi)
Tjandra (2016: 134) menjelaskan bahwa kata-kata yang bermakna leksikal
dan maknanya saling berdekatan akan membentuk medan makna yang sama.
Kata-kata dari medan makna sama ini ada yang maknanya bersifat lebih luas dari
yang lain, ada juga yang lebih sempit. Dalam medan makna yang sama, kata yang
bermakna lebih luas akan melingkupi kata yang bermakna lebih sempit. Kata yang
bermakna lebih luas menjadi berkedudukan lebih tinggi (hipernim) dan kata yang
bermakna sempit berkedudukan lebih rendah (hiponim).
Sutedi (2014: 143) menyebutkan bahwa hubungan hiponimi dan hipernimi
merupakan hubungan antara dua kata misalnya A dan B, bisa dikatakan bahwa A
termasuk ke dalam (bagian dari) B atau B meliputi (mencakup/membawahi) A.
Contohnya, antara kata kudamono (buah-buahan) dan ringo (apel). Kata
kudamono merupakan hipernimi (jouigo) sedangkan kata ringo (apel) merupakan
hiponimi (kaigo). Untuk mengujinya, bisa gunakan formula A to iu B atau dengan
A merupakan salah satu jenis dari B.
23. 19
d. Makna kata, frasa dalam idiom, atau kalimat
Makna Kata
Komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama baru akan
berjalan dengan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam
komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan lawan
bicara. Akan tetapi, baik dalam kamus maupun buku pelajaran bahasa Jepang,
tidak setiap kata maknanya dimuat secara keseluruhan.
Dalam bahasa Jepang, banyak sinonim (ruigigo) dan sangat sulit untuk bisa
dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu. Ditambah, masih minimnya
buku-buku atau kamus dalam bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan
jelas tentang perbedaan dan persamaan dari setiap sinonim tersebut. Oleh karena
itu, penelitian tentang sinonim masih perlu dilakukan.
Selain itu, kata yang juga penting untuk diteliti adalah polisemi (tagigo). Satu
kata yang berpolisemi dalam bahasa Jepang, jika dipadankan ke dalam bahasa
Indonesia bisa menjadi beberapa kata yang berbeda. Oleh karena itu hubungan
antarmakna dalam setiap polisemi harus dideskripsikan dengan jelas (Sutedi,
2014: 128).
Makna Frasa Dalam Idiom
Sutedi (2014: 173) menyebutkan bahwa Frasa dalam bahasa jepang
disebut “ku” (句), dilihat dari strukturnya terdiri dari perpaduan dua kata atau
lebih, yang jenisnya berbeda-beda. Misalnya frasa utsukushii keshiki
„pemandangan indah‟ merupakan perpaduan antara adjektiva I dan nomina;
totemo utsukushii „sangat indah‟ adalah perpaduan dari adverbia dan adjektiva;
Yukiko no tomodachi (teman Yukiko) adalah perpaduan dari nomina dan nomina;
koohi o nomu „minum kopi‟ adalah perpaduan dari nomina, partikel, dan verba;
yukkuri aruku „berjalan perlahan‟ hasil perpaduan dari adverbia dan verba; totemo
yukkuri „sangat lamban‟ yakni perpaduan dari nomina, partikel, verba.
Momiyama (dalam Sutedi, 2014) membagi jenis frasa dalam bahasa
24. 20
Jepang berdasarkan pada maknanya menjadi 3 macam, yaitu :
a. Futsuu no ku (普通の句)
b. Rengo (連語)
c. Kan-youku (慣用句)
a. Futsuu no ku 普通の句
- Merupakan frasa biasa
- Terdiri dari dua kata atau lebih
- Makna dapat diketahui dengan cara memahami setiap makna yang
membentuk frasa tersebut.
- Sebagian dari kata yang membentuk frasa tersebut bisa diubah dengan
yang lainnya secara bebas.
Contoh : frasa 美しい花 (bunga yang indah) bisa dibuat frasa きれいな花
(bunga yang cantik).
b. Rengo (連語)
- Frasa yang makna keseluruhannya bisa diketahui dari makna setiap kata
yang menyusun frasa tersebut
- Setiap kata tersebut tidak bisa diganti dengan kata yang lainnya meskipun
sebagai sinonimnya.
Contoh : frasa kaze o hiku (masuk angin) tidak bisa diubah menjadi kaze o
toru.
Jadi dalam rengo, setiap kata sudah menjadi satu pasangan yang tidak bisa
diganti dengan yang lain. Dalam bahasa Jepang, frase seperti ini cukup
banyak jumlahnya dan perlu dihapal oleh pembelajar.
c. Kanyoku (慣用句)
- Frasa yang hanya memiliki makna idiom saja.
- Makna tersebut tidak bisa diketahui meskipun kita memahami makna
setiap kata yang membentuk frasa tersebut.
25. 21
- 顔が広い kao ga hiroi dikenal banyak orang
- 口が軽い kuchi ga karui suka membocorkan rahasia
- 足が出る ashi ga deru pengeluaran melebihi yang dianggarkan
- 胸が痛む mune ga itamu sangat sedih: menyesakkan dada
- Dilihat dari strukturnya, kanyoku dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
(1) Tidak bisa diselipi apapun: contohnya pada frasa hone o oru (mematahkan
tulang) yang dalam bahasa Indonesia dekat maknanya dengan ungkapan
“membanting tulang”. Frasa ini digunakan dalam kalimat secara satu set
dan tidak bisa diselipi oleh kata yang lainnya.
(2) Tidak bisa berubah posisi (menjadi suatu modifikator): contohnya pada
idiom hara o tateru (membuat perut berdiri) yang artinya membuat marah.
Idiom ini sama sekali tidak bisa berubah urutan tetapi kalau dalam bentuk
hara o tateta watashi (saya yang marah) tidak menjadi masalah sebab
bentuk asalnya hara o tateta tidak berubah.
(3) Tidak bisa diganti dengan kata yang lain (sinonim atau antonim): misalnya
pada idiom hana ga takai (hidungnya tinggi) digunakan untuk menyatakan
arti <sombong>. Sebagian dari frasa tersebut tidak bisa diganti dengan
kosakata yang lainnya baik sebagai sinonim maupun antonimnya,
misalnya menjadi hana ga hikui (hidung rendah) dengan maksud
menyatakan tidak sombong.
(4) Ada yang hanya dalam bentuk menyangkal saja dan tidak bisa diubah ke
dalam bentuk positif: contohnya pada frasa udatsu ga agaranai
(kehidupannya tidak meningkat) tidak bisa diubah menjadi udatsu ga
agaru.
Idiom dalam bahasa Jepang, ada banyak jumlahnya. Berikut adalah
beberapa contoh yang berhubungan dengan organ tubuh:
26. 22
Makna Kalimat
Sutedi (2014: 179) menyebutkan bahwa sama halnya dalam kata, dalam
kalimat juga ada kalimat yang maknanya sama yaitu dougibun (動議文) dan ada
juga kalimat yang bermakna ganda yaitu ryougibun (両義文).
例 動議文 : (1) 太郎は次郎を殴った。
Tarou wa Jirou o nagutta.
Tarou memukul Jirou
(2) 次郎は太郎に殴られた。
Jirou wa Tarou ni Nagurareta.
Jirou dipukul Tarou
Dua kalimat di atas, meskipun strukturnya berbeda tetapi maknanya sama.
Kesamaan makna yang dimaksud yaitu bahwa dalam kedua kalimat tersebut
sebagai pelaku, yakni yang memukul adalah Taro, sedangkan yang menjadi
korban atau yang dipukul adalah Jiro. Kedua kalimat tersebut merupakan
dougibun karena satu sama lainnya bisa menjadi zentei. Artinya jika Taro
memukul Jiro adalah benar, maka bisa dipastikan bahwa Jiro dipukul oleh Taro.
Perbedaaanya, pada contoh 1, Taro dijadikan topik, sedangkan pada contoh 2, Jiro
yang menjadi topik.
Mengenai makna ganda atau ryougibun, dapat dilihat pada contoh berikut.
例 両義文 : 私は山田さんと田中さんを待っている。
Watashi wa Yamada san to Tanaka san o
matte iru.
Yamada.
Saya sedang menunggu Tanaka dengan
Makna ganda yang dimiliki kalimat di atas yaitu:
(1) 私は山田さんと一緒に、田中さんを待っている。
Watashi wa Yamada san to isshoni, Tanaka san o motte iru.
Saya bersama dengan Yamada, sedang menunggu Tanaka
(2) 私は、山田さんと田中さんを待っている。
Watashi wa, Yamada san to Tanaka san o matte iru.
Saya, sedang menunggu Yamada dan Tanaka.
27. 23
C. PENUTUP
1. Rangkuman
Objek kajian semantik antara lain :
1. Makna kata (Go no imi) : karena komunikasi dengan menggunakan suatu
bahasa yang sama seperti bahasa jepang, baru akan berjalan dengan lancar
jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut
makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicara.
2. Relasi makna antar satu kata dengan kata lainnya (Go to go no imi
kankei) : karena hasilnya dapat dijadikan bahan untuk menyusun
kelompok kata berdasarkan kategori tertentu.
3. Makna frasa (ku no imi) : dalam bahasa jepang ada frasa yang hanya
bermakna secara leksikal saja, ada frasa yang bermakna secara
ideomatilalnya saja, dan ada juga yang bermakna kedua-duanya.
4. Makna kalimat (bun no imi) : karena suatu kalimat ditentukan oleh makna
setiap kata dan strukturnya.
Tjandra (2016: 62) menjelaskan mengenai 3 jenis makna yang merupakan
bidang dari pragmatik yaitu: makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
a) Makna lokusi adalah makna asli, apa adanya, atau makna secara harfiah.
Bisa juga disebut sebagai makna denotatif.
b) Makna Ilokusi adalah makna yang ditangkap oleh petutur atau pendengar
sebagai mitra tutur atau lawan bicara. Bisa juga disebut sebagai makna
konotatif oleh mitra tutur / lawan bicara.
c) Makna perlokusi adalah makna yang dikehendaki oleh penutur dan mau
disampaikan kepada lawan bicara. Bisa juga disebut sebagai makna
konotatif oleh penutur.
28.
29. Daftar Pustaka
Bussmann, Hadumod. 1998. Routledge Dictionary of Language and
Linguistics.
London:
Routledge.
Chaer, Abdul dan Liliana Muliastuti. 2014. Makna dan Semantik.
(diakses 18
April 2018). Tersedia dari:
http://repository.ut.ac.id/4770/1/PBIN4215- M1.pdf.
Chaniago, Sam Muchtar, dkk. 1997. Pragmatik. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Crystal, David. 2011. A Dictionary of Linguistics and
Phonetics. Oxford: Blackwell Publishing.
Hudson, Mutsuko Endo., Matsumoto, Yoshika., dan Mori, Junko.
2018.
Pragmatics of Japanese: Perspectives on Grammar, Interaction, and
Culture. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Santoso, Joko. 2014. Kedudukan dan Ruang Lingkup Sintaksis. (diakses 20
April
2018). Tersedia dari: http://repository.ut.ac.id/4742/1/PBIN4107-M1.pdf
Sudjianto dan Ahmad Dahidi. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa
Jepang.
Jakarta: Oriental.
Tjandra, Sheddy N. 2014. Sintaksis Jepang. Jakarta: Binus Media &
Publishing. Tjandra, Sheddy N. 2015. Morfologi Jepang.
Jakarta: Binus Media & Publishing. Tjandra, Sheddy N. 2016.
Semantik Jepang. Jakarta: Binus Media & Publishing.
Tsujimura, Natsuko. 2007. An Introduction to Japanese
Linguistics. Oxford: Blackwell Publishing.
Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada
University Press.