SlideShare a Scribd company logo
1 of 109
DIAGNOSIS
dan
TATALAKSANA DIFTERI
PADA ANAK
Parwati Setiono Basuki
Ismoedijanto, Dominicus Husada, Leny Kartika
UKK Infeksi Dan Pediatri Tropik
Departemen/UPF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya
1
Endpoints
1. Mengenal tanda dan gejala penderita
difteri
2. Dapat membedakan difteri dengan DD
nya
3. Dapat memberikan tatalaksana klinis
penderita dan kontak
2
PENDAHULUAN
• Difteri merupakan infeksi toksik akut disebabkan
Corynebacterium species,
Corynebacterium diphtheriae
Corynebacterium ulcerans strain toxigenic
• Gejala klinis dan komplikasi disebabkan efek
eksotoksin
• Imunisasi menekan angka kejadian penyakit,
masih dijumpai kasus-kasus fatal
• Mengenal kasus sedini mungkin dapat
mencegah terjadinya kematian
3
PENDAHULUAN
 Diagnosis terutama ditegakkan atas dasar klinis,
penundaan terapi serum anti meningkatkan
angka kematian
 Penentuan kuman penyebab untuk konfirmasi
diagnosis
4
5
6
MANIFESTASI KLINIS
7
MANIFESTASI KLINIS
• Bervariasi dari tanpa gejala  fatal
• Masa tunas 1-5 hari (2-4 hari)
• Keluhan dan gejala tergantung:
 tempat infeksi
 status imunitas pejamu
 distribusi toksin ke dalam sirkulasi
8
9
10
11
12
Case definition
Probable case  suspected case
plus satu di antara
-kontak dlm wkt pendek (<2 mgg) dng
kasus confirmed
-wabah difteri baru di area
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau ptekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-acute renal insufficiency
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik
dalam waktu 1-6 minggu awitan sakit
-meninggal
13
14
Gejala Kasus, N (%)
Demam 76 (100)
Nyeri telan 60 (78.9)
Batuk 46 (47.4)
Pilek 44 (57.9)
Tidur ngorok 35 (46.1)
Sesak 12 (15.8)
Bull neck 26 (34.2)
Limfadenopati 41 (53.9)
15
Tabel. Distribusi kasus difteri berdasarkan manifestasi gejala
Gambaran klinis kasus difteria anak di ruang rawat inap anak
RS Dr soetomo januari 2004 – juli 2009
16
17
Difteri Hidung
18
• Mula-mula mirip
common cold
• Sekret hidung berangsur
jadi serosanguinous 
mukopurulen lecet
pada nares & bibir atas
• Membran putih pada
septum nasi
• Absorpsi toksin lambat;
gejala sistemik sedikit,
diagnosis lambat
DIFTERI TONSIL - FARING
 Anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri telan
 Membran melekat, putih-kelabu  1-2 hari menutup tonsil &
dinding faring  ke uvula & palatum molle/laring & trakhea
 lymphadenitis cervicalis & submandibularis,
bila + edema jaringan lunak leher  bullneck
 Kasus ringan: membran lepas dlm 7-10 hari
 Sedang: sembuh berangsur; dpt+miokardiopati/neuropati
 Berat: gagal nafas/sirkulasi, paralisis palatum molle, ke-†
19
DIFTERI TONSIL-FARINGS
20
BULLNECK
Pseudomembran pd
tonsil dan uvula
Pseudomembran pd
tonsil dan uvula
BULLNECK
21
22
DIFTERI LARING
23
• Perluasan difteri faring; bila primer gejala terutama
obstruksi sal nafas atas. Bila perluasan, disertai gejala
toksemia
 Gejala infectious croup: nafas bunyi, stridor progresif,
suara parau, batuk kering. Bila berat: retraksi
suprasternal, subcostal, supraclavicular
 Pelepasan membran  menutup jalan nafas  ke-†
 Berat: membran meluas ke percabangan
trakheobronkhial
DIFTERI LARINGS
24
Pseudomembran percabangan bronkus,
kasus difteri laring di RSU Dr Soetomo 2010
Fig.22-4. Membrane cast of trachea
and bronchi in diphteria. Sumber:
Franklin H. Top, Paul F. Wehrle.
Communicable and infectious diseases 8th ed
1976
DIFTERI KULIT
• Difteri kulit: tukak tepi jelas, membran dasar
25
Unusual types of diphtheria
Difteri pada
• Konjungtiva
• Telinga: otitis eksterna, sekret purulen, berbau
• Vulvovagina
• Anal
26
DIFTERI KONJUNGTIVA
27
Bayi wanita 3bln
Keluhan sakit mata 4 hari,
disusul bloody tears 3 hari,
Edema palpebra, sekret pekat
Mukopurulen. Membran pd konj
palp inf D
Kultur hidung, tenggorok, mata
C diphtheriae , kult kontak neg
Anak wanita 6 tahun
Keluhan sakit mata, sekret +, berobat
ke spesialis mata mendpt tetes mata
antib tdk sembuh
membran pd conj palp inferior D dan
conj bulbi
Kultur C diphtheria neg.
Kontak kultur tenggorok positif
DIAGNOSIS
28
 KLINIS
 Penentuan kuman: isolasi C.diphtheriae, dari
swab tenggorok dan hidung dengan menggunakan media Loffler 
dilanjutkan tes toksinogenesitas vivo (marmut)
& vitro (tes Elek)
 Deteksi adanya bacteriophage tox+
 PCR
29
Pemeriksaan laboratoris lain
30
• Tidak mempunyai nilai diagnostik
• Lekosit normal / meningkat
• anemia jarang (hemolisis)
• cairan serebrospinal protein meningkat sedikit,
peningkatan sel minimal bila ada komplikasi
neuritis
• hiperglikemia atau glukosuria merupakan petanda
toksisitas hati
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
DIAGNOSIS BANDING
45
Difteri hidung:
•Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
•Benda asing
•Snuffles (lues congenita)
Benda asing:
sekret hidung unilateral snuffles
46
Streptococcal pharyngitis with
tonsillar exudate and erythema
47
Strep pharyngitis with dark necrotic area on right tonsil
and prominent lymphnodes
Mononucleosus infectiosa
The Color Atlas of Family Medicine
Perdrh
subconjunctival
Limfosit atipik
ruam
48
Mononucleosus infectiosa (tonsil hampir menyatu)
The Color Atlas of Family Medicine > Chapter 5
49
Herpetic Ulcer
50
Vincent’s Angina
51
Oral thrush
52
DD Difteri Laring
53
•Infectious croup yang lain
•Spasmodic croup
•Angioneurotic edema pada laring
•Benda asing
Diagnosis banding
DD Difteri Kulit
54
• Impetigo
• Infeksi streptokokus/ stafilokokus
55
Impetigo on baby face
http://www.medicinenet.com/impetigo/article.htm
56
KOMPLIKASI
57
Komplikasi
• Terjadi pada sekitar 20% penderita
58
Keterlambatan:
 pertolongan medis
 diagnosis
 antitoksin
resiko
 biotipe C. diphtheriae
 rentang waktu awitan - antitoksin
 area infeksinya
 luasnya membran
 status imunisasi
insiden
Obstruksi jalan nafas atas
• Difteri Laring (DL) → membran, kongesti,
edema → obstruksi mekanik
• DL ringan :
– sebagian membran terlepas menutupi jalan
nafas → obstruksi tiba-tiba dan fatal
• DL berat :
– peningkatan obstruksi → hipoksia progresif
59
Penyulit Kardiovaskular
• pucat, nadi kecil cepat dan tekanan darah kolaps
• muntah dan mengeluh nyeri perut → tanda bahaya
• sering meninggal dalam sepuluh hari
60
toksin >>>> Peredaran darah Kegagalan sirkulasi
Bila selamat Kerusakan jantung
PARALISIS
• Urutan dan waktu munculnya palatum, jantung, otot
mata, faring-laring, otot pernapasan, anggota gerak
• bila penderita bertahan maka pemulihan dari paralisis
bersifat lengkap
• saraf kranial → awal perjalanan penyakit (4 mgg)
setelah awitan penyakit.
• Neuropati perifer → belakangan, 5 – 8 minggu
61
TATALAKSANA
62
TATALAKSANA PENDERITA
63
Tata laksana
1. Isolasi dan Karantina
• sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui, masing-masing dengan selang waktu ≥
24 jam.
2. Tatalaksana medikamentosa
• menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya
• Mencegah, mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal
• mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah
penularan
• mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
TATALAKSANA PENDERITA
64
Terapi medikamentosa Umum
• Istirahat mutlak 2 minggu
• cairan serta diit yang adekwat.
• diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas. dijaga
kelembaban udara dengan nebulizer.
• Bila gelisah, iritabilitas serta gangguan pernafasan
progresif → indikasi trakeostomi.
TATALAKSANA PENDERITA
65
Terapi medikamentosa Khusus
• Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas/ yang terabsorbsi pada sel, tidak
bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel
• Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis diphtheria.
• Sebelumnya dilakukan tes kulit/tes konjungtiva harus
tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
TATALAKSANA PENDERITA
66
• Tes kulit dan konjungtiva
• Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
•
• Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1:10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan
garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
konjungtivitis dan lakrimasi. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS
diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes negatif, ADS
diberikan sekaligus secara tetesan intravena.
TATALAKSANA PENDERITA
67
Pemberian ADS
• Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung berat
badan penderita, berkisar antara 20.000-120.000 KI.
• Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan
dalam larutan 200 ml selama 4-8 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan 2 jam
berikutnya. Perlu dimonitor reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness).
TATALAKSANA PENDERITA
68
Antimikrobial
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari, bila alergi diberi eritromisin 40 mg/kg/hari.
Kortikosteroid
Pada difteri masih kontroversi. Di Ruang Infeksi dan
Pediatri Tropis RSUD Dr. Soetomo kortikosteroid diberikan
kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dan penyulit miokardiopati toksik.
Imunisasi (DPT, DT atau Td) diberikan saat konvalesensi
TATALAKSANA KONTAK
69
1.Isolasi dan Karantina
Kontak penderita (semua kontak serumah dan mereka yang
terpapar secara penafasan maupun fisik dengan penderita)
diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan
terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas
terlewati (7 hari).
Hasil Kultur Tes Schick Tindakan
–
+
+
–
–
–
+, gejala (–)
+
Bebas isolasi
Terapi carrier
ADS + Penisilin
Toksoid
(imunisasi aktif)
Tata Laksana Epidemiologis
Tata laksana
70
TATALAKSANA KONTAK
71
2.Tatalaksana kontak asimtomatik dan carrier
• Identifikasi serta investigasi kontak erat (kontak
serumah dan yang pernah kontak respiratorik atau
fisik dengan penderita) harus dilakukan secepatnya.
•
• Kontak diphtheria terdiri dari kontak asimtomatik dan
carrier.
TATALAKSANA KONTAK
72
Kontak asimtomatik
• Selama masa tunas (sampai 10 hari) perlu dimonitor
terjadinya penyakit disertai pesan agar segera mencari
pengobatan bilamana timbul gejala.
• Dilakukan biakan kerokan (swab) hidung, tenggorok serta
kulit.
• Dalam hal imunisasi tidak lengkap diberikan imunisasi
DTP, DT, atau Td.
TATALAKSANA KONTAK
73
Kontak kasus
• Terapi antibiotik profilaksis (eritromisin atau penisilin).
Eritromisin oral selama 7-10 hari, bila terjadi intoleransi/
ketidak patuhan pada obat, diberikan dosis tunggal benzathine
penisilin G secara intramuskuler. Azithromycin dan
clarithromycin merupakan alternatif.
• Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita
mendapatkan satu dosis Tdap sebagai imunisasi booster
terhadap tetanus, difteri, dan pertusis.
TATALAKSANA KONTAK
74
Carrier
adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung
basil diphtheria dalam nasofaringnya.
TATALAKSANA KONTAK
75
Carrier asimtomatik
Kontak erat dengan penderita, tanpa gejala, kultur
positif, diisolasi, mendapat antibiotik.
Kolonisasi respiratorik diperlukan tatacara isolasi
respiratorik (masker, serta tatacara standard seperti cuci
tangan), kolonisasi kulit diperlukan isolasi kontak (sarung
tangan serta gaun).
Dilakukan dirumah. Isolasi dilanjutkan hingga dilakukan
2 biakan secara berurutan dengan selang waktu minimal
24 jam, dan antibiotik dihentikan bila hasil kultur negatif.
TATALAKSANA KONTAK
76
Carrier asimtomatik
Bila kultur masih positif setelah terapi awal 7-10 hari,
dilanjutkan dengan pemberian eritromisin oral selama 7-
10 hari atau penambahan dosis tunggal benzathine
penisilin G, untuk kemudian dievaluasi dengan kultur 7-
10 hari kemudian. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
Bila belum booster dalam 5 tahun terakhir mendapatkan
dosis booster toksoid difteri sesuai usia
Algoritma untuk diagnosis, terapi dan follow up
tersangka difteri dan kontak terinfeksi
77
Tersangka/terbukti
difteri
Identifikasi kontak erat Tidak ada Ada
Positif Negatif
Stop
<3 dosis/
tidak
diketahui
≥3 dosis,
terakhir >
5 tahun yl
≥3 dosis,
terakhir < 5
tahun yl
• isolasi
• Kultur c.diphteria hidung, tenggorok, kulit
• Serum untuk pemeriksaan antibodi
• Terapi serum antitoksin diphteria
• Terapi antibiotik
• Imunisasi aktif (Td) pada fase konvalesen
• Dua pasang kultur hidung dan tenggorok (selang ≥ 24 jam) minimal 2 mgg
paska terapi antibiotik. Bila tanpa antibiotik, kultur dilakukan 2 mgg setelah
keluhan (-), atau ≥ 2 mgg dari awal sakit
Lapor ke Dinas Kesehatan
Tetapkan dan
monitor tanda/gejala
difteri minimal 7 hari
Kultur c.diphteria Terapi antibiotik Tetapkan status
vaksinasi difteri
Segera imunisasi
sesuai jadwal
Segera berikan
booster
Bila perlu beri
imunisasi ke-4 /
booster
Hindari kontak erat dgn individu imunisasi tidak lengkap
• identifikasi kontak erat dan lakukan tindak pencegahan
• dua pasang kultur ulangan (selang ≥24 jam) minimal
2 minggu paska terapi
mengapa ada yang tidak kebal
• Sebelum vaccine era transmisi kuman sangat kuat,
sehingga dapat menimbulkan kekebalan alamiah
• Transmisi berkurang akibat
– Perbaikan sanitasi dan lingkungan hidup
– kekebalan manusia akibat vaccine
• Kegagalan imunisasi
– Tidak imunisasi
– Gagal imunisasi
– Mempertahankan UCI
–Cakupan kurang tinggi
Imunisasi dasar
• Serangkaian suntikan untuk serokonversi: dari tidak
kebal menjadi kebal dg ukuran jumlah anak yang
mempunyai antibodi diatas kadar proteksi
• Diberikan sedini mungkin, namun terkendala maternal
antibodi dan maturitas respon imun
• Primming : suntikan untuk menyiapkan tubuh
membentuk antibodi yang cukup
• Antibodi akan menyurut sampai dibawah kadar
proteksi sehingga menyebabkan anak kembali
rentan terhadap penyakit (sama seperti sebelum
imunisasi.
• Butuh booster
JADUAL PEMBERIAN IMUNISASI PADA BAYI
UMUR VAKSIN TEMPAT
Bayi lahir di rumah
0 bulan HB0 Rumah
1 bulan BCG, Polio 1 Posyandu * (atau tempat lain)
2 bulan DPT/HB kombo1, Polio 2 Posyandu * (atau tempat lain)
3 bulan DPT/HB kombo2, Polio 3 Posyandu * (atau tempat lain)
4 bulan DPT/HB kombo3, Polio 4 Posyandu * (atau tempat lain)
9 bulan Campak Posyandu * (atau tempat lain)
Bayi lahir di RS/RB/Bidan Praktek
0 bulan HB0, BCG, Polio 1 RS/RB/Bidan
2 bulan DPT/HB kombo1, Polio 2 RS/RB/Bidan # (atau posy)
3 bulan DPT/HB kombo2, Polio 3 RS/RB/Bidan # (atau posy)
4 bulan DPT/HB kombo3, Polio 4 RS/RB/Bidan # (atau posy)
9 bulan Campak RS/RB/Bidan # (atau posy)
1 SD 2 SD 5 SD
Imunisasi DPT-
HB-Hib
(18 bulan)
IMUNISASI DASAR
DAN LANJUTAN
DIFTERI
UMUR/
BLN
IMUNISASI DASAR
< 24 hrs Hep.B birth dose
1 BCG, OPV1
2 DPT-HB-Hib1, OPV2 and PCV*
3 DPT-HB-Hib2, OPV3 and PCV*
4 DPT-HB-Hib3, OPV4, IPV
9 Measles/MR
10 JE**
12 PCV*
IMUNISASI
LANJUTAN
Vaksin Td
Vaksin
DT
IMUNISASI LANJUTAN
USIA SD
Imunisasi difteri dikatakan lengkap jika seseorang telah
mendapatkan imunisasi dasar waktu bayi sebanyak 3 kali,
baduta 1 kali, dan usia sekolah 3 kali
Ibu
ham
il
T
d
Pengaruh maternal antibodi
• Parwati dkk
– Bila diberikan pada 2 bln: suntikan 1 turun,
suntikan ke 2 turun suntikan ke 3 naik
– Bila diberikan pada 3 bln, suntikan 1 turun,
suntikan ke 2 naik suntikan ketiga naik
– Kesimpulan: harus mendapat tiga suntikan D
• Ranuh dkk
– Bila dimulai 3 bulan: dua suntikan vs 3
suntikan : 1 tahun setelah suntikan terakhir
hanya 38% yang masih kebal
Antigen D
• Antibodi terhadap toksin kebal terhadap
toksin bukan terhadap kumannya
• Gagal imunisasi :
– kurang dari 3 suntikan antigen D
– Invalid dose : diberikan 5 hari sebelum interval 28
– Suntikan dengan vaksin rusak / beku
• Gagal cakupan
– Tidak di imunisasi/kurang dari 3 suntikan
– UCI =80%, sisa 20% kumulative selama 5 tahun =
100% kohort-cluster tanpa kekebalan (pockets of
un immunized)
booster
• Diberikan untuk meningkatkan antibodi kembali
ke kadar diatas kadar proteksi
• Diberikan tergantung
– Masa penyurutan antibodi
– Jenis vaksin: hidup atau mati, sederhana atau komplex
– Adanya memory yang kuat dan banyak
• Difteri :
– setahun setelah imunisasi dasar
– 3-5 tahun setelah booster 1
– setiap 10 tahun setelah usia 10 tahun
• Tetanus setiap 10 tahun : TT lifelong card
Group Schick (+) Schick (-) Total
Immunization 1 x 35 7(17%) 42
Immunization 2 x 10 44(81%) 54
Immunization 3 x 30 142(83%) 172
Immunization 3 x
+ Booster
0 6 (100%) 6
Kontrol 130 120(48%) 250
Result of Shick test
Santoso H, Suwendra IP, Kari IK, Aryasa N. Medika 1991,5;359-361.
Pentingnya pendidikan ibu
• Untuk memahami value of immunization harus
ada reseptor untuk menerima informasi
kesehatan, semakin tinggi pendidikan, semakin
mudah mencapai cakupan imunisasi
• Budaya lisan: kedudukan perempuan secara
sosial, mis Aceh, Minangkabau, Yogya
• Budaya tulis, buku KIA, buku imunisasi, literate
• Reseptor yang dibentuk oleh pendidikan formal
– Ilmu hayat/biologi
– Ilmu bumi dam iklim
– Ilmu kesehatan
Independent Monitoring Board WHO
• Menyarankan agar imunisasi mempunyai
cakupan tinggi dan merata seluruh dunia
• Menyarankan
– Komitment pejabat negara dan daerah
– Menyiapkan logistik yang memadai
– Mikroplanning yang baik
– Melibatkan masyarakat penerima imunisasi
• Eradikasi polio dan penyakit lain yg bisa di
eradikasi
Cakupan imunisasi dan GAIN RED
• Cakupan imunisasi dasar harus tinggi
– Mencegah penyakit
– Primming bila ada booster alamiah
– Harus mencapai 100%, karena ada irresponsive 6%,
sweeping dan backlog fighting harus dilakukan
– Kalau lolos ini akan menjadi cluster unimmunized
• Booster harus diberikan untuk menekan jumlah
cluster yg un immunized
• Semua district harus tinggi : cakupan merata
dan infrastruktur harus disempurnakan
mikroplanning
• Mendata kohort bayi secara benar
– Apakah para bidan sdh faham kohort dan manfaatnya?
• Mendata target imunisasi
– Imunisasi dasar
– Booster
– Booster remaja
• By name, by address
• Menyiapkan
– siapa yang melakukan,
– berapa yang akan di cakup,
– menyiapkan logistik,
– menyiapkan meeting point,
– melaksanakan eksekusi
– dan evaluasi hasil pelaksanaan
Imunisasi di Jawa Timur
• Kohort din Jawa Timur cukup besar : 650-700 ribu
• Belum ada persiapan khusus daerah yg sulit
dijangkau
• Pelaksana hanya bidan : tidak ada jurim lagi, bidan
berada di BUK dan anggaran imunisasi di P2M,
harus ada MOU yang nyata : apa tugas, siapa yang
mengawasi, apa reward dan apa sanksi
• Kab/kota sulit menganggarkan imunisasi dan
surveilans, mengandalkan BOK, GAVI, anggaran
propinsi dan pusat
• Banyak silent subdistrict
Kasus Difteri sebagai indikator KLB Polio
• Toksoid difteri adalah vaksin yang paling lemah
• Bila ada kasus ada cluster of un immunized
• Indikator adanya daerah rendah/tanpa cakupan
• Bukan hanya risiko adanya polio import, tetapi adanya
cVDPV yang beredar di daerah rendah cakupan
• Bukan berniat mem blow up KLB difteri, tetapi
MEMPERBAIKI CAKUPAN IMUNISASI RUTIN
SubPIN dan eliminasi kasus
• Imunisasi dasar akan membuat semua menjadi kebal
terhadap toksin sehingga tidak ada kasus
• Semakin lama akan semakin tinggi herd immunity
sehingga peredaran kuman akan menurun
• Kuman yang beredar bukan kuman yang toksigenik,
kuman kehilangan virulensi
• Sumber kuman di kelompok anak akan hilang sehingga
kuman yg beredar makin hilang
• Bila dilakukan semua umur, kasus akan segera hilang
• Bila by age group, akan menunggu semua anak kebal,
sehingga kuman beredar tak mencapai kelompok dewasa
• Perlu booster setelah putaran ketiga mungkinkah?
Difteri pada dewasa
• Terjadi pada kelompok dewasa yang tidak kebal
– Tidak di imunisasi (kelahiran sebelum 1978)
– Tidak mendapat booster
– Mendapat kuman dari kelompok anak yag punya
kuman toksigenik
• Fatalitas tinggi karena
– Adanya risiko tambahan spt diabetes dsb
– Undetected ok gejala klinik ringan dan tidak dikira
atau tidak masuk DD dokter pemeriksa
– Mudah menular
Kapan difteri Jawa Timur akan terkendali
• Difteri sangat menggantungkan pada imunisasi rutin
 cakupan tinggi dan merata
• Bila booster 2 tahun sdh dilakukan rutin
• Semua anak kebal sehingga peredaran kuman menurun
• Harus di data pendidikan ibu yang anaknya harus
diimunisasi, untuk deteksi reseptor penyuluhan
• Dilakukan sub PIN 3 kali dan dlanjutkan dengan
imunisasi yang memadai
• Jangan ada invalid doses dan rantai dingin yang baik
• Penanganan kasus yg memadai untuk mencegah
kematian, termasuk rujukan khusus
Apa yang harus diwaspadai
• Kabupaten at risk : 19 berdasarkan kasus
• Prediksi kasus berdasarkan cakupan imunisasi
– Daerah barat
– Daerah timur
• Peningkatan surveilans
• Penghentian transmisi
• Harapan kedepan
– Cakupan tinggi dan merata
97
M
M
Mataraman
Mataraman
Pesisir
Madura
Pandalungan
Arek
Osing
PETA TELATAH BUDAYA JAWA TIMUR
Terima kasih
98
1 SD 2 SD 5 SD
Imunisasi DPT-
HB-Hib
(18 bulan)
IMUNISASI DASAR
DAN LANJUTAN
DIFTERI
UMUR/
BLN
IMUNISASI DASAR
< 24 hrs Hep.B birth dose
1 BCG, OPV1
2 DPT-HB-Hib1, OPV2 and PCV*
3 DPT-HB-Hib2, OPV3 and PCV*
4 DPT-HB-Hib3, OPV4, IPV
9 Measles/MR
10 JE**
12 PCV*
IMUNISASI
LANJUTAN
Vaksin Td
Vaksin
DT
IMUNISASI LANJUTAN
USIA SD
Imunisasi difteri dikatakan lengkap jika seseorang telah
mendapatkan imunisasi dasar waktu bayi sebanyak 3 kali,
baduta 1 kali, dan usia sekolah 3 kali
Ibu
ham
il
T
d
Indikasi kontra
Reaksi anafilaksis
Sakit sedang atau berat (dengan atau tanpa demam)
Bukan indikasi kontra
Reaksi lokal ringan-sedang
Demam ringan atau sedang , Sakit akut ringan
Dalam pengobatan antibiotik , Masa konvalesen
Prematuritas , Terpajan terhadap suatu penyakit menular
Alergi penisilin, alergi dalam keluarga, alergi sebab tak jelas
Ibu/penghuni rumah lain hamil
Penghuni lain serumah tidak diimunisasi
TABEL 1. Indikasi kontra imunisasi (1)
SEMUA VAKSIN (DTaP/DTP,OPV,IPV,MMR,Varisela,Hib,HBV)
Indikasi kontra
Ensefalopati dalam masa 7 hari pasca DTaP/DTP sebelumnya
Perhatian khusus
Demam >40,5oC pasca DTaP/DTP
Kolaps/hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DTaP/DTP
Kejang dalam 3 hari pasca DTaP/DTP
Inconsolable crying >3 jam dalam 48 jam pasca DTaP/DTP
Sindrom Guillain-Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Bukan indikasi kontra
Demam <40,5oC pasca DTaP/DTP
Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat SIDS dalam keluarga
Riwayat KIPI dalam keluarga pasca DTaP/DTP
TABEL 1. Indikasi kontra imunisasi (2)
DTaP/DTP
4a. Bukti sesuai dengan hubungan kausal
DPT Ensefalopati akut, syok dan keadaan seperti
syok
Rubela Artritis kronik
4b. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal
DPT Anafilaksis, inconsolable crying
Rubela Artritis akut
DT/Td/T Sindrom Guillain-Barre, neuritis brakial
Campak Anafilaksis
Gondong -
OPV/IPV Sindrom Guillain-Barre (OPV)
HBV -
Hib Onset dini penyakit Hib pada anak >18 bulan
penerima vaksin pertama PRP non kunyugasi
TABEL 2. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(4)
VAKSIN KIPI
Tetanus Syok anafilaksis* 4 jam
(DPT, DT, TT) Neuritis brakialis 2-28 hari
Khusus TT:
- demam dgn reaksi lokal 4 hari
pertama
- sindrom Guillain-Barre 5 hari-6
minggu
- eritema multiforme
Pertusis (DPT) Sok anafilaksis* 4 jam
Kejang
Ensefalopati 72 jam
TABEL 3. Gejala KIPI menurut jenis
vaksin dan
masa timbulnya(1)
VAKSIN KIPI MASA TIMBUL
*Syok anafilaksis: kolaps kardiovaskular, hipotensi, dapat disertai urtik
1. Tidak terdapat bukti hubungan kausal
DPT Autisme
Rubela -
DT/Td/T -
Campak -
Gondong Neuropati, kejang
OPV/IPV Mielitis tansversa, trombositopenia (IPV),
anafilaksis (IPV)
HBV -
Hib -
TABEL 3. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(1)
VAKSIN KIPI
2a. Tidak cukup bukti untuk menyatakan hubungan kausal
DPT Meningitis aseptik, kerusakan neurologi
kronik,
eritema multiform dan ruam lain, diabetes
juvenil,
sindrom Gullain-Barre, anemia hemolitik,
gangguan belajar dan ADHD,
mononeuropati perifer, trombositopenia
Rubela Radikuloneuritis dan neuropati lainnya,
purpura trombositopenia
2b. Tidak cukup bukti menerima/menolak hubungan kausal
DT/Td/T Kejang, demielinisasi SSP, artritis, eritema
multiform
Campak Ensefalopati, SSPE, kejang, pekak
sensoris, IDDM,
neuritis optik, mielitis transversa,
trombositopenia,
sindrom Guillain-Barre
TABEL 4. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(2)
VAKSIN KIPI
3a. Bukti tidak memperkuat hubungan kausal
DPT Spasme infantil, hipsaritmia, sindrom Reye,
SIDS
Rubela -
3b. Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal
DT/Td/T Ensefalopati, spasme infantil (DT), SIDS (DT)
Campak -
Gondong -
OPV/IPV -
HBV -
Hib Onset dini penyakit Hib (vaksin konyugasi)
TABEL 5. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(3)
VAKSIN KIPI
5. Bukti memastikan hubungan kausal
DPT -
Rubela -
DT/Td/T Anafilaksis
Campak Trombositopenia (MMR), anafilaksis (MMR),
kematian karena virus
campak vaccine-strain
Gondong -
OPV/IPV Poliomielitis (OPV), kematian karena infeksi
virus polio vaccine-strain
HBV Anafilaksis
Hib -
TABEL 2. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(5)
VAKSIN KIPI
Reaksi vaksin yg jarang, interval onset & perkiraan rate
KIPI
Vaksin Reaksi vaksin Interval
onset
Rate KIPI /
1juta
BCG Limfadenitis supuratif
Osteitis BCG
Infeksi BCG disiminata
2 – 6 bulan
1 – 12 bulan
1 – 12 bulan
100 – 1000
1 – 700
2
HiB Belum pernah ada laporan - -
Hepatitis B Anafilaksis 0 – 1 jam 1 – 2
Campak /
MMR
Kejang demam
Trombositopenia
Reaksi anafilaktoid
Syok Anafilaksis
Ensefalopati
5 – 12 hari
15 – 35 hari
0 – 1 jam
-
333
33
~10
1 – 50
<1
OPV Lumpuh layu berkaitan dg
vaksin (VAPP)
4 – 30 hari 1,4 – 3,4
Tetanus Neuritis Brakhial
Syok Anafilaksis
Abses steril
2 – 28 hari
0 – 1 jam
1 – 6 minggu
5 – 10
0.4 – 10
6 - 10
Tetanus-
difteria
Sama dengan tetanus
Pertusis Menangis terus menerus > 3jam
Kejang demam
Keadaan hipotonik-
0 – 24 jam
0 – 3 hari
0 – 24 jam
1.000- 60.000
570
570
Tindakan setelah kejadian KIPI
• Di kelola secara klinik
– Segera
– Dirujuk
• Tanpa penderita : elektronik, foto dan data
• Dengan penderita
• Dikelola secara epidemiologik
– PE
– Analisis cluster
– Causalitas

More Related Content

What's hot

Perbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptx
Perbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptxPerbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptx
Perbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptxAditAditya19
 
Ppt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec appPpt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec appPuteri Mentira
 
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra ReponibilisLaporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra ReponibilisTenri Ashari Wanahari
 
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasusaauyahilda
 
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011Surya Amal
 
Virus hepatitis b
Virus hepatitis bVirus hepatitis b
Virus hepatitis btristyanto
 
Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothoraxListiana Dewi
 
Urtikaria akut
Urtikaria akutUrtikaria akut
Urtikaria akutdeky akbar
 
241999259 case-hemstoma-sukonjungtiva
241999259 case-hemstoma-sukonjungtiva241999259 case-hemstoma-sukonjungtiva
241999259 case-hemstoma-sukonjungtivahomeworkping4
 
Peradangan telinga tengah
Peradangan telinga tengahPeradangan telinga tengah
Peradangan telinga tengahYohanita Tengku
 
ASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi AsthmaASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi AsthmaSofiaNofianti
 
Laporan kasus tetanus (slide)
Laporan kasus tetanus (slide)Laporan kasus tetanus (slide)
Laporan kasus tetanus (slide)Peter Obrian
 
Tb duplex lama aktif
Tb duplex lama aktifTb duplex lama aktif
Tb duplex lama aktifdesierianto
 
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptSyscha Lumempouw
 

What's hot (20)

Perbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptx
Perbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptxPerbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptx
Perbedaan EDH SDH SAH ICH Berdasar CT Scan.pptx
 
Ppt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec appPpt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec app
 
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra ReponibilisLaporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
 
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
 
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
 
Abses hati
Abses hatiAbses hati
Abses hati
 
Abses hepar
Abses heparAbses hepar
Abses hepar
 
Virus hepatitis b
Virus hepatitis bVirus hepatitis b
Virus hepatitis b
 
Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothorax
 
Urtikaria akut
Urtikaria akutUrtikaria akut
Urtikaria akut
 
241999259 case-hemstoma-sukonjungtiva
241999259 case-hemstoma-sukonjungtiva241999259 case-hemstoma-sukonjungtiva
241999259 case-hemstoma-sukonjungtiva
 
Peradangan telinga tengah
Peradangan telinga tengahPeradangan telinga tengah
Peradangan telinga tengah
 
ASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi AsthmaASMA: patofisiologi Asthma
ASMA: patofisiologi Asthma
 
Laporan kasus ii
Laporan kasus iiLaporan kasus ii
Laporan kasus ii
 
Laporan kasus tetanus (slide)
Laporan kasus tetanus (slide)Laporan kasus tetanus (slide)
Laporan kasus tetanus (slide)
 
Demam tifoid
Demam tifoidDemam tifoid
Demam tifoid
 
Hepatoma lepas bangsal imam
Hepatoma lepas bangsal imamHepatoma lepas bangsal imam
Hepatoma lepas bangsal imam
 
Tb duplex lama aktif
Tb duplex lama aktifTb duplex lama aktif
Tb duplex lama aktif
 
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang pptCase Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang ppt
 
Tanatologi
TanatologiTanatologi
Tanatologi
 

Similar to DIFTERI_21 Mei 2018.pptx

KELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptx
KELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptxKELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptx
KELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptxShintaDinyanti1
 
Asuhan keperawatan pada difteri
Asuhan keperawatan pada difteriAsuhan keperawatan pada difteri
Asuhan keperawatan pada difteriocto zulkarnain
 
Askep ggn pernafasan_tbc
Askep ggn pernafasan_tbcAskep ggn pernafasan_tbc
Askep ggn pernafasan_tbcArdian Putra
 
Pneumoni Muti.pptx
Pneumoni Muti.pptxPneumoni Muti.pptx
Pneumoni Muti.pptxSitiMutia15
 
LO Difteri.pptx
LO Difteri.pptxLO Difteri.pptx
LO Difteri.pptxdwirs1
 
Tonsilitis &amp; faringitis 2
Tonsilitis &amp; faringitis 2Tonsilitis &amp; faringitis 2
Tonsilitis &amp; faringitis 2HerwantoYusa
 
Kasus otitis media akut
Kasus otitis media akutKasus otitis media akut
Kasus otitis media akutM Kurniawan
 
Askep Tb paru,
Askep Tb paru,Askep Tb paru,
Askep Tb paru,f' yagami
 
Investigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdf
Investigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdfInvestigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdf
Investigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdfAdra10
 
5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptx
5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptx5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptx
5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptxAdra10
 
Beberapa penyakit infeksi dan cara penularannya
Beberapa penyakit infeksi dan cara penularannyaBeberapa penyakit infeksi dan cara penularannya
Beberapa penyakit infeksi dan cara penularannyaIbnu Kamajaya
 
Lp faringitis
Lp faringitisLp faringitis
Lp faringitismaelmery
 
Pembahasan UKDI CLINIC 1.pdf
Pembahasan UKDI CLINIC 1.pdfPembahasan UKDI CLINIC 1.pdf
Pembahasan UKDI CLINIC 1.pdfssuser06fc96
 
Campak
CampakCampak
Campaklidya8
 

Similar to DIFTERI_21 Mei 2018.pptx (20)

Ppk difteri
Ppk difteriPpk difteri
Ppk difteri
 
KELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptx
KELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptxKELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptx
KELOMPOK 1 IKK DOK ERNA.pptx
 
PERTUSIS.pptx
PERTUSIS.pptxPERTUSIS.pptx
PERTUSIS.pptx
 
Asuhan keperawatan pada difteri
Asuhan keperawatan pada difteriAsuhan keperawatan pada difteri
Asuhan keperawatan pada difteri
 
Askep ggn pernafasan_tbc
Askep ggn pernafasan_tbcAskep ggn pernafasan_tbc
Askep ggn pernafasan_tbc
 
Pneumoni Muti.pptx
Pneumoni Muti.pptxPneumoni Muti.pptx
Pneumoni Muti.pptx
 
pertusis.pptx
pertusis.pptxpertusis.pptx
pertusis.pptx
 
LO Difteri.pptx
LO Difteri.pptxLO Difteri.pptx
LO Difteri.pptx
 
Tonsilitis &amp; faringitis 2
Tonsilitis &amp; faringitis 2Tonsilitis &amp; faringitis 2
Tonsilitis &amp; faringitis 2
 
TB extra paru yessi.pptx
TB extra paru yessi.pptxTB extra paru yessi.pptx
TB extra paru yessi.pptx
 
Kasus otitis media akut
Kasus otitis media akutKasus otitis media akut
Kasus otitis media akut
 
Askep Tb paru,
Askep Tb paru,Askep Tb paru,
Askep Tb paru,
 
Investigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdf
Investigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdfInvestigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdf
Investigasi Klinis_TB dan HIV_DIM.pdf
 
5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptx
5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptx5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptx
5.Materi Investigasi Klinis_TB dan HIV_ DIM.pptx
 
Beberapa penyakit infeksi dan cara penularannya
Beberapa penyakit infeksi dan cara penularannyaBeberapa penyakit infeksi dan cara penularannya
Beberapa penyakit infeksi dan cara penularannya
 
Lp faringitis
Lp faringitisLp faringitis
Lp faringitis
 
Pembahasan UKDI CLINIC 1.pdf
Pembahasan UKDI CLINIC 1.pdfPembahasan UKDI CLINIC 1.pdf
Pembahasan UKDI CLINIC 1.pdf
 
INFEKSI ASAL UDARA
INFEKSI ASAL UDARAINFEKSI ASAL UDARA
INFEKSI ASAL UDARA
 
Askep demam typoid
Askep demam typoidAskep demam typoid
Askep demam typoid
 
Campak
CampakCampak
Campak
 

Recently uploaded

2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitIrfanNersMaulana
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasiantoniareong
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasmufida16
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diriandi861789
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxpuspapameswari
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabayaajongshopp
 
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdfPpt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdfAyundaHennaPelalawan
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfhurufd86
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptbambang62741
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/maGusmaliniEf
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesNadrohSitepu1
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar KepHaslianiBaharuddin
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikassuser1cc42a
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxwisanggeni19
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
Presentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensiPresentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensissuser1cc42a
 

Recently uploaded (20)

2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
 
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdfPpt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
Ppt Macroscopic Structure of Skin Rash.pdf
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
Presentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensiPresentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensi
 

DIFTERI_21 Mei 2018.pptx

  • 1. DIAGNOSIS dan TATALAKSANA DIFTERI PADA ANAK Parwati Setiono Basuki Ismoedijanto, Dominicus Husada, Leny Kartika UKK Infeksi Dan Pediatri Tropik Departemen/UPF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya 1
  • 2. Endpoints 1. Mengenal tanda dan gejala penderita difteri 2. Dapat membedakan difteri dengan DD nya 3. Dapat memberikan tatalaksana klinis penderita dan kontak 2
  • 3. PENDAHULUAN • Difteri merupakan infeksi toksik akut disebabkan Corynebacterium species, Corynebacterium diphtheriae Corynebacterium ulcerans strain toxigenic • Gejala klinis dan komplikasi disebabkan efek eksotoksin • Imunisasi menekan angka kejadian penyakit, masih dijumpai kasus-kasus fatal • Mengenal kasus sedini mungkin dapat mencegah terjadinya kematian 3
  • 4. PENDAHULUAN  Diagnosis terutama ditegakkan atas dasar klinis, penundaan terapi serum anti meningkatkan angka kematian  Penentuan kuman penyebab untuk konfirmasi diagnosis 4
  • 5. 5
  • 6. 6
  • 8. MANIFESTASI KLINIS • Bervariasi dari tanpa gejala  fatal • Masa tunas 1-5 hari (2-4 hari) • Keluhan dan gejala tergantung:  tempat infeksi  status imunitas pejamu  distribusi toksin ke dalam sirkulasi 8
  • 9. 9
  • 10. 10
  • 11. 11
  • 12. 12
  • 13. Case definition Probable case  suspected case plus satu di antara -kontak dlm wkt pendek (<2 mgg) dng kasus confirmed -wabah difteri baru di area -stridor -pembengkakan/edema leher -perdarahan submukosa atau ptekie di kulit -toxic circulatory collapse -acute renal insufficiency -miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik dalam waktu 1-6 minggu awitan sakit -meninggal 13
  • 14. 14
  • 15. Gejala Kasus, N (%) Demam 76 (100) Nyeri telan 60 (78.9) Batuk 46 (47.4) Pilek 44 (57.9) Tidur ngorok 35 (46.1) Sesak 12 (15.8) Bull neck 26 (34.2) Limfadenopati 41 (53.9) 15 Tabel. Distribusi kasus difteri berdasarkan manifestasi gejala Gambaran klinis kasus difteria anak di ruang rawat inap anak RS Dr soetomo januari 2004 – juli 2009
  • 16. 16
  • 17. 17
  • 18. Difteri Hidung 18 • Mula-mula mirip common cold • Sekret hidung berangsur jadi serosanguinous  mukopurulen lecet pada nares & bibir atas • Membran putih pada septum nasi • Absorpsi toksin lambat; gejala sistemik sedikit, diagnosis lambat
  • 19. DIFTERI TONSIL - FARING  Anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri telan  Membran melekat, putih-kelabu  1-2 hari menutup tonsil & dinding faring  ke uvula & palatum molle/laring & trakhea  lymphadenitis cervicalis & submandibularis, bila + edema jaringan lunak leher  bullneck  Kasus ringan: membran lepas dlm 7-10 hari  Sedang: sembuh berangsur; dpt+miokardiopati/neuropati  Berat: gagal nafas/sirkulasi, paralisis palatum molle, ke-† 19
  • 21. Pseudomembran pd tonsil dan uvula BULLNECK 21
  • 22. 22
  • 23. DIFTERI LARING 23 • Perluasan difteri faring; bila primer gejala terutama obstruksi sal nafas atas. Bila perluasan, disertai gejala toksemia  Gejala infectious croup: nafas bunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering. Bila berat: retraksi suprasternal, subcostal, supraclavicular  Pelepasan membran  menutup jalan nafas  ke-†  Berat: membran meluas ke percabangan trakheobronkhial
  • 24. DIFTERI LARINGS 24 Pseudomembran percabangan bronkus, kasus difteri laring di RSU Dr Soetomo 2010 Fig.22-4. Membrane cast of trachea and bronchi in diphteria. Sumber: Franklin H. Top, Paul F. Wehrle. Communicable and infectious diseases 8th ed 1976
  • 25. DIFTERI KULIT • Difteri kulit: tukak tepi jelas, membran dasar 25
  • 26. Unusual types of diphtheria Difteri pada • Konjungtiva • Telinga: otitis eksterna, sekret purulen, berbau • Vulvovagina • Anal 26
  • 27. DIFTERI KONJUNGTIVA 27 Bayi wanita 3bln Keluhan sakit mata 4 hari, disusul bloody tears 3 hari, Edema palpebra, sekret pekat Mukopurulen. Membran pd konj palp inf D Kultur hidung, tenggorok, mata C diphtheriae , kult kontak neg Anak wanita 6 tahun Keluhan sakit mata, sekret +, berobat ke spesialis mata mendpt tetes mata antib tdk sembuh membran pd conj palp inferior D dan conj bulbi Kultur C diphtheria neg. Kontak kultur tenggorok positif
  • 28. DIAGNOSIS 28  KLINIS  Penentuan kuman: isolasi C.diphtheriae, dari swab tenggorok dan hidung dengan menggunakan media Loffler  dilanjutkan tes toksinogenesitas vivo (marmut) & vitro (tes Elek)  Deteksi adanya bacteriophage tox+  PCR
  • 29. 29
  • 30. Pemeriksaan laboratoris lain 30 • Tidak mempunyai nilai diagnostik • Lekosit normal / meningkat • anemia jarang (hemolisis) • cairan serebrospinal protein meningkat sedikit, peningkatan sel minimal bila ada komplikasi neuritis • hiperglikemia atau glukosuria merupakan petanda toksisitas hati
  • 31. 31
  • 32. 32
  • 33. 33
  • 34. 34
  • 35. 35
  • 36. 36
  • 37. 37
  • 38. 38
  • 39. 39
  • 40. 40
  • 41. 41
  • 42. 42
  • 43. 43
  • 44. 44
  • 45. DIAGNOSIS BANDING 45 Difteri hidung: •Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis) •Benda asing •Snuffles (lues congenita) Benda asing: sekret hidung unilateral snuffles
  • 46. 46
  • 47. Streptococcal pharyngitis with tonsillar exudate and erythema 47 Strep pharyngitis with dark necrotic area on right tonsil and prominent lymphnodes
  • 48. Mononucleosus infectiosa The Color Atlas of Family Medicine Perdrh subconjunctival Limfosit atipik ruam 48
  • 49. Mononucleosus infectiosa (tonsil hampir menyatu) The Color Atlas of Family Medicine > Chapter 5 49
  • 53. DD Difteri Laring 53 •Infectious croup yang lain •Spasmodic croup •Angioneurotic edema pada laring •Benda asing Diagnosis banding
  • 54. DD Difteri Kulit 54 • Impetigo • Infeksi streptokokus/ stafilokokus
  • 55. 55 Impetigo on baby face http://www.medicinenet.com/impetigo/article.htm
  • 56. 56
  • 58. Komplikasi • Terjadi pada sekitar 20% penderita 58 Keterlambatan:  pertolongan medis  diagnosis  antitoksin resiko  biotipe C. diphtheriae  rentang waktu awitan - antitoksin  area infeksinya  luasnya membran  status imunisasi insiden
  • 59. Obstruksi jalan nafas atas • Difteri Laring (DL) → membran, kongesti, edema → obstruksi mekanik • DL ringan : – sebagian membran terlepas menutupi jalan nafas → obstruksi tiba-tiba dan fatal • DL berat : – peningkatan obstruksi → hipoksia progresif 59
  • 60. Penyulit Kardiovaskular • pucat, nadi kecil cepat dan tekanan darah kolaps • muntah dan mengeluh nyeri perut → tanda bahaya • sering meninggal dalam sepuluh hari 60 toksin >>>> Peredaran darah Kegagalan sirkulasi Bila selamat Kerusakan jantung
  • 61. PARALISIS • Urutan dan waktu munculnya palatum, jantung, otot mata, faring-laring, otot pernapasan, anggota gerak • bila penderita bertahan maka pemulihan dari paralisis bersifat lengkap • saraf kranial → awal perjalanan penyakit (4 mgg) setelah awitan penyakit. • Neuropati perifer → belakangan, 5 – 8 minggu 61
  • 63. TATALAKSANA PENDERITA 63 Tata laksana 1. Isolasi dan Karantina • sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing dengan selang waktu ≥ 24 jam. 2. Tatalaksana medikamentosa • menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya • Mencegah, mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal • mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan • mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
  • 64. TATALAKSANA PENDERITA 64 Terapi medikamentosa Umum • Istirahat mutlak 2 minggu • cairan serta diit yang adekwat. • diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas. dijaga kelembaban udara dengan nebulizer. • Bila gelisah, iritabilitas serta gangguan pernafasan progresif → indikasi trakeostomi.
  • 65. TATALAKSANA PENDERITA 65 Terapi medikamentosa Khusus • Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS) Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas/ yang terabsorbsi pada sel, tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel • Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. • Sebelumnya dilakukan tes kulit/tes konjungtiva harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
  • 66. TATALAKSANA PENDERITA 66 • Tes kulit dan konjungtiva • Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. • • Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes negatif, ADS diberikan sekaligus secara tetesan intravena.
  • 67. TATALAKSANA PENDERITA 67 Pemberian ADS • Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung berat badan penderita, berkisar antara 20.000-120.000 KI. • Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml selama 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan 2 jam berikutnya. Perlu dimonitor reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
  • 68. TATALAKSANA PENDERITA 68 Antimikrobial Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi diberi eritromisin 40 mg/kg/hari. Kortikosteroid Pada difteri masih kontroversi. Di Ruang Infeksi dan Pediatri Tropis RSUD Dr. Soetomo kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan penyulit miokardiopati toksik. Imunisasi (DPT, DT atau Td) diberikan saat konvalesensi
  • 69. TATALAKSANA KONTAK 69 1.Isolasi dan Karantina Kontak penderita (semua kontak serumah dan mereka yang terpapar secara penafasan maupun fisik dengan penderita) diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana : a. biakan hidung dan tenggorok b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria) c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati (7 hari).
  • 70. Hasil Kultur Tes Schick Tindakan – + + – – – +, gejala (–) + Bebas isolasi Terapi carrier ADS + Penisilin Toksoid (imunisasi aktif) Tata Laksana Epidemiologis Tata laksana 70
  • 71. TATALAKSANA KONTAK 71 2.Tatalaksana kontak asimtomatik dan carrier • Identifikasi serta investigasi kontak erat (kontak serumah dan yang pernah kontak respiratorik atau fisik dengan penderita) harus dilakukan secepatnya. • • Kontak diphtheria terdiri dari kontak asimtomatik dan carrier.
  • 72. TATALAKSANA KONTAK 72 Kontak asimtomatik • Selama masa tunas (sampai 10 hari) perlu dimonitor terjadinya penyakit disertai pesan agar segera mencari pengobatan bilamana timbul gejala. • Dilakukan biakan kerokan (swab) hidung, tenggorok serta kulit. • Dalam hal imunisasi tidak lengkap diberikan imunisasi DTP, DT, atau Td.
  • 73. TATALAKSANA KONTAK 73 Kontak kasus • Terapi antibiotik profilaksis (eritromisin atau penisilin). Eritromisin oral selama 7-10 hari, bila terjadi intoleransi/ ketidak patuhan pada obat, diberikan dosis tunggal benzathine penisilin G secara intramuskuler. Azithromycin dan clarithromycin merupakan alternatif. • Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita mendapatkan satu dosis Tdap sebagai imunisasi booster terhadap tetanus, difteri, dan pertusis.
  • 74. TATALAKSANA KONTAK 74 Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
  • 75. TATALAKSANA KONTAK 75 Carrier asimtomatik Kontak erat dengan penderita, tanpa gejala, kultur positif, diisolasi, mendapat antibiotik. Kolonisasi respiratorik diperlukan tatacara isolasi respiratorik (masker, serta tatacara standard seperti cuci tangan), kolonisasi kulit diperlukan isolasi kontak (sarung tangan serta gaun). Dilakukan dirumah. Isolasi dilanjutkan hingga dilakukan 2 biakan secara berurutan dengan selang waktu minimal 24 jam, dan antibiotik dihentikan bila hasil kultur negatif.
  • 76. TATALAKSANA KONTAK 76 Carrier asimtomatik Bila kultur masih positif setelah terapi awal 7-10 hari, dilanjutkan dengan pemberian eritromisin oral selama 7- 10 hari atau penambahan dosis tunggal benzathine penisilin G, untuk kemudian dievaluasi dengan kultur 7- 10 hari kemudian. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi. Bila belum booster dalam 5 tahun terakhir mendapatkan dosis booster toksoid difteri sesuai usia
  • 77. Algoritma untuk diagnosis, terapi dan follow up tersangka difteri dan kontak terinfeksi 77 Tersangka/terbukti difteri Identifikasi kontak erat Tidak ada Ada Positif Negatif Stop <3 dosis/ tidak diketahui ≥3 dosis, terakhir > 5 tahun yl ≥3 dosis, terakhir < 5 tahun yl • isolasi • Kultur c.diphteria hidung, tenggorok, kulit • Serum untuk pemeriksaan antibodi • Terapi serum antitoksin diphteria • Terapi antibiotik • Imunisasi aktif (Td) pada fase konvalesen • Dua pasang kultur hidung dan tenggorok (selang ≥ 24 jam) minimal 2 mgg paska terapi antibiotik. Bila tanpa antibiotik, kultur dilakukan 2 mgg setelah keluhan (-), atau ≥ 2 mgg dari awal sakit Lapor ke Dinas Kesehatan Tetapkan dan monitor tanda/gejala difteri minimal 7 hari Kultur c.diphteria Terapi antibiotik Tetapkan status vaksinasi difteri Segera imunisasi sesuai jadwal Segera berikan booster Bila perlu beri imunisasi ke-4 / booster Hindari kontak erat dgn individu imunisasi tidak lengkap • identifikasi kontak erat dan lakukan tindak pencegahan • dua pasang kultur ulangan (selang ≥24 jam) minimal 2 minggu paska terapi
  • 78. mengapa ada yang tidak kebal • Sebelum vaccine era transmisi kuman sangat kuat, sehingga dapat menimbulkan kekebalan alamiah • Transmisi berkurang akibat – Perbaikan sanitasi dan lingkungan hidup – kekebalan manusia akibat vaccine • Kegagalan imunisasi – Tidak imunisasi – Gagal imunisasi – Mempertahankan UCI –Cakupan kurang tinggi
  • 79. Imunisasi dasar • Serangkaian suntikan untuk serokonversi: dari tidak kebal menjadi kebal dg ukuran jumlah anak yang mempunyai antibodi diatas kadar proteksi • Diberikan sedini mungkin, namun terkendala maternal antibodi dan maturitas respon imun • Primming : suntikan untuk menyiapkan tubuh membentuk antibodi yang cukup • Antibodi akan menyurut sampai dibawah kadar proteksi sehingga menyebabkan anak kembali rentan terhadap penyakit (sama seperti sebelum imunisasi. • Butuh booster
  • 80. JADUAL PEMBERIAN IMUNISASI PADA BAYI UMUR VAKSIN TEMPAT Bayi lahir di rumah 0 bulan HB0 Rumah 1 bulan BCG, Polio 1 Posyandu * (atau tempat lain) 2 bulan DPT/HB kombo1, Polio 2 Posyandu * (atau tempat lain) 3 bulan DPT/HB kombo2, Polio 3 Posyandu * (atau tempat lain) 4 bulan DPT/HB kombo3, Polio 4 Posyandu * (atau tempat lain) 9 bulan Campak Posyandu * (atau tempat lain) Bayi lahir di RS/RB/Bidan Praktek 0 bulan HB0, BCG, Polio 1 RS/RB/Bidan 2 bulan DPT/HB kombo1, Polio 2 RS/RB/Bidan # (atau posy) 3 bulan DPT/HB kombo2, Polio 3 RS/RB/Bidan # (atau posy) 4 bulan DPT/HB kombo3, Polio 4 RS/RB/Bidan # (atau posy) 9 bulan Campak RS/RB/Bidan # (atau posy)
  • 81. 1 SD 2 SD 5 SD Imunisasi DPT- HB-Hib (18 bulan) IMUNISASI DASAR DAN LANJUTAN DIFTERI UMUR/ BLN IMUNISASI DASAR < 24 hrs Hep.B birth dose 1 BCG, OPV1 2 DPT-HB-Hib1, OPV2 and PCV* 3 DPT-HB-Hib2, OPV3 and PCV* 4 DPT-HB-Hib3, OPV4, IPV 9 Measles/MR 10 JE** 12 PCV* IMUNISASI LANJUTAN Vaksin Td Vaksin DT IMUNISASI LANJUTAN USIA SD Imunisasi difteri dikatakan lengkap jika seseorang telah mendapatkan imunisasi dasar waktu bayi sebanyak 3 kali, baduta 1 kali, dan usia sekolah 3 kali Ibu ham il T d
  • 82. Pengaruh maternal antibodi • Parwati dkk – Bila diberikan pada 2 bln: suntikan 1 turun, suntikan ke 2 turun suntikan ke 3 naik – Bila diberikan pada 3 bln, suntikan 1 turun, suntikan ke 2 naik suntikan ketiga naik – Kesimpulan: harus mendapat tiga suntikan D • Ranuh dkk – Bila dimulai 3 bulan: dua suntikan vs 3 suntikan : 1 tahun setelah suntikan terakhir hanya 38% yang masih kebal
  • 83. Antigen D • Antibodi terhadap toksin kebal terhadap toksin bukan terhadap kumannya • Gagal imunisasi : – kurang dari 3 suntikan antigen D – Invalid dose : diberikan 5 hari sebelum interval 28 – Suntikan dengan vaksin rusak / beku • Gagal cakupan – Tidak di imunisasi/kurang dari 3 suntikan – UCI =80%, sisa 20% kumulative selama 5 tahun = 100% kohort-cluster tanpa kekebalan (pockets of un immunized)
  • 84. booster • Diberikan untuk meningkatkan antibodi kembali ke kadar diatas kadar proteksi • Diberikan tergantung – Masa penyurutan antibodi – Jenis vaksin: hidup atau mati, sederhana atau komplex – Adanya memory yang kuat dan banyak • Difteri : – setahun setelah imunisasi dasar – 3-5 tahun setelah booster 1 – setiap 10 tahun setelah usia 10 tahun • Tetanus setiap 10 tahun : TT lifelong card
  • 85. Group Schick (+) Schick (-) Total Immunization 1 x 35 7(17%) 42 Immunization 2 x 10 44(81%) 54 Immunization 3 x 30 142(83%) 172 Immunization 3 x + Booster 0 6 (100%) 6 Kontrol 130 120(48%) 250 Result of Shick test Santoso H, Suwendra IP, Kari IK, Aryasa N. Medika 1991,5;359-361.
  • 86. Pentingnya pendidikan ibu • Untuk memahami value of immunization harus ada reseptor untuk menerima informasi kesehatan, semakin tinggi pendidikan, semakin mudah mencapai cakupan imunisasi • Budaya lisan: kedudukan perempuan secara sosial, mis Aceh, Minangkabau, Yogya • Budaya tulis, buku KIA, buku imunisasi, literate • Reseptor yang dibentuk oleh pendidikan formal – Ilmu hayat/biologi – Ilmu bumi dam iklim – Ilmu kesehatan
  • 87. Independent Monitoring Board WHO • Menyarankan agar imunisasi mempunyai cakupan tinggi dan merata seluruh dunia • Menyarankan – Komitment pejabat negara dan daerah – Menyiapkan logistik yang memadai – Mikroplanning yang baik – Melibatkan masyarakat penerima imunisasi • Eradikasi polio dan penyakit lain yg bisa di eradikasi
  • 88. Cakupan imunisasi dan GAIN RED • Cakupan imunisasi dasar harus tinggi – Mencegah penyakit – Primming bila ada booster alamiah – Harus mencapai 100%, karena ada irresponsive 6%, sweeping dan backlog fighting harus dilakukan – Kalau lolos ini akan menjadi cluster unimmunized • Booster harus diberikan untuk menekan jumlah cluster yg un immunized • Semua district harus tinggi : cakupan merata dan infrastruktur harus disempurnakan
  • 89. mikroplanning • Mendata kohort bayi secara benar – Apakah para bidan sdh faham kohort dan manfaatnya? • Mendata target imunisasi – Imunisasi dasar – Booster – Booster remaja • By name, by address • Menyiapkan – siapa yang melakukan, – berapa yang akan di cakup, – menyiapkan logistik, – menyiapkan meeting point, – melaksanakan eksekusi – dan evaluasi hasil pelaksanaan
  • 90. Imunisasi di Jawa Timur • Kohort din Jawa Timur cukup besar : 650-700 ribu • Belum ada persiapan khusus daerah yg sulit dijangkau • Pelaksana hanya bidan : tidak ada jurim lagi, bidan berada di BUK dan anggaran imunisasi di P2M, harus ada MOU yang nyata : apa tugas, siapa yang mengawasi, apa reward dan apa sanksi • Kab/kota sulit menganggarkan imunisasi dan surveilans, mengandalkan BOK, GAVI, anggaran propinsi dan pusat • Banyak silent subdistrict
  • 91. Kasus Difteri sebagai indikator KLB Polio • Toksoid difteri adalah vaksin yang paling lemah • Bila ada kasus ada cluster of un immunized • Indikator adanya daerah rendah/tanpa cakupan • Bukan hanya risiko adanya polio import, tetapi adanya cVDPV yang beredar di daerah rendah cakupan • Bukan berniat mem blow up KLB difteri, tetapi MEMPERBAIKI CAKUPAN IMUNISASI RUTIN
  • 92. SubPIN dan eliminasi kasus • Imunisasi dasar akan membuat semua menjadi kebal terhadap toksin sehingga tidak ada kasus • Semakin lama akan semakin tinggi herd immunity sehingga peredaran kuman akan menurun • Kuman yang beredar bukan kuman yang toksigenik, kuman kehilangan virulensi • Sumber kuman di kelompok anak akan hilang sehingga kuman yg beredar makin hilang • Bila dilakukan semua umur, kasus akan segera hilang • Bila by age group, akan menunggu semua anak kebal, sehingga kuman beredar tak mencapai kelompok dewasa • Perlu booster setelah putaran ketiga mungkinkah?
  • 93. Difteri pada dewasa • Terjadi pada kelompok dewasa yang tidak kebal – Tidak di imunisasi (kelahiran sebelum 1978) – Tidak mendapat booster – Mendapat kuman dari kelompok anak yag punya kuman toksigenik • Fatalitas tinggi karena – Adanya risiko tambahan spt diabetes dsb – Undetected ok gejala klinik ringan dan tidak dikira atau tidak masuk DD dokter pemeriksa – Mudah menular
  • 94. Kapan difteri Jawa Timur akan terkendali • Difteri sangat menggantungkan pada imunisasi rutin  cakupan tinggi dan merata • Bila booster 2 tahun sdh dilakukan rutin • Semua anak kebal sehingga peredaran kuman menurun • Harus di data pendidikan ibu yang anaknya harus diimunisasi, untuk deteksi reseptor penyuluhan • Dilakukan sub PIN 3 kali dan dlanjutkan dengan imunisasi yang memadai • Jangan ada invalid doses dan rantai dingin yang baik • Penanganan kasus yg memadai untuk mencegah kematian, termasuk rujukan khusus
  • 95.
  • 96. Apa yang harus diwaspadai • Kabupaten at risk : 19 berdasarkan kasus • Prediksi kasus berdasarkan cakupan imunisasi – Daerah barat – Daerah timur • Peningkatan surveilans • Penghentian transmisi • Harapan kedepan – Cakupan tinggi dan merata
  • 99. 1 SD 2 SD 5 SD Imunisasi DPT- HB-Hib (18 bulan) IMUNISASI DASAR DAN LANJUTAN DIFTERI UMUR/ BLN IMUNISASI DASAR < 24 hrs Hep.B birth dose 1 BCG, OPV1 2 DPT-HB-Hib1, OPV2 and PCV* 3 DPT-HB-Hib2, OPV3 and PCV* 4 DPT-HB-Hib3, OPV4, IPV 9 Measles/MR 10 JE** 12 PCV* IMUNISASI LANJUTAN Vaksin Td Vaksin DT IMUNISASI LANJUTAN USIA SD Imunisasi difteri dikatakan lengkap jika seseorang telah mendapatkan imunisasi dasar waktu bayi sebanyak 3 kali, baduta 1 kali, dan usia sekolah 3 kali Ibu ham il T d
  • 100. Indikasi kontra Reaksi anafilaksis Sakit sedang atau berat (dengan atau tanpa demam) Bukan indikasi kontra Reaksi lokal ringan-sedang Demam ringan atau sedang , Sakit akut ringan Dalam pengobatan antibiotik , Masa konvalesen Prematuritas , Terpajan terhadap suatu penyakit menular Alergi penisilin, alergi dalam keluarga, alergi sebab tak jelas Ibu/penghuni rumah lain hamil Penghuni lain serumah tidak diimunisasi TABEL 1. Indikasi kontra imunisasi (1) SEMUA VAKSIN (DTaP/DTP,OPV,IPV,MMR,Varisela,Hib,HBV)
  • 101. Indikasi kontra Ensefalopati dalam masa 7 hari pasca DTaP/DTP sebelumnya Perhatian khusus Demam >40,5oC pasca DTaP/DTP Kolaps/hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca DTaP/DTP Kejang dalam 3 hari pasca DTaP/DTP Inconsolable crying >3 jam dalam 48 jam pasca DTaP/DTP Sindrom Guillain-Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi Bukan indikasi kontra Demam <40,5oC pasca DTaP/DTP Riwayat kejang dalam keluarga Riwayat SIDS dalam keluarga Riwayat KIPI dalam keluarga pasca DTaP/DTP TABEL 1. Indikasi kontra imunisasi (2) DTaP/DTP
  • 102. 4a. Bukti sesuai dengan hubungan kausal DPT Ensefalopati akut, syok dan keadaan seperti syok Rubela Artritis kronik 4b. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal DPT Anafilaksis, inconsolable crying Rubela Artritis akut DT/Td/T Sindrom Guillain-Barre, neuritis brakial Campak Anafilaksis Gondong - OPV/IPV Sindrom Guillain-Barre (OPV) HBV - Hib Onset dini penyakit Hib pada anak >18 bulan penerima vaksin pertama PRP non kunyugasi TABEL 2. Hubungan kausal KIPI dengan vaksin(4) VAKSIN KIPI
  • 103. Tetanus Syok anafilaksis* 4 jam (DPT, DT, TT) Neuritis brakialis 2-28 hari Khusus TT: - demam dgn reaksi lokal 4 hari pertama - sindrom Guillain-Barre 5 hari-6 minggu - eritema multiforme Pertusis (DPT) Sok anafilaksis* 4 jam Kejang Ensefalopati 72 jam TABEL 3. Gejala KIPI menurut jenis vaksin dan masa timbulnya(1) VAKSIN KIPI MASA TIMBUL *Syok anafilaksis: kolaps kardiovaskular, hipotensi, dapat disertai urtik
  • 104. 1. Tidak terdapat bukti hubungan kausal DPT Autisme Rubela - DT/Td/T - Campak - Gondong Neuropati, kejang OPV/IPV Mielitis tansversa, trombositopenia (IPV), anafilaksis (IPV) HBV - Hib - TABEL 3. Hubungan kausal KIPI dengan vaksin(1) VAKSIN KIPI
  • 105. 2a. Tidak cukup bukti untuk menyatakan hubungan kausal DPT Meningitis aseptik, kerusakan neurologi kronik, eritema multiform dan ruam lain, diabetes juvenil, sindrom Gullain-Barre, anemia hemolitik, gangguan belajar dan ADHD, mononeuropati perifer, trombositopenia Rubela Radikuloneuritis dan neuropati lainnya, purpura trombositopenia 2b. Tidak cukup bukti menerima/menolak hubungan kausal DT/Td/T Kejang, demielinisasi SSP, artritis, eritema multiform Campak Ensefalopati, SSPE, kejang, pekak sensoris, IDDM, neuritis optik, mielitis transversa, trombositopenia, sindrom Guillain-Barre TABEL 4. Hubungan kausal KIPI dengan vaksin(2) VAKSIN KIPI
  • 106. 3a. Bukti tidak memperkuat hubungan kausal DPT Spasme infantil, hipsaritmia, sindrom Reye, SIDS Rubela - 3b. Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal DT/Td/T Ensefalopati, spasme infantil (DT), SIDS (DT) Campak - Gondong - OPV/IPV - HBV - Hib Onset dini penyakit Hib (vaksin konyugasi) TABEL 5. Hubungan kausal KIPI dengan vaksin(3) VAKSIN KIPI
  • 107. 5. Bukti memastikan hubungan kausal DPT - Rubela - DT/Td/T Anafilaksis Campak Trombositopenia (MMR), anafilaksis (MMR), kematian karena virus campak vaccine-strain Gondong - OPV/IPV Poliomielitis (OPV), kematian karena infeksi virus polio vaccine-strain HBV Anafilaksis Hib - TABEL 2. Hubungan kausal KIPI dengan vaksin(5) VAKSIN KIPI
  • 108. Reaksi vaksin yg jarang, interval onset & perkiraan rate KIPI Vaksin Reaksi vaksin Interval onset Rate KIPI / 1juta BCG Limfadenitis supuratif Osteitis BCG Infeksi BCG disiminata 2 – 6 bulan 1 – 12 bulan 1 – 12 bulan 100 – 1000 1 – 700 2 HiB Belum pernah ada laporan - - Hepatitis B Anafilaksis 0 – 1 jam 1 – 2 Campak / MMR Kejang demam Trombositopenia Reaksi anafilaktoid Syok Anafilaksis Ensefalopati 5 – 12 hari 15 – 35 hari 0 – 1 jam - 333 33 ~10 1 – 50 <1 OPV Lumpuh layu berkaitan dg vaksin (VAPP) 4 – 30 hari 1,4 – 3,4 Tetanus Neuritis Brakhial Syok Anafilaksis Abses steril 2 – 28 hari 0 – 1 jam 1 – 6 minggu 5 – 10 0.4 – 10 6 - 10 Tetanus- difteria Sama dengan tetanus Pertusis Menangis terus menerus > 3jam Kejang demam Keadaan hipotonik- 0 – 24 jam 0 – 3 hari 0 – 24 jam 1.000- 60.000 570 570
  • 109. Tindakan setelah kejadian KIPI • Di kelola secara klinik – Segera – Dirujuk • Tanpa penderita : elektronik, foto dan data • Dengan penderita • Dikelola secara epidemiologik – PE – Analisis cluster – Causalitas