Dokumen tersebut membahas diagnosis dan penatalaksanaan difteri pada anak. Secara ringkas, difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin yang menyebabkan gejala klinis dan komplikasi. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan isolasi bakteri, sementara penatalaksananya meliputi pemberian antitoksin, antimikrobial, dan isolasi pasien beserta kontak eratnya.
1. DIAGNOSIS
dan
TATALAKSANA DIFTERI
PADA ANAK
Parwati Setiono Basuki
Ismoedijanto, Dominicus Husada, Leny Kartika
UKK Infeksi Dan Pediatri Tropik
Departemen/UPF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya
1
2. Endpoints
1. Mengenal tanda dan gejala penderita
difteri
2. Dapat membedakan difteri dengan DD
nya
3. Dapat memberikan tatalaksana klinis
penderita dan kontak
2
3. PENDAHULUAN
• Difteri merupakan infeksi toksik akut disebabkan
Corynebacterium species,
Corynebacterium diphtheriae
Corynebacterium ulcerans strain toxigenic
• Gejala klinis dan komplikasi disebabkan efek
eksotoksin
• Imunisasi menekan angka kejadian penyakit,
masih dijumpai kasus-kasus fatal
• Mengenal kasus sedini mungkin dapat
mencegah terjadinya kematian
3
4. PENDAHULUAN
Diagnosis terutama ditegakkan atas dasar klinis,
penundaan terapi serum anti meningkatkan
angka kematian
Penentuan kuman penyebab untuk konfirmasi
diagnosis
4
8. MANIFESTASI KLINIS
• Bervariasi dari tanpa gejala fatal
• Masa tunas 1-5 hari (2-4 hari)
• Keluhan dan gejala tergantung:
tempat infeksi
status imunitas pejamu
distribusi toksin ke dalam sirkulasi
8
13. Case definition
Probable case suspected case
plus satu di antara
-kontak dlm wkt pendek (<2 mgg) dng
kasus confirmed
-wabah difteri baru di area
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau ptekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-acute renal insufficiency
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik
dalam waktu 1-6 minggu awitan sakit
-meninggal
13
23. DIFTERI LARING
23
• Perluasan difteri faring; bila primer gejala terutama
obstruksi sal nafas atas. Bila perluasan, disertai gejala
toksemia
Gejala infectious croup: nafas bunyi, stridor progresif,
suara parau, batuk kering. Bila berat: retraksi
suprasternal, subcostal, supraclavicular
Pelepasan membran menutup jalan nafas ke-†
Berat: membran meluas ke percabangan
trakheobronkhial
24. DIFTERI LARINGS
24
Pseudomembran percabangan bronkus,
kasus difteri laring di RSU Dr Soetomo 2010
Fig.22-4. Membrane cast of trachea
and bronchi in diphteria. Sumber:
Franklin H. Top, Paul F. Wehrle.
Communicable and infectious diseases 8th ed
1976
27. DIFTERI KONJUNGTIVA
27
Bayi wanita 3bln
Keluhan sakit mata 4 hari,
disusul bloody tears 3 hari,
Edema palpebra, sekret pekat
Mukopurulen. Membran pd konj
palp inf D
Kultur hidung, tenggorok, mata
C diphtheriae , kult kontak neg
Anak wanita 6 tahun
Keluhan sakit mata, sekret +, berobat
ke spesialis mata mendpt tetes mata
antib tdk sembuh
membran pd conj palp inferior D dan
conj bulbi
Kultur C diphtheria neg.
Kontak kultur tenggorok positif
28. DIAGNOSIS
28
KLINIS
Penentuan kuman: isolasi C.diphtheriae, dari
swab tenggorok dan hidung dengan menggunakan media Loffler
dilanjutkan tes toksinogenesitas vivo (marmut)
& vitro (tes Elek)
Deteksi adanya bacteriophage tox+
PCR
30. Pemeriksaan laboratoris lain
30
• Tidak mempunyai nilai diagnostik
• Lekosit normal / meningkat
• anemia jarang (hemolisis)
• cairan serebrospinal protein meningkat sedikit,
peningkatan sel minimal bila ada komplikasi
neuritis
• hiperglikemia atau glukosuria merupakan petanda
toksisitas hati
58. Komplikasi
• Terjadi pada sekitar 20% penderita
58
Keterlambatan:
pertolongan medis
diagnosis
antitoksin
resiko
biotipe C. diphtheriae
rentang waktu awitan - antitoksin
area infeksinya
luasnya membran
status imunisasi
insiden
59. Obstruksi jalan nafas atas
• Difteri Laring (DL) → membran, kongesti,
edema → obstruksi mekanik
• DL ringan :
– sebagian membran terlepas menutupi jalan
nafas → obstruksi tiba-tiba dan fatal
• DL berat :
– peningkatan obstruksi → hipoksia progresif
59
60. Penyulit Kardiovaskular
• pucat, nadi kecil cepat dan tekanan darah kolaps
• muntah dan mengeluh nyeri perut → tanda bahaya
• sering meninggal dalam sepuluh hari
60
toksin >>>> Peredaran darah Kegagalan sirkulasi
Bila selamat Kerusakan jantung
61. PARALISIS
• Urutan dan waktu munculnya palatum, jantung, otot
mata, faring-laring, otot pernapasan, anggota gerak
• bila penderita bertahan maka pemulihan dari paralisis
bersifat lengkap
• saraf kranial → awal perjalanan penyakit (4 mgg)
setelah awitan penyakit.
• Neuropati perifer → belakangan, 5 – 8 minggu
61
63. TATALAKSANA PENDERITA
63
Tata laksana
1. Isolasi dan Karantina
• sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui, masing-masing dengan selang waktu ≥
24 jam.
2. Tatalaksana medikamentosa
• menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya
• Mencegah, mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal
• mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah
penularan
• mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
64. TATALAKSANA PENDERITA
64
Terapi medikamentosa Umum
• Istirahat mutlak 2 minggu
• cairan serta diit yang adekwat.
• diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas. dijaga
kelembaban udara dengan nebulizer.
• Bila gelisah, iritabilitas serta gangguan pernafasan
progresif → indikasi trakeostomi.
65. TATALAKSANA PENDERITA
65
Terapi medikamentosa Khusus
• Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas/ yang terabsorbsi pada sel, tidak
bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel
• Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis diphtheria.
• Sebelumnya dilakukan tes kulit/tes konjungtiva harus
tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
66. TATALAKSANA PENDERITA
66
• Tes kulit dan konjungtiva
• Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
•
• Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1:10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan
garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
konjungtivitis dan lakrimasi. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS
diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes negatif, ADS
diberikan sekaligus secara tetesan intravena.
67. TATALAKSANA PENDERITA
67
Pemberian ADS
• Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung berat
badan penderita, berkisar antara 20.000-120.000 KI.
• Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan
dalam larutan 200 ml selama 4-8 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan 2 jam
berikutnya. Perlu dimonitor reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness).
68. TATALAKSANA PENDERITA
68
Antimikrobial
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari, bila alergi diberi eritromisin 40 mg/kg/hari.
Kortikosteroid
Pada difteri masih kontroversi. Di Ruang Infeksi dan
Pediatri Tropis RSUD Dr. Soetomo kortikosteroid diberikan
kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dan penyulit miokardiopati toksik.
Imunisasi (DPT, DT atau Td) diberikan saat konvalesensi
69. TATALAKSANA KONTAK
69
1.Isolasi dan Karantina
Kontak penderita (semua kontak serumah dan mereka yang
terpapar secara penafasan maupun fisik dengan penderita)
diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan
terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas
terlewati (7 hari).
71. TATALAKSANA KONTAK
71
2.Tatalaksana kontak asimtomatik dan carrier
• Identifikasi serta investigasi kontak erat (kontak
serumah dan yang pernah kontak respiratorik atau
fisik dengan penderita) harus dilakukan secepatnya.
•
• Kontak diphtheria terdiri dari kontak asimtomatik dan
carrier.
72. TATALAKSANA KONTAK
72
Kontak asimtomatik
• Selama masa tunas (sampai 10 hari) perlu dimonitor
terjadinya penyakit disertai pesan agar segera mencari
pengobatan bilamana timbul gejala.
• Dilakukan biakan kerokan (swab) hidung, tenggorok serta
kulit.
• Dalam hal imunisasi tidak lengkap diberikan imunisasi
DTP, DT, atau Td.
73. TATALAKSANA KONTAK
73
Kontak kasus
• Terapi antibiotik profilaksis (eritromisin atau penisilin).
Eritromisin oral selama 7-10 hari, bila terjadi intoleransi/
ketidak patuhan pada obat, diberikan dosis tunggal benzathine
penisilin G secara intramuskuler. Azithromycin dan
clarithromycin merupakan alternatif.
• Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita
mendapatkan satu dosis Tdap sebagai imunisasi booster
terhadap tetanus, difteri, dan pertusis.
75. TATALAKSANA KONTAK
75
Carrier asimtomatik
Kontak erat dengan penderita, tanpa gejala, kultur
positif, diisolasi, mendapat antibiotik.
Kolonisasi respiratorik diperlukan tatacara isolasi
respiratorik (masker, serta tatacara standard seperti cuci
tangan), kolonisasi kulit diperlukan isolasi kontak (sarung
tangan serta gaun).
Dilakukan dirumah. Isolasi dilanjutkan hingga dilakukan
2 biakan secara berurutan dengan selang waktu minimal
24 jam, dan antibiotik dihentikan bila hasil kultur negatif.
76. TATALAKSANA KONTAK
76
Carrier asimtomatik
Bila kultur masih positif setelah terapi awal 7-10 hari,
dilanjutkan dengan pemberian eritromisin oral selama 7-
10 hari atau penambahan dosis tunggal benzathine
penisilin G, untuk kemudian dievaluasi dengan kultur 7-
10 hari kemudian. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
Bila belum booster dalam 5 tahun terakhir mendapatkan
dosis booster toksoid difteri sesuai usia
77. Algoritma untuk diagnosis, terapi dan follow up
tersangka difteri dan kontak terinfeksi
77
Tersangka/terbukti
difteri
Identifikasi kontak erat Tidak ada Ada
Positif Negatif
Stop
<3 dosis/
tidak
diketahui
≥3 dosis,
terakhir >
5 tahun yl
≥3 dosis,
terakhir < 5
tahun yl
• isolasi
• Kultur c.diphteria hidung, tenggorok, kulit
• Serum untuk pemeriksaan antibodi
• Terapi serum antitoksin diphteria
• Terapi antibiotik
• Imunisasi aktif (Td) pada fase konvalesen
• Dua pasang kultur hidung dan tenggorok (selang ≥ 24 jam) minimal 2 mgg
paska terapi antibiotik. Bila tanpa antibiotik, kultur dilakukan 2 mgg setelah
keluhan (-), atau ≥ 2 mgg dari awal sakit
Lapor ke Dinas Kesehatan
Tetapkan dan
monitor tanda/gejala
difteri minimal 7 hari
Kultur c.diphteria Terapi antibiotik Tetapkan status
vaksinasi difteri
Segera imunisasi
sesuai jadwal
Segera berikan
booster
Bila perlu beri
imunisasi ke-4 /
booster
Hindari kontak erat dgn individu imunisasi tidak lengkap
• identifikasi kontak erat dan lakukan tindak pencegahan
• dua pasang kultur ulangan (selang ≥24 jam) minimal
2 minggu paska terapi
78. mengapa ada yang tidak kebal
• Sebelum vaccine era transmisi kuman sangat kuat,
sehingga dapat menimbulkan kekebalan alamiah
• Transmisi berkurang akibat
– Perbaikan sanitasi dan lingkungan hidup
– kekebalan manusia akibat vaccine
• Kegagalan imunisasi
– Tidak imunisasi
– Gagal imunisasi
– Mempertahankan UCI
–Cakupan kurang tinggi
79. Imunisasi dasar
• Serangkaian suntikan untuk serokonversi: dari tidak
kebal menjadi kebal dg ukuran jumlah anak yang
mempunyai antibodi diatas kadar proteksi
• Diberikan sedini mungkin, namun terkendala maternal
antibodi dan maturitas respon imun
• Primming : suntikan untuk menyiapkan tubuh
membentuk antibodi yang cukup
• Antibodi akan menyurut sampai dibawah kadar
proteksi sehingga menyebabkan anak kembali
rentan terhadap penyakit (sama seperti sebelum
imunisasi.
• Butuh booster
80. JADUAL PEMBERIAN IMUNISASI PADA BAYI
UMUR VAKSIN TEMPAT
Bayi lahir di rumah
0 bulan HB0 Rumah
1 bulan BCG, Polio 1 Posyandu * (atau tempat lain)
2 bulan DPT/HB kombo1, Polio 2 Posyandu * (atau tempat lain)
3 bulan DPT/HB kombo2, Polio 3 Posyandu * (atau tempat lain)
4 bulan DPT/HB kombo3, Polio 4 Posyandu * (atau tempat lain)
9 bulan Campak Posyandu * (atau tempat lain)
Bayi lahir di RS/RB/Bidan Praktek
0 bulan HB0, BCG, Polio 1 RS/RB/Bidan
2 bulan DPT/HB kombo1, Polio 2 RS/RB/Bidan # (atau posy)
3 bulan DPT/HB kombo2, Polio 3 RS/RB/Bidan # (atau posy)
4 bulan DPT/HB kombo3, Polio 4 RS/RB/Bidan # (atau posy)
9 bulan Campak RS/RB/Bidan # (atau posy)
81. 1 SD 2 SD 5 SD
Imunisasi DPT-
HB-Hib
(18 bulan)
IMUNISASI DASAR
DAN LANJUTAN
DIFTERI
UMUR/
BLN
IMUNISASI DASAR
< 24 hrs Hep.B birth dose
1 BCG, OPV1
2 DPT-HB-Hib1, OPV2 and PCV*
3 DPT-HB-Hib2, OPV3 and PCV*
4 DPT-HB-Hib3, OPV4, IPV
9 Measles/MR
10 JE**
12 PCV*
IMUNISASI
LANJUTAN
Vaksin Td
Vaksin
DT
IMUNISASI LANJUTAN
USIA SD
Imunisasi difteri dikatakan lengkap jika seseorang telah
mendapatkan imunisasi dasar waktu bayi sebanyak 3 kali,
baduta 1 kali, dan usia sekolah 3 kali
Ibu
ham
il
T
d
82. Pengaruh maternal antibodi
• Parwati dkk
– Bila diberikan pada 2 bln: suntikan 1 turun,
suntikan ke 2 turun suntikan ke 3 naik
– Bila diberikan pada 3 bln, suntikan 1 turun,
suntikan ke 2 naik suntikan ketiga naik
– Kesimpulan: harus mendapat tiga suntikan D
• Ranuh dkk
– Bila dimulai 3 bulan: dua suntikan vs 3
suntikan : 1 tahun setelah suntikan terakhir
hanya 38% yang masih kebal
83. Antigen D
• Antibodi terhadap toksin kebal terhadap
toksin bukan terhadap kumannya
• Gagal imunisasi :
– kurang dari 3 suntikan antigen D
– Invalid dose : diberikan 5 hari sebelum interval 28
– Suntikan dengan vaksin rusak / beku
• Gagal cakupan
– Tidak di imunisasi/kurang dari 3 suntikan
– UCI =80%, sisa 20% kumulative selama 5 tahun =
100% kohort-cluster tanpa kekebalan (pockets of
un immunized)
84. booster
• Diberikan untuk meningkatkan antibodi kembali
ke kadar diatas kadar proteksi
• Diberikan tergantung
– Masa penyurutan antibodi
– Jenis vaksin: hidup atau mati, sederhana atau komplex
– Adanya memory yang kuat dan banyak
• Difteri :
– setahun setelah imunisasi dasar
– 3-5 tahun setelah booster 1
– setiap 10 tahun setelah usia 10 tahun
• Tetanus setiap 10 tahun : TT lifelong card
85. Group Schick (+) Schick (-) Total
Immunization 1 x 35 7(17%) 42
Immunization 2 x 10 44(81%) 54
Immunization 3 x 30 142(83%) 172
Immunization 3 x
+ Booster
0 6 (100%) 6
Kontrol 130 120(48%) 250
Result of Shick test
Santoso H, Suwendra IP, Kari IK, Aryasa N. Medika 1991,5;359-361.
86. Pentingnya pendidikan ibu
• Untuk memahami value of immunization harus
ada reseptor untuk menerima informasi
kesehatan, semakin tinggi pendidikan, semakin
mudah mencapai cakupan imunisasi
• Budaya lisan: kedudukan perempuan secara
sosial, mis Aceh, Minangkabau, Yogya
• Budaya tulis, buku KIA, buku imunisasi, literate
• Reseptor yang dibentuk oleh pendidikan formal
– Ilmu hayat/biologi
– Ilmu bumi dam iklim
– Ilmu kesehatan
87. Independent Monitoring Board WHO
• Menyarankan agar imunisasi mempunyai
cakupan tinggi dan merata seluruh dunia
• Menyarankan
– Komitment pejabat negara dan daerah
– Menyiapkan logistik yang memadai
– Mikroplanning yang baik
– Melibatkan masyarakat penerima imunisasi
• Eradikasi polio dan penyakit lain yg bisa di
eradikasi
88. Cakupan imunisasi dan GAIN RED
• Cakupan imunisasi dasar harus tinggi
– Mencegah penyakit
– Primming bila ada booster alamiah
– Harus mencapai 100%, karena ada irresponsive 6%,
sweeping dan backlog fighting harus dilakukan
– Kalau lolos ini akan menjadi cluster unimmunized
• Booster harus diberikan untuk menekan jumlah
cluster yg un immunized
• Semua district harus tinggi : cakupan merata
dan infrastruktur harus disempurnakan
89. mikroplanning
• Mendata kohort bayi secara benar
– Apakah para bidan sdh faham kohort dan manfaatnya?
• Mendata target imunisasi
– Imunisasi dasar
– Booster
– Booster remaja
• By name, by address
• Menyiapkan
– siapa yang melakukan,
– berapa yang akan di cakup,
– menyiapkan logistik,
– menyiapkan meeting point,
– melaksanakan eksekusi
– dan evaluasi hasil pelaksanaan
90. Imunisasi di Jawa Timur
• Kohort din Jawa Timur cukup besar : 650-700 ribu
• Belum ada persiapan khusus daerah yg sulit
dijangkau
• Pelaksana hanya bidan : tidak ada jurim lagi, bidan
berada di BUK dan anggaran imunisasi di P2M,
harus ada MOU yang nyata : apa tugas, siapa yang
mengawasi, apa reward dan apa sanksi
• Kab/kota sulit menganggarkan imunisasi dan
surveilans, mengandalkan BOK, GAVI, anggaran
propinsi dan pusat
• Banyak silent subdistrict
91. Kasus Difteri sebagai indikator KLB Polio
• Toksoid difteri adalah vaksin yang paling lemah
• Bila ada kasus ada cluster of un immunized
• Indikator adanya daerah rendah/tanpa cakupan
• Bukan hanya risiko adanya polio import, tetapi adanya
cVDPV yang beredar di daerah rendah cakupan
• Bukan berniat mem blow up KLB difteri, tetapi
MEMPERBAIKI CAKUPAN IMUNISASI RUTIN
92. SubPIN dan eliminasi kasus
• Imunisasi dasar akan membuat semua menjadi kebal
terhadap toksin sehingga tidak ada kasus
• Semakin lama akan semakin tinggi herd immunity
sehingga peredaran kuman akan menurun
• Kuman yang beredar bukan kuman yang toksigenik,
kuman kehilangan virulensi
• Sumber kuman di kelompok anak akan hilang sehingga
kuman yg beredar makin hilang
• Bila dilakukan semua umur, kasus akan segera hilang
• Bila by age group, akan menunggu semua anak kebal,
sehingga kuman beredar tak mencapai kelompok dewasa
• Perlu booster setelah putaran ketiga mungkinkah?
93. Difteri pada dewasa
• Terjadi pada kelompok dewasa yang tidak kebal
– Tidak di imunisasi (kelahiran sebelum 1978)
– Tidak mendapat booster
– Mendapat kuman dari kelompok anak yag punya
kuman toksigenik
• Fatalitas tinggi karena
– Adanya risiko tambahan spt diabetes dsb
– Undetected ok gejala klinik ringan dan tidak dikira
atau tidak masuk DD dokter pemeriksa
– Mudah menular
94. Kapan difteri Jawa Timur akan terkendali
• Difteri sangat menggantungkan pada imunisasi rutin
cakupan tinggi dan merata
• Bila booster 2 tahun sdh dilakukan rutin
• Semua anak kebal sehingga peredaran kuman menurun
• Harus di data pendidikan ibu yang anaknya harus
diimunisasi, untuk deteksi reseptor penyuluhan
• Dilakukan sub PIN 3 kali dan dlanjutkan dengan
imunisasi yang memadai
• Jangan ada invalid doses dan rantai dingin yang baik
• Penanganan kasus yg memadai untuk mencegah
kematian, termasuk rujukan khusus
95.
96. Apa yang harus diwaspadai
• Kabupaten at risk : 19 berdasarkan kasus
• Prediksi kasus berdasarkan cakupan imunisasi
– Daerah barat
– Daerah timur
• Peningkatan surveilans
• Penghentian transmisi
• Harapan kedepan
– Cakupan tinggi dan merata
99. 1 SD 2 SD 5 SD
Imunisasi DPT-
HB-Hib
(18 bulan)
IMUNISASI DASAR
DAN LANJUTAN
DIFTERI
UMUR/
BLN
IMUNISASI DASAR
< 24 hrs Hep.B birth dose
1 BCG, OPV1
2 DPT-HB-Hib1, OPV2 and PCV*
3 DPT-HB-Hib2, OPV3 and PCV*
4 DPT-HB-Hib3, OPV4, IPV
9 Measles/MR
10 JE**
12 PCV*
IMUNISASI
LANJUTAN
Vaksin Td
Vaksin
DT
IMUNISASI LANJUTAN
USIA SD
Imunisasi difteri dikatakan lengkap jika seseorang telah
mendapatkan imunisasi dasar waktu bayi sebanyak 3 kali,
baduta 1 kali, dan usia sekolah 3 kali
Ibu
ham
il
T
d
100. Indikasi kontra
Reaksi anafilaksis
Sakit sedang atau berat (dengan atau tanpa demam)
Bukan indikasi kontra
Reaksi lokal ringan-sedang
Demam ringan atau sedang , Sakit akut ringan
Dalam pengobatan antibiotik , Masa konvalesen
Prematuritas , Terpajan terhadap suatu penyakit menular
Alergi penisilin, alergi dalam keluarga, alergi sebab tak jelas
Ibu/penghuni rumah lain hamil
Penghuni lain serumah tidak diimunisasi
TABEL 1. Indikasi kontra imunisasi (1)
SEMUA VAKSIN (DTaP/DTP,OPV,IPV,MMR,Varisela,Hib,HBV)
101. Indikasi kontra
Ensefalopati dalam masa 7 hari pasca DTaP/DTP sebelumnya
Perhatian khusus
Demam >40,5oC pasca DTaP/DTP
Kolaps/hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DTaP/DTP
Kejang dalam 3 hari pasca DTaP/DTP
Inconsolable crying >3 jam dalam 48 jam pasca DTaP/DTP
Sindrom Guillain-Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Bukan indikasi kontra
Demam <40,5oC pasca DTaP/DTP
Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat SIDS dalam keluarga
Riwayat KIPI dalam keluarga pasca DTaP/DTP
TABEL 1. Indikasi kontra imunisasi (2)
DTaP/DTP
102. 4a. Bukti sesuai dengan hubungan kausal
DPT Ensefalopati akut, syok dan keadaan seperti
syok
Rubela Artritis kronik
4b. Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal
DPT Anafilaksis, inconsolable crying
Rubela Artritis akut
DT/Td/T Sindrom Guillain-Barre, neuritis brakial
Campak Anafilaksis
Gondong -
OPV/IPV Sindrom Guillain-Barre (OPV)
HBV -
Hib Onset dini penyakit Hib pada anak >18 bulan
penerima vaksin pertama PRP non kunyugasi
TABEL 2. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(4)
VAKSIN KIPI
103. Tetanus Syok anafilaksis* 4 jam
(DPT, DT, TT) Neuritis brakialis 2-28 hari
Khusus TT:
- demam dgn reaksi lokal 4 hari
pertama
- sindrom Guillain-Barre 5 hari-6
minggu
- eritema multiforme
Pertusis (DPT) Sok anafilaksis* 4 jam
Kejang
Ensefalopati 72 jam
TABEL 3. Gejala KIPI menurut jenis
vaksin dan
masa timbulnya(1)
VAKSIN KIPI MASA TIMBUL
*Syok anafilaksis: kolaps kardiovaskular, hipotensi, dapat disertai urtik
104. 1. Tidak terdapat bukti hubungan kausal
DPT Autisme
Rubela -
DT/Td/T -
Campak -
Gondong Neuropati, kejang
OPV/IPV Mielitis tansversa, trombositopenia (IPV),
anafilaksis (IPV)
HBV -
Hib -
TABEL 3. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(1)
VAKSIN KIPI
105. 2a. Tidak cukup bukti untuk menyatakan hubungan kausal
DPT Meningitis aseptik, kerusakan neurologi
kronik,
eritema multiform dan ruam lain, diabetes
juvenil,
sindrom Gullain-Barre, anemia hemolitik,
gangguan belajar dan ADHD,
mononeuropati perifer, trombositopenia
Rubela Radikuloneuritis dan neuropati lainnya,
purpura trombositopenia
2b. Tidak cukup bukti menerima/menolak hubungan kausal
DT/Td/T Kejang, demielinisasi SSP, artritis, eritema
multiform
Campak Ensefalopati, SSPE, kejang, pekak
sensoris, IDDM,
neuritis optik, mielitis transversa,
trombositopenia,
sindrom Guillain-Barre
TABEL 4. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(2)
VAKSIN KIPI
106. 3a. Bukti tidak memperkuat hubungan kausal
DPT Spasme infantil, hipsaritmia, sindrom Reye,
SIDS
Rubela -
3b. Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal
DT/Td/T Ensefalopati, spasme infantil (DT), SIDS (DT)
Campak -
Gondong -
OPV/IPV -
HBV -
Hib Onset dini penyakit Hib (vaksin konyugasi)
TABEL 5. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(3)
VAKSIN KIPI
107. 5. Bukti memastikan hubungan kausal
DPT -
Rubela -
DT/Td/T Anafilaksis
Campak Trombositopenia (MMR), anafilaksis (MMR),
kematian karena virus
campak vaccine-strain
Gondong -
OPV/IPV Poliomielitis (OPV), kematian karena infeksi
virus polio vaccine-strain
HBV Anafilaksis
Hib -
TABEL 2. Hubungan kausal KIPI
dengan vaksin(5)
VAKSIN KIPI
108. Reaksi vaksin yg jarang, interval onset & perkiraan rate
KIPI
Vaksin Reaksi vaksin Interval
onset
Rate KIPI /
1juta
BCG Limfadenitis supuratif
Osteitis BCG
Infeksi BCG disiminata
2 – 6 bulan
1 – 12 bulan
1 – 12 bulan
100 – 1000
1 – 700
2
HiB Belum pernah ada laporan - -
Hepatitis B Anafilaksis 0 – 1 jam 1 – 2
Campak /
MMR
Kejang demam
Trombositopenia
Reaksi anafilaktoid
Syok Anafilaksis
Ensefalopati
5 – 12 hari
15 – 35 hari
0 – 1 jam
-
333
33
~10
1 – 50
<1
OPV Lumpuh layu berkaitan dg
vaksin (VAPP)
4 – 30 hari 1,4 – 3,4
Tetanus Neuritis Brakhial
Syok Anafilaksis
Abses steril
2 – 28 hari
0 – 1 jam
1 – 6 minggu
5 – 10
0.4 – 10
6 - 10
Tetanus-
difteria
Sama dengan tetanus
Pertusis Menangis terus menerus > 3jam
Kejang demam
Keadaan hipotonik-
0 – 24 jam
0 – 3 hari
0 – 24 jam
1.000- 60.000
570
570
109. Tindakan setelah kejadian KIPI
• Di kelola secara klinik
– Segera
– Dirujuk
• Tanpa penderita : elektronik, foto dan data
• Dengan penderita
• Dikelola secara epidemiologik
– PE
– Analisis cluster
– Causalitas