Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan TB Paru
PPK DIFTERI
1. PANDUAN PRAKTEKKLINIS (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATANANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Difteri
KodeICD : A.36
Definisi
Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit
dan/atau mukosa
Anamnesis
1. Riwayat kontak dengan karier, baik melalui droplet, bahan muntahan atau debu
2. Bervariasi mulai dari gejala ringan yang menyerupai common cold dengan gejala demam
tidak terlalu tinggi, pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan
3. Anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan
4. Suaraserak, sesaknafas, lesu, pucatdanlemah, Suara mengorok
Pemeriksaan fisik
1. Difteri nasal anterior:
Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas
Terdapat pseudomembran putih pada daerah septum nasi
2. Difteri faring atau tonsil
Timbul pseudomembrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil
dan dinding faring, sukar diangkat meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
ke laring dan trakea, yang berdarah saat dilepaskan
Limfadenitis servikal dan submandibular, dapat timbul bullneck bila limfadenitis
terjadi bersama dengan edema jaringan lunak leher yang luas.
Bila terjadi perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia
Dapat terjadi gagal napas
Dapat terjadi paralisis palatum molle, baik uni- maupun bilateral, disertai kesulitan
menelan dan regurgitasi
3. Pada difteria laring, napas dapat berbunyi, stridor progresif, suara parau dan batuk kering.
Membran dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, koma dan kematian
4. Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi sebagai berikut:
a. Derajat I: Anaktenang, dispneuringan, stridorinspiratoar, retraksisuprasternal
2. b. Derajat II: Anakgelisah, dispneuhebat, stridormasihhebat, retraksi suprasternal
danepigastrium, sianosisbelumtampak
c. Derajat III: Anaksangatgelisah, dispneumakinhebat, stridormakinhebat, retraksi
suprasternal danepigastriumserta interkostal, sianosis
d. Derajat IV: Letargi, kesadaranmenurun, pernafasanmelemah, sianosis
5. Difteria dapat juga mengenai kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga.
Kriteria Diagnosis
1. Sesuai dengan anamnesis
2. Sesuai dengan pemeriksaan fisik
3. Laboratorium: Isolasi C.diphtheria dari spesimen
Diagnosis berdasarkan CDC / WHO 2003 :
1. Tersangka: kriteria klinis (+), laboratorium (-), dan tidak ditemukan kasus sama yang
terbukti secara laboratorium di sekitartempattinggal penderita
2. Terbukti: kriteria klinis (+), laboratorium (+), atau ditemukannya kasus yang sama yang
terbukti secara laboratorium di sekitar tempat tinggal penderita
Kriteria klinis: adanya infeksi saluran nafas atas, demam dan terdapat
pseudomembran yang melekat erat pada tonsil, faring dan atau mukosa hidung.
Diagnosis
Difteria
Diagnosis banding
1. Difteriahidung: rhinorrhea(commoncold, sinusitis, adenoiditis), bendaasing, lues
kongenital (snuffles)
2. Difteriatonsil-faring: tonsilitis membranosa akutolehStreptococcus
mononukleosisinfeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitisherpetika
primer,Epstein-Barr Viruses, moniliasis, bloodyscrasia, pascatonsilektomi, vincent
angina, candidiasis
3. Difterialaring: laringitis/infectious croups yang lain (spasmodic croup), angioneurotic
edema, bendaasing
4. Difteriakulit: impetigo daninfeksikulitolehStreptococcusatauStaphylococcus
Pemeriksaan penunujang
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap: hemoglobin, hematokrit, trombosit, lekosit dan hitung
jenis.
2. Pewarnaan gram dan pewarnaan khusus untuk C. Diphtheriae(Neisser/Albert) dari
sediaan apus pseudomembran
3. Diagnosis pasti dari isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler.
4. Foto rontgen toraks (atas indikasi)
3. 5. Foto soft tissue leher (atas indikasi)
6. AGD dan elektrolit (atas indikasi)
7. EKG pada waktu penderita dirawat, dan diulang minimal 3 kali per minggu
8. Skin testsebelum pemberian ADS
9. Urine lengkap
10. Ureum dan kreatinin (atas indikasi)
Tatalaksana
Umum
1. Atasi obstruksi jalan nafas segera dengan konsultasi dengan ahli THT untuk melakukan tindakan trakeostomi
Trakeostomi dilakukan bila terdapat gangguan pernapasan yang progresif, atau obstruksi saluran napas deraja
II atau lebih
2. Pasien dirawat di ruang isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan apusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut (2 – 3 minggu)
3. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 – 3 minggu
4. Cairan parenteraldiberikan untuk mempertahankan hemodinamika tetap baik
5. Pemenuhan kebutuhan kalori, protein, cairan dan elektrolit yang adekuat sesuaiklinis menurut berat badan da
umur, bila tidak dapat oral dapat diberikan parenteral.
6. Dapat diinhalasi dengan nebulizer dengan NaCL 0.9% agar jalan napas tetap bebas serta untuk menjaga
kelembaban udara pada pasien dengan difteria laring
Spesifik
1. Segera diberikan Anti Difteria Serum (ADS) secara intravena (jikadifteridicurigai (tersangkadifteri), ADS
harussegeradiberikantanpamenungguhasillaboratorium), didahului dengan uji kulitdengan cara menyuntikan
0,1 ml ADS yang telah diencerkan dengan NaCl0,9% 1:100. Uji kulit dibaca dalam 20 menit dan dinyatakan
positif bila timbul bentol berukuran 10 mm atau lebih.
Dosis ADS yang diberikan tergantung lokasi dan waktu ADS diberikan:
Tabel. Dosis dan cara pemberian ADS sesuai tipe difteri
TipeDifteria Dosis ADS (IU) Cara pemberian
Difteriahidung 20.000 IM
Difteria tonsil 40.000 IM atau IV
Difteria faring 40.000 IM atau IV
Difterialaring 40.000 IM atau IV
Kombinasilokasi di atas 80.000 IV
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV
Terlambatberobat (>72 jam),
lokasidimanasaja
80.000-100.000 IV
4. Sumber Krugman, 1992 (dengan modifikasi)
a. Hari I: Separuh dosis ADS diberikan secara intravena dengan pengenceran 20 kali dengan NaCl
0,9%ataudekstrose 5%, ataudilarutkandalam 200 ml NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, diberikandalam 4-8 ja
(tidakmelebihi 1 ml/jam).Bila ujikulitpositiflakukandesensitasidengancarasebagaiberikut (ADS diberikan
secara bertahap,sambil melihat tanda-tanda alergi/ anafilaktik):
Tabel. Desensitisasi ADS: Jalur intravena
Nomor dosis,
diberikan tiap
interval 15 menit
Pengenceran serum
dalam NaCl 0,9%
Jumlah
injeksi
(ml)
1 1:1.000 0,1
2 1:1.000 0,3
3 1:1.000 0,6
4 1:100 0,1
5 1:100 0,3
6 1:100 0,6
7 1:10 0,1
8 1:10 0,3
9 1:10 0,6
10 Tanpa pengenceran 0,1
11 Tanpa pengenceran 0,3
12 Tanpa pengenceran 0,6
13 Tanpa pengenceran 1,0
b. Hari II: SeparuhdosisADS diberikansecaraintramuskular
2. Antibiotik:
Penisilin prokain 50.000-100.000 U/kg/hari selama 14 hari
Apabila hipersensitif terhadap penisilin diberikan eritromisin 40-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (4x seha
selama 14 hari
3. Eliminasi difteri harus dibuktikan dengan dua kali beruturut-turut hasil biakan negatif setelah 24 jam antibiot
dihentikan.
4. Kortikosteroid diberikan bila terdapat gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dengan atau tanpa bullnec
atau bila terdapat miokarditis.
5. 5. Setiap penemuan kasus difteri (tersangka/terbukti) harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1 x 24
jam
6. Vaksinasi difteri diberikan saat masa penyembuhan penyakit
7. Pengobatan kontak (bekerja sama dengan petugas surveilans Dinas Kesehatan)
Kontak erat,atau kontak serumah:
a. Surveilans
b. Vaksinasi difteri (sesuaiusia)
c. Biakan apusan hidung dan tenggorok untuk C. diphtheriae
d. Pemberian antibiotik:
Benzathine Penicillin G Intramuskular (dosis tunggal) dengan dosis
600.000 IU untuk usia <6 tahun dan
1.200.000 IU untuk usia 6 tahun atau lebih; atau
Eritromisin oral selama 7 hari dengan dosis
40 mg/kg BB/hari untuk anak
1 g/hari untuk dewasa
Algoritmatatalaksana:
Edukasi
1. Tirah baring
2. Prognosis pasien
6. 3. Imunisasi DPT
4. Imunisasi catch up:
Tabel. Jadwalimunisasi DPT
Usia
Usia minimal
dosis pertama
Interval minimum pemberian
Dosis 1-2 Dosis 2-3 Dosis
3-4
Dosis 4-
5
4 bln – 6 thn
(DTaP)
6 minggu 4 minggu 4 minggu 6 bulan 6 bulan
7 thn – 18
thn(DTaP)
7 tahun 4 minggu *
6 bulan**
4 minggu 6 bulan 6 bulan
Keterangan:
* Apabila dosis pertamadiberikan saat usia < 12 bulan
**Apabila dosis kedua diberikan saat usia ≥ 12 bulan
Booster (Td) diberikan setiap 10 tahun (Td adalah vaksin dewasa dengan jumlah antigen sepersepuluh jumlah antigen padaanak)
5. Cari sumber penularan dan karier
Prognosis
Ad vitam: dubia ad malam
Prognosis tergantung pada:
• Usia
• Lanjutnya penyakit
• Lokasi
• Patogenisitas bakteri
• Cepat lambatnya pemberian toxin
Hari pertama 0,3% (mortalitas)
Hari kedua 4%
Hari ketiga 12%
> hari ketiga 25%
Adsanationam: bonam
Ad fungsionam: dubia ad bonam
Tingkat evidens
IV
Tingkat rekomendasi
D
Penelaah kritis
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis IKA RSMH
7. Indikator medis
1. Bebas demam 24 jam tanpa antipretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis
4. Tidak dijumpai komplikasi
Taksiran lama perawatan
2-3 minggu
Kepustakaan
1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbookofpediatricinfectiousdiseases.
5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2009.
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practiceofpediatricinfectiousdiseases.
2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’sinfectiousdiseaseofchildren. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision makingstrategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002.
5. Red book, reportofcommittee on infectiousdisease, 24th ed. Americanacademyofpediatrics
2009
6. Top FH, Wehrle PF. Diphtheria. Communicable and infectious disease. St Louis: Mosby;
1976. h. 223-38.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ka. Departemen Kesehatan Anak RSMH Ka. Divisi Infeksi & Penyakit Tropis
Dr. Hj. Yusmala , SpA(K) DR. Dr. Yulia Iriani, SpA(K)
NIP 19541128 198303 2 002 NIP 19710715 1999 03 2008