Dokumen tersebut membahas rencana strategis pengembangan peternakan dan kesehatan hewan untuk periode 2015-2019. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain rendahnya produktivitas peternakan nasional, rendahnya investasi di sektor peternakan, serta belum memadainya pelayanan lembaga terkait. Dokumen ini menyarankan perbaikan regulasi, peningkatan produktivitas, pengembangan nilai tambah, serta penguatan lembaga untuk m
1. Refleksi dan Perspektif
Pembangunan Peternakan dan
Kesehatan Hewan
Bahan diskusi Penyusunan Renstra 2015-2019
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD
Bogor, 18-19 Februari 2014
2. Pembangunan Peternakan dan
Kesehatan Hewan
• Mandat:
– promosi, regulasi dan fasilitasi produksi peternakan
untuk pengembangan sosio-ekonomi dan industrialisasi
• Tujuan:
– meningkatkan ketahanan pangan (food security ) dan
keamanan pangan (food safety)
– meningkatkan pendapatan peternak
– menciptakan lapangan kerja untuk meningkatkan
pertumbuhan dan pengembangan sosio-ekonomi
3. Program Pembangunan Peternakan
dan Kesehatan Hewan
• memfasilitasi peningkatan akses pasar lokal dan
internasional untuk ternak dan produk ternak
• memperbaiki produktivitas ternak
• promosi nilai tambah (value addition) melalui
pengolahan produk ternak
• penciptaan kesejahteraan dan lapangan kerja melalui
usaha berbasis ternak (livestock-based enterprises)
• mengamankan hewan dan produk hewan dari risiko
penyakit dan gangguan kesehatan hewan lainnya
• mencegah penularan penyakit hewan ke manusia
4. Aspirasi Pencapaian PDB Indonesia
– Kontribusi Subsektor Peternakan ?
2010:
PDB: USD 700 milyar
Pendapatan/kapita
USD 3.000
2025:
PDB: 4,0-4,5 trilyun
Pendapatan/kapita
diperkirakan USD
14.250-15.500 (negara
berpendapatan tinggi
2045:
PDB: 15,0-17,5 trilyun
Pendapatan/kapita
diperkirakan USD
44.500-49.000
• Kontribusi subsektor peternakan terhadap
PDB Nasional 1,6% dan terhadap PDB
sektor pertanian 15% per tahun (BPS, 2013)
Sumber: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 - 2015
• Pertumbuhan ekonomi riil
6,7-7,5% pada periode 2011-
2014 dan sekitar 8,0-9,0%
pada periode 2015-1015
5. Tantangan dan peluang bagi Indonesia
Di kawasan Asia Tenggara: Indonesia memiliki luas kawasan
terbesar, penduduk terbanyak, dan sumberdaya alam terkaya
ASEAN – China Free Trade Area:
Indonesia harus meningkatkan daya
saing guna mendapatkan manfaat nyata
50%
Perdagangan South to South,
termasuk transaksi antara India –
Cina – Indonesia, menunjukkan
peningkatan yang cepat.
6. Penyediaan Daging Nasional
(Statistik Peternakan, 2010)
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
Unggas Sapi dan
Kerbau
Babi Kambing dan
Domba
Ternak Lain
1,096,000
390,000
186,000
112,000 74,000
59 %
21 %
10 %
6 %
4 %
ton
7. Sub-sektor sapi potong
• Populasi 14,6 juta ekor
• Permintaan daging nasional sekitar 1,82 juta ton/tahun
dengan dasar perhitungan kebutuhan daging 7,75
kg/kapita/tahun
• Konsumsi daging sapi terhadap total konsumsi daging
adalah 21 %, sehingga perkiraan kebutuhan daging sapi
nasional 409,2 ribu ton (Statistik Peternakan 2010)
• Permintaan daging 480,000 ton atau ekuivalen 2,6 juta
ekor/tahun (potensial dipotong)
• Impor sapi hidup dari Australia - 2013: 420 ribu ekor
2014: 720 ribu ekor (?)
•
8. Pertumbuhan industri daging
• Proporsi permintaan daging sapi:
• 30% industri,
• 30% pasar khusus (hotel, restoran, dan katering), dan
• 40% rumah tangga
• Prospek pertumbuhan pasar:
• industri tumbuh 10%/tahun,
• pasar khusus 7%/tahun, dan
• rumah tangga 2-3% per tahun
(Dewan Daging Sapi Nasional, 2011)
9. Sub-sektor sapi perah
• Populasi 636 ribu ekor (dominan di P. Jawa)
• 75-80% kebutuhan susu sapi segar masih dipenuhi
melalui susu impor setiap tahunnya
• Produksi susu rata-rata 6 -10 liter/ekor/hari
• Impor 4-5 juta liter setara susu segar/hari
• Produksi susu turun terus dalam dua tahun terakhir
(berkurang 400 ton/hari)
• Perlu tambahan 400-500 ribu ekor sapi perah laktasi
untuk memenuhi kekurangan produksi
10. Sub-sektor unggas
• Populasi ayam kampung 264 juta ekor, ayam ras
pedaging 1,35 milyar ekor, dan ayam ras petelur 147,3
juta ekor
• Kontribusi ayam ras 90%
• Tenaga kerja 2,5 juta; omset Rp 120 trilyun/tahun
• 60-70% biaya produksi tergantung impor
• GPS masih impor, PS dan FS tidak lagi
• Produksi DOC pedaging 2,2 milyar ekor (2013)
• Konsumsi daging dan telur ayam akan meningkat 2 kali
lipat tahun 2017 mendatang
11. Pengembangan Kebijakan
Peternakan dan Kesehatan Hewan
• Peternakan:
– Kebijakan Pengembangan Sapi Potong
– Kebijakan Pengembangan Unggas
– Kebijakan Pengembangan Sapi Perah
– Kebijakan Pengembangan Kambing/Domba
– Kebijakan Pengembangan Babi
– Kebijakan Perbibitan Ternak
– Kebijakan Pengembangan Bahan Pakan
• Kesehatan hewan:
– Kebijakan Pengendalian dan Pemberantasan PHMS
– Kebijakan Obat Hewan
– Kebijakan Kesehatan Masyarakat Veteriner
– Kebijakan Kesejahteraan Hewan
– Kebijakan “One Health” untuk zoonosis
12. Kebijakan apa yang perlu
diperbaiki per sub sektor?
• Teknologi
• Investasi
• Ekspor - Impor
• Tarif
• Tata ruang
• Perijinan
• Perpajakan
• Permodalan
• Kelembagaan (pola kemitraan, inti plasma)
13. Dasar penyusunan Renstra
• Pemetaan profil
• Pemetaan stakeholder
• Pemetaan rantai nilai (value chain)
• Pemetaan penyakit (PHMS dan penyakit
produksi lainnya)
14. Pohon industri
agribisnis sapi
Sumber:
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisinis Sapi. Badan Litbang Pertanian
• Pengembangan bibit
sapi lokal (PO, Bali)
• Peningkatan mutu
genetik melalui seleksi
dan perbaikan
teknologi reproduksi
dan bibit sapi
16. Isu-su strategis
1. Lingkungan kebijakan dan regulasi belum kondusif
2. Produktivitas sektor peternakan rendah
3. Investasi di sektor peternakan rendah
4. Akses pasar dan nilai tambah kurang dikembangkan
5. Pelayanan oleh lembaga di sektor peternakan belum
memadai (bibit, kesehatan hewan, obat, pakan,
RPH/RPU, penelitian dlsb)
17. 1. Lingkungan kebijakan dan regulasi
belum kondusif
• UU No. 18/2009
• UU No. 16/1992
• PP No. 82/2000
• PP No. 48/2011
• PP No. 95/2012
• PP No. 41/2012
• Permen-permen
• Peraturan perundangan lainnya yang terkait (Kementerian
Perdagangan, Perindustrian, Lingkungan Hidup, Kesehatan,
Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Dalam Negeri)
• PP No. 7/2007
• PP No. 48/2012
• PP No. 6/2013
18. Faktor yang berkontribusi pada
produktivitas sektor peternakan rendah
a) Sistim produksi belum optimal
b) Nutrisi rendah
c) Penyakit hewan
d) Mutu genetik rendah
e) Kurang atau biaya teknologi produksi
f) Penelitian dan penyuluhan yang masih lemah
19. 2. Produktivitas sektor peternakan
rendah
a) Perbaikan pelayanan perbibitan (breeding services)
b) Promosi sistem terpadu tani-ternak
c) Perbaikan ketersediaan pakan bermutu tinggi dan air
d) Perbaikan pengendalian penyakit hewan menular
strategis
e) Dukung pelayanan penelitian dan penyuluhan sesuai
dengan permintaan (demand driven)
21. 3. Investasi di sektor peternakan
rendah
a) Pengembangan pedoman investasi peternakan
b) Pengembangan program dan proyek untuk investasi baik
oleh pemerintah dan swasta
c) Diseminasi pedoman dan program/proyek bagi investor
potensial
d) Pelaksanaan kampanye promosi investasi peternakan
baik lokal, regional, dan internasional
e) Promosi kemitraan pemerintah-swasta (public-private-
partnerships) sepanjang rantai nilai (value chain)
f) Pelaksanaan misi dagang bersama (joint trade mission)
22. 4. Akses pasar dan nilai tambah
kurang dikembangkan
a) Ciptakan zona bebas penyakit (brucellosis)
b) Pengembangan kawasan agribisnis
c) Perbaikan infrastruktur pasar
d) Perbaikan manajemen dan diseminasi informasi
pasar
e) Peningkatan dan perbaikan angkutan ternak
f) Peningkatan kapasitas kelompok ternak
g) Promosi nilai tambah ternak, produk ternak dan
bahan asal ternak (by-product)
23. 5. Pelayanan oleh lembaga di sektor
peternakan belum memadai
a) Transformasi institusi perbibitan ternak menjadi
entitas yang memfasilitasi pertumbuhan
b) Akses permodalan/kredit
c) Asuransi ternak
d) Perkuat pelayanan diagnostik , pengujian mutu obat
hewan, dan pengujian produk ternak dan pakan
e) Perkuat komunikasi dan sistim informasi
f) Perkuat kapasitas monitoring dan evaluasi
g) Institusionalisasi program integritas pelayanan publik
24. HPAI H5N1
• SATU dari 22 penyakit hewan menular strategis (PHMS)
ditetapkan melalui Kepmentan No.
4026/Kpts/OT.140/3/2013
• Dampak sosio-ekonomi terhadap usaha perunggasan
akibat kematian unggas yang tinggi, penurunan
produksi telur, biaya vaksinasi, biaya disposal/disinfeksi
• Wabah masih muncul, akhir-akhir ini lebih sering
pada itik dan ayam kampung di Pulau Jawa
• Peluang ekspor tertutup, industri sensitif tapi tidak ada
daya saing, hanya pemenuhan dalam negeri
26. Fokus kebijakan pengendalian HPAI
Risiko
introduksi
dan
penyebaran
HPAI
Risiko
inroduksi
lewat
burung
migran
Risiko
importasi
Risiko
penyebaran
dari unggas
terinfeksi
Source : Preparing for Highly
Pathogenic Avian Influenza - V.
Martin, A. Forman, J. Lubroth (FAO)
27. Alur tapak risiko HPAI
Peternakan ayam potong (broiler) skala kecil tertular
Petugas
kandang Pengunjung Peralatan Ayam hidup Ayam mati KotoranBebas keliaran
Penyakit tak terdeteksi Penyakit terdeteksi
Kontak dengan
unggas tertular
Kontak dengan
material
terkontamsnasi
Kontak dengan
peternakan lain
Burung liar
Infeksi pada peternakan ayam potong skala kecil lain
Kontak dengan
unggas terinfeksi
Kontak dengan
material
terkontaminasi
Tidak/kurang
biosekuriti
Kontak dengan
peternakan lain
Pasar unggas
hidup
Campur dengan
unggas lain
Ayam
dikembalikan
Disposal
udara terbuka
Dimakan
ikan
Kontaminasi air
Pemotongan
Limbah
Hama
Pelaporan &
konfirmasi uji
cepat
Pelaksanaan pemusnahan,
disposal dan desinfeksi
yang tidak memadai
❑ Penularan masih terus terjadi di pasar unggas hidup lewat ayam tidak
menunjukkan gejala sakit dan bercampur dengan unggas lain
❑ Restrukturisasi pasar unggas terutama di Jabodetabek
28. % Positif subtipe H5 di Pasar Unggas Hidup
di Jabodetabek (Maret 2009 – Mei 2013)
Percentage of H5-positive LBMs, Jabodetabek
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December
January
February
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December
January
February
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December
January
February
March
April
May
August
September
October
November
December
January
February
March
April
May
2009 2010 2011 2012 2013
Sumber: URC Avian Influenza, Direktorat Kesehatan Hewan (2014)
29. Cakung
Pulogadung
Rawa Kepiting
Petukangan
Utara
Lampiri
Cakung
Pintu Air
Kramat Jati
Ciracas
Cilincing
Pasar
Senen
Kalideres
Pasar
Cengkareng
Tanjung
Priok
Total 13 lokasi RPU
Pemprov DKI Jakarta
Bangun 8 Rumah
Pemotongan Unggas
(2011)
Surat Keputusan
Gubernur DKI Jakarta
No. 1909/2009
Pemotongan Unggas
Hanya Boleh di Lima
Lokasi (2010)
30. Pengendalian
HPAI
Deteksi dini
• Surveilans unggas
domestik
• Surveilans burung migran
Respon cepat
• Aktivasi PDSR
• Konfirmasi uji cepat
• Pemusnahan
• Koordinasi “One Health”
Strategi pengendalian
• Vaksinasi
• Pemusnahan
• Biosekuriti
• Pengendalian lalu
lintas unggas
domestik dan impor
31. • SATU dari 22 penyakit hewan menular strategis
(PHMS) ditetapkan melalui Kepmentan No.
4026/Kpts/OT.140/3/2013
• Penyebab keguguran, perpanjangan jarak beranak,
infertilitas, anak sapi lahir mati/lemah, penurunan
produksi susu
• Penghambat peningkatan populasi dan pengiriman
bibit antar pulau dari kawasan perbibitan, terutama
di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur
Brucellosis
* Sumber: Ditjennak, 2000
32. • 14 provinsi sudah dinyatakan bebas brucellosis, akan
tetapi daerah-daerah bebas tersebut sebelumnya memiliki
tingkat prevalensi sangat rendah atau mendekati bebas
0,2 % (provisionally free)
• Zona yang sebentar lagi dapat dinyatakan bebas adalah
Pulau Madura, Pulau Sumba, dan Provinsi Sumatera Utara
• Belum ada pengalaman membebaskan daerah tertular
berat (prevalensi > 2 %)
33. Prevalensi tidak diketahui
•Peningkatan kesadaran masyarakat
•Lakukan sero-survei
•Investigasi kasus abortus dengan konfirmasi laboratorium
•Buat program pengendalian/pemberantasan
Prevalensi tinggi
(prevalensi kelompok
ternak/desa >2%)
Prevalensi rendah
(prevalensi kelompok
ternak/desa <2%)
•Peningkatan kesadaran masyarakat
•Vaksinasi semua sapi betina pada tahun pertama
•Vaksinasi semua anak sapi betina setiap tahun (dua kali vaksinasi per
tahun, semua anak sapi umur 3 - 9 bulan)
•Catat/laporkan penggunaan vaksin
•Kendalikan lalu lintas ternak ke area/zona/kompartemen
•Lakukan sero-survei secara periodik
•Investigasi kasus abortus dengan konfirmasi laboratorium
•Penelusuran ternak reaktor
•Kaji ulang program setiap tahun
•Peningkatan kesadaran masyarakat
•Tidak lakukan vaksinasi
•Kendalikan lalu lintas ternak ke area/zona/kompartemen
•Uji semua sapi betina >12 bulan (RBT)
•Konfirmasi RBT+ dengan CFT
•Sembelih sapi CFT+
•Bayarkan kompensasi
•Lakukan sero-survei setiap tahun
•Investigasi kasus abortus dengan konfirmasi laboratorium
•Penelusuran ternak reaktor
• Kaji ulang program setiap tahun
Bebas Sementara
(prevalensi kelompok
ternak/desa) <0,2%)
Zona/Kompartemen Bebas
(prevalensi kelompok ternak/desa
selama 3 tahun <0,2%)
•Peningkatan kesadaran masyarakat
•Tidak lakukan vaksinasi
•Kendalikan lalu lintas ternak ke area/zona/kompartemen
•Lakukan sero-survei setiap tahun
•Pertahankan investigasi kasus abortus dan pengujian/penelusuran/
sembelih reaktor
•Peningkatan kesadaran masyarakat
•Kendalikan lalu lintas ternak ke area/zona/kompartemen
•Investigasi kasus abortus dengan pengujian laboratorium dan penelusuran
•Persiapkan laporan pembebasan brucellosis
3 tahun
(minimum)
Waktu Status Brucellosis Kegiatan yang dilakukan
34. Prioritas dan fokus pembebasan
brucellosis 2014-2020
Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
Sapi potongSapi perah
35. 1
Vaksinasi
semua
tingkatan
umur
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Vaksinasi
semua
anaksapi
3 - 9 bulan
Surveilansaktifdengan
hasilnegatif/prevalensi
sangatrendah < 0,2%
dan vaksinasisudah
dihentikan
Surveilansaktif
untukpembuktian
statusbebas
Sero-surveidengan
ujidanpotong
Tahun ke-
Skema: Daerah tertular berat (prevalensi > 2%)
• Vaksinasi dan uji dan potong sampai tingkat
prevalensi < 2%
• Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembebasan
apabila berjalan efektif adalah 10 tahun
Serosurvei
denganujidan
potongsaja
Prevalensi
< 2%