Makalah ini membahas dasar-dasar berlakunya hukum adat secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, hukum adat dipengaruhi oleh aliran utilitarianisme yang melihat kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Secara yuridis, hukum adat berlaku karena diakui oleh peraturan perundang-undangan. Secara sosiologis, hukum adat berlaku karena masih dipertahankan oleh m
1. DASAR-DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Makalah Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Adat
Disusun oleh :
Muhammad Ikrom : 2132051
Muhammad Nurdin, M.S.I
Dosen Pengampu
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
IAIN SAS BANGKA BELITUNG
T.A. 2022/2023
2. KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang Dasar-Dasar Berlakunya Hukum Adat.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Dasar-Dasar
Berlakunya Hukum Adat ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
3. DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................5
C. Tujuan Masalah ..................................................................................................5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Berlakunya Hukum Adat Secara Filosofis.....................................6
B. Dasar-Dasar Berlakunya Hukum Adat Secara Yuridis .....................................11
C. Dasar-Dasar Berlakunya Hukum Adat Secara Sosiologis ................................14
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan........................................................................................................17
B. Daftar Pustaka ...................................................................................................19
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia, yang mengandung unsur agama. Hukum
adat merupakan salah satu bentuk hukum yang masih eksis/ada dalam kehidupan
masyarakat hukum adat di Indonesia. Perlu kita ketahui pula bahwa Hukum Adat
merupakan salah satu bentuk hukum yang berlaku dalam kehidupan dan budaya
hukum masyarakat Indonesia yang masih berlaku sampai dengan saat ini. Eksistensi
hukum adat dapat kita lihat hingga saat ini melalui adanya peradilan-peradilan adat
serta perangkat-perangkat hukum adat yang masih dipertahankan oleh masyarakat
hukum adat di Indonesia untuk menyelesaikan berbagai sengketa dan delik yang
tidak dapat ditangani oleh lembaga kepolisian, pengadilan, serta lembaga
pemasyarakatan. Hukum adat tetap dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat
hukum adat sebab mereka percaya bahwa putusan yang dikeluarkan melalui
peradilan adat terhadap suatu delik yang diadili melaluinya dapat memberikan
kepuasan akan rasa keadilan, serta kembalinya keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat adat atas kegoncangan spiritual yang terjadi atas berlakunya delik adat
tersebut.
5. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran dari Aliran Utilitarianism
Utilitarianisme juga sering disebut Utilisme. Utilitarianisme adalah aliran
hukum yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan yang dimaksud dalam aliran ini adalah kebahagiaan (happiness).
Utilitarianisme memandang baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung
pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan tersebut diupayakan agar dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin
individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest number of
people).
Jeremy Bentham (1748-1832) dapat di anggap sebagai salah seorang tokoh
yang terkemuka dari aliran ini. Bentham adalah seorang ahli filsafat hukum yang
sangat menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukum. Dalam
teori tentang hukum, Bentham mempergunakan salah satu prinsip dari aliran
utilitarianism, bahwa manusia bertindah untuk memperbanyak kebahagiaan dan
mengurangi penderitaan.
Tokoh lain dari aliran ini adalah Rudolph Von Lhering (1818-1892) yang
ajarannya biasanya disebut sebagai social utilitarianism. Von lhering menganggap
bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya.Dia
menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu, agar tujuannya
sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi wargannya.Bagi lhering,
hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan
perubahan perubahan sosial. Ajaran ajaran lhering banyak memperngaruhi jalan
pikiran para sarjana sosiologi hukum Amerika, antara lain Roscoe Pound.1
1
Berry David, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 24
6. Menurut Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan
kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi,
konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya
adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang.
Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum
mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan
sama sebagai kebahagiaan (happiness).
Jeremy Bentham dilahirkan di London tahun 1748. Ia hidup selama masa
perubahan sosial, politik dan ekonomi yang masif, juga mengikuti terjadinya
revolusi di Perancis dan Amerika yang membuat Bentham bangkit dengan teorinya.
Ia banyak diilhami oleh David Hume dengan ajarannya bahwa sesuatu yang
berguna akan memberikan kebahagiaan. Menurut Bentham hakikat kebahagiaan
adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan.
Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada
individu-individu, barulah kepada orang banyak. ”the greatest happiness of the
greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak- banyaknya
orang). Prinsip ini harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan
selalu sama. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka
perundang-undangan harus mencapai empat tujuan yaitu:
1. to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup);
2. to Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah);
3. to provide security (untuk memberikan perlindungan); dan
4. to attain equity (untuk mencapai persamaan).2
Undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian
terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut
Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai
2
Muhammad Syukri dkk, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta : Kencana, 2016), hlm.
160-161
7. alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
Ajaran Bentham yang sifat individualis ini tetap memperhatikan kepentingan
masyarakat, agar kepentingan idividu yang satu dengan individu yang lain tidak
bertabrakan maka harus dibatasi tidak terjadi homo homini lupus. Menurut
Bentham agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati kepada individu lainnya
sehingga akan tercipta kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat akan
terwujud. Bentham menyebutkan“The aim of law is the greatest happines for the
greatest number” 3
Beberapa pemikiran penting Bentham juga dapat ditunjukkan, seperti:
1. Hedonisme kuantitatif yakni paham yang dianut orang-orang yang
mencari kesenangan semata-mata secara kuantitatif. Kesenangan
bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan.
2. Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-
kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual dan
menganggapnya sebagai kesenangan palsu.
3. Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat
diukur atau dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang
tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang
dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus
hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yakni:
intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, lamanya berjalan
kesenangan itu, kepastian dan ketidakpastian yang merupakanjaminan
kesenangan, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan
waktu,kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya
kesenangan tambahan berikutnya kemurnian tentang tidak adanya
unsur-unsur yang menyakitkan, dan kemungkinan berbagi kesenangan
dengan orang lain. Untuk itu ada sanksi yang harus dan akan diterapkan
untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai
3
http://business-law.binus.ac.id/2016/06/30 utilitarianisme-dan-tujuan-perkembangan-hukum-
multimedia-di-indonesia, diakses 27 Januari 2018
8. kesenangan yaitu: sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi
umum, dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.4
Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah Rudolf vonJhering.
Jhering juga mengembangkan aspek-aspek dari Positivisme John Austin dan
mengembangkannya dengan prinsip-prinsip Utilitarianisme yang diletakan
oleh Bentham hal tersebut memberi sumbangan penting untuk menjelaskan ciri
khas hukum sebagai suatu bentuk kemauan. Jhering mulai mengembangkan
filsafat hukumnya dengan melakukan studi yang mendalam tentang jiwa
hukum Romawi yang membuatnya sangat menyadari betapa perlunya hukum
mengabdi tujuan-tujuan sosial. Dasar filsafat Utilitarianisme Jhering adalah
pengakuan tujuan sebagai prinsip umum dunia yang meliputi baik ciptaan-
ciptaan yang tidak bernyawa maupun yang bernyawa. Bagi Jhering tujuan
hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan yakni kesenangan dan
menghindari penderitaan, namun kepentingan individu dijadikan bagian dari
tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan
kepentingan-kepentingan orang lain. Dengan disatukannya kepentingan-
kepentingan untuk tujuan yang sama maka terbentuklah masyarakat, negara
yang merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan
yang sama itu. Menurut Jhering ada empat kepentingan-kepentingan
masyarakat yang menjadi sasaran dalam hukum baik yang egoistis adalah
pahala dan manfaat yang biasanya didominasi motif-motif ekonomi.
Sedangkan yang bersifat moralistis adalah kewajiban dan cinta. Hukum
bertugas menata secara imbang dan serasi antara kepentingan-kepentingan
tersebut.5
Keseluruhan keinginan-keinginan tersebut oleh Jhering dibagi ke
dalam tiga kategori, sebagai berikut :
4
Soejono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1988), hlm.
40
5
Rahman Amin dalam http//rahmanamin1984.blogspot.coid/2014/03/filsafat-hukum-aliran-
Utilitarianisme.html, diakses 27 Januri 2018.
9. 1. Di luar hukum (hanya milik alam) yang diberikan kepada manusia oleh alam
dengan atau tanpa usaha manusia (yakni hasil bumi)
2. Hukum campuran, yakni syarat-syarat kehidupan khusus untuk manusia.
Dalam kategori ini, kempat syarat-syarat pokok kehidupan sosial yakni
perlindungan kehidupan, perkembangan kehidupan, pekerjaan, dan
perdagangan. Ini merupakan aspek-aspek khusus dari kehidupan sosial,
tetapi tidak tergantung dari paksaan hukum;
3. Sebaliknya, syarat-syarat hukum yang murni adalah yang seluruhnya
tergantung dari perintah hukum, seperti perintah untuk membayar utang atau
pajak. Di lain pihak, tidak ada undang-undang yang diperlukan untuk hal-
hal seperti makan dan minum, atau pembiakan jenis-jenis makhluk.6
Di dalam positivisme hukum dinyatakan bahwa hukum adalah perintah dari
penguasa, dalam arti perintah dari mereka yang memegang kekuasaan atau yang
memegang kedaulatan, dimana dibebankan untuk mengatur makhluk. Adapun
aliran ini sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum yaitu menciptakan
ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan
cerminan perintah penguasa juga.
Jika penalaran utilitarianisme dituangkan dalam putusan hakim, maka
putusan tersebut tidak sekedar mengacu pada kepastian semata, melainkan juga
kemanfaatan bagi pihak-pihak terkait dalam arti luas. Secara teoritis, kepastiandan
kemanfaatan tidak berada pada posisi sederajat. Idealnya putusan hakim yang telah
diberi muatan kemanfaatan ini adalah masukan bagi para pembentuk hukum di
lembaga legislatif. Utilitarianisme mensyaratkan adanya kerjasama yang baik
antara lembaga peradilan dan lembaga legislatif. Sekalipun demikian bayangan
ideal ini menjadi utopia karena utilitarianisme kerap membuat hakim diantara dua
sisi aksiologis yang berbeda.7
6
Ibid, hlm. 162
7
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta : Genta, Bantul, 2013), hlm.
205
10. B. Pemikiran dari Aliran Sociological Jurisprudence
Sociological Jurisprudence merupakan salah satu aliran dalam filsafat
hukum. Aliran ini memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran Sociological
Jurisprudence dengan tegas memisahkan antara hukum positif (the positive
law) dengan hukum yang hidup (the living law).
Tokoh utama di balik mazhab sociological jurisprudence adalah Eugen
Ehrlich (1826-1922) dan Roscoe Pound(1870-1964). Dan pendasar aliran ini, antara
lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan
lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak
mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran
filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat.
Menurut aliran ini : “ Hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup di antara masyarakat”.
Menurut Lilirasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan
hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan dari
masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang baik
haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat. Aliran ini
memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses dialektika
antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.8
Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan
adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana
kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound juga
menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang
8
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), hlm. 30
11. dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat
diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum
ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai
dengan pola-pola perikelakuan.
Eugen Ehrlich, Penulis yang pertama kali menyandang sosiolog hukum
(Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912). Menurut Ehrlich pusat gaya tarik
perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu
hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan
antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan
antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif
hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum.
Berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat.
Dijelaskan oleh Roscoe Pound dalam kata pengantar pada buku Gurvitch yang
berjudul Sosiologi hukum, perbedaan diantara keduanya ialah Sociological
Jurisprudence itu merupakan suatu madzab/aliran dalam filsafat hukum yang
mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan
Sosiologi Hukum adalah cabang sosiologi mempelajari hukum sebagai gejala
sosial.
Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh
masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam
masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh
sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. 9
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law
as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan
harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha
penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan
9
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Jakarta : Iblam, 2006 ), hlm. 52
12. anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu
diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the
positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari
proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan Mazhab Sejarah.
Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is a command of law givers), sebaliknya
Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan
masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih
mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya
sama pentingnya. Aliran sociological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang
sangat luas dalam pembangunan hukum Indonesia. Singkatnya yaitu, aliran hukum
yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup
dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang
sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini
adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai
kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat
tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta
berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan
penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu Hakim
harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ehrlich mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah
terletak pada badan-badan legislatif, keputusan- keputusan badan yudikatif atau
ilmu hukum, akan tetapi justru terletak dalam masyaratak itu sendiri.10
Tata tertib
dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh
10
Ibid, hlm. 57
13. negara. Sementara itu Rescoe Pound berpendapat, bahwa hukum harus dilihat atau
dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum untuk
memperkembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial
dapat terpenuhi secara maksimal.
Pound menganjurkan untuk mempelajari Ilmu Hukum sebagai suatu proses
( law in action), yang dibedakan dengan hukum tertulis ( Law in books). Pembedaan
ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun
hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masaalah apakah hukum yang
ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan. Ajaran-ajaran tersebut dapat
diperluas lagi sehingga juga mencakup masalah-masalah keputusan-keputusan
pengadilan serta pelaksanaannya, dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-
efeknya yang nyata.11
C. Pemikiran dari Aliran Realisme Hukum
Secara umum realisme ini dapat diartikan sebagai upaya melihat segala
sesuatu sebagaimana adanya tanpa idealisasi, sepakulasi, atau idolisasi. Ia berupaya
untuk menerima fakta-fakta apa adanya betapapun tidak menyenangkan. Dengan
demikian, apabila dikaitkan dengan konsteks hukum, realisme itu bermakna sebagai
pandagan yang mencoba melihat hukum sebagaimana adanya tanpa idealiasi dan
spekulasi atas hukum yang bekerja dan yang berlaku. Pandangan yang
mengusahakan menerima fakta-fakta apa adanya mengenai hukum.
Tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell
Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1889-1957) dan Karl Llewellyn (1893-1962).
Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal
mengenai proses peradilan. Menurut mereka hukum itu lebih layak disebut sebagai
pembuat hukum daripada menemukanya. Hakim harus selalu melakukan pilihan,
11Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, (Jakarta : Bhratara, 1996),
hlm. 20-22
14. 12
asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan. Aliran
realis selalu menekankan pada hakikat manussiawi dari tindakan tersebut
Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain: hukum adalah alat untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung
hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
Awal mula Realisme dari gerakan critical legal studies, yang semula
merupakan keluh kesah dari beberapa pemikir hukum di Amerika Serikat yang
kritis, tanpa disangka ternyata begitu cepat gerakan ini menemukan jati dirinya dan
telah menjadi suatu aliran tersendiri dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata
pula bahwa gerakan ini berkembang begitu cepat ke berbagai negara dengan
kritikan dan buah pikirnya yang cukup segar dan elegan.
Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini
sangat unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum
mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal,
kedua aliran tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan
penganut aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik
terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya,
aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata
dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence (hukum yang baik haruslah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini
secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan
hukum yang hidup (the living law).
Dalam pandangan penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-
kekuatan sosial dan control social. Beberapa cirri realisme yang terpenting
diantaranya adalah Tidak ada mazhab realis; realisme adalah gerakan dari
pemikiran dan kerja tangan hukum. Dan Realisme adalah konsepsi hukum yang
12
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 72
15. terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan social, sehingga tiap bagian harus diuji
tujuan dan akibatnya.
Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat
memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang
hukum adalah bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan
bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat
memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat
haruslah juga mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk
kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan datang.
Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para
pelopornya sendiri lebih suka dianggap sebagai hanya sebuah gerakan sehingga
merekamenyebutnya sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement).
Nama populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism)
meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional
Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism. Legal
Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific
Jurisprudence. Constructive Scepticism. Sebenranya realime sebagaisuatu gerakan
dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu Realisme Amerika dan Realisme
Skandinavia. Menurut Friedmann, persamaan Realisme Skandinavia dengan
Realisme Amerika adalah semata-mata verbal.13
13
Ibid, hlm. 75
16. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam aliran Utilitarianisme tokoh yang terkenal adalah Jeremy Bentham
(1748-1832) dapat di anggap sebagai salah seorang tokoh yang terkemuka dari
aliran ini. Bentham adalah seorang ahli filsafat hukum yang sangat menekankan
pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukum. Dalam teori tentang
hukum, Bentham mempergunakan salah satu prinsip dari aliran utilitarianism,
bahwa manusia bertindah untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan.
Menurut Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan
kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi,
konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya
adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang.
Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum
mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan
sama sebagai kebahagiaan (happiness).
Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah Rudolf von Jhering.
Jhering juga mengembangkan aspek-aspek dari Positivisme John Austin dan
mengembangkannya dengan prinsip-prinsip Utilitarianisme yang diletakan oleh
Bentham hal tersebut memberi sumbangan penting untuk menjelaskan ciri khas
hukum sebagai suatu bentuk kemauan. Jhering mulai mengembangkan filsafat
hukumnya dengan melakukan studi yang mendalam tentang jiwa hukum Romawi
yang membuatnya sangat menyadari betapa perlunya hukum mengabdi tujuan-
tujuan sosial. Dasar filsafat Utilitarianisme Jhering adalah pengakuan tujuan
sebagai prinsip umum dunia yang meliputi baik ciptaan-ciptaan yang tidak
bernyawa maupun yang bernyawa. Bagi Jhering tujuan hukum adalah melindungi
kepentingan-kepentingan yakni kesenangan dan menghindari penderitaan, namun
17. kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan
tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat
hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut
aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif
dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound
(1870-1964) merupakan salah satu eksponen dari aliran ini. Dalam bukunya An
introduction to the philosophy of law, Pound menegaskan bahwa hukum itu
bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan
yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban
hukum.
Sedangkan aliran Realisme hukum muncul karena adanya keputusasaan
yang dirasakan oleh masyarakat atas ketidakmampuan hukum yang ada untuk
menjawab segala rasa keadilan yang diperlukan oleh masyarakat. Banyaknya
disparitas putusan serta tumpulnya hukum yang tidak mampu menjangkau orang
yang memiliki harta melimpah menyebabkan masyarakat menolak adanya hukum
secara formil yang menggeneralisirkan setiap kasus yang ada. Realisme hukum
menolak adanya preseden dan hal ini adalah pemikiran yang wajar karena disertai
dengan alasan-alasan yang kuat.
18. DAFTAR PUSTAKA
Berry David. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. 2003.
Besardalama http://business-law.binus.ac.id/2016/06/30/ utilitarianisme- dan-
tujuan-perkembangan-hukum-multimedia-di-indonesia, diakses 27 Januari
2018
Muhammad Syukri dkk. Hukum Dalam Pendekatan Filsafat. Jakarta : Kencana.
2016.
Muchsin. Ikhtisar Filsafat Hukum. Jakarta : Iblam. 2006.
Rahman Amin dalam http//rahmanamin1984.blogspot.coid/2014/03/filsafat-
hukum-aliran-Utilitarianisme.html. diakses 27 Januri 2018.
Roscoe Pound. Pengantar Filsafat Hukum. Terj. Muhammad Radjab. Jakarta :
Bhratara. 1996.
Shidarta. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta : Genta, Bantul.
2013.
Soejono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. 1988
Theo Huijbers. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta : Kanisius.
1993.
Theo Huijbers. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta : Kanisius.
1995.