2. 1. KEADILAN MENURUT IMMANUEL KANT
Immanuel Kant adalah seorang filsuf yang terlahir dari keluarga sederhana, dan terlahir
di Jerman tepatnya di Konigsberg.1 Immanuel Kant termasuk salah seorang penganut
pemahaman filsafat aliran etika deontologis. Teori etika deontologis menyatakan bahwa
perbuatan menjadi benar apabila selaras dengan prinsip kewajiban yang setara untuknya atau
dalam pengertian perbuatan itu dapat dianggap benar apabila itu kehendak baik. Suatu
perbuatan tidak dapat ditentukan dari akibat dari perbuatan itu sendiri, melainkan ada cara
bertindak yang begitu saja terlarang atau wajib untuk dilakukan.
Teori deontologis sangat menekankan kepada pentingnya motivasi dan kemauan baik
dari para pelaku sebagaimana disampaikan oleh Kant bahwa kemauan baik harus dinilai baik
pada dirinya terlepas dari akibat yang ditimbulkan.2 Wujud dari kehendak baik itu sendiri
adalah bahwa sesorang tersebut mau menjalankan kewajiban. Hal tersebut menegaskan bahwa
untung atau tidaknya, dalam kaitan ini tidak diperasalahkan, karena pada dasarnya ada sesuatu
dorongan dari dalam hati.3 Hal ini yang menjadi dasar pemikiran Kant sebagai orang yang telah
mencoba untuk mendamaikan rasionalisme dan empirisme.
Immanuel Kant banyak menyumbangkan hasil pemikirannya untuk dunia hukum dan
politik dikemudian hari termasuk kepada para Petugas Hukum. Apabila ada orang yang
melakukan sebuah perbuatan buruk, dalam pandangan Kant, menghukum orang yang bersalah
tersebut, selama terbukti melanggar hukum, merupakan sebuah kewajiban. Bahkan orang yang
bersangkutan dimaksud wajib dihukum atau orang yang bersalah tersebut wajib menerima
hukuman namun harus setimpal dengan hukuman. Kant menolak argumen (teori) kebahagiaan
sebagai dasar sesorang menerima pengampunan ataupun pengurangan hukuman.4
Keadilan dalam dunia hukum akan tecapai jika setiap orang melakukan perbuatan baik
yang telah menjadi kewajiban moralnya, sehingga jika terjadi sebaliknya maka pelaksanaan
hukuman menjadi wajib. Adapun penghukuman dilaksanakan dengan dasar hal tersbeut
merupakan kewajiban tanpa adanya unsur-unsur atau pengaruh yang dapat hal yg tidak
berpengaruh terhadap keadilan itu sendiri.
1 Kasnun,Etika Dalam Pendidikan: Telaah atas pemikiran Immanuel Kant, Jurnal kependidikan dan
kemasyarakatan,Vol.5 No. 1 (Januari- Juni,2007),Hal.71.
2 J. Sudarminta, Etika Umum : Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif,
(Yogyakarta : Kanisius,2013),Hal.138.
3 Frans magnis Suseno, Tiga Belas Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta : Kanisius,1998),Hal.135.
4 Imanuel Kant, The Metaphysical Element of Justice, 1965 : 99-106.
3. Kritik mengenai Keadilan Versi Immanuel Kant menurut pandangan Thomas
Aquinas
Setiap manusia diwajibkan untuk menaati aturan, berprilaku baik, dan menaati hukum
yang berlaku. Dan apabila terjadi sebuah pelanggaran secara langsung penegak hukum akan
untuk melakukan penindakan sebagaimana diatur di dalam hukum. Namun tidak serta merta
hukum hanya melihat dari sudut pandang kewajiban saja. Hukum juga harus memperhatikan
kebaikan bersama seperti yang dimaksudkan dalam arti hukum itu sendiri.
Bagaimana mungkin sesuatu yang wajib dilakukan namun tidak mendatangkan kebaikan
secara menyeluruh. Akhir yang terjadi adalah hukum tersebut menjadi sangat individualistis.
Sbeagaimana diketahui manusia tidak bisa dilepaskan dari manusia lainnya dalam
berkehidupan atau lebih kita kenal dengan istilah manusia adalah makhlukh sosial. Sehingga
dalam penerapan hukum dan keadilan haruslah memperhatikan kebaikan bersama/umum
sebagai tujuan dari hukum itu sendiri.
2. Keadilan Menurut Jeremy Bentham dan John Stuart Mills
Jeremy Bentham bersama dengan John Stuart Mills merupakan ahli filsuf sekaligus juga
merupakan figur yang mempopulerkan paham utilitarianisme. Paham utilitarianisme dalam
beberapa kesempatan juga dikenal dengan Pemahaman Konsekuenalisme.
Menurut pemahaman utilitarianisme, suatu perbuatan dianggap baik apabila
mendatangkan kebahagian dan sebaliknya dianggap perbuatan buruk apabila menyebabkan
ketidakbahagiaan. Bukan saja kebahagiaan kepada bagi para pelakunya tapi juga kebahagiaan
bagi orang lain. Yang dimaksud dengan kebahagiaan tersebut adalah kesenangan (pleasure)
dan kekebebasan dari rasa sakit (pain), sedangkan sebaliknya yang dimaksud dengan
ketidakbahagiaan adalah persaaan sakit dan tiada kesenangan dimaksud.5
Utilitarinisme menyatakan bahwa perbuatan baik adalah yang memberikan manfaat
kepada banyak orang (the greatest happiness for the greatest number). Dengan kata lain pokok
ajaran utilitarianisme adalah prinsip kemanfaatan. Seseorang tidak dilihat dari perbuatan baik
atau seberapa buruk dirinya namun dilihat dari seberapa besar kemanfaatannya itu sendiri,
Ajaran pokok dari Utilitarianisme adalah prinsip kemanfaatan (the principle of utility)6
5 John Stuart Mill, Utilitarianism : “Philosopical Ethics : An Introduction to Moral Phylosophy”, ed.
Tom L. Beauchamp, (Boston : MacGrawHill, 201), hal. 106. Sebagaimana diterjemahkan oleh Frans Magnis
Suseno dalam bukunya yang berjudul 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke 19.
6 Encyclopedia Brittanica,Vol 3, WilliamBenthon Publisher,Chicago,1965.Hal.485
4. Berangkat dari pemahaman tersebut, menurut Bentham dan Mills yang menjadi standar
dari sebuah keadilan haruslah didasarkan kepada nilai kemanfaatannya. Rasa keadilan yang
berdasarkan kemanfaatannya tersebut, juga dimaksudkan sebagai imbalan atau balasan
(konsekuensi) atas sebuah tindakan kejahatan yang timbul karena (menurut Mills) perbuatan
kejahatan dimaksud menyakiti anggota masyarakat lainnya dan adanya rasa simpati terhadap
korban seklaigus juga untuk mencegah terjadinya kejahatan lebih besar lainnya.7
Sehingga tujuan dari Hukum adalah untuk mencapai dan menjamin (merealisasikan)
kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat. Para penganut paham utilitarianisme ini
menganggap hukum berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Terkait hal
tersebut, Bentham kemudian menyebut Hukum sebagai subordinat dari Kemanfaatan (a
subordinate aspect of utility).8
Kritik terhadap Keadilan Versi Jeremy Bentham dan John Stuart Mills.
Betham dan Mills tidak memberikan penjelesan lebih detail terhadap kebahagiaan dan
manfaat, meskipun pemahaman Utilitarianisme tersebut memberikan konsep yang mendasar
terhadap penekanan kepada manfaat, kesimpulan yang didapat dari pemahaman Bentham dan
Mills hanya berujung kepada sesuatu yang sifatnya fisik materil dan kuantitatif.
Betham dan Mills sering melakukan prilaku tidak perduli terhadap kepentingan pihak
yang minor dimana pihak yang menjadi mayor akan selalu menjadi prioritas dan utama.
Meskipun Bentham dan Mills gagal dalam memberikan pendistribusian atas manfaat tersebut
secara adil. Selain kepentingan minoritas yang terabaikan, mereka juga melupakan bahwa nilai
atas Manfaat/ kemanfaatan itu sendiri bagi beberapa benda/hal merupakan sesuatu yang
berbeda dari hal hal yang bisa dinilai bagi orang per orang sehingga tidak mungkin untuk
dipublikasikan secara mendunia.
Paham Utilitarianisme terhadap manfaat konsekuensi atau akibat, akan mengabaikan
tujuan terhadap sebuah perbuatan. Sebagai akibatnya, kebahagian yang diinginkan dari
manfaat tersebut sangatlah tergantung pada persepsi masing-masing pihak. Persepsi yang
berbeda-beda tersebut akan menjauhkan nilai manfaat yang ingin dicapai tersebut untuk
menghasilkan seuatu yang memiliki rasa keadilan yang sesuai bagi semua pihak.
7 John S. Mill, Utilitarianism,New York, 1957, hlm. 63.
8 H.L.A. Hart, Essay in Bentham, Jurisprudence and Politcal Theory, Ofxord : Carlendon Press, 1982,
hlm. 51.