Buku ini membahas tentang konsep kekuasaan dan hubungan antara raja dan rakyat pada masa Kerajaan Mataram di Jawa abad 16-19. Raja dianggap mewakili dewa dan mendapat dukungan rakyat, namun kekuasaan raja juga tergantung dukungan rakyat. Kerajaan Mataram mengalami perebutan kekuasaan akibat campur tangan Belanda dan mengalami pelemahan. Sumber pendapatan negara berasal dari pajak dan tenaga ker
1. Nama : Listiana Nurwati
Kelas/Angkatan : B/2010
NPM : 170410100106
Dosen : Iman Soleh,S.IP.,M.Si.
Mata Kuliah : Sistem Sosial Indonesia
Review Buku Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau : Studi tentang Masa
Mataram II, Abad XVI sampai XIX (Soemarsaid Moertono).
Buku ini berisi tentang tinjauan dalam masalah kedudukan raja sebagai pemegang
kekuasaan terbesar dan seni bina negara di Jawa masa lampau dari segi magis-religius (raja-
dewa), teknis pemerintahan pada masa lampau di Jawa (birokrasi dan struktur pemerintahan),
dan bidang ekonomi (mengenai pembiayaan negara).
Hubungan antara rakyat Jawa dan raja dapat dideskripsikan sebagai berikut, pertama,
hubungan pribadi satu sama lain yang saling menghormati. Kedua, suatu takdir kehidupan
dianggap sebagai pola manusia dalam masyarakat, apakah dia dilahirkan sebagai seorang raja
atau hanya sebagai masyarakat biasa. Sehingga manusia sebenarnya pada masa itu hanya
harus melakukan kewajibannya sesuai dengan takdir yang dia miliki. Ketiga, penguasa dalam
membuat suatu kebijakan bagi masyarakat, harus memperhatikan para warganya. Dengan
demikian, penguasa memiliki keunggulan untuk melindungi rakyat dan rakyat memiliki sikap
patuh yang tulus.
Di Jawa pada masa itu kekuasaan didapat bukan hanya dalam hal realitas dan
memang bakatnya, namun kekuasaan didapat lebih didominasi oleh kepercayaan mistis
masyarakat Jawa dalam menentukan siapa yang memegang kekuasaan itu. Selain memiliki
kekuasaan yakni suatu kemampuan untuk mempengaruhi bahkan memaksa pihak lain
melakukan sesuatu, seorang raja sebaiknya memiliki juga kemuliaan maksudnya sebuah
kharisma.
2. Faham kekuasaan yang dianut masyarakat Jawa pada masa itu memperlihatkan bahwa
kekuasaan diraih melalui berbagai kegiatan spiritual untuk mendapatkan kedudukan sebagai
penguasa. Kuasa dan kemuliaan dalam masyarakat Jawa ternyata tidak dapat dianggap secara
terpisah, melainkan haruslah membentuk relasi-kausalitas, yaitu satu menyebabkan yang lain.
Maka bayangan tentang kekuasaan yang berasal dari wujud kemuliaan semakin jelas ketika
tahta kekuasaan raja tradisional ditetapkan dengan simbol mahkota penghias kepala yang
terbuat dari logam dan batu mulia.
Tidak heran apabila kekuasaan dan kemuliaan dapat dinilai secara materiil. Karena
dengan mendapatkan sebuah kekuasaan, maka yang sebenarnya diperebutkan adalah kuasa
untuk memperoleh sumber ekonomi pribadi, bukan untuk mengabdikan diri kepada negara.
Namun, disini yang terpenting di Jawa pada masa itu adalah bagaimana hubungan antara raja
(memerintah) dan masyarakat (yang diperintah).
Peranan seorang raja lebih kepada sebagi pelindung bagi rakyatnya. Dan peranan
rakyat sebagai kalangan yang diperintah oleh raja, karena pada masa itu rakyat memiliki
sebuah kepercayaan / religius bahwa cara hidup yang aman adalah dengan menyesuaikan diri
dengan alam, dan alam pada masa itu mereka percayai bahwa alam itu dikuasai oleh dewa-
dewa. Dan raja pun dipilih dengan kriteria magis-religius dengan adat turun temurun dan juga
karena dianggap disamakan dengan kekuasaan para dewa, maka dari itu, rakyat menuruti raja
yang sedang berkuasa dengan pemikiran bahwa mereka akan hidup tentram. Karena
kedudukan raja yang tertinggi pada masa itu, maka seluruh aparat pemerintahan tidak ada dan
segala kekuasaan berasal dari raja.
Hubungan antara raja dan rakyat pada masa itu dalam konsep kawula-gusti tidak
hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, namun juga lebih
menunjuk pada hubungan saling ketergantungan yang erat antar keduanya namun terpisah
satu sama lain. Dari contoh-contoh konsep kaula-gusti yang digambarkan melalui cincin,
keris maupun wayang, dapat diperoleh anggapan bahwa orang Jawa menganggap sama
pentingnya antara raja dan rakyat, perbedaan di antara keduanya lebih terletak pada segi
fungsi daripada segi nilai.
Kepercayaan dan agama pada masa lampau begitu menguasai masyarakat Jawa yang
menimbulkan kekuasaan tunggal yang mutlak dimiliki raja karena dipercaya bahwa dewa pun
membenarkan kedudukan kekuasaan raja itu. Negara juga dianggap seperti sebuah kerajaan
dewa, baik dalam aspek siritual maupun materialnya.
3. Konsep orang Jawa terhadap pandangan terhadap alam, yakni bahwa alam itu
sebenarnya terbagi menjadi dua, yakni mikrokosmos dan makrokosmos. Di mana
makrokosmos menunjukkan dunia manusia yang dapat terlihat. Dan sedangkan makrokosmos
yakni dunia supra-manusia, diluar kehidupan manusia, namun berhubungan dengan alam
semesta. Kedua hal itu adalah suatu pandangan pokok rakyat Jawa. Konsep inilah yang
menjadikan masyarakat Jawa pada masa itu bersifat primitif dan konservatif.
Tuntutan dengan cara kekerasan pada masa itu ada pula walaupun tradisi Jawa yakni
lemah lembut membalutnya sehingga tidak terlalu marak diperbincangkan. Contohnya saja
pada saat rakyat memperlihatkan perlawanan terhadap kekuasaan raja yang baru, dan rakyat
melakukan pemberontakan. Pemberontakan terjadi hanya apabila pemerintahan raja menjadi
begitu kejam atau lemah dan tidak acuh terhadap urusan rakyat, sehingga rakyat tidak dapat
memenuhi kebutuhannya yang pada akhirnya mengakibatkan pemberontakan.
Dua hal yang baik dimiliki seorang raja, yakni dalam bahasa jawa kakuwatan atau
karosan dapat dilihat melalui fisik yang kuat, dengan otot yang kekar yang dapat
menggambarkan bahwa seseorang memiliki kekuatan yang super. Sedangkan kasekten, suatu
kekuatan yang tidak dapat dilihat melalui fisik nya (kekuatan batin) dan kasekten ini tidak
dapat didapat dengan mudah, kasekten harus dihimpun dan dipelihara terus-menerus dan
kasekten salah satunya dapat dicapai dengan usaha pantang makan, kurangi tidur, dan
konsentrasi, dan oleh siapapun itu dilaksanakan dengan baik, maka kasektan dapat dia miliki.
Kasekten pada saat itu dipercaya didapat dari kekuasaan yang maha besar yakni dari alam
semesta.
Kasekten dapat menjadi baik apabila digunakan dengan rasa welas asih (belas kasih)
dan sebaliknya apabila kasekten digunakan dengan rasa angkara murka (nafsu dan
keserakahan). Aspek lain dari kekuatan yang masih perlu diperhatikan lagi ialah
hubungannya dengan pemikiran mistik (batin).
Walaupun masalah hal kebatinan dianggap rahasia dan hanya dapat didapat oleh
segelintir orang, mistik dulu dan sekarang masih sangat terkenal di segala lapisan masyarakat,
dan setiap orang Jawa yang terpandang, setidaknya ada pengetahuan yang disebut ngelmu,
dan mistik adalah bagian yang paling utama dalam hal kekuasaan. Seseorang yang telah
mencapat kesempurnaan batinnya, dengan sendirinya tidak akan tergoda oleh nafsu dan
keserakahan, dengan demikian daya kekuatannya akan bekerja untuk kebaikan dan
kesejahteraan dunia.
4. Buku ini menelaah bagaimana kekuasaan dalam suatu negara digunakan dengan
melihat pula bagaimana keadaan di Jawa pada masa lampau yang juga diwarnai oleh adnaya
kerajaan-kerajaan yang berdiri di Jawa pada masa itu. Contohnya kerajaan Mataram, kerajaan
Mataran adalah kerajaan islam terbesar di Jawa. Mataram berkembang dengan diiringi mitos
perebutan kekuasaan yang panjang. Perebutan kekuasaan itu kemudian mengakibatkan
terjadinya perang, yakni adanya Perang Perebutan Mahkota I (1704-1709) dan Perang
Perebutan Mahkota II (1719-1723).
Kerajaan Mataram yang selalu diwarnai perebutan kekuasaan yang memakan korban
ribuan nyawa dengan melibatkan bantuan Belanda, mencapai puncaknya ketika pada saat itu
terjadi pemberontakan masyarakat tionghoa. Dan setelah pemberontakan itu berhasil
diselesaikan dengan bantuan Belanda, Belanda kemudian meminta imbalan atas jasanya.
Perubahan yang terjadi dalam kerajaan Mataram terdapat dua penyebab utama yang
harus diperhitungkan, yakni agama islam dan adanya VOC (Perusahaan Dagang Hindia
Belanda). Islam memulai perubahan-perubahan dalam kegiatan kerajaan Mataram dalam
bentuk nyata perjuangan para wali, namun beda halnya dengan pengaruh kekuasaan VOC
yang semakin hari semakin memberikan pengaruh pada kerajaan Mataram berupa ikut
campur tangannya VOC dalam urusan intern kerajaan, dan bahkan hingga menguasai
keadaan politik di Jawa pada masa itu, yang seharusnya diatur raja sepenuhnya. Sepanjang
kekuasaan kolionial Belanda di Nusantara, Kerajaan Mataram selalu mengalami pasang-
surut. Dengan ditunjukkannya terpecahnya kekuasaan Mataram yang menjadi tidak utuh lagi,
hampir setiap perebutan kekuasaan,selalu melibatkan pemerintah kolonial Belanda maupun
Inggris.
Walaupun Islam maupun VOC sekalipun, pengaruhnya tidak mendapatkan pengaruh
yang begitu besar bagi Mataram sendiri, karena masyarakat Jawa tetap berpedoman terhadap
tradisi. Kegiatan ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat masih semarak.
Misalnya kirab pusaka malam 1 suro, yaitu acara mengelilingi pusaka kerajaan diiringi
dengan arak-arakan, dan sebaran apem, yakni perebutan makanan khas yang diyakini mampu
memberikan ampunan kepada setiap pemakannya. Mitos wahyu keprabon misalnya,dan
mitos-mitos lainnya masih banyak dipercaya rakyat. Meskipun dalam islam mitos-mitos
tersebut seharusnya sudah dihapus, namun dalam kenyataannya akibat pengaruh kebudayaan
Jawa sebelumnya, kepercayaan terhadap mitos masih kuat hingga kini, si era kemerdekaan.
5. Mataram sebagai bekas kerajaan Islam besar di Jawa juga tak lepas dari peranan itu.
Yogya dan Solo yang dahulu pernah berjaya, hanya meninggalkan bekas-bekas yang sulit
dilupakan.
Perekonomian negara dalam kaitannya dengan zaman Kerajaan Mataram sulit untuk
diidentifikasikan. Karena pendapatan negara pada saat itu tidak dikelola oleh pusat. Oleh
karena itu, akan lebih mudah apabila mengidetifikasikan mengenai pemungutan dan
pembagian kekayaan oleh negara.
Pada masa itu, dengan pengaturan negara yang sederhana menimbulkan pengeluaran
yang sendiri-sendiri dan juga pemungutan sendiri-sendiri pula dengan pemikiran yang
sederhana. Dan dari kesederhanaan itulah dapat dilihat bahwa dari dahulu zaman Kerajaan
Mataram, telah berlangsungnya daerah-daerah yang otonom (kekuasaan sendiri).
Sumber-sumber penghasilan kraton selalu ada dengan beragam penghasilan,
contohnya beras,minyak kelapa, dan lain-lain. Yang terpenting bagi kraton yakni rakyatnya
dibebani pungutan berupa apa yang dapat mereka berikan dimulai dari barang hingga jasa.
Bagi yang membayar pungutan berupa jasa, mereka akan mendapatkan bayaran pada waktu-
waktu tertentu berupa barang-barang kebutuhan sehari-harinya.
Tidak hanya itu, perdagangan pun telah berlangsung pada masa kerajaan Mataram,
dengan pengawasan di daerah-daerah pelabuhan, sehingga pemungutan bea pada kapal-kapal
yang lewat juga cukup banyak menambah penghasilan kraton pada saat itu. Namun, di
daerah-daerah pedalaman pun pasar besar dan kecil amat banyak jumlahnya.
Berhubungan dengan sumber-sumber kekayaan kerajaan, orang Jawa membagi
penduduknya kedalam empat golongan sesuai dengan manfaatnya masing-masing bagi
negara. Penggolongan itu diantaranya yakni prajurit sebagai pagar bagi kerajaan, para petani
sebagai sumber makanan kerajaan, saudagar kaya untuk pakaian-pakaian negara, dan sang
pendeta untuk memberikan kesentosaan doa.
Namun, hanya dengan bergantung pada bea saja, tidak dapat mencukupi kebutuhan
kerajaan. Dengan penduduk yang padat, tenaga-tenaga rakyat dapat digunakan juga untuk
menopang kerajaan seperti dengan memperbaiki jalan, sampai kepada pengangkut barang-
barang, para bangsawan atau pejabat, hingga berperang sebagai tentara raja. Dengan
demikian, penduduk yang padat pada kerajaan, adalah suatu keuntungan besar.
6. Penduduk yang ditempatkan di bagian tenaga kerja kasar, biasanya orang desa yang
terbelakang yang secara umum kebutuhannya sederhana. Dan setiap masyarakat bekerja,
maka para pemimpin atau pejabat, harus turut serta memimpin pekerjaan itu untuk
memplopori pasukannya. Namum, pendapat bahwa orang Jawa menganggap kerja kasar itu
merendahkan martabat adalah keliru, karena pada waktu masih kecil, tiap kali ia bekerja,
pasti ia ditempatkan di tempat pekerjaan-pekerjaan kasar. Pada masa itulah, seseorang
diberikan pendidikan yang utama tentang pengendalian diri dan pengertian. Agar pengalaman
pribadi itu yang mengajarkan dirinya bila kelak ia menjadi pemimpin, ia dapat menyuruh
bawahannya dengan baik dan bijaksana.
Pembagian kekayaan pada zaman Kerajaan Mataram II maka dapat disimpulkan
bahwa : - perpajakan dan sistem pengerahan tenaga kerja menambah penghasilan kerajaan.
- Sumber kekayaan negara yang paling penting adalah perdagangan dan perniagaan.
Namun, bila kedua sektor itu macet, maka pertanianlah yang kemudian memenuhi
kebutuhan kerajaan.
- Pengerahan tenaga kerja merupakan faktor ekonomi yang terpenting untuk
kelancaran hidup.
Maka, dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekonomi pada zaman Kerajaan Mataram
pun, merupakan salah satu sendi utama dalam kelangsungan hidup bernegara, demi
terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pada zaman Kerajaan Mataram, kedudukan Raja disejajarkan dengan dewa sampai
dengan pada saat Islam masuk ke daerah Jawa, maka kedudukan raja kemudian sedikit
bergeser, sehingga dipandang sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan. Karena
kekuasaan Raja pada masa itu mutlak, menyeluruh dan tidak terbatas, maka rakyat harus
patuh tanpa suatu syarat apapun. Namun raja juga dituntut untuk berlaku adil, bijaksana, dan
dermawan serta mampu menjaga ketertiban dan ketentraman negara.
Tata pemerintahan kerajaan Mataram pada saat itu sangat sederhana dengan
memberikan tanggung jawab pribadi pada setiap penduduknya sehingga tidak
memerlukannya pengawasan pusat (otonom).
Sarana paling baik untuk mempertahankan persatuan negara adalah dengan
memperoleh pendidikan dan anutan patokan moral yang tinggi sebagai prasyarat untuk turut
serta dalam pemerintahan raja. Pendidikan dianggap penting karena dapat menyediakan
pemimpin-pemimpin yang berbudi luhur. Karena hanya pemimpin yang menggabungkan
budi luhur dan kasekten lah yang dapat mendatangkan keselarasan.
7. Sarana kedua yakni dengan tindakan kawin-mawin yang dapat memperkokoh
hubungan pribadi yang kuat yang diperlakukan untuk mempertahankan organisasi negara
yang longgar secara bersama-sama.
Keseimbangan kekuasaan yang wajar antara kekuasaan pusat yang kuat dan
kekuasaan daerah yang otonom sangat rawan gangguan, karena kedua kekuasaan itu
berpotensi membebaskan diri dari pusat. Ketepatgunaan sistem pemerintahan seperti itu
jadinya bergantung pada unsur saling menghormati, dan hingga pada akhirnya kekuatan
fisiklah yang meyakinkan hal itu berjalan dengan baik.