INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
OPTIMALKAN PLASTIK
1. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Pemanfaatan Plastik Sebagai Barang Berguna ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai dampak yang ditimbulkan dari sampah, dan juga bagaimana
membuat sampah menjadi barang yang berguna. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Bogor, 17 Oktober 2015
Penyusun
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang
memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat, didefinisikan pula oleh Roger H. Soltau dengan alat (agency) atau
wewenang (authority), yang mengatur persoalan-persoalan bersama, atas nama rakyat. Maka,
bernegara dengan baik menjadi sangat urgen bagi setiap warga negara.
Polybius (Πολύβιος) adalah seorang sejarawan Yunani pada periode Helenistik yang
dikenal akan bukunya yang berjudul The Histories. Ia juga dikenal akan gagasannya
mengenai sistem pemerintahan, yang digunakan dalamL’esprit des lois Montesquieu. Ia lahir
pada tahun 203 SM dan dibesarkan di kota Achaean, Megalopolis. Polybius adalah anggota
dari kelas teratas yang mengatur pemerintahan Yunani, dengan peluang secara langsung
untuk mendapatkan wawasan yang mendalam urusan militer dan politik.
Kemudian dilanjutkan dengan pembagian tugas masing-masing agar tidak ada
tumpang tindih satu sama lain. Selain itu mereka juga membutuhkan seseorang yang
memiliki otoritas guna melakukan tindakan tertentu jika terjadi sesuatu dengan mereka. Dia
juga harus sekaligus mampu menjadi penengah atas semua konflik yang terjadi. Inilah yang
mereka sebut sebagai raja atau kepala Negara. Konklusinya adalah bahwa manusia tidak
dapat hidup dengan teratur, tertib dan terjamin keamanannya tanpa adanya negara. Karena
pada hakikatnya, dalam komunitas sekecil apapun diperlukan adanya pemimpin dan aturan.
Selain dari pada itu untuk memimpin suatu negara juga harus mengetahui bagaimana
sebenarnya negara, bentuk negara dan bentuk pemerintahan di Indonesia itu sendiri. Untuk
itu dalam makalah ini Penulis menkaji sedikit mengenai hal tersebut.
3. B. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan :
1. Memahami konsep Polybius
2. Memahami siklus Polybius
3. Memahami kelemahan konsep Polybius
4. Mengetahui kehidupan Polybius
C. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Konsep dasar dari Polybius?
2. Bagaimanakah siklus Polybius?
3. Memahami kelemahan dari konsep Polybius
4. Bab II
Pembahasan
2.1 Polybius
Polybius (Πολύβιος) adalah seorang sejarawan Yunani pada periode Helenistik yang dikenal
akan bukunya yang berjudul The Histories. Ia juga dikenal akan gagasannya mengenai sistem
pemerintahan, yang digunakan dalamL’esprit des lois Montesquieu. Ia lahir pada tahun 203
SM dan dibesarkan di kota Achaean, Megalopolis. Polybius adalah anggota dari kelas teratas
yang mengatur pemerintahan Yunani, dengan peluang secara langsung untuk mendapatkan
wawasan yang mendalam urusan militer dan politik. Karier politiknya ditujukan sebagian
besar untuk menjaga independensi dari Liga Achaean. Ayahnya adalah seorang wakil kepala
kebijakan netralitas selama perang Roma terhadap Perseus Makedonia. Dia menarik
kecurigaan dari Roma, dan sebagai hasilnya, Polybius anaknya adalah salah satu dari 1000
Achaea mulia yang pada 168 SM diangkut ke Roma sebagai sandera, dan ditahan di sana
selama 17 tahun. Di Roma, berdasarkan budaya tinggi, ia dibawa ke rumah paling terkenal,
khususnya dengan yang Aemilius Paulus, penakluk dalam Perang Macedonia Ketiga, yang
dipercayakan kepadanya dengan pendidikan anak-anaknya, Fabius dan Scipio muda. Ketika
para sandera Achaean dibebaskan pada tahun 150 SM, Polybius diperbolehkan meninggalkan
untuk kembali ke rumah, tetapi pada tahun berikutnya ia pergi bersama temannya ke Afrika,
dan hadir pada penangkapan Kartago bahwa ia dijelaskan. Kemungkinan bahwa setelah
penghancuran Kartago, ia berangkat ke pantai Atlantik, Afrika serta Spanyol.
Setelah kehancuran Korintus pada tahun yang sama, ia kembali ke Yunani dan memanfaatkan
koneksinya di Romawi untuk meringankan kondisi di sana; Polybius dipercayakan dengan
tugas sulit mengatur bentuk baru pemerintahan di kota-kota Yunani, dan di kantor ini
memperoleh pengakuan tertinggi untuk dirinya sendiri.
Tahun-tahun berikutnya yang ia habiskan di Roma, terlibat pada penyelesaian pekerjaan
sejarah, dan kadang-kadang melakukan perjalanan panjang melalui negara-negara
Mediterania untuk kepentingan sejarah, lebih khusus dengan maksud untuk memperoleh
pengetahuan secara langsung dari situs sejarah. Hal ini juga tampak bahwa ia mencari dan
mewawancarai veteran perang dalam rangka untuk mengklarifikasi rincian peristiwa yang ia
sedang tulis dan diberikan akses ke bahan-bahan arsip untuk tujuan yang sama. Sedikit yang
diketahui dari kehidupan kemudian Polybius. Ia kemungkinan besar melakukan perjalanan
dengan Scipio ke Spanyol dan bertindak sebagai penasihat militer selama Perang Numantine,
perang kemudian dia menulis tentang dalam monografi hilang pada subjek. Hal ini juga
5. kemungkinan bahwa Polybius kembali ke Yunani di kemudian hari, karena ada ada banyak
prasasti dan patung-patung dia di Yunani. Ada laporan kematiannya pada 118 SM setelah
jatuh dari kuda, meskipun hal ini hanya dicatat dalam satu sumber dan sumber yang dikenal
dapat diandalkan.
2.2 Siklus Polybius
Polybius adalah murid Aristoteles. Ia menyatakan bahwa bentuk pemerintahan monarkhi,
oligarkhi dan demokrasi berlangsung silih berganti berupa siklus, berputar dan pada
gilirannya akan kembali ke asal. Teorinya ini dikenal dengan nama Siklus Polybius.
Pembagian bentuk pemerintahan seperti dianut oleh Plato, Aristoteles dan Polybius itu pada
masa modern – dipelopori oleh Niccolo Machiavelli – diganti menjadi monarkhi dan republik
(berasal dari kata resyang berarti hal, benda, kepentingan dan publica yang berarti publik,
umum, rakyat).
Sejalan dengan pendapat Aristoteles, Polybius berpendapat bahwa pemerintahan suatu negara
umumnya diawali dengan bentuk kerajaan atau monarki, dimana seorang raja/ratu yang
memerintah sebagai penguasa tunggal demi kesejahteraan rakyatnya. Namun demikian
bentuk pemerintahan semacam ini lama-kelamaan merosot menjadi tirani ketika raja yang
bersangkutan atau raja-raja keturunannya tidak lagi memikirkan kepentingan umum;
melainkan, hanya mengajar kepentingannya sendiri dengan cara yang sewenang- wenang.
Menurut Polybius, dalam situasi semacam ini umumnya akan muncul sekelompok
bangsawan yang kemudian menggerakkan perjuangan itu berhasil, negara akan diperintah
oleh sekelompok bangsawan yang berupaya menyejahterakan semua rakyat. Inilah yang
disebut pemerintahan Aristokrasi. Namun karena kekuasaan itu cenderung untuk disalah
gunakan, pemerintah kaum bangsawan yang baik itu (kaum Aristokrat) pun lama-kelamaan
akan merosot menjadi pemerintahan yang hanya memperjuangkan kepetingan pribadi kaum
bangsawan itu sendiri. Dengan demikian, pemerintahan aristokrasi berubah menjadi
pemerintahan oligarki yang menindas rakyat.
Dari situasi semacam itu, rakyat akan memberontak dan menjalankan pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itulah demokrasi. Namun demikian, lama-kelamaan
negara ini akan jatuh ke keadaan di mana terjadi kekacauan, kebrobokan, dan korupsi akibat
masing-masing rakyat juga mementingkan dirinya sendiri (oklokrasi). Di tengah kekacauan
seperti itu, Polybius meramalkan bahwa akan muncul seorang yang berani dan kuat untuk
6. mengembalikan kehidupan negara ke keadaan yang tertib dan damai. Pemerintahan kembali
dikendalikan oleh seorang yang berkuasa penuh, yaitu seorang raja atau monark (monarki).
Siklus Polybius sendiri bisa dilihat pada gambar di bawah ini :
Menurut Polybios, monarki adalah bentuk pemerintahan yang pada mulanya mendirikan
kekuasaan atas rakyat dengan baik dan dapat dipercaya. Lama kelamaan
keturunansang raja (yang kesekian) tidak lagi menjalankan pemerintahan untuk kepentingan
umum, bahkan cenderung sewenang-wenang dan menindas rakyat. Sejak itu monarki
bergeser menjadi tirani.
Dalam situasi pemerintahan tirani yang sewenang-wenang, muncullah kaum bangsawan yang
bersekongkol untuk melawan. Mereka bersatu, tampil ke muka melawan (mengadakan
pemberontakan) sehingga kekuasaan beralih kepada mereka. Pemerintahan selanjutnya
dipegang oleh beberapa orang dan memperhatikan kepentingan umum, serta bersifat balk.
Sejak saat itulah pemerintahan berubah dari tirani menjadi aristokrasi. Aristokrasi yang
semula balk dan memperhatikan kepentingan umum lamakelamaan (keturunannya) tidak lagi
menjalankan keadilan dan hanya mementingkan diri sendiri. Keadaan itu mengakibatkan
pemerintahan aristokrasi bergeser ke oligarki.
Dalam pemerintahan oligarki yang tidak ada keadilan, rakyat berontak mengambil alih
kekuasaan untuk memperbaiki nasib. Rakyat menjalankan kekuasaan
negara demikepentingan rakyat. Akibatnya, pemerintah bergeser menjadi demokrasi.
7. Namun, pemerintahan demokrasi yang awalnya baik lama kelamaan banyak diwarnai
kekacauan, kebobrokan, dan korupsi sehingga hukum sulit ditegakkan. Masing-masing pihak
ingin mengatur sendiri. Keadaan itu mengakibatkan bergesernya demokrasi menjadi
okhlokrasi.
Dari pemerintahan okhlokrasi ini kemudian muncul seorang yang kuat dan berani yang
dengan kekerasan dapat memegang pemerintahan. Dengan demikian, pemerintahan kembali
dipegang oleh satu tangan lagi dalam bentuk monarki.
Perjalanan siklus pemerintahan di atas memperlihatkan pada kita akan adanya hubungan
kausal (sebab akibat) antara bentuk pemerintahan yang satu dengan yang lain. Itulah
sebabnya Polybios beranggapan bahwa lahirnya pemerintahan yang satu sebagai akibat dari
pemerintahan yang sebelumnya telah ada.
Polybios
Polybios terkenal dengan teorinya yang disebut Cyclus Theory, yang sebenarnya
merupakan pengembangan lebih lanjut dari ajaran Aristoteles dengan sedikit perubahan, yaitu
mengganti bentuk pemerintahan Politea dengan demokrasi.
Monarki → Tirani → Aristokrasi → Oligarki → Demokrasi → Okhlokrasi → Monarki
Berdasarkan bentuk pemerintahan yang diungkapkan oleh Polybios, dapat dijelaskan sebaga
berikut.
1. Pemerintahan Monraki merupakan bentuk pemerintahan yang baik karena
mengutamakan kepentingan umum. namun, hal tiu hanya pada awalnya saja, karena lama
kelamaan raja tidak lagi memperhatikan rakyat, tetapi justru cenderung bersikap sewenang-
wenang dalam memerintah. Akhirnya pemerintahan monarki pun berubah menjadi tirani.
2. Pemerintahan tirani yang dijalankan untuk kepentingan pribadi ini, memunculkan
inisiatif dari para bangsawan untuk melawannya. Hingga terjadilah pengambil alihan
kekuasaan. Lalu pemerintahan dipegang oleh beberapa orang yang dijalankan untuk
kepentingan umum.Pemerintahan tirani pun berubah menjadi aristokrasi.
3. pemerintahan aristokrasi, pada mulanya memang baik karena dijalankan untuk
kepentingan umum. Namun, lama-kelamaan tidak lagi mengutamakan keadilan karena
8. dijalankan untuk kepentingan pribadi. Akhirnya bentuk pemerintahan aristokrasi bergeser
menjadi oligarki.
4. pemerintahan oligarki ini, pada perkembangannya tidak dirasakan adanya keadilan,
maka munculah pemberontakan dari rakyat untuk mengambil alih kekuasaan. Kemudian
pemerintahan pun dijalankan oleh rakyat untuk kepentinganrakyat. Oligarki berubah menjadi
demokrasi.
5. pemerintahan demokrasi ini, ternyata banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan,
antara lain maraknya korupsi, serta tidak ada penegakan hukum. Instabilitas politik ini
merubah demokrasi menjadi okhlokrasi.
6. pemerintahan okhlokrasi yang penuh dengan kekacauan ini, kemudian muncul
seseorang yang kuat dan berani merebut pemerintahan. Pada akhirnya bentuk pemerintahan
okhlokrasi kembali dipegang satu orang dan menjadi monarki.
2.3 KELEMAHAN TEORI POLYBIUS
Kelemahan dari teori Polybius adalah sifatnya yang deterministik; artinya, perubahan
bentuk pemerintahan akan mengikuti siklus yang berurutan dari pemerintahan seorang yang
baik, kemudian digantikan oleh pemerintahan seorang yang buruk, kemudian diganti
pemerintahan sekelompok orang yang baik, dan seterusnya. Padahal, dalam praktik bisa saja
pemerintahan tirani ditumbangkan oleh rakyat, yang kemudian membangun pemerintahan
demokrasi. Jadi, perubahan pemerintahan tirani menuju demokrasi tidak perlu melewati
pemerintahan aristokrasi dan oligarki terlebih dahulu. Dalam sejarah banyak contoh
pemerintahan tirani dijatuhkan oleh penguasa lain yang kemudian menjadi raja / monark yang
baik. Jadi, perubahan tirani menjadi monarki tidak harus melalui jalur pemerintahan
aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan oklokrasi.
Klasifikasi mutakhir tentang bentuk pemerintahan yang biasa digunakan para pakar adalah
demokrasi, oligarki, dan kediktatoran (Ranney, 1992), yaitu: Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan di mana kekuasaan untuk membuat keputusan tertinggi dalam suatu Negara
dikontrol oleh semua warga Negara dewasa dari masyarakat yang bersangkutan.
9. Kediktatoran adalah bentuk pemerintahan dimana kekuasan untuk membuat keputusan
tertinggi dalam suatu Negara dikontrol oleh satu orang. Oligarki adalah bentuk pemerntahan
dimana kekuasaan untuk membuat keputusan tertinggi dalam suatu Negara dikontrol oleh
sekelompok elite. Para pakar ilmu politik kini lebih suka menyebut demokrasi, oligarki, dan
kediktatoran bukan sebagai bentuk pemerintahan, melainkan sebagai sistem politik.
2.4 Praktek Siklus Polybius di Indonesia
Pemerintah yang tidak demokratis bisa saja membuat hukum yang dibuatnya itu sehingga
nampak konstitusional. Sebaliknya demokrasi tanpa pemerintah yang taat hukum sangat
diragukan, atau bahkan omong kosong” (Bondan Gunawan S/Mantan Mensesneg). Sengaja
ilustrasi diatas, penulis tempatkan sebagai pembuka tulisan ini, walaupun mungkin masih
banyak lagi tolak ukur demokrasi dari para ahli yang lebih representatif untuk di sitir atau
dijadikan acuan. Mengkaji demokrasi seakan tidak ada habis-habisnya walaupun di bangku
sekolah tingkat pertama di telinga kita sudah akrab dengan kata demokrasi yang berasal dari
bahasa Yunani yaitu demos = pemerintahan dankratos/kratein = rakyat. Juga dijelaskan kalau
ada dua tipe demokrasi yaitu Demokrasi Langsung biasanya berlaku di wilayah yang kecil
dan berpenduduk sedikit dimana disana semua keputusan menyangkut kepentingan publik
atau umum, semua orang disana diminta untuk menyatakan pendapatnya dan keinginan
mayoritas penduduklah yang dijalankan. Serta Demokrasi Tidak Langsung yang berlaku pada
masyarakat yang besar dan atau majemuk serta mempunyai wilayah yang luas. Disinilah
berlaku sistem Demokrasi dengan sistem perwakilan karena memang jika seluruh rakyat
dalam jumlah jutaan diminta pendapatnya adalah sesuatu yang mustahil atau paling tidak
menghambat kelangsungan proses pengambilan keputusan. Bayangkan saja jika hanya untuk
memberlakukan satu Undang-undang harus meminta pendapat seluruh rakyat, berapa biaya
yang diperlukan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan? Bukan beranti penulis
berkesimpulan bahwa demokrasi tidak langsung lebih baik daripada demokrasi langsung,
karena terkadang pilihan-pilihan sistem demokrasi ini adalah strategi para politisi dalam
upaya untuk mencapai target pribadi maupun kelompoknya. Masih segar dalam ingatan kita
ketika dulu terjadi perdebatan sengit antara pimpinan partai politik menjelang pemilu 7 Juni
1999 dan pemilihan Presiden masa bakti 2000 — 2004 yang lalu, banyak pihak beranggapan
bahwa kita (baca : rakyat) belum siap untuk melaksanakan pemilihan Presiden secara
10. langsung. Pendapat yang menyatakan bahwa rakyat kita belum siap untuk melaksanakan
pemilihan Presiden secara langsung dibantah oleh seorang pakar Hukum Tata Negara, Prof
Dr. Yusril lhza Mahendra (dulu dosen UI), yang mengatakan “bahwa tidak ada alasan untuk
mengatakan rakyat belum siap”, bukankah sebelum diberlakukan Undang-undang No. 5
Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, kita sudah terbiasa dengan sistem pemilihan
pemimpin secara Iangsung, seperti dibeberapa daerah di Sumatera yang dipimpin oleh
seorang Pasirah atau Kepala Marga. Setiap kali pemilihan Pasirah tersebut dilakukan
pemilihan secara langsung. Bahkan saat jaman penjajahan Belanda pemilihan Pasirah
tersebut di lakukan dengan cara yang cukup unik, yaitu dengan cara masing-masing calon
berdiri di lapangan luas dan terbuka kemudian dipersilahkan bagi pemilih untuk mengambil
tempat dibelakang calon sesuai dengan pilihannya, dan nanti panitia akan menghitung siapa
yang paling panjang atau banyak barisan di belakangnya maka itulah yang menjadi pemenang
pemilihan tersebut. Walaupun rata-rata rakyat pada waktu itu berpendidikan rendah bahkan
banyak yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan namun tidak terjadi keributan
pasca pemilihan, ini mungkin disebabkan waktu itu orang belum mengenal praktek-praktek
kotor seperti money politic dan apa yang dilakukan waktu itu sekarang kita kenal dengan
sistem pemilihan dengan voting terbuka yang banyak dihindari orang-orang di lembaga
legislatif baik di pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota, karena kalau voting terbuka itu
dilakukan sudah dapat dipastikan akan berbuntut panjang, sebab pihak yang kalah tidak dapat
menerima kekalahannya sebab Ia menghitung begitu banyak kerugian materi dan selanjutnya
akan terkuaklah nanti praktek kotor suap-menyuap itu. Demokrasi versus Tirani, menurut
Polybius seorang ahli hukum, memang sudah hukum alam kalau terjadi perubahan atau
pergantian sistem pemerintahan dalam siklus yang digambarkannya ada sistim Monarchy,
Oligarchy, Teocrachy, Aristocrachy, Democrachy, dan Tirany. Polybius mengatakan “bahwa
sistem itu selalu berputar dan berganti-ganti”. Jika teori siklus Polybius tersebut kita
hubungkan dengan kondisi real negara kita dari masa penjajahan Belanda, Jepang sampai kita
menyatakan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat atas tanah airnya, nampak memang
teori itu mengandung kebenaran. Pada jaman penjajahan wilayah Nusantara terbagi atas
beberapa wilayah kerajaan, artinya menganut sistim Monarchi absolut dimana kewenangan
mutlak dalam menjalankan roda pemerintahan ada ditangan Raja atau Sultan.17 Agustus
1945 terjadi peristiwa yang bersejarah bagi bangsa Indonesia dimana dua orang pemimpin
biasa dikenal sebagai Dwi Tunggal atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan kita. Maka proklamasi itu otomatis mengubah pula sistim ketatanegaraan kita
karena dengan demikian kita mempunyai konstitusi serta aturan lain yang murni “made in”
11. Indonesia walaupun dalam kenyataannya kita harus rnengakui bahwa banyak peninggalan
penjajah Belanda yang sampai saat ini masih kita anut dan kita pergunakan terutama
berhubungan dengan peraturan perundang-undangan dan Iegalisasinya mengacu pada pasal 2
aturan peralihan UUD 1945, dan kita juga harus bangga dengan sejarah kemerdekaan kita
yang berbeda dengan sejarah kemerdekaan negara-negara di dunia ketiga Iainnya seperti
Malaysia dan Filipina. Malaysia semula dijajah Inggris walaupun telah merdeka tetapi tidak
dapat lepas secara total dari pengaruh Inggris. Ini terbukti sampai saat ini Malaysia adalah
bagian dari persemakmuran Inggris Raya dan hal ini pula memaksa Malaysia untuk ikut
terpengaruh pada sikap Inggris termasuk masalah politik luar negeri, hal yang sama juga
terjadi. dengan Filipina hampir-hampir dapat dikatakan adalah “negara bagian”nya Amerika
Serikat, sampai-sampai hari kemerdekaannya sama dengan “tuan” yang pernah menjajahnya,
bahkan Amerika Serikat membangun pangkalan militer di negara itu. Kita kembali kepada
teori siklus Polybius diatas hubungannya dengan Indonesia. Polybius mengatakan bahwa
“pada saat kondisi suatu negara kacau, rakyatnya ditindas, maka akan muncul orang kuat
yang akan menyelamatkan rakyatnya dari kekacauan”. Pada awalnya orang itu akan
memimpin secara Demokratis, Jujur dan Adil. Benar memang kemudian muncul pemimpin-
pemimpin kita yang cakap dan berani seperti Soekarno, Hatta, Muh. Yamin dan lain-lain,
merekalah yang berperan sebagai “key person” atau orang kunci ketika itu dan memang pada
awal kemerdekaan kita, suasana begitu Demokratis terbukti pemilu Indonesia yang pertama
tahun 1955 diakui dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis dipandang dari sudut
Demokrasi Universal. Selama 32 tahun Soeharto memerintah dengan tangan besinya, yang
akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan hingga pada puncaknya di tahun 1998 Soeharto
terguling dan diganti oleh Habibie yang pada pemerintahannya melahirkan Pemilu 7 Juni
1999 dengan cukup demokratis selama Indonesia merdeka. Pemilu 7 Juni 1999 mendudukkan
Gus Dur sebagai Presiden yang penuh dengan ide-ide kontroversional. Seandainya pada
pemilihan Presiden yang lalu melahirkan Amien Rais sebagai Presiden, mungkin saja
pemenintahan kita waktu itu akan bercorak Aristokrachi walaupun latar belakang Amien Rais
sebagai akademis atau cendekiawan bukan jaminan terhadap corak pemerintahannya, namun
tidak terbukti ramalan sebagian orang bahwa dengan predikat Kyai yang disandang Gus Dur
akan berpengaruh dengan sistem pemerintahannya akan condong kearah Teokrachi (dominan
pengaruh keagamaanya), bahkan ternyata pemerintahan saat itu agak membingungkan kita
dengan dihapusnya Departemen Sosial, Departemen Penerangan dan Ditsospol. Bisa saja Gus
Dur membuat perencanaan akan menumbuhkan sebuah masyarakat sipil yang kuat (baca:
Masyarakat Madani) yang terbebas dari pengaruh atau intervensi negara (state) atau bisa saja
12. kalau kita simak teori Polybius gejala Gus Dur dengan statemennya waktu berkuasa yang
terkadang kontra produktif dengan statement yang dilontarkan sebelumnya, adalah gejala
atau tanda-tanda kebangkitan tirani baru atau mungkin agar lebih sopan kita sebut Neo Tirani.
Menyiasati Tumbuhnya DemokrasiSudah tidak dapat dibantah lagi bahwa prasyarat utama
tumbuhnya demokrasi adalah terbentuk atau terciptanya masyarakat sipil (civil society)
wataupun sebenamya gagasan untuk membentuk masyarakat sipil dimulai oleh Aristoteles
meskipun Cicero-lah yang mulai menggunakan istilahSociety Civilis dalam filsafat
politiknya. Pada awalnya pengertian Sivil Society dan Negara dianggap sama dimana dipakai
istilah-istilah seperti Kainonio Politiche, Societe Civil, Burgerliche geselschaft, Civil
Society dengan Polis, Civitas, Etai, Staai, Stato, dan State. Muhammad Hikam
mendefinisikan masyarakat sipil itu sebagai berikut : “Masyarakat sipil adalah merupakan
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan berciri antara lain kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self -generating), dan keswadayaan (self- supporting),
kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma
hukum yang diikuti dengan warganya”, Disamping masyarakat sipil sering dipadankan
dengan masyarakat madani. Padanan kata lainya yang sering digunakan iaiah masyarakat
warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya bahkan
jika diliperhatikan asalnya istilah civil society dikaitkan dengan anti militerisme. Di Barat,
memang eksistensi masyarakat sipil biasanya dihadapkan dengan kelompok militer,
disebabkan keduanya dianggap sebagai dua arena atau Domain politik yang terpisah secara
diametris. itupun secara politik disana berlaku apa yang disebut Supremasi Masyarakat sipil
atas militer (Civilian Supremacy Over The Military). Ketika Masyarakat sipil sudah terbentuk
yang jadi pertanyaan kita sekarang adalah hanya dengan adanya ruang publik yang bebaslah,
individu-individu dalam posisi setara, dapat melakukan transaksi-transaksi wacana
(Discursive Transaction) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran
dimana secara teoritis, ruang publik dapat diartikan sebagai ruang dimana Anggota
masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan
publik. Mereka berhak melakukan secara merdeka didalamnya termasuk mengembangkan
wacana piblik seperti mengembangkan wacana publik seperti menyampaikan pendapat secara
lisan atau tertulis (Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani Hal 123). Dengan adanya ruang
publik yang bebas tersebut, masyarakat sipil dapat mengekspresikan aspirasi politiknya, dari
cara yang non institusional (jalanan) hingga cara Institusional, misalnya media massa,
tempat-.tempat pertemuan, parlemen dan sekolah-sekolah juga perwujudan atau
pengejawantahan dari kelompok masyarakat sipil sendiri, dimana memungkinkan
13. berlangsungnya transaksi-transaksi wacana (Discursive Transaction) dan praksis politik tanpa
mengalami distorsi untuk mencapai itu semua maka masyarakat sipil mesti berhadapan
dengan negara, maka sejatinya masyarakat madani dan ruang publik yang bebas itulah yang
merupakan tujuan pokok gerakan-gerakan pro-demokrasi. Pertanyaan yang muncul lagi
adalah bagai mana jika dalam perjalanan memperjuangkan ruang publik itu berhadapan
dengan Negara yang Otoriter maka dapat dipastikan masyarakat madani akan menghadapi
problematika berupa hambatan untuk berkembang. HaI ini disebabkan oleh tindakan represif
negara dalam membatasi kebebasan mereka untuk mengekspresikan
kepentinganpolitiknya.Jika masyarakat sipil di refresi oleh negara yang otoriter. Maka salah
satu solusi yang layak diterima adalah, mereka harus melakukan gerakan sosial : meskipun
disisi lain karena kuatnya otoritas Negara pula, dapat mendorong bagi masyarakat madani
untuk tumbuh dan mengejawantahkan diri melalui gerakan-gerakan perlawanan sosial politik
dengan menuntut demokrasi (Ahmmad Doli Kurnia, membongkar mitos kebesaran HMI,
1999). Stimulus menuju Demokrasi adalah penting dilakukan oleh kaum cendekiawan
ataupun aktivis politik prodemokrasi untuk menciptakan suatu pra kondisi dalam rangka
menyelesaikan fase-fase menuju demokrasi dan jika gerakan Demokrasi itu disamakan
dengan gerakan besar menuju perubahan, sedikitnya ada tiga hal yang harus ada, yaitu
pertama organisasi yang besar dan kuat. Di organisasi inilah tempat atau wadah dimana
berkumpul orang-orang dengan sadar bersatu atas dasar berbagai macam persamaan, seperti
persamaan ideologi dan cita-cita biasanya paling lazim organisasi ini dimanifestasikan dalam
bentuk Partai politik. Walaupun dalam kenyataannya sebagian orang memahami partai politik
dari sudut pandang parsial, malahan kita sering mendengar istilah-istilah seperti partai kader
dan partai massa, kedua-duanya memiliki karakteristik yang sangat bertolak belakang adalah
suatu yang absurd (tidak berarti/tidak bermakna) jika partai politik itu hanya mengandalkan
massa fanatik yang tidak dibekali dengan pendidikan ideologi, bahkan sejatinya massa partai
harus diberi pemahaman tentang ideologi-ideologi. Apakah itu ideologi liberal, sosialis,
komunis dan lain-lain. hal itu berguna sebagai pembanding sekaligus penguat keyakinan akan
kebenaran ideologi yang dianut oleh partai potitik itu. Bahkan yang lebih buruk lagi partai
massa hanya mengandalkan pengaruh ketokohan pemimpinnya dan cenderung terjadi “kultus
buta”. Sebaliknya partai kader tidak akan melakukan perubahan yang besar dan nyata tanpa
adanya massa / anggota yang solid, terpimpin dan banyak, karena ide-ide atau gagasan partai
dapat diwujudkan oleh anggota-anggota partai dan itu dibawa dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua adalah massa yang besar, massa ini erat hubungannya dengan parati politik karena
aspirasi massa akan ditampung oleh parati dan selanjutnya akan dilakukan proses-proses
14. membuat formula untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat selanjutnya formula itu
akan dibawa kedalam kehidupan nyata di lapangan. Ketiga adalah pemimpin yang cakap,
lahirnya pemimpin biasanya disebabkan melalui beberapa hal, ada yang menjadi pemimpin
karena keturunan misalnya Raja atau Sultan, ada karenà kharismanya dan kemampuannya
dalam menyelesaikan persoalan, tapi dapat dibuat kesimpulan apapun sebab seseorang
menjadi pemimpin yang menjadi kuncinya adalah kepercayaan, tanpa kepercayaan orang
tidak akan diangkat menjadi pemimpin, tanpa kepercayaan, kepemimpinan seseorang tidak
akan bertahan lama, terbukti berapa banyak pemimpin-pemimpin besar yang terguling karena
hilangnya kepercayaan rakyat misalnya Soekarno, Ferdinand Marcos, Soeharto, Habibie dan
lain-lain.Pilihan Bijak Menuju DemokrasiMelalui tulisan ini penulis ingin mengajak kita
semua untuk melakukan kontemplasi panjang, melakukan perenungan menuju demokrasi
yang kita inginkan bersama. Mengapa penulis menggunakan terminologi atau istilah “pilihan
bijak” bukan berarti penulis memproklamirkan diri sebagai bagian dari kelompok
“konservatif tua”, karena walau sebenarnya banyak pilihan teori yang berdasarkan diberbagai
literatur studi gerakan politik (political movemen) berurusan dengan spirit teologi
pembebasan mulai dari yang paling radikal / revolusioner sampai ke teori paling konservatif
melalui pemberdayaan institusi-institusi resmi kenegaraan seperti institusi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, sering kita istilahkan melalui cara yang konstitusional. Kita
perhatikan teori konstitusi, dikatakan oleh seorang ahli hukum Prof. Hans Kelsen “Jika suatu
kerajaan diubah bentuknya (transform) jadi suatu republik oleh suatu revolusi rakyat, atau
suatu republik menajdi suatu kerajaan oleh coup d’etat seorang presiden dan jika
pemerintahan yang baru itu sanggup mempertahankan konstitusi baru itu dalam suatu cara
yang efektif, maka menurut hukum Internasional Pemerintah ini adalah pemenintah yang sah
dan konstitusi ini adalah konstitusi yang berlaku bagi negara itu”. Inilah sebabnya mengapa
dinyatakan dalam hubungan lain, bahwa menurut hukum internasional revolusi yang berhasil
dan Coup D’etat yang sukses adalah kenyataan-kenyataan yang menciptakan hukum. Dilihat
dari teori konstitusi diatas maka tindakan.-tindakan sepihak berbentuk perebutan kekuasaan
dilindungi oleh hukum internasional dan kalau kita mau jujur sebenarnya perilaku kudeta atau
mengambil alih kekuasaan secara paksa adalah murni budaya kita yang sesungguhnya.
Tercatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara yang dalam pergantian raja-rajanya
didahului dengan perebutan kekuasaan, ambil contoh sejarah kudeta Ken Arok terhadap
Tunggul Ametung yang akhirnya berlanjut sampai ke anaknya Tohjaya dan Anusapati.
Menilik dari sejarah diatas dapat saja disimpulkan bahwa penilaku kudeta adalah “perilaku
purba” yang tetap dilestarikan sampai sekarang walaupun tidak sesuai dengan perkembangan
15. teori pemerintahan modern (modern government theory). Penulis masih ragu-ragu jika pilihan
untuk melakukan perubahan dilakukan dengan cara kudeta adalah pilihan merupakan paling
tepat sebab jika kita jatuhkan pilihan kudeta, kita harus menghitung ulang dengan
cermat cost (biaya) yang akan dikeluarkan dari gerakan perebutan kekuasaan itu berapa
korban materi, berapa jiwa manusia yang hilang, berapa waktu yang kita butuhkan. untuk
mengembalikan kondisi agar normal kembali, dan yang lebih penting lagi berapa prosentase
kemenangan di pihak kita. Hitung-hitungan diataslah yang menimbulkan keragu-raguan itu.
Tinggal sekarang pilihan kita satu-satunya adalah melakukan perubahan dengan cara damai
yaitu melalui pemilihan umum atau meminjam istilah orde baru disebut “pesta demokrasi”.
Tinggal sekarang apa yang harus kita persiapkan dalam rangka menyambut pemilu itu,
tentunya bukan jamannya lagi melakukan pembodohan terhadap rakyat seperti yang terjadi
selama 32 tahun rezim Soeharto berkuasa. Rakyat tidak butuh janji-janji kosong para politisi
ditambah lagi dengan memperalat pihak militer untuk menakut-nakuti rakyat, yang penting
untuk kita lakukan saat ini adalah melakukan proses “pemintaran” kepada rakyat, seperti
yang dilakukan oleh kalangan LSM menjelang pemilu 7 Juni 1999 yang lalu dengan
melakukan Voter Education (pendidikan pemilih) atau ketika pasca pemilu, LSM
melakukan Civic Education (pendidikan kewarganegaraan) walaupun sebenarnya tugas-tugas
pendidikan seperti itu adalah tanggung jawab partai politik. Tetapi kelihatannya para politisi
saat ini “mabuk kemenangan” sehingga lupa fungsi yang sesungguhnya, mungkin mereka
tidak tahu seorang senator di Amerika Serikat menyediakan saluran telepon khusus on-line 24
jam bagi konstituennya untuk mengadukan permasalahannya. Apalagi nanti seandainya
diberlakukan sistem distrik dalam pemilu mendatang jika para politisi sekarang tidak dapat
mengubah paradigma berfikir dan perilakunya mereka harus bersiap-siap untuk
meninggalkan kursi mereka di Legislatif saat ini.
2.5 Masa Hidup
Polybius lahir pada tahun kira-kira 203 SM atau 198 SM di Megalopolis, Arcadia. Ia adalah
seorang Yunani yang berasal dari suku Achaea yang juga ia merupakan seorang keturunan
bangsawan. Ayahnya yang seorang bangsawan sekaligus negarawan ikut membuat Polybius
dekat dengan kalangan legislatif dan militer. Oleh karena itu, pada saat muda ia telah menjadi
anggota liga Achea dan mempunyai peranan penting di dalam liga tersebut. Karir Militer
melesat ketika ia menjadi seorang komandan Kavaleri ketika perang Macedonia II melawan
Romawi. Pada perang di Pydna tahun 168 M, Yunani yang kalah dalam perperangan
16. melawan Romawi memaksa Polybius menjadi tahanan dan tawanan oleh pihak Romawi, dia
sendiri dibawa ke kota Roma. Oleh pemerintah Romawi ia ditempatkan di rumah Aemilius
Paulus, seorang pembesar Roma. Dalam prosesnya ia akrab dengan anak Aemilius Paulus,
yaitu Scipio Aemilius, persahabatan dan keakrabannya ini kelak akan mengubah jalan
hidupnya di Roma.
2.6 Karya yang dihasilkan
Mengapa Romawi mampu menaklukkan dunia?
Mungkin secara imajinatif bisa sedikit digambarkan mengenai apa yang ada dipikirannya
ketika ia mulai menulis karya tulisnya yang berhubungan dengan politik-sejarah-sastra- dan
tentu saja Romawi itu sendiri.
Secara kasar bisa digambarkan seorang Polybius adalah seorang Legislator, negarawan dan
pejabat militer pengkhianat, dimana ia menuliskan suatu karya yang mengagungkan bangsa
dan negara penjajahnya. Karyanya The Histories, mengambarkan hal tersebut. Ia pertama –
tama membuat sebuah Hipotesis bahwa Kebijakan politik dan Konstitusi Roma yang
menyebabkan daerah – daerah yang diserang Romawi mampu takluk dalam kurun waktu
kurang dari 53 tahun.
Seperti yang dituliskan sebelumnya, kedekatan dengan Scipio Aemilius memberikan dampak
yang besar kepada dirinya di Roma. Selain, pengalamnnya sebagai seorang Militer di
Aechea, Yunani terdahulu, ia juga mulai akrab dengan lingkungan bangsawan dan militer di
Roma. Karena kedekatannya dengan para golongan kelas atas, tidak salah ia dapat
merasakan fasilitas sosial kelas atas, dan sempat berpergian ke beberapa tempat seperti di
Italia, Prancis, Spanyol dan Kartago. Fasilitas sosial ini juga berimplikasi dengan
kemudahannya mengakses berbagai sumber lisan, bahan tulis dan dokumen yang relevan di
dalam penulisan The Histories.
Tradisi penulisan Thucydides rupa-rupanya mempengaruhi dirinya di dalam menulis karya
tulisnya. Di dalam mencari sumbernya, ia berusaha seakurat mungkin, dan melakukan
pengujian sumber serta penggunaan bukti – bukti yang satu formula dengan yang diajarkaan
oleh Thucydides. Teknik Korobasi menjadi teknik yang dia gunakan di dalam menguji
sumber dan mendapatkan bukti.
17. Setiap hubungan apapun akan memiliki akibat yang ditimbulkan, hal ini berlaku pada
gagasan dan cara pandang Polybius di dalam karya The Historiesnya. Alih – alih ingin
menjelaskan tentang Romawi, pada bab 6 The historiesnya, ia malah mengagunggkan
Romawi dengan konstitusinya. Ia menganalisis institusi politik yang ada di Roma dan
menyatakan undang – undang yang digunakan Roma yang menyebabkan Romawi menjadi
kuat, selain itu konstitusinya yang membuat Romawi lebih berhasil dibandingkan Yunani.
Berikut kutipan dari tulisan Polybius :
Rome, foreseeing the dangers presented by such a cycle, did not organize her government
according to anyone type, but rather tried to combine all the good features of the best
constitutions. All three kinds of government shared in control of the Roman state. Such
fairness and propriety was shown in the use of these three types in drawing up the
constitution, that it was impossible to say with certainty if the system was aristocratic,
democratic, or monarchical. If one looked at the power of the Consuls, the constitution
seemed monarchical; if at that of the Senate, it looked aristocratic; and if at the power of the
masses, it seemed clearly to be a democracy.
Roman Consuls exercise authority over all public affairs. All other magistrates except the
tribunes are under them and bound to obey them, and they introduce embassies to the Senate.
they consult the Senate on matters of urgency, they carry out in detail the provisions of its
decrees, they summon assemblies, introduce measure, and preside over the execution of
popular decrees. In war their power is almost uncontrolled; for they are empowered to make
demands on allies, to appoint military tribunes, and to select soldiers. They also have the
right of inflicting punishment on anyone under their command, and spending any sum they
decide upon from the public funds. If one looks at this part of the administration alone, one
may reasonably pronounce the constitution to be a pure monarchy or kingship .
18. Bab III
Kesimpulan
1. Polybius : The Histories
Inkuiri historis : melesatnya Republik Roma
Menyaksikan kemunculan kekuasaan Romawi : mengapa itu bisa terjadi?
[1] Liga ini anggota-anggotanya umumnya berasal dai Peloponessos Utara, wilayah Yunani
[2] Pasukan Berkuda
[3] Salah satunya adalah memfokuskan diri pada topik yang mau diteliti, dengan tidak
memasukkan sumber dan cerita yang tidak relevan dan cenderung karya sejarah kontemporer
[4] Pendukungan, suatu data dari suatu sumber sejarah dengan sumber lain, dimana tidak ada
hubungan kepentingan diantara sumber-sumber tersebut atau dengan kata lain sumber-
sumber itu bersifat merdeka.
[5] Dikutip dari point-point jawaban dari pertanyaan : “Why Romans and Not Greeks
Govern the World” Polybius
[6] bagian utara Itali; daerah pantai Yugoslavia; pantai Perancis
PENJELASAN POINT
Polybius
•Pejabat di Aechea selanjutnya di Roma
•Menulis The Histories, karya yang menjelaskan kenapa Romawi sukses menjadi Imperium
•Metodologi Thucydides
•Isinya menyatakan bahwa undang-undang dan konstitusi Roma yang menyebabkan Romawi
maju sebagai imperium dunia
•Pemikirannya terikat pada pandangannya mengenai Romawi sebagai kerajaan dunia
•Cara pandangnya berhubungan dengan lingkungan dimana ia menuliskan tulisannya dan
berhubungan erat dengan hubungannya kepada Scipio Aemilius.
19. Daftar Pustaka
Daftar Buku
Hart, Michael H.1989. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (Terj).
Jakarta : Pustaka Jaya.
Lubis, Nina Herlina. 2008. Historiografi Barat. Bandung : CV Satya Historika.
Lubis, Nina Herlina. 2008. Metode Sejarah. Bandung : CV Satya Historika