Dokumen tersebut membahas tentang pengertian ilmu al-jarh wa ta'dil yang mempelajari etika dan aturan dalam menilai kelemahan (al-jarh) dan kelebihan (ta'dil) para periwayat hadis. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadis agar dapat digunakan sebagai hujjah atau tidak. Landasannya adalah ayat Al-Quran dan hadis yang menganjurkan meneliti kebenaran berita, terut
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
JARH WA TA'DIL
1.
2. A. Pengertian
Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha –
yajrahu yang berarti akibat atau bekas luka pada tubuh
disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat berkaitan
dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau
berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati karena kata-kata
kasar yang dilontarkan seseorang
Secara istilah ilmu hadis, kata al-jarh berarti tampak jelasnya
sifat pribadi atau keadaan seorang rawi yang tidak adil dan
menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang
disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti
pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang
tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat
oleh periwayat tersebut
3. Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti
mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang.
ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang
etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan
sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif
atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi melalui
lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk
mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut
(Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani)
4. Pada prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah bentuk lain dari
upaya untuk meneliti kualitas hadis bisa diterima (maqbul)
atau ditolak (mardud). Adapun yang menjadi objek
penelitian suatu hadis selalu mengarah pada dua hal
penting, yang pertama berkaitan dengan sanad/rawi
(rangkaian yang menyampaikan) hadis, dan kedua
berkaitan dengan matan (redaksi) hadis
5. bahwa kesulitan penelitian matan disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni:
Adanya periwayatan secara makna
Adanya beragam pendekatan
Sulitnya melacak latar belakang asbab al-wurud hadis
Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan
hal-hal yang berdimensi “supra rasional”
Sulitnya mendapat kitab-kitab khusus tentang penelitian
matan hadis
6. Tujuan Penelitian Sanad dan Matan
untuk mengetahui kualitas hadis. Kualitas hadis sangat
perlu diketahui dalam hubungannya dengan ke-hujjah-an
hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak
memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah
Penelitian hadis mencakup penelitian sanad dan matan.
Dalam penelitian sanad, pada dasarnya yang diteliti adalah
kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat
yang terlibat dalam sanad, di samping metode periwayatan
yang digunakan oleh masing-masing periwayat itu
7. Landasan tentang bolehnya Men-Jarh
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar
sesuatu dari kami, kemudian dia menyampaikan (kepada orang
lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang yang diberi
kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).
”
8. Dengan mengacu pada ayat dan hadis di atas, secara tegas
menganjurkan tentang wajibnya tabayyun dan tasabbut
(meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik.
Anjurannya adalah kecermatan dan ketelitian menerima
suatu berita. Apalagi dari orang yang belum dikenal sosiohistorisnya atau belum dikenal terpercaya (siqah). Pada
kasus periwayatan hadis, di samping tabayyun dan tasabut
atas ke-siqah-an, diperlukan juga penilaian terhadap
kapabilitas dalam kuatnya hafalan (dhabith).
9. Mengomentari dua dalil di atas, Al-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim mengatakan: bahwa al-jarh (kritik)
terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita atau
riwayat adalah boleh. [16] Bahkan wajib, berdasarkan
kesepakatan para ulama karena adanya kebutuhan
mendesak dan memang mengharuskan untuk dikritik
demi membangun dan melindungi syariat.