3. SYARAT – SYARAT HADIST SHOHIH
1. Sanadnya Bersambung
Sanadnya bersambung semenjak dari nabi sahabat , hingga periwayat terakhir- terakhir. Sanadnya
bersambung maksudnya adalah setiap rawi hadits yang bersangkutan benar- benar menerimanya dari
rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai pada pembicara yang pertama.
setiap perawi menerima hadits secara langsung dari perawi yang berbeda di atasnya, dari awal
sanad sampai akhir sanad dan seterusnya sampai kepada akhir sanad, dan seterusnya sampai pada Nabi
Muhammad SAW sebagai sumber akhir hadist tersebut.
4. Untuk mengetahui bersambung atau tidak nya suatu
sanad biasanya ulama hadits tata kerja penelitian
sebagai berikut:
◦ a. mencatat semua nama rawi dalam sanad yang teliti.
◦ b. mempelajari sejarah hidup masing- masing rawi.
◦ c. meneliti kata- kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawinya yang terdekat
dengan sanad.
5. suatu sanad hadits dapat dinyakan apabila
bersambung apabila :
◦ Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
◦ Antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul
(Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru
dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis, sedangkan al-‘ada adalah proses
menyampaikan dan meriwayatkan hadis ) al-hadis.
6. 2. Rawi bersifat adil
menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakukan dengan salah satu teknik
yakni keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat
adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil. Ilmu Jarh wa
Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima
atau ditolaknya riwayat mereka. Khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat,
jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang
dari golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan
‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.
7. dapat dinyakatan bahwa yang maksud denag kata adil dalam transformasi hadits adalah bahwa periwayat tersebut
harus beragama islam, mukallaf , melaksanakan ketentuan agama dan memelihara citra dirinya ( muru’ah ). Dengan kata lain,
keadilan periwayat ini terkait erat dengan kualitas pribadinya. Sekalipun ulam mempuyai maksud yang sama dalam mendefinisikan
tentang sifat adil ini, tetapi mereka berbeda dalam hasil redaksi dan kriterianya. Ada beberapa cara menetapkan keadilan
periwayat hadits yang disebukan oleh ulama yakni berdasarkan :
a. popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
b. penilaian dari para kritikus periwayat hadis
c. penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil.
Cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Menurut
Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil adalah:
a. Beragama Islam .
b. Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf)
c. Melaksanakan ketentuan agama
d. Memelihara muru’ah (kehormatan dirinya)
8. 3. Rawi Bersifat Dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadis yang diterimanya dengan baik, baik
dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya kembali.
Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua yakni :
a.Dhabit Shadr (Dhabit Fuad)
Artinya terpelihara hadis yang diterimanya dalam hafalan, sejak ia menerima hadis tersebut sampai meriwayatkannya
kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.
b.Dhabit Kitab
Artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami dengan baik tulisan hadis yang
tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.
Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat berikut:
1)Perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya dan diterimanya
2)Perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya)
3)Perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis yang telah didengarnya dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama
hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.
9. 4. Tidak Syadz (janggal)
Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat
posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya,
baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau haflalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para
rawi yang lain itu harus. Di unggulkan, dan ia sendiri disebut syads atau janggal. Dan karean kejanggalannya
maka timbunlah penilaian negative terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
Jadi dapat dikatakan maksud syadz adalah hadis yang bertentangan dengan hadis lain yang lebih
kuat atau yang lebih tsiqah. Berdasarkan dari beberapa defenisi maka hadis syadz dibagi kepada dua bagian,
yaitu syadz pada sanad dan syadz pada matan.
1) Syadz pada Sanad
2) Syad pada Matan
10. 5. Tidak Ber-illat
Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan.
Adapun dalam terminology ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang di dalamnya
terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis. Ibnu shalah, al-
nawawi, dan Nur al-din ‘itr menyatakan bahwa illat adalah sebab yang tersembunyi yang
merusak kualitas hadist, yang menyebabkan hadist yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih
menjadi tidak shahih.
Illat terbagi menjadi 2 macam yaitu
1. illat dalam sanad
2. Illat dalam matan
11. HADITS DHA’IF
Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kata qawiy yang berarti kuat. Sedangkan
dha’if berarti hadits yang tidak memenuhi hadits hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak).
Kata dha’if menurut bahasa berarti ‘ajiz atau lemah sebagai lawan dari kata qawiy atau yang kuat. Adapun lawan dari kata
shahih adalah kata dha’if yang berarti saqim atau yang sakit. Sebutan hadits dha’if secara bahasa bearti hadits yang lemah atau hadits yang
kuat ( Ranuwijaya dikutip Suyitno, 2008). Menurut Suyitno (2010) mengemukakan bahwa secara istilah ada beberapa definisi hadits dha’if
yang dikemukakan oleh para ulama, seperti :
Dalam hal ini Al-Nawawi mendefinisikan hadist dhaif sebagai:
َﺎﻟﻢﻳﻮﺟﺪﻓﻴﻪﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺼﺤﺔﻭﻻﺷﺮﻭﻃﺍﻟﺤﺴﻦﻣ
“ Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”
Menurut Firmadani (2012) mengatakan bahwa tidak terkumpulnya sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima, syarat
diterima suatu hadits, antara lain:
◦ 1. Memiliki sanad hingga kepada Nabi Saw
◦ 2. Sanadnya bersambung
◦ 3. Rawinya’adil dan dhabith
◦ 4. Tidak mengandung syadz
◦ 5. Tidak ada illah
12. 1.Ke-dha’if-an dari Segi Sanadnya yang Terputus
Menurut Suyitno (2008) mengemukakan bahwa apabila dilihat dari segi terputusnya sanad, hadits dha’if menjadi lima
macam, yakni:
a.Hadits Mursal
Kata mursal merupakan isim maf’ul dari kata arsala yang berati melepaskan (Atar dikutip Suyitno, 2008). Secara istilah:
َﺧﺮﺳﻨﺪﻩﻣﻦﺑﻌﺪﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰﺍﻫﻮﺍﻟﺬﻯﻳﺴﻘﻄﻣﻦ
“Hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seorang setelah tabi’iy.
b.Hadits Munqathi’
Kata munqathi’ merupakan isim fa’il dari inqatha’a lawan dari ittishal yang artinya hadits yang terputus. Secara istilah hadis
munqathi’ adalah:
ﺍﻟﻤﻨﻘﻂﻊﻫﻮﺍﻟﺤﺪﻳﺚﺍﻟﺪﻯﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺭﺍﻭﺍﻭﺣﺪﻗﺒﻞﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻓﻰﻣﻮﺿﻊﻭﺍﺣﺪﺍﻭﻣﻮﺍﺿﻊﻣﺘﻌﺪﺩﺓﺑﺤﻴﺚﻻﺑﺰﻳﺪﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﻛﻞﻣﻨﻬﻤﺎﻋﻠﻰﻭﺍﺣﺪﻭﺍﻻﻳﻜﻮﻥﺍﻟﺴﺎﻗﻄﻓﻰﺍﻭﻝﺍﻟﺴﻨﺪ
“Hadits muqathi’ adalah hadits yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat disatu tempat atau beberapa tempat dengan
catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad”.
13. c. Hadits Mu’dhal
Kata mu’dhal merupakan isim maf’ul dari fi’il a’dhala yang artinya memayahkan atau memberatkan atau tempat
melemahkan. Secara istilah hadits mu’dhal adalah:
ﻣﺎﺳﻘﻄﻣﻦﺭﻭﺍﺗﻪﺍﺛﻨﺎﻥﺃﻭﺍﻛﺜﺮﻋﻠﻲﺍﻟﺘﻮﺍﻟﻰﺳﻮﺍﺀﺳﻘﻄﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻰﻭﻟﺘﺎﺑﻌﻰﺃﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻰﻭﺗﺎﺑﻌﻪﺃﻭﺛﻨﺎﻥﻗﺒﻠﻬﻤﺎ
“Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang rawi atau lebih, baik bersama sahabat tabi’in, tabi’in bersama tabi’it tabi’in, maupun
dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
Definisi tersebut memberikan pemahaman tentang hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawi atau lebih
dari awal sanad-nya
d. Hadits Mudallas
Kata Mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis yang berarti gelap. Hadits ini dinamakan demikian dikarnakan mengandung
kesamaran dan ketutupan. Secara istilah hadits mudallas adalah:
ﻣﺎﺭﻭﻯﻋﻠﻰﻭﺟﻪﻳﻮﻫﻢﺃﻧﻪﻻﻋﻴﺐﻓﻴ
“Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak ternoda” (Rahman dikutip Suyitno, 2008).
Menurut Ibid dikuti Suyitno (2008) mengatakan bahwa hadits mudallas terbagi menjadi tiga yaitu
Pertama, mudallas isnad, mudallas syuyukh , mudallas taswiyah
14. d.Hadits Mu’allaq
Kata mu’allaq merupakan isim maf’ul dari fi’il ‘allaqa yang berhati menghubungkan, menguatkan dan
menjadikannya sebagai sesuatu yang tergantung atau digantungkan. Hadits ini dikatakan mu’allaq karena sanadnya hanya
ittishal dengan bagian atas, namun terputus dengan bagian bawah (Jumantoro dikutip Suyitno, 2008). Sedangkan
menurut istilah hadits mu’allaq adalah hadits yang gugur rawinya, seorang atau lebih dari awal sanadnya (Rahman dikutip
Suyitno,2008).
15. 2. Hadits dhoif disebabkan cacat selain keputusan sanad dan macam –
macamnya
1.Hadits matruk, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatannya, yang diriwayatkan oleh orang yang
tertuduh dusta dalam ilmu haditsatau Nampak kefasikannya baik pada perkataannya maupun perbuatannya
atau orang yang banyak lupa dan banyak ragu. Perawi yang meriwayatkan hadits ini disebut matruk al-
hadits (orang yang ditinggalkan hadits). Para muhaditsin memandang hadits matruk adalah hadits yang
sangat lemah setelah hadits maudhu’
2. Hadits Munkar, adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang
banyak kesalahannnya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta.
Sedangkan menurut Muvarok dkk (2010) mengatakan bahwa hadits munkar adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang berlawanan dengan riwayat perawi yang kuat dan terpercaya
(tsiqoh).
16. 3. Hadits syadz dan makhfudh, hadits syadz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul (tsiqah) yang menyalahi
riwayat orang yang lebih rajin karena mempunyai kelebihan kedhabitan atau banyaknya sanad atau lainnya dari segi pentarjihan.
4. Hadits Mu’allal (Ma’lul, Mu’all), adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan
ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung,
padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
5. Hadits Mudraj (saduran), adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu
termasuk hadits. Menurut Muvarok dkk (2008) mengemukakan bahwa hadits mudraj adalah hadits yang didalamnya berisi
tambahan-tambahan, baik pada mantan atau pada sanad, karena diduga bahwa sanad tambahan tersebut termasuk bagian hadits
tersebut.
6.Hadits Maqlub, adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
Menurut Muvarok dkk(2008) mengatakan bahwa hadits maqlub adalah hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama
seseorang atau nasbnya dalam sanad. Maka perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan, dan sebaliknya, serta
meletakkan sesuatu di tempat sesuatu yang lain. Pembalikan tersebut bisa terjadi pada matan ataupun pada sanad hadits.
17. KEHUJJAHAN HADITS DHOIF
Cacat yang terdapat pada hadits dhaif berbeda – beda. Hal ini berimbas pada tingkat (martabat) hadits hadits dhoif juga mengalami
perbedaan. Dari hadits yang mengadung cacat pada rawi ( sanad) atau matannya yang paling rendah martabatnya adalah hadits maudhu’
kemudian hadits matruk hadits munkar, hadits muallal, hadist mudraj dan hadits maqlub. Sedangkan hadits yang gugur rawinya atau sejumlah
rawinya lemah adalah hadits muaalaq, hadits mu’dhal atau hadts muqhti’ dan hadits mursal.
Berkaitan demgan hal terebut maka dalam hal kebolehannya (kehujjahan) hadits dha’if untuk diamalkan terdapat beberapa
pendapat salah satu nya:
dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadaitul amal yang berkaitan dengan hal- hal yang di anjurkan maupun dilarang. Segolongan
ulama yang di pimpin oleh Syekh Muhyyiddin An -Nawawi menyatakan sudah menjadi kesepakatan para ulama akan diperbolehkannya
menggunakan hadits dha’if sebagai dalil untuk fadaitul amal. Ibnu Daqiq Al’ld meberikan syarat di bolehkannya menggunakan hadits dha’if
dalam fadaitul amal yaitu:
1. hadist dha’if harus benar-benar ada bedasarkan sumber yang asli. Artinya bukan rekayasa seseorang.
2. tidak menganggapnya sebagai hadits shahih ketika mengamalkannya tetapi menganggapnya sebagai langkah antisipatif saja.
3. telah disepakati untuk diamalkan
4. hadits dha’if yang bersangkutan berada di bawah suatu dalili yang umum, sehingga tidak bisa diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak
memiliki dalil pokok.