1. Selamat Tinggal Gajah Duduk
Kita dilahirkan tanpa meminta, kita terlahir atas keputusan-Nya. Lantas, apa
tujuan hidup kita yang sebenarnya? Apa yang Dia inginkan dari kita? Iqra, hanya
sepenggal dari kata itu aku tau bahwa Tuhan yang ku percaya menyuruh para
hambanya untuk belajar. Science adalah pelajaran yang sifatnya mutlak, aku lebih
suka yang pasti tetapi bukan berarti membenci social. Banyak yang membenci fisika,
tapi tidak dengan aku, mencintai fisika adalah suatu hal yang tepat. Kejadian dan
fakta yang fisika utarakan akan sama dengan pernyataan dari Al-qur’an.
Menekuni karena mencintainya sungguh menyenangkan. Menjalani tanpa
paksaan .adalah anugerah. Sungguh tak ada pengkhianatan yang ingin aku lakukan.
Aku yakin bahwa suatu saat nanti usuha untuk membanggakan kedua orang tua
melalui kecintaan ku terhadap fisika akan tercapai.
Di SMA ini sudah ku berikan beberapa penghargaan dan sebagaian besar dari
fisika. Beberapa kali aku mengikuti olimpiade fisika dan pulang tanpa tangan kosong,
minimal tingkat nasional pernah aku kantongi. Siapa yang tak bangga dengan diriku?
Kebanggaan dari orang tua sudah kudapatkan, sekolah sangat bangga atas prestasi ku,
dan sekarang universitas mana yang tak tahu diriku? Semua telah mengenal aku, aku
sang ahli fisika dengan umur yang masih muda, ya sangat muda bahkan jika
dibandigkan dengan teman seangkatan. Saat aku masih duduk dibangku 2 SMA
sudah banyak yang menawari untuk kuliah di universitas, baik swasta maupun negeri.
Berbagai beasiswa pun selalu mengalir di depan, aku telah memiliki masa depan
yang jelas dan tujuan yang pasti.
Saat aku duduk di kelas 3, semua universitas mengetahui bahwa aku akan lulus.
Mereka berlomba-lomba mengirimi ku surat berisi ajakan untuk berabung di
kampusnya. Aku senang, karena ini adalah modal utama aku kuliah dengan gratis dan
di kampus yang terkenal. Jaman ku adalah jaman dimana belum ada ukt, semua
masih serba mahal apalagi untuk ukuran keluarga ku. Ayah dan ibu tak pernah
menyuruh aku untuk ini atau untuk itu, mereka membebaskan aku untuk memilih
masa depan apa yang ingin aku jalani. “Apa ada biayanya untuk semuanya?”
pertanyaan yang sering aku lontarkan ke ayah. “Allah kan yang ngasih, gak usah
dipikirin biaya. Bilang aja totalnya berapa nanti diusahakan” jawab ayah yang entah
dari mana pasti menenangkan. Memang betul jika aku gak perlu khawatir karena
2. masih ada beasiswa, tapi apa hanya aku siswa yang tak mampu? Aku rasa siswa tak
mampu di Indonesia itu jumlahnya banyak dan aku harus bersaing dengan mereka.
Setiap seperempat malam aku memohon agar aku diberi kejelasan atas apa yang
harus aku jalani. Salah satu surat sampaidi rumah, isinya adalah penawaran beasiswa
Rp 100 juta dari ITB. Siapa yang bisa nolak penawaran itu? Semua sudah
ditanggung, yang aku jalani hanya belajar. Urusan makan, laundry, perlengkapan
kuliah sudah ada yang mengatur. Dapat bangku kuliah gratis, urusan secara finansial
gak ada masalah, kuliah di ITB pula. Allah gak pernah tidur itu benar, sekarang
terbukti.
Di dunia ini tak ada yang gratis kecuali bernapas. Untuk mendapatkan beasiswa
itu pun aku harus di training selama tiga bulan, walaupun secara status masih anak
SMA kelas 3, belum UN apalagi lulus. Menjalani bulan pertama aku kaget, karena
suasana dan atmosphere di ITB itu jauh berbeda dengan sekolah. Setiap pagi selalu
sarapan dengan soal olimpiade bertaraf nasional. Disambung dengan soal olimpiade
dari negara lain. Setiap hari seperti itu, tapi ajaibnya aku dan teman-teman gak ada
yang mengalami turun berat badan justru sebaliknya. Kita juga disuapi dengan
makanan yang berlimpah, gak ada yang namanya makanan gak sehat di sana.
Maka nikmat mana Ku lah yang kau dustai, salah satu kalimat Al-qur’an yang
benar maknanya. Lulusan ITB jelas arahnya kemana, penerima beasiswa
mendapatkan layanan yang memuaskan, dan yang aku tahu hanya belajar tanpa
memikirkan apapun. Kurang apalagi? Harusnya aku senang, tapi kenapa hati ini
gundah? Aku tahu bahwa ibu di rumah sedang sakit keras, tapi aku melakukan ini
untuknya. Aku yakin dengan aku bersekolah disini bisa ia ditangani dengan tepat.
Hanya butuh satu bulan lagi aku bisa lulus, tapi hati aku gak kuat. Aku putuskan
untuk berhenti.
Peraturan beasiswa itu tak berat, hanya harus mengikuti training selama tiga
bulan full. Tapi apa daya aku hanya bisa menjalani selama dua bulan dan sudah
dipastikan aku tidak diterima beasiswa itu. Rasa kecewa dan menyesal selalu
menyelimutiku. Aku tahu bahwa keputusan ini aku ambil tanpa campur orang luar,
ini murni aku yang membuatnya. Semua menyayangkan keputusan ku, apakah salah
jika aku memilih merawat ibu ku? Apakah salah jika aku memilih memutuskan
pendidikan hanya untuk orang yang sudah berjuang selama ini? Tak ada yang
mengerti maksud dan tujuan aku, mereka tidak lagi ada diposisi ku berada. Tutup
3. kuping, tutup mata fokuskan semuanya pada satu titik, ibu.
Berniat satu tahun untuk fokus ke ibu, tetapi Allah selalu saja menguji ku.
Tawaran beasiswa tetap mengalir bahkan masa perkuliahaan telah dimulai. Akhirnya
aku memutuskan kuliah di salah satu universitas swasta. Hanya bertahan beberapa
bulan, setelah itu aku keluar. Lagi-lagi karena ibu, aku tidak bisa membagi waktu
dengan baik. Tak ada yang bisa membujuk ku untuk tetap kuliah, bahkan ayah
sendiri. Mengulang tahun depan dengan diselingi les adalah keputusan ku.
Siapa yang tak kecewa dengan keputusan ku? Ayah ku merasa gagal membawa
anaknya sekolah ke jenjang yang lebih tinggi darinya. Aku pun terpuruk dengan
keputusan sendiri, tapi aku sudah bertekad inilah jalan yang Allah kasih untuk aku.
Tahun pengulangan ini aku fokuskan untuk ibu dan pendidikan. Pagi mengurus ibu,
siang les, dan malam waktunya belajar ditemani ibu. Ibu hanya bisa tidur, semua
dilakukan di satu tempat. Bukan saatnya untuk menyerah dan surut semangat, ini
saatnya untuk tunjukkan ke semuanya kalau aku bisa dari yang mereka bayangkan.
Tak ada yang mengetahui keberadaan aku sekarang, teman-teman tak bisa
melihat keadaan aku tetapi aku bisa melihat mereka semua. Handphone rusak, sosial
media di hack, rumah pindah, tak ada maksud untuk memutuskan silahturahmi tapi
ini adalah jalan yang Allah kasih, Allah memang baik. Di tahun ini aku tetap mencari
beasiswa untuk meringankan ayah. Aku yakin tahun ini ibu bisa sembuh dan aku bisa
kuliah dengan baik.
Delapan terakhir di bulan Ramadan adalah malam yang sangat baik untuk
berdo’a. Benar saja, ibu yang selama delapan bulan ini di katakan koma akhirnya
sadar, makan yang banyak, dan cuma tinggal jalan yang harus di lancarkan. “Kamu
kuliah dimana saja sama. Jangan jadi pemilih, ambil jurusan yang kamu suka. Ibu
sudah cape, kamu belajar yang benar ya” perkataan ibu yang tiba-tiba di tengah
keributan adik-adik ku membuat aku kaget. Gimana tidak, selama ini ia tidak
sadarkan diri, bahkan dokter pun sudah menyatakan dirinya koma, tetapi kenapa ia
tahu? Apa ini yang namanya ikatan batin antara ibu dan anak?
Tanggal pengumuman sudah keluar beberapa hari kemarin, tapi tak ada satupun
yang aku ambil. Semua terletak di biaya, memang aku mendapat beasiswa tapi apa
daya jika jurusan yang aku dapatkan adalah paralel? Sedikit rasa penyesalan
menyelimuti. Presiden BEM UI, orang yang sangat berpengaruh di ITB, UGM, dan
beberapa universitas lainnya karena kekritisannya mendatangi ku untuk membujuk
4. mengambil penerimaan itu. Ia pun tak bisa berkata apa-apa ketika masalahnya
terletak di biaya, sempat menawari di biaya BEM tapi kami tidak bisa menjamin bisa
membayarnya tepat waktu.
Tak hanya UI, Presiden BEM UNJ juga mendatangi ku. Melakukan hal yang
sama dengan UI, hanya saja penawaran yang ditawarkan UNJ jauh lebih baik
daripada UI.
Beberapa hari kedatangan para presiden dari masing-masing universitas, kami
dikejutkan dengan kesehatan ibu yang tiba-tiba drop. Gak ada yang tahu penyebab
pastinya, tanggal 2 hari jumat pukul 03.00 pagi ibu meninggalkan kami semua. Siapa
yang menyangka kalau saat malamnya tak terjadi apa-apa? Beliau sehat, hanya
tinggal jalan yang harus di lancarkan tapi kenyataan dan keputusan Allah adalah
mutlak. Teringat dengan perkataannya beberapa hari lalu, merasa bodoh sekali karena
tidak menyadari kalimat yang penuh arti itu.
Ayah menyanggupi pembiayaan dari UNJ, dan akhirnya aku mengambil UNJ.
Pendidikan Fisika gelar yang aku terima. Empat tahun kuliah disana tak terasa,
sekarang aku sudah mendapat gelar dan mengajar di beberapa sekolah dan bimbel.
Keinginan ibu untuk aku kuliah sudah tercapai, menenangkan hati ayah bahwa
dirinya tak gagal pun sudah tercapai.
Setiap kejadian ada hikmahnya, cerita, dan ada maksudnya itu benar. Seandainya
aku ambil ITB mungkin aku akan menyesal seumur hidup karena tak bisa
merawatnya setahun ini, jika aku mengambil beasiswa kedokteran mungkin aku akan
menangis terus karena teringat mendiang ibu. UNJ bukan universitas terkenal seperti
UI tapi jika aku tetap di UI mungkin aku tidak akan bisa berkumpul dengan orang-
orang hebat yang ada di ITB, UI, UGM dalam perkumpulan yang diadakan UNJ. Jadi
guru tidak sehebat ilmuan yang bisa S2 di luar negeri seperti halnya teman-teman
seperjuangan beasiswa ITB tapi dengan jadi guru aku bisa mencetak anak-anak hebat
penerus bangsa seperti teman-teman ku dan dengan jadi guru aku bisa tertawa
melihat tingkah mereka.
Semua pendidikan pada dasarnya baik, semua universitas pada dasarnya
mengajarkan kebaikan dan pengabdian kepada bangsa. Semua tergantung gimana niat
dan cara kita untuk meraih semua itu. Tidak perlu berkumpul di tempat hebat untuk
bisa berdiskusi dengan orang hebat. Cukup tingkatkan potensi, maka dimana pun kita
berada potensi kita tetap terlihat dan bukan kita yang mencari orang hebat tetapi