Kisah ini menceritakan perjuangan penulis untuk bisa menjadi mahasiswa meskipun awalnya ragu karena prestasi akademik yang buruk di SMA. Penulis terinspirasi oleh pepatah "banyak jalan menuju Roma" dan akhirnya berhasil mendapatkan gelar mahasiswa meskipun harus menemukan jalan lain selain jalur undangan.
5. v
Sebuah Prakata
Banyumas, sebuah kabupaten yang terletak di lereng
Gunung Slamet dan Lembah Serayu ini merupakan salah satu
kabupaten dengan potensi sumber daya alam yang
melimpah. Oleh karena itu generasi muda harus di didik
menjadi insan yang mampu memanfaatkan potensi yang
ada. Namun kondisi di lapangan menunjukan tingkat
pendidikan masyarakat Banyumas masih rendah dengan
rata-rata lama sekolah hanya 7,79 tahun (BPS Prov. Jateng.
2012). Angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Kabupaten
Banyumas juga relatif masih rendah. Masalah ekonomi masih
menjadi alasan utama generasi muda tidak melanjutkan
kuliah. Padahal begitu banyak kesempatan mendapatkan
beasiswa yang ada di perguruan tinggi.
Melalui buku Inspirasi untuk Banyumas kami ingin
berbagi kisah dalam memperjuangkan mimpi kami
mendapatkan bangku di perguruan tinggi serta berbagi
pengalaman mendapatkan beasiswa di bangku kuliah.
Semoga buku ini dapat menginspirasi adik-adik di
6. vi
Kabupaten Banyumas terutama dan di seluruh Indonesia
untuk terus memperjuangkan impiannya.
Terimakasih kami ucapkan kepada segenap kontributor
yang bersedia berbagi inspirasi kepada adik-adik di
Banyumas. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
Keluarga Mahasiswa Banyumas (GAMAS ITB) yang selalu
memberikan inspirasi hingga tersusunlah buku ini.
Demikian dari kami, semoga pembaca dapat mengambil
pembelajaran yang ada di buku ini. Terimakasih
Tim Penyusun
7. vii
Isi Buku
Secuil Asa Anak Desa | 1
Banyak Jalan Menuju Roma | 9
Mengejar Kampus Impian = Masa Depan Cerah, Ini adalah
tentang Aku Belajar, Berjuang dan Meraih Mimpi | 23
Idealisme Kurang Bumbu | 39
Sepucuk Kertas Kehidupanku | 55
Ibu, Bapak, Izinkan Aku Kuliah | 64
Pejuang Kecil Peraih Mimpi | 72
Perjuangan Menggapai Impian | 81
Kuliah? Siapa Takut | 94
Motivasi Bangunkan Mimpi untuk Sebuah Aksi | 101
Bermimpilah dengan Aksi dan Iringan Doa | 109
Mimpiku Akan Terwujud Dimulai Hari Ini | 116
Don’t be Scared to Try | 120
Kisahku | 130
It’s All Paid-Off | 135
8. viii
Mayuh Pada Kuliah, Lur ! | 142
Inspiring Your Surrounding | 152
Dreams are Real, Go Get Them | 158
Gagal? Jangan Bangun Kalau Tak Punya Mimpi | 169
Akhir dari Cerita | 187
Janjiku, Si Pejuang Mimpi | 199
Berbekal Olimpiade, Aku Taklukan Kampus Impianku | 209
9. 1
Secuil Asa Anak Desa
Tofik Hidayat | Institut Teknologi Bandung
--------------------------------------------------------------
ernah terbayang kuliah di kampus ternama? Tidak.
Seorang anak ingusan yang tak tahu apa-apa ini ingin
mencoba membagikan kisah perjalanan hidupnya hingga
bisa singgah di kampus kenamaan bernama ITB.
Dahulu, ketika orang bertanya kamu ingin jadi apa?
Jawabku dengan polos menjadi artis. Saat itu, sedang
maraknya sinetron yang banyak digemari orang yaitu
Tersanjung. Setelah disadari ternyata aku adalah korban
sinetron. Lebih besar sedikit, saya mulai berpikir untuk
menjadi seorang guru, karena guru itu bisa berbaur dengan
anak-anak setiap hari, bisa berbagi ilmu pengetahuan, dan
gajinya tetap, plus dapat pensiunan. Maklum, mental saya
adalah mental pegawai yang juga menjadi mental mayoritas
penduduk sana. Upaya untuk mewujudkan cita-cita pun saya
buktikan dengan menduduki ranking 1 ataupun 2 di kelas,
sejak bangku SD hingga SMP.
P
10. 2
Pada saat akan masuk SMA, ada kisah unik yang akan
sangat sulit untuk dilupakan. Saya adalah anak yang kuper,
bahkan untuk urusan sekolah lanjutan mana yang bagus
sekalipun. Sosialisasi ke SMP saya waktu itu mayoritas
berasal dari sekolah kejuruan. Tapi, saya kurang tertarik
karena jurusan yang ditawarkan banyak yang tidak saya
sukai. Alhasil, saya mulai bimbang. Orang tua pun kelabakan
mencari informasi sana-sini mengenai sekolah yang bagus.
Alhasil, pada suatu hari, ayah mengajak saya melihat-lihat 3
sekolah, yaitu SMEA, SMA, dan STM yang ketiganya berlokasi
di kecamatan Banyumas. Waktu itu tidak terpikirkan untuk
mencari sekolah lain karena lokasi yang cukup jauh,
sementara ketiga sekolah itu lokasinya berdekatan.
Sekolah di SMEA awalnya menjadi impian saya, karena
ada jurusan akuntansi di sana, sebab saya sangat suka
pelajaran ekonomi saat itu. Namun, dasar saya menjaga
gengsi, saya urungkan niat sekolah di sana karena lebih
banyak kaum hawa dibanding kaum adam, which is
mengurangi rasa PD saya. Alhasil, saya lihat dulu STM.
Meskipun dari awal sudah tidak berminat, tapi karena
menuruti kata ayah, akhirnya sayapun kesana, dan tetap tidak
11. 3
tertarik. Pilihan terakhir adalah SMA. Di SMA, ada dua jurusan
yaitu IPA dan IPS. Tanpa pikir panjang, saya bilang ke ayah
saya agar mendaftar di SMA saja karena saya sangat suka
rumpun pelajaran IPS. Akhirnya, mendaftarlah saya di sana.
Pendaftaran dimulai, dan saya lolos administrasi. Lalu,
menyusul daftar ulang. Waktu itu, dipungut biaya sekitar 3
juta. Nominal yang sangat memberatkan kami. Yang mana
orang tua hanya petani dan penderes gula kelapa, tapi harus
membayar biaya sekolah semahal itu. Akhirnya, orang tua
saya putar otak, dan kalung ibu saya pun harus dijual beserta
beberapa ekor kambing dan beberapa batang pohon untuk
menggenapi tiga juta tersebut. Akhirnya daftar ulang pun
terlaksana.
Mulailah pelajaran di minggu pertama. Rasa PD saya
goyah ketika mendapati satu pelajaran yang agaknya susah
dan saya rasa tidak mampu mengikutinya yaitu Elektro.
Gurunya pun terlihat killer. Bahkan, beliau menyarankan
kalau dirasa kami tidak mampu mengikuti sistem KBM yang
ada di SMA itu, lebih baik kami pindah sekolah saja. Wah,
pikiran dalam hati berkecamuk. Saya pun menyampaikan hal
12. 4
ini pada orang tua dan meminta secepatnya saya ingin
pindah ke sekolah lain yang masih membuka pendaftaran.
Waktu itu, sekolah kejuruan swasta di kecamatan somagede
masih membuka pendaftaran. Tapi, orang tua saya bersikeras
tidak membolehkan saya pindah, karena yang jelas mereka
sudah korban uang untuk pendaftaran, ditambah lagi saya
yang sudah terlanjur mengikuti pelajaran selama seminggu.
Akhirnya saya simpan rasa kecewa itu, hingga pagi harinya
sebelum saya berangkat, saya minta orang tua saya untuk ke
sekolah untuk menyampaikan pengunduran diri saya dari
sekolah itu. Di sekolah, saya sudah tidak konsentrasi lagi
belajar di kelas karena beban pikiran yang berkecamuk.
Hingga menjelang jam istirahat, guru BP memanggil saya ke
ruangannya. Ternyata di sana ada ayah saya. Saya ditanya
macam-macam mengapa tidak ingin bersekolah di sana. Air
mata sempat mewarnai curahan hati saya. Dan nasihat guru
cukup membuat saya tegar, di samping saya juga tidak tega
melihat ayah yang sudah berjuang memasukkan saya ke
sekolah itu, akhirnya pun saya bertekad melanjutkan
pendidikan di sana bagaimanapun resikonya. Masalah
ekonomi yang saya khawatirkan dijawab guru BP dengan
13. 5
jaminan bahwa saya akan diikutkan pada program beasiswa
yang bertujuan untuk meringankan biaya sekolah.
Waktu terus berjalan, dan Alhamdulillah saya berhasil
mencapai hasil akademis yang membanggakan, apalagi
setelah memasuki jurusan yang saya inginkan yaitu IPS. 3
tahun berjalan cukup lama, dan di kelas 3 kami harus
menentukan perguruan tinggi mana yang kami inginkan.
Pada saat itu, pengetahuan tentang universitas pun nol
besar. Saya hanya tahu kampus yang ada di area Kabupaten
Banyumas. Kalau saja tidak ada sosialisasi dari kampus-
kampus lain, sudah pasti saya akan menjatuhkan pilihan pada
kampus di daerah saya. Namun, pencerahan-pencerahan
dari beberapa kampus ternama membuat saya yang tadinya
tak tau apa-apa menjadi tergugah untuk memasuki salah
satu kampus ternama tersebut. Apalagi ketika saya
mendengar ada kakak kelas dari IPS yang berhasil masuk di
kampus teknik terbaik di indonesia. Wah, sudah saja saya pun
mengikuti jejak beliau.
Waktu perpisahan dan wisuda pun tiba. Saat itu, saya
tidak menyangka sama sekali kalau saya akan menyabet tiga
14. 6
penghargaan sekaligus yaitu peraih nilai sempurna pada
mapel Matematika; siswa berprestasi IPS; dan peraih nilai
ujian nasional tertinggi jurusan IPS. Dan pada hari yang sama,
sore harinya pukul lima, ada pengumuman SNMPTN
undangan. Waktu itu, ada kakak kelas yang kuliah di ITB
menanyakan nomor registrasi saya dan password, lalu dia
memberitahukan bahwa saya diterima di SBM ITB. Saya
masih belum percaya, dan akhirnya saya mengajak ayah saya
ke warnet untuk memastikan kebenarannya. Setelah melihat
dengan mata kepala saya sendiri, Alhamdulillah, saya benar
bisa kuliah di kampus yang awalnya saya tidak kenal tersebut.
Saya menempuh kuliah dengan beasiswa Bidik Misi yang
diberikan oleh DIKTI. Beasiswa tersebut meliputi biaya kuliah,
serta biaya hidup yang besarnya lebih dari cukup untuk
membiayai kehidupan sehari-hari. Saya manfaatkan waktu
kuliah sebaik-baiknya dan berusaha mengikuti perkuliahan
semampu yang saya bisa. Hingga akhirnya, tiga tahun
berjalan, saya bisa menyandang gelar sarjana manajemen.
Dan saya bersiap untuk menatap masa depan, menempuh
karier dan akan berusaha menjadi manusia bermanfaat bagi
sekeliling saya.
15. 7
Untuk bekerja, saya sebenarnya tidak ingin yang muluk-
muluk, misal penghasilan harus sekian sekian. Akan tetapi,
saya berkeinginan bekerja di tempat yang dekat dengan
keluarga, penghasilan cukup dan berkah, serta bisa
mendatangkan manfaat. Bagi saya itu lebih dari cukup.
Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa apa yang
orang tua saya sampaikan dan katakan adalah benar. Karena
orang tua sudah melampaui pahit manis kehidupan,
sehingga dalam memberikan nasihat, saran, ataupun
keputusan selalu didasarkan pada naluri yang benar. Coba
kalau saya memaksakan diri keluar dari sekolah itu, pasti saya
memiliki cerita yang berbeda dari apa yang saya tulis ini.
Tetapi, kembali lagi semua itu adalah kehendak Tuhan.
Karena yang harus selalu diingat adalah Tuhan mungkin tidak
memberi apa yang kita inginkan, tapi Tuhan memberi apa
yang kita butuhkan. Dan ingat selalu bahwa ridho Illahi
adalah restu orang tua kita. Marilah berusaha menjadi anak
yang berbakti pada orang tua kita, agar setiap langkah kita
diridhoi Yang Maha Kuasa.
16. 8
Satu yang terakhir, kepada pembaca kisah ini, jangan
takut untuk kuliah, karena sangat disayangkan jika kita
melewatkan kesempatan untuk mendapatkan bekal dan
pengalaman yang luar biasa. Masalah keuangan? Jangan
khawatir, banyak beasiswa yang bisa kita dapatkan, yang
terpenting adalah tekad kuat untuk belajar lebih giat lagi.
Kalau kata kampus saya, “tidak ada kasus drop out hanya
karena masalah ekonomi”, artinya permasalahan ekonomi
pasti ada solusinya selama kita berkomitmen untuk serius
belajar. Dan, dalam berkuliah menurut saya ada tiga pilihan
yaitu menjadi orang biasa di kampus ternama; menjadi orang
luar biasa di kampus biasa; atau menajdi orang luar biasa di
kampus ternama. Itu semua pilihan. Tapi kembali lagi bahwa
keberhasilan seseorang tidak ditentutkan dari asal
almamaternya, karena setiap orang sudah memiliki jalan
hidupnya masing-masing. So, berkaryalah dimanapun kita
berada!
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Banyumas dan telah menyelesaikan studi
sarjananya dari Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB dengan predikat Cumlaude
17. 9
Banyak Jalan Menuju Roma
Hardika Ilhami | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
“Banyak jalan menuju roma” – Anonim
ering saya mendengar pepatah itu. Sejalan dengan kata-
katanya, kalimat tersebut dibuat untuk memberikan
motivasi bagi seseorang yang sedang jatuh untuk kembali
bangkit dengan menemukan jalan lain menuju roma.
Mungkin kalimat tersebutlah yang sangat merefleksikan
proses saya untuk mendapat gelar menjadi seorang
mahasiswa.
Mahasiswa. Salah satu dari sekian banyak kata yang
sangat di idam-idamkan oleh banyak siswa SMA yang sudah
ada diujung kelulusan. Hampir semua teman yang saya
tanyai selalu mengatakan akan berkuliah. Begitu pun dengan
saya. Meskipun awalnya saya kurang begitu tertarik, karena
menurut saya tidak ada yang lebih menarik sebagai
mahasiswa selain rambut gondrong.
S
18. 10
Ada banyak keraguan yang muncul jika saya
membayangkan ketika menjadi seorang mahasiswa. Saat itu,
orang tua saya sangat menginginkan saya untuk mendaftar
menjadi TNI saja, keinginan orang tua saya bukan tanpa
alasan semata. Orang tua saya sangat khawatir karena kiprah
saya di SMA memang sangat buruk. Selalu ranking dengan
peringkat 25 kebawah. Alasan yang cukup kuat untuk saya
supaya tidak melanjutkan kuliah.
Namun akhirnya saya memilih untuk kuliah.
Sebelum menjadi seorang calon mahasiswa, banyak
tahap-tahap yang harus dipersiapkan dan sukur-sukur bisa
dilalui. Proses memantaskan diri menjadi amat sangat susah
bagi saya yang notabene tidak mendapatkan ilmu apa-apa
dari bangku SMA. Semester dua kelas tiga SMA pun datang.
Semua teman saya di SMA sibuk untuk mempersiapkan hari
untuk penerimaan mahasiswa. Termasuk saya, tanpa sadar
saya sudah bekerja lebih keras dari dua tahun sebelumnya
karena saya sadar yang menjadi saingan saya adalah orang-
orang yang jauh lebih baik dibanding dengan saya.
Kesempatan pertama datang. SNMPTN Undangan.
19. 11
Banyak yang menyebutnya jalur VIP. Bagi mereka yang
memiliki nilai bagus di SMA, tahap ini hanyalah semudah
membalikkan telapak tangan. Sangat mudah. Sayangnya
tidak bagi saya. Nilai baik hanyalah mitos. Walaupun
kesempatan ini terbuka bagi semua siswa yang ada, namun
bagi saya untuk diterima di SNMPTN Undangan bagaikan
saya bisa mencium Raisa. Hampir tidak mungkin. Saya pun
mengisi form pendaftaran tanpa keseriusan sedikit pun. Saya
lebih memilih untuk mempersiapkan diri untuk kesempatan
selanjutnya yaitu SBMPTN Tertulis. Pengumuman SNMPTN
Undangan pun datang. Terbukti, saya pun gagal di
kesempatan tersebut.
Kebetulan hari pengumuman Undangan berbarengan
dengan waktu SMA saya doa bersama. Kami satu angkatan
ada diruang yang sama dengan harap-harap cemas untuk
diterima. Tepat pukul lima sore, hasilnya resmi diumumkan.
“Yes! Aku mlebu.”
“Yes, diterima!”
“Alhamdulillah ya Allah....”
20. 12
Satu ruangan riuh dalam euforia. Terkecuali saya.
Walaupun sudah tahu bahwa saya tidak akan diterima, masih
saja ada rasa iri hati dalam diri saya. Saya pun memilih pulang
lebih cepat ke kosan. Dan ternyata kekecewaan saya masih
berlanjut, bermaksud untuk mengurangi kekecewaan saya
membuka facebook dan twitter saya. Ternyata kekecewaan
saya masih berlanjut, mata saya perih melihat banyak teman
saya yang update status tentang keberhasilan mereka.
“Yes! Aku mlebu.”
“Yes, diterima!”
“Alhamdulillah ya Allah....”
Kalimat yang cukup membuat iri hati saya semakin
meningkat.
Selepas hasil Undangan diumumkan, pendaftaran
SBMPTN tertulis pun dibuka. Itu merupakan kesempatan
kedua bagi saya dan mungkin menjadi kesempatan terakhir
bagi saya untuk masuk kuliah dengan jalur murah. Dengan
rasa iri dan dongkol yang amat besar, saya pun mulai
mempersiapkan diri lagi untuk kesempatan kedua tersebut.
21. 13
Berangkat sekolah pukul tujuh pagi dengan seragam
SMA, dan pulang pukul sembilan malam masih dengan
seragam yang sama. Mungkin seragam tersebut menjadi
saksi bisu betapa keras perjuangan saya memantaskan diri
menjadi seorang mahasiswa hingga hari Ujian SBMPTN tiba.
Saya pun merasa puas dengan ujian tersebut karena saya
merasa bisa mengerjakan ujian tersebut. Saya keluar dari
ruangan dengan senyum tanpa beban.
“Akhirnya perjuangan saya selesai,” ujar saya semangat
dalam hati.
Pengumuman SBMPTN adalah pada tanggal 8 Agustus
2013. Kebetulan dihari itu, saya sedang melakukan tes UM-
UGM paginya. Jeleknya, saya mengikuti UM-UGM agar bisa
liburan ke Jogja. Saya ujian tanpa ada persiapan karena
sudah terlalu yakin dengan hasil diterima di SBMPTN Tertulis.
Sorenya, saya dan teman saya pulang. Seperti biasa,
pengumuman dimulai pada pukul lima sore, saya dan teman
saya sudah ada di terminal giwangan menunggu bis yang
sudah kami pesan.
22. 14
“Walaikum salam, pripun Pak?” Sayup-sayup suara
Dharu, teman saya menerima telepon.
Saya menganggap panggilan telepon teman saya itu
hanya telepon orang tuanya yang sedang menanyakan
sudah di perjalanan pulang atau belum. Ternyata bukan.
Dengan mata berkaca-kaca, Dharu menghapiri dan
duduk didekat saya.
“Anu kepriwe ru?” Tanya saya dengan nada menghibur.
“Aku ora ketampa koh dik.”
“Maksude?”
“Ora ketampa SBMPTN, bapakku ngomong nembe bae,”
katanya lemas.
“Lah, lomboan ndean, Bapakmu ngomong kaya kue arep
aweh surprise nggo koe pas tekan umah.”
Saya masih menganggap Ayah Daru hanya bercanda.
Saya tidak bisa membayangkan jika saya jadi Dharu. Dia
bagaikan menerima panggilan kematian saat menerima
telepon dari bapaknya itu. Namun, ternyata bapaknya benar.
23. 15
Dharu tidak diterima setelah di akun SBMPTN nya ada tulisan
berwarna merah yang intinya meminta maaf kalau dia belum
diterima. Saya beruntung karena saya lupa untuk membawa
password dan nomor pin untuk membuka pengumuman.
Sehingga saya bisa mempersiapkan untuk hal terburuk.
Seperti dihari pengumuman sebelumnya, hari itu
timeline akun facebook dan twitter saya pun banjir dengan
ungkapan euforia kesuksesan.
Kata-kata yang membuat saya berpikir yang tidak-tidak
dan tanpa sadar saya sudah berdoa lebih kusyuk dibanding
doa-doa yang pernah saya lakukan sebelumnya. Perjalanan
empat jam Jogja–Purwokerto itu menjadi salah satu perjalan
terpanjang yang pernah saya lalui.
Setelah empat jam berlalu, saya sampai dan langsung
mengambil nomor pin dan password. Pergi ke warnet
dengan tergopoh-gopoh membawa sebuah harapan untuk
diterima menjadi seorang mahasiswa. Mengisi password,
mengisi nomor pin. Enter!
Maaf, anda belum diterima di pilihan yang anda pilih.
Terima kasih telah berpartisipasi pada SBMPTN Tertulis 2013
24. 16
Seketika saya lemas. Saya bingung ekspresi apa yang
harus saya lakukan saat itu. Saya pulang ke rumah dengan
muka murung, bingung harus menjawab apa saat orang tua
menanyakan hasilnya.
“Priwe pengumumane?” kata ibu saya.
“Ora olih koh bu.”
Ibu saya diam, tahu kalau saya butuh waktu untuk
menenangkan diri. Saya pun langsung pergi ke kamar untuk
tidur dan berharap bisa amnesia saat terbangun nanti.
Berharap terlalu tinggi, jatuh terlalu keras.
Itulah yang sedang saya alami saat itu. Pikiran saya kalut,
tidak tahu harus bagaimana. Bahkan saya masih berkabung
dua hari setelahnya. Banyak sanak saudara saya yang
menelpon Embah saya tentang bagaimana hasil
pengumuman yang lama-lama malah membuat saya
semakin risih dengannya.
“Semangat Dik, mungkin memang bukan jalanmu,” ucap
Pakdhe saya.
“Iya pak.”
25. 17
“Banyak jalan menuju Roma, Pakdhe juga bakal nyariin
jalan buatmu, Dik.”
“Iya makasih pak,” jawab saya seadanya.
Selang sehari, Pakdhe mengirim SMS yang berisi jadwal
pendaftaran universitas yang masih buka.
“Ternyata masih banyak jalan menuju Roma,” ungkap
saya dalam hati.
Saya pun mulai mempersiapkan pendaftarannya. Saya
tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya. Saya tahu
kegagalan pasti ada batasnya, setali tiga uang dengan
keberhasilan. Dari sekian banyak lowongan pendaftaran,
saya memilih mendaftar di Universitas Brawijaya. Setelah
mempersiapkannya, saya mengikuti tes. Saya berada di
Malang selama hampir seminggu. Satu bulan kemudian
pengumuman. Dan disitu tertulis bahwa saya diterima. Dan
pada saat itu akhirnya saya bisa mengatakan hal yang sama
seperti teman-teman saya yang sudah diterima sebelumnya.
“Yes! Aku mlebu.”
“Yes, diterima.”
26. 18
“Alhamdulillah ya Allah....”
Ternyata cobaan belum berhenti sampai disitu. Belum
selesai saya merayakan keberhasilan saya, dua hari kemudian
pengumuman UKT diluncurkan. Saya kaget melihat nominal
nilai UKT saya yang selangit. Saya tidak tahu bagaimana
caranya kuliah dengan nilai UKT tersebut.
“Bu biaya kuliaeh semene koh. Priwe yah Bu?”
“larange,” kata Ibu saya sambil memegang jidat.
“Pangapurane Bu.”
Jujur, kala itu saya menangis. Saya bingung. Disaat
harapan saya untuk kuliah sudah didepan mata, ternyata
masih ada saja halangan yang harus saya lewati.
Satu hari kemudian, Ibu saya masuk ke kamar saya.
“Wis mangkat bae Dik, nek duit tah masalaeh aku karo
bapane, kowe gari sekolah sing bener.”
Saya bingung harus berekspresi seperti apa. Senang
karena akhirnya jalan untuk kuliah kembali terbuka, atau
27. 19
harus sedih karena nantinya saya akan melihat orang tua
saya bekerja sangat keras demi biaya kuliah saya.
“Ya kesuwun Bu, tapi mengko disit jajal dika nggolet
celah mbok ana keringanan.”
Setelah mencari informasi, akhirnya saya mendapat
keringanan agar pembayaran UKT saya ditangguhkan
terlebih dahulu. Namun sayangnya nominalnya masih sama.
Alhasil, saya resmi menjadi seorang mahasiswa. Tidak
tahu kenapa, seharusnya saya senang sudah bisa kuliah, tapi
malah yang ada dongkol tiap berangkat dan pulang kuliah.
Pikiran saya hanya ingin cepat-cepat lulus agar uang UKT nya
bisa lebih berkurang. Mungkin saat itulah saya malah
menjadi tidak ingin kuliah. Setelah satu bulan berjalan,
datang lagi kesempatan.
Saya mendengar informasi tersebut dari kakak kelas dan
teman-teman saya yang ada di SMA.
“Kie ana pendaftaran maning Dik,” isi sms dari teman
saya.
“Pendaftaran apa?”
28. 20
“D3 Metrologi neng ITB, biaya kuliaeh gratis loh,” kata
teman saya
Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membuka
laman pendaftarannya dan melihat persyaratan apa saja
yang dibutuhkan. Input data, pengumuman pertama, dan
saya ke ITB untuk tertulis. Tiga minggu kemudian
pengumuman. Berbeda dengan pengumuman sebelumnya,
pengumuman ini diberikan dengan memberikan daftar 50
orang nama yang lulus dalam ujian.
Saya mencari-cari nama saya, dari awal sampai akhir.
Dari nomor satu sampai lima puluh. Tidak ada sama sekali
nama saya. Dan untuk keempat kalinya saya ditolak. Kecewa?
Pasti, namun tidak sekecewa saat gagal dikesempatan-
kesempatan sebelumnya.
“Mungkin emang aku kudu kuliah neng kene. Neng
malang,” ujar saya dalam hati
Seperti biasa, di tiap hari rabu saya berangkat kuliah
siang. Saya tidak menyangka hari itu menjadi hari yang tidak
biasa, setelah mencuci baju. Saya mendapat telepon dari
nomor yang tidak saya kenal.
29. 21
“Betul, ini dengan Hardika Ilhami?” suara ibu-ibu
terdengar.
“Iya betul, maaf ini siapa ya?”
“Selamat, anda diterima di D3 metrologi ITB. Mohon
untuk melakukan pendaftaran ulang di Bandung hari Jumat
ya.”
“Iya Bu, siap terima kasih banyak.”
Saya sujud sukur. Saya bagaikan menang lotre hadiah
dua milyar walaupun saya belum pernah merasakannya. Saya
menelfon ibu saya dan ibu saya pun bersukur. Tanpa pikir
panjang saya langsung pulang kerumah untuk
mempersiapkan persyaratannya. Jarak 16 jam Malang-
Purwokerto terasa sangat menyenangkan bagi saya kala itu.
Singkat cerita, akhirnya saya berkuliah disini. Saya masih
ingat candaan saya dengan teman-teman saya yang kala itu
masih kelas 2 SMA.
“Kowe bar lulus arep ngendi mad?” tanya teman saya
kepada saya
30. 22
“Aku? ITB lah! Hahahahahhaha,” saya menjawab
sekenanya dan teman-teman saya pun ikut tertawa lebar.
Saya tidak menyangka, keinginan saya untuk menjadi
seorang mahasiswa harus berjalan sepanjang dan serumit itu.
Bahkan sampai sekarang, saya pun masih kaget. kalo bahan
candaan saya waktu SMA untuk kuliah di ITB malah jadi
kenyataan.
Saya pernah mendengar ungkapan, kerja keras takkan
menghianati. Saya hampir tidak percaya dengan ungkapan
itu, karena saya sudah dikhianati hampir ke-empat kalinya.
Namun, ternyata akhir dari cerita pun berbeda. Mungkin hasil
dari kerja keras tidak akan datang dengan cepat dan mudah,
mungkin hasilnya akan datang diwaktu yang sangat lama
dan rumit. Bahkan mungkin saat kita sudah lupa dengan
kerja keras kita, hasil tersebut baru datang.
Tetaplah semangat kalian yang sedang mengalami
cobaan. Tenang saja. Banyak jalan menuju Roma.
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri 1 Purwokerto tahun 2013.
31. 23
Mengejar Kampus Impian = Masa
Depan Cerah
Ini adalah tentang aku belajar, berjuang, dan meraih mimpi
Dian Pratiwi | Universitas Indonesia
-----------------------------------------------------------------------------
rang biasa memanggilku DP. Aku adalah anak bungsu
dan anak perempuan satu-satunya dari keluarga
broken home. Ayahku seorang PNS, bekerja di perbatasan
provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah. Ibuku hanya seorang ibu
rumah tangga dan petani biasa, hidup di desa jauh dari kota.
Karena orang tuaku berpisah sejak aku masih kecil aku harus
memilih untuk hidup bersama siapa? Dari TK sampai SD aku
ikut ibuku, mulai SMP sampai sekarang aku ikut ayahku.
Namun, karena ayahku bekerja di luar kota aku lebih sering
hidup bersama tetangga dan teman-temanku. Ayahku tak
pernah memaksaku untuk belajar atau rajin sekolah, setiap
hari aku berangkat ke sekolah atas niat dan tekadku sendiri.
Bahkan pernah suatu kali aku kabur dari rumah karena kesal
dengan ayahku, tapi saat hari senin tiba aku pulang ke rumah
karena aku harus berangkat ke sekolah. Sampai lulus SMA
O
32. 24
aku tidak pernah sekalipun membolos karena aku pikir
ayahku sudah bayar uang sekolah mahal-mahal kalau aku
bolos sekolah artinya aku hanya membuang uang ayahku
secara percuma, berarti aku rugi donk? Udah bayar enggak
dapet ilmu, ya gak? Akhirnya aku lulus SMA dengan nilai
yang baik meski ayahku tak pernah mengontrol kegiatan
sekolahku, tidak pernah menyuruhku belajar, tidak pernah
menyuruhku les sana sini, kalaupun aku les di kelas 3 itu pun
atas kemauanku sendiri bukan karena arahan dari orang
tuaku.
Setelah lulus SMA tahun 2007 aku ingin sekali kuliah di
perguruan tinggi negeri favoritku, yaaah…kampus negeri
ternama seperti UNDIP, UGM, STT Telkom, STAN, dan UI.
Pada waktu itu aku sadar tabungan ayahku terbatas, karena
banyak masalah keluarga seperti mbah putri yang sakit keras
setelah ditinggal wafat mbah kakung sampai masalah
keluarga yang tak terduga sehingga menguras isi rekening
tabungan ayahku. Saat itu ayahku menanggung hidup
banyak orang di keluarga besar kami, isi rekening tabungan
ayahku hanya tersisa sekitar sebelas juta saja. Ayahku
33. 25
memaksaku untuk berkuliah di Purwokerto saja, “kuliah aja
di UNSOED yang negeri dan paling murah, jangan jauh-jauh
di luar kota! Kalau kuliah di UNSOED papah masih sanggup
biayain kuliah kamu, tapi kalo mau kuliah di luar kota sanah
biaya sendiri! Mau gak kuliah jadi bakul pecel juga sanah!”
ujar ayahku marah-marah. Aku sadar ayahku tak akan
mampu membayar kuliahku sampai lulus jika aku hidup dan
kuliah di kota besar, biaya hidup di sana sangat tinggi. Aku
harus memikirkan biaya hidup untuk makan dan kos jika aku
nekat kuliah di kota besar. Pada saat itu aku memang nekat,
tahun 2007 ibuku sedang berada di Depok ikut tinggal
bersama kakakku. Aku memutuskan untuk kuliah di Depok
atau Jakarta karena aku pikir jika kuliah di dekat ibukota
apalagi di universitas nomor satu di Indonesia aku akan
mudah mendapat pekerjaan. Namun, tidak semudah itu
untuk dapat berkuliah di UI, saingannya berat dan ketat
sekali. Bayangkan saja berapa ribu orang yang
memperebutkan satu kursi di universitas nomor satu itu?
Masuk kampus negeri ternama saja sudah syukur
alhamdullilah. Aku sadar diri, aku tidak sepintar dan
seberuntung itu. Maka, aku memutuskan untuk mencoba
34. 26
kuliah di UGM atau UNDIP saja yang biaya hidupnya tidak
terlalu tinggi, tapi apa mau dikata? Ayahku bersikeras
melarang ku kuliah di luar kota dan tidak mau membiayai
kuliahku, katanya tidak sanggup.
Oke, aku tidak kehabisan akal. Aku coba kuliah di
kampus yang gratis karena dapat bantuan penuh dari
pemerintah. Bahkan, dapat uang saku tiap semesternya, tapi
kata orang susah keterima di STAN, tidak hanya pandai,
tetapi juga harus berpengetahuan umum luas jika ingin lulus
ujian masuknya. Katanya aku harus rajin nonton berita di TV
dan baca Koran sebelumnya. Aduh, aku paling tidak suka
membaca, bahkan selama ini aku hanya memperhatikan apa
yang diajarkan guru saat di kelas, pulang mengerjakan PR
lalu sudah selesai. Aku paling malas membaca dan menonton
berita di TV, tapi aku tetap coba mengikuti ujian STAN di kota
yang paling dekat, yaitu Jogja. Aku memang tidak yakin akan
lolos ujian STAN jadi aku sudah mempersiapkan segalanya,
aku sudah membawa semua ijazahku beserta legalisirnya
untuk mendaftar kuliah di kampus lain di Jakarta atau Depok
jika aku tidak diterima di STAN. Ujiannya memang benar
35. 27
susah bagiku, soalnya seperti “ada berapa jumlah provinsi di
Indonesia sekarang? Siapa peraih medali emas kejuaraan
blablabla…” aku tidak pernah update berita terkini jadi aku
gagal ujian masuk STAN dan setelah itu aku nekat
melanjutkan rencanaku ke Jakarta untuk menemui ibu dan
kakakku yang tinggal di Depok.
Aku bilang pada mereka aku ingin sekali kuliah di
ibukota, karena menurutku peluang mendapatkan pekerjaan
di sana akan lebih besar daripada di Purwokerto. Syukur-
syukur kalau aku bisa masuk UI, aku ingin sekali merasakan
kuliah di kampus terbaik negeri ini. Aku minta kakakku
menemaniku ke beberapa universitas di Jakarta, baik negeri
maupun swasta. Sialnya waktu pendaftaran masuk UI sudah
lewat, ujian SPMB nasional juga sudah lewat, dan saat ujian
SPMB itu aku diterima di UNSOED Purwokerto atas paksaan
ayahku. Namun, aku bersikeras tidak mau kuliah di
Purwokerto, jadilah aku mendaftar di UI college yang
bernama Politeknik Negeri Jakarta. Dulu PNJ merupakan
bagian dari kampus UI yang kemudian berdiri sendiri, seperti
perguruan tinggi negeri binaan UI programnya adalah
36. 28
Diploma yaitu D3 dan D4 (setara S1). Ada jurusan yang baru
dibuka saat itu tahun 2007, namanya “Manajemen
Konstruksi” di bawah naungan departemen teknik sipil dan
merupakan program khusus Dual Degree (kuliah 3 tahun di
PNJ lalu dilanjutkan 1 tahun di London dan pulang
mendapatkan 2 ijazah D3 dan S1). Program itu baru dibuka
dan hanya menerima kuota mahasiswa sebanyak 23
mahasiswa/i. Persyaratannya cukup ketat, seperti nilai bahasa
Inggris di UAN harus minimal 7,00 dsb. Alhamdullilah saat itu
aku lulus tes, masuk urutan ke-22 dan aku memaksa ayahku
untuk membayarkan uang kuliahku di semester pertama
terlebih dahulu, setelah itu aku akan cari kerja untuk biaya
kuliahku selanjutnya. Namun, ayahku bersikeras menyuruhku
untuk registrasi ulang di UNSOED dan kuliah di Purwokerto
saja. Jika tidak, silahkan aku membiayai kuliahku sendiri.
Meski ayahku tidak membiayai kuliahku, aku tidak mau
pulang! Aku tetap tinggal di Depok sampai ayahku mau
membiayai kuliahku di Depok. Aku bilang pada ibu dan
kakakku ingin kuliah di sini, kalau kalian tidak ada uang aku
bisa bekerja untuk membiayai kuliahku sendiri, tapi ibuku
37. 29
melarangku bekerja. Ibuku bilang kakakku akan menabung
dan akan menguliahkan aku.
Pada akhirnya 2 tahun berlalu dan aku tetap belum bisa
kuliah karena di tahun 2008 kakakku mendapat masalah
dengan rekan kerjanya sampai mengalami kecelakaan dan
memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerjanya.
Uang tabungan pun habis untuk menghidupi orang satu
rumah dan saat itu kakakku hanya kerja serabutan yang
pendapatannya tidak tentu. Aku ingin sekali bekerja, tetapi
ibuku selalu melarangku. Sampai akhirnya aku memutuskan
untuk pulang ke rumah ayahku. Bukan, aku kembali bukan
untuk menyerah. Sebelum aku pulang ke rumah ayahku, aku
mampir dulu main ke rumah saudara, menginap di kosan
saudara sepupuku. Bahkan terkadang aku ikut teman ke
kampus dan sit in jadi mahasiswa illegal karena aku sangat
ingin tahu kehidupan para mahasiswa/i.
Aku pulang ke rumah untuk kembali bernegosiasi
dengan ayahku, ini sudah 2 tahun dari hari kelulusan SMAku.
Aku yakin pasti tabungan ayahku sudah bertambah
38. 30
walaupun sedikit. Aku minta ayahku memberiku jatah uang
tiap bulan untuk kuliah atau sekedar untuk hidup di luar kota,
jika tidak aku akan terus menumpang hidup di rumah
saudara-saudara sampai ayahku malu. Kemudian berhasillah
aku membujuk ayahku untuk mengijinkanku berkuliah di
kota besar dengan budget tertentu. Jika uang kuliah dan
biaya hidup melebihi budget yang diberikan ayahku, maka
aku harus mengurusnya sendiri. Oke, aku bersiap untuk
perang agar dapat meraih impianku kuliah di Universitas
Indonesia!
Hari di saat aku akan mengikuti ujian masuk universitas
secara nasional yang sudah berganti nama menjadi SNMPTN
tahun 2009 adalah H – sebulan. Jadi, persiapanku untuk
belajar hanya satu bulan. Aku sudah dua tahun tidak belajar.
Aku sudah lupa semua rumus-rumus fisika dan kimia yang
dulu aku pelajari saat SMA. Waktunya tidak memungkinkan
karena passing grade UI sangat tinggi. Sepertinya mustahil
untuk bisa diterima di kampus ini, tapi karena ini adalah
impianku aku akan berusaha keras! Aku ubah strategi, cari
jurusan yang tidak banyak rumusnya! Oke aku coba jurusan
39. 31
IPS dan Bahasa. Aku coba saja pilihan pertama di peringkat
yang tinggi yaitu jurusan management fakultas ekonomi
dengan passing grade tahun lalu 835 dan pilihan terakhir
jurusan Bahasa yang passing gradenya tidak setinggi FE.
Karena tidak ada bahasa tertentu yang aku minati aku pilih
saja jurusan baru yang berdasarkan survey bagus peluang
kerjanya. Lulusan prodi ini akan banyak dibutuhkan oleh
perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia dan karena
posisi negaranya yang berada di sebelah Jepang, maka aku
memutuskan untuk memilih jurusan Bahasa dan Kebudayaan
Korea, yah siapa tahu ada kesempatan ke Korea lalu bisa
nyebrang dikit ke Jepang deh hehe..
Manusia hanya bisa berencana, tetapi tetap Allah yang
menentukan. Sedari SMA ingin kuliah di jurusan Teknik
Kimia. Namun, apa daya ternyata takdirku untuk berkuliah di
UI dengan jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea.
Alhamdullilah sekali aku bisa diterima di kampus yang
merupakan impian banyak orang yaitu UI. Namun, masalah
tidak berakhir di situ saja. Untuk dapat berkuliah di UI aku
harus membayar biaya kuliah yang tidak murah. Saat
40. 32
pertama diterima aku harus registrasi ulang secara online
dan memilih cara pembayaran uang kuliah (DPP & SPP). Pada
layar tersedia tiga pilihan pembayaran: bayar tunai lunas,
bayar tunai dicicil, atau cara pembayaran BOPB (dana
bantuan yang disesuaikan) secara dicicil. Secara otomatis
tanpa pikir panjang aku langsung memilih pilihan ketiga, aku
“klik” dan muncul persyaratan yang harus dipenuhi dalam
waktu dua minggu. Ada lembar essay yang harus aku isi dan
ditulis tangan, isi essay harus menceritakan kondisi
permasalahan ekonomi keluarga yang memberatkan
mahasiswa untuk membayar uang kuliah secara penuh
sehingga pihak kampus dapat mengerti dan memutuskan
berapa besaran biaya yang sanggup ditanggung oleh
keluarga mahasiswa/i. Alhamdullilah sekali, Allah emang baik
banget. Aku akhirnya bisa kuliah di UI hanya dengan
membayar SPP tidak sampai Rp 1.500.000/semester. Biaya
kuliahku sama dengan kuliah di UNSOED sehingga ayahku
sanggup untuk menguliahkan aku di UI.
Ceritaku tidak berakhir sampai di sini ya kawan-kawan.
Aku akan menceritakan suka duka kisah kehidupan
41. 33
kampusku yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan
semasa masih duduk di bangku SMA. Saat diterima di UI
kampus idamanku, aku berkata pada diriku sendiri: “aku akan
sukses! Aku akan memulai masa depanku yang cerah, itu
semua dimulai dari sini. Ini adalah jalanku. Ini adalah langkah
awalku menuju kesuksesan yang dapat merubah nasibku
sendiri dan juga mengangkat derajat keluargaku. Aku akan
dapat membanggakan orang tuaku di mata kerabat,
tetangga, dan orang lain di luar sana. Aku berjanji tidak akan
menyia-nyiakan peluang yang bagus selama di kampus dan
semoga cita-citaku pergi ke luar negeri dapat terwujud
semasa kuliah. Ini kampus terbaik negeri ini, masa iya aku gak
bisa dapetin beasiswa atau kesempatan ke luar negeri? Kan
kampusnya dekat Ibukota dan banyak orang asing yang bisa
jadi koneksi di sini, aku yakin aku pasti jadi orang sukses
kelak!” ujarku pada diri sendiri.
Aku bertekad sangat kuat saat itu! Semua kegiatan yang
bersifat positif seperti mengikuti UKM dan organisasi-
organisasi kampus dari mulai tingkat jurusan, fakultas,
sampai tingkat universitas aku ikuti. Aku berusaha sebaik
42. 34
mungkin di bidang akademik maupun kegiatan non-
akademik atau kegiatan bersosialisasi lainnya, seperti hanya
sekedar nongkrong dan mengobrol dengan teman atau
orang asing di kantin. Itu tidak mudah, kuliah yang sulit serta
tugas yang menumpuk membuatku sebagai mahasiswa
harus benar-benar pintar membagi waktu agar semua bisa
dilakukan dan tidak mengganggu prestasi akademikku. Aku
ingat sekali kata-kata yang diucapkan oleh Rayi-RAN
(penyanyi terkenal alumni kampus kami), “ilmu itu tidak
hanya didapatkan dari kelas dan kegiatan formal di kampus,
tapi seringkali kita mendapatkan ilmu dari orang lain di luar
kelas, seperti di kantin kampus,” pesan Rayi kepada semua
MaBa. Yah kata-kata itu sangat menginspirasiku, ilmu yang
kita dapat di kampus tidak 100% dapat kita serap. Dan saat
kita bekerja nanti kerjaan kita tidak selalu sama dengan
bidang yang kita pelajari di kampus, tapi tahukah kawan…
Bahwa kampus adalah tempatnya orang-orang besar
bermunculan, tempatnya orang-orang cerdas berkumpul
dan bertukar pikiran, tempat dimana banyak peluang dari
mulai persahabatan sampai koneksi pekerjaan. Jika mau
43. 35
sukses dekatilah orang-orang yang telah sukses dan curi
ilmunya, setidaknya kita dapat mengcopynya pada diri kita.
Perjuanganku baru dimulai saat aku masuk kuliah. Aku
baru merasakan yang namanya harus membagi waktu,
belajar mengatur dan membedakan mana tanggung jawab
dan mana kewajiban, mana juga hak dan mana peluang. Di
kampus, aku banyak belajar, berjuang untuk lulus tepat
waktu dengan gelar caumlaude. Bahkan, saat aku merasa
terjun ke dalam jurang karena memilih jurusan yang tidak
sesuai dengan bidangku, aku belajar mati-matian untuk
menghafalkan kosakata asing yang bukan bakatku. Aku tidak
pandai bahasa asing, aku anak IPA, otakku lebih cepat
menangkap rumus dan penerapannya dibandingkan ilmu
sosial atau bahasa. Dari kecil sampai lulus SMA aku dapat
lulus dengan mudahnya tanpa harus belajar, tapi di kampus
aku harus belajar mati-matian di perpustakaan sampai
malam. Begadang mengerjakan tugas setiap hari sabtu dan
minggu juga hanya agar dapat lulus ujian bahasa agar tidak
mengulang tahun depan. Aku belajar banyak hal di kampus,
mengenal banyak orang dari yang sangat polos dan baik,
44. 36
sampai yang sangat jahat dan bertindak licik demi tujuannya
agar tercapai. Semua itu adalah proses menuju kehidupan
yang sebenarnya agar saat aku terjun ke masyarakat aku
tidak terkejut lagi akan kekejaman dunia ini.
Berita baiknya, target yang kukatakan di awal kuliah
dapat aku raih lebih cepat dari perkiraanku. Jalan menuju
kesuksesanku terbuka lebar sejak aku berkuliah di UI. Tak
disangka keinginanku dapat pergi ke luar negeri semasa
masih berkuliah dapat terwujud. Di akhir semester pertama
tahun 2009 aku terpilih sebagai salah satu delegasi,
perwakilan dari teater mahasiswa Indonesia untuk turut
tampil di pementasan teater Singapura. Mulai semester tiga
aku sudah bisa mencari uang sendiri dari mengajar. Dua kali
mendapat kesempatan makan malam bersama Duta Besar
Korea untuk Indonesia di kediaman Beliau di Jakarta. Tahun
2012 dapat pergi untuk bekerja (magang) di Pulau Dewata
yang sedari sekolah sudah aku impikan. Di tahun yang sama
setelah pulang dari Bali aku dapat pergi ke Korea dengan
usahaku sendiri (memanfaatkan peluang dan koneksi yang
ada, jalan-jalan dengan budget minim hasil mengajar selama
45. 37
kuliah). Bertemu dengan orang-orang tenar, yah maklum
banyak artis yang kuliah di UI. Bahkan, pejabat juga banyak
yang merupakan alumni UI, seperti: Sri Mulyani, Jajang C.
Noer, Okky Setiana Dewi, Kukuh Adirizky, Dian Sastro
Wardoyo, dan masih banyak lagi. Sudah dapat membeli
motor sendiri dan mendapatkan pekerjaan yang bagus
sebelum lulus kuliah. Banyak kesempatan emas yang dapat
aku raih karena berkuliah. Kampus adalah gudangnya ilmu,
baik yg formal (akademik) maupun yang non formal (non-
akademik).
Kebetulan di kampus ku banyak orang asing (bule) jadi
aku dapat melebarkan sayap lebih luas, koneksiku lebih
banyak dari kebanyakan orang, sehingga rejekiku pun
alhamdullilah lebih lancar. Ini bukan sekedar “berkuliah di
kampus ternama atau terbaik di Indonesia.” Aku bicara
tentang masa depan, “ini adalah tentang aku belajar,
berjuang, dan meraih mimpi.” Jangan percaya pada kata-kata
“kalau mimpi jangan tinggi-tinggi, nanti kalau gak
kesampaian jatuhnya sakit.” Aku lebih percaya pada kata-
kata dan cara berpikirku sendiri, “bermimpilah setinggi
46. 38
mungkin bahkan melebihi atmosfir karena jika mimpimu
tidak kau capai setidaknya kamu sudah berjuang dan sampai
pada titik yang tinggi,” maksudnya apa? Gampangnya gini:
“jika kau terbang tinggi dan tak kau capai bulan, setidaknya
kau sudah melampaui awan.” Awan tinggi gak? Tinggi kan?
Kalau masih belum juga paham gini deh dibuat lebih simple,
“kalau mimpi jadi presiden gak tercapai setidaknya kau bisa
jadi menteri, kalau mimpi jadi dokter setidaknya bisa jadi
perawat, sekarang paham kan? Perjuangan itu tidak ada yang
mudah, pasti berat, tapi hasilnya pasti berbuah manis. Allah
sangat menyukai orang yang mau berusaha merubah nasib
daripada orang yang hanya meratapi nasibnya. Ayo
persiapkan dirimu untuk masa depan lebih baik!
*Penulis merupakan alumni SMA Bruderan Purwokerto.
47. 39
Idealisme Kurang Bumbu
Astiawan Handi Pradana | Sekolah Tinggi Akuntani Negara
----------------------------------------------------------------------------
ahun terakhir di SMA itu ibarat dua sisi mata uang. Di
satu sisi, kita ingin menikmatinya karena merupakan
akhir dari masa-masa yang “katanya” paling indah, namun di
sisi lain datanglah sederetan cobaan di dalamnya. Selain
tentunya ujian, perubahan sikap teman-teman kita pun jadi
cobaan tersendiri. Mereka yang tadinya langsung cabut saat
kita ajak nongkrong, sekarang punya jawaban, “Nyong arep
sinau, demi kuliah neng ITB” artinya “Aku mau belajar, demi
kuliah di ITB”. Obrolan di sekolah juga bukan lagi tentang
Manchester United yang dibantai oleh Liverpool atau
Liverpool yang dibantai Queens Park Ranger tapi tentang UN
lah, SNMPTN lah, apalagi sampai ada yang ngobrolin tentang
ospek. Yah, begitulah. Jujur saja, saya bukanlah siswa
berprestasi di sekolah, bahkan saya termasuk deretan
peringkat 10 besar terbawah di kelas. Jadi, di saat teman-
T
48. 40
teman lain mulai ngobrolin tentang hal-hal yang berbau
dunia perkuliahan, saya tidak tertarik. Sayangnya sedikit
sekali orang-orang seperti saya di sekolah ini, semuanya
mainstream.
Tibalah saatnya untuk memilih 4 jurusan di dua
universitas negeri yang ingin kita masuki melalui jalur
undangan atau SNMPTN. Pada masa itu, SNMPTN
menggunakan nilai rapor dari semester satu sampai lima.
Tahu sendiri lah bagaimana nilai saya, rendah dan tidak
stabil. Kadang peringkat 10 terbawah, kadang peringkat 4
terbawah, terus naik lagi ke peringkat 6 terbawah. Sungguh
bervariasi. Tapi, di saat seperti ini, saya bingung dan galau.
Wawasan saya mengenai dunia universitas sangat sempit.
Apalagi tentang prospek kerjanya. Saya juga tidak tahu cita-
cita sendiri, mau jadi apa di masa depan, benar-benar tidak
tahu. Satu jam sebelum mendaftar, saya searching mengenai
dunia universitas dan akhirnya menjatuhkan pilihan pada
Geologi dan Statistika UGM, kemudian Teknik Elektro dan
Statistika Undip. Empat pilihan yang bisa dibilang dipilih
secara spontan.
49. 41
Dan hasilnya mudah ditebak. Saya tidak lolos.
Sedangkan teman-teman lain yang sudah belajar lebih keras
dan merencanakan dengan baik masa depannya mulai
menapaki kampus impian mereka. Saya kecewa dan sedih.
Pertama, karena belum diterima dimanapun dan menjadi
pengangguran karena sudah tidak lagi terdaftar sebagai
murid SMA. Ngomong-ngomong, hasil Ujian Nasional
menempatkan saya di peringkat 8 terbawah di kelas. Oke,
lanjut ke alasan kekecewaan dan kesedihan saya yang kedua
adalah saya harus belajar dan membuka buku lagi untuk
mengikuti SBMPTN atau tes masuk perguruan tinggi negeri
secara tertulis. Di saat teman-teman lain yang telah lolos
mulai merencanakan traveling, hiking, snorkeling, doing
nothing, dan sleeping all day long, saya malah masih
berkutat dengan buku. Malu dan rikuh (tidak enak) pada
orang tua kalau sampai jadi pengangguran karena tidak
diterima di kampus mana pun. Untungnya saya masih punya
kesadaran itu dan mulai belajar demi masa depan.
Saya benar-benar direpotkan oleh SBMPTN, saya harus
belajar dari awal karena sudah lupa dengan sebagian besar
50. 42
materi pelajaran. Optimisme yang berlebihan di jalur
undangan ternyata berbuah petaka. Karena merasa bakal
diterime, saya tidak pernah belajar, berangkat les pun tidak
pernah. Padahal sudah didaftarkan dan dibiayai oleh orang
tua. Apalagi soal-soal di SBMPTN itu bukan soal-soal dasar,
tapi sudah satu sampai tiga level di atasnya. Saat itu saya
benar-benar stress. Pikiran saya benar-benar lurus, semua
hobi dan kesenangan ditinggalkan, belajar siang malam demi
PTN idaman.
∞
Manusia memang dianugerahi akal untuk membuat
rencana, tapi tetap saja Tuhan yang menentukan. Lagi-lagi
rencana saya untuk berkuliah di UGM ataupun Undip tidak
diridhoi. Rasa kecewa dan sedih kali ini jauh lebih dalam
daripada saat pengumuman jalur undangan karena saya
merasa sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi saya mau
menyalahkan siapa? Jelas-jelas ini kesalahan saya yang
kurang mempersiapkan semuanya dengan baik. Baru mau
belajar setelah gagal, tetapi memilih universitas yang muluk-
muluk. Gak tau diri! Tanggapan orang tua pada saat itu
51. 43
sangat dingin. Mereka diam, tidak berkomentar apa pun.
Pastilah mereka kecewa dengan anaknya yang satu ini.
Mereka sudah menyarankan untuk memilih Unsoed yang
selain dekat dengan rumah, universitas ini juga menunjukan
kemajuan yang pesat beberapa tahun terakhir. Tapi saya
dengan keras kepala menolak saran tersebut dengan alasan
bosan di Purwokerto terus. Hasilnya ya seperti ini. Bingung
dan menyesali diri sendiri.
Walaupun sebenarnya masih ada kesempatan di
UMBPTN (Ujian Mandiri Bersama Perguruan Tinggi Negeri),
tapi saya rasa ikut UMBPTN hanya akan buang-buang waktu,
pikiran, dan tenaga karena sudah merasa gagal duluan. Di
saat keadaan saya lagi kalangkabut, seorang teman
menyarankan buat mulai melirik perguruan tinggi swasta.
Saran itu saya pertimbangkan. Terus ada temen lain bernama
Laila yang menyarankan buat ikut tes-tes masuk perguruan
tinggi ikatan dinas. Bahkan dia sampai mencarikan mana-
mana saja perguruan tinggi ikatan dinas yang masih
membuka pendaftaran. Saya merasa benar-benar dikasihani,
mereka ikut memikirkan dan terus memberi suntikan
52. 44
motivasi, meminjami buku-buku, bahkan ikut mencari info
tentang perguruan tinggi yang cocok buat saya. Yang paling
ngena adalah kalimat singkat yang terlontar dari mulut Nova
Ristiana, teman kelase saya yang berbunyi, “Keep kalem bro,
usaha keras tidak akan berkhianat”. Pas banget sama gejolak
di hati saya yang merasa usaha keras selama ini sia-sia.
Setidaknya, saya jadi punya keyakinan bahwa usaha keras
beberapa bulan terakhir, meskipun hasilnya nihil di SBMPTN,
tapi bisa jadi mengantarkan saya ke tempat yang lain. Ya,
saya mulai semangat kembali. Pokoknya saat itu
ungkapan “Sahabat bukan mereka yang menghampirimu
ketika butuh, namun mereka yang tetap bersamamu ketika
seluruh dunia menjauh” terasa relevan. Orang tua pun yang
meskipun diam saya yakin mereka masih selalu mendoakan,
dan yang paling penting, saya masih diberi asupan gizi setiap
hari agar bisa berpikir jernih.
∞
Pilihan telah dijatuhkan. Saya memilih buat mendaftar
Ujian Saringan Masuk (USM) STAN. Sebuah sekolah ikatan
dinas di bawah Kementerian Keuangan yang sejak saya SMP
53. 45
sudah diidam-idamkan oleh orang tua. Setelah orang tua
tahu kalau STAN masih membuka pendaftaran, tanpa ragu
lagi mereka langsung memberi instruksi untuk mendaftar. Di
USM STAN ini, ada secercah harapan dimana materi yang
diujikan hanya Tes Potensi Akademik, Bahasa Inggris, dan
Bahasa Indonesia. Di sana tidak ada fisika, kimia, dan biologi.
Ya, orang tua menyarankan ikut USM STAN itu bukan
semata-mata nafsu mereka ingin anaknya masuk ke STAN.
Tapi karena mereka tahu betul kalau saya lemah di Fisika dan
Kimia. Dua mata pelajaran itu juga yang sering jadi kambing
hitam atas kegagalan di SNMPTN dan SBMPTN. Tapi
memang benar sih, saya merasa payah di dua mata pelajaran
itu. Jadi ceritanya, saya itu korban salah jurusan, ingin masuk
jurusan IPS malah dimasukan ke IPA. Tapi ora papa, ini
kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. STAN
meskipun singkatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara,
tetapi bukan berarti hanya dapat dimasuki oleh anak dengan
jurusan IPS karena sama sekali tidak melihat latar belakang
jurusan sebelumnya. Ya, inilah kesempatan saya.
54. 46
Keputusan saya sudah bulat untuk mengikuti Ujian
Saringan Masuk (USM) STAN. Jadi saya harus bekerja keras
buat itu. Tapi, ada yang berbeda dengan atmosfer belajar
saya kali ini. Rasanya sekarang lebih santai dan tidak terlalu
sulit. Tinggal mengerjakan buku-buku latihan soal yang
dipinjami Nova dan Aldy. Tidak perlu lagi belajar dari nol
karena hasil belajar SBMPTN masih membekas. USM STAN
juga membuat saya jadi rajin ibadah dan berdoa. Mungkin
Allah memberi rangkaian kegagalan agar saya jadi lebih
dekat dengan-Nya.
Singkat cerita saya akhirnya menjalani ujian tulis USM
STAN. Ternyata ujiannya tidak sesulit SBMPTN. Meski begitu
saya masih pesimis karena ada sekitar 90.000 pendaftar
sedangkan yang nantinya lolos hanya sekitar 5.000 orang.
Saya tahu diri saja lah. Tidak terlalu berharap meski doa tidak
pernah terputus. Sekarang, lebih baik saya jalan-jalan keliling
desa untuk menyegarkan otak. Ngomong-ngomong, saya
tinggal di sebuah desa bernama Lesmana, yang masuk dalam
daerah administratif Ajibarang. Sekitar 15 km dari pusat Kota
Purwokerto. Kadang-kadang saya memang suka iseng jalan-
55. 47
jalan keliling desa hanya untuk menghirup-hembuskan udara
pagi, menyentuh embun di dedaunan, dan menyapa warga
desa dengan segala aktivitas paginya. Tapi jangan salah
sangka ya, saya bukan calon kepala desa menjelang pilkades
yang sedang melakukan pencitraan untuk mengambil hati
masyarakat. Bukan.
Di tengah perjalanan, saya berhenti di jalan setapak
diantara tanah-tanah yang tidak terawat. Isinya hanya
rumput, semak-semak, dan beberapa pohon buah yang
jarang berbuah. Tanah-tanah ini milik orang kaya di desa ini.
Mereka memiliki kebun luas mung nggo duwe-duwe.
Barangkali mereka membeli kebun hanya untuk menyimpan
uang mereka. Daripada disimpan di bank dan terkena biaya
administrasi setiap bulan lebih baik uangnya dipakai untuk
membeli tanah dan jika suatu saat butuh tinggal dijual saja
tanahnya. Sah-sah saja sih hal seperti itu. Tapi mbok ya lebih
baik jika tanahnya jangan dibiarkan terbengkalai dan tidak
produktif sama sekali. Jika tanahnya produktif bukan hanya
sang pemilik tanah yang diuntungkan melainkan juga
masyarakat sekitar. Yang tadinya menganggur, bisa saja
56. 48
dipekerjakan sebagai buruh tanam. Penjual bibit semakin
untung. Pedagang buah tak perlu jauh-jauh mencari barang
jualannya. Lingkungan pun menjadi lebih hijau dan tidak
gersang. Pokoknya banyak sekali faedahnya jika semua tanah
kosong dimanfaatkan dengan bijak. Atas dasar itu, sebagai
anak yang dibesarkan di lingkungan pedesaan, tiba-tiba
terbesit pikiran “Oya, kenapa saya gak jadi petani aja ya, lebih
tepatnya petani modern. Menanam banyak bibit,
mempekerjakan banyak orang, panen berlimpah, dan
memakmurkan desa ini.” Hemm ujare gampang ya mas. Tapi
apa salahnya punya impian wong Bung Karno saja pernah
bilang, “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh,
engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”
Saya lantas pergi ke rumah eyang untuk meminjam
cangkul dan peralatan bertani lainnya. Kemudian memakai
sepatu boot dan mengolesi tubuh dengan lotion anti
nyamuk. Yap, petani masa depan siap beraksi. Kebetulan ada
tanah milik eyang yang belum digarap jadi bisa saya pakai
untuk mencari jam terbang di dunia pertanian. Ditemani
alunan musik karya John Coltrane dan Miles Davis tangan ini
57. 49
mulai memainkan cangkul, menghujam tanah musim hujan
yang gembur dan sedikit basah. Ternyata tidak mudah
menjadi petani. Baru berapa kali ayunan tangan ini langsung
pegal-pegal. Tapi saya menikmatinya, menikmati setiap
keringat yang mentes karena kerja keras. Yah, semoga ada
manfaatnya.
Setiap hari begitulah kegiatan saya. Berangkat ke
ladang, mencabuti rumput liar, dan kembali menyangkul. Kali
ini prosesnya memasuki tahap penanaman bibit. Ngomong-
ngomong saya mau menanam munthul, atau bisa disebut ubi
manis. Kalau lelah biasanya saya duduk-duduk di bawah
pohon buah klesem yang rindang sembari menyantap
sandwich buatan mama. Dalam kedaan lelah itu tiba-tiba
terpikir, “Kalau gini apa bedanya saya sama petani-petani
lainnya ya, apanya yang petani modern kalau sama-sama
kelelahan”. Saya sadar dalam melakukan sesuatu itu harus
didasari oleh ilmu. Jika ingin jadi petani modern, otomatis
kita harus mengacu pada ilmu pertanian yang terkini dan
terhangat. Ilmu bertani konvensional yang diajarkan eyang
masih belum cukup jika cita-cita saya adalah petani modern
58. 50
masa depan yang dielu-elukan masyarakat. Saat itu lah tiba-
tiba saya terpikir buat mendaftar di Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Soedirman. Kebetulan Unsoed masih
membuka jalur mandiri dan kuota untuk Fakultas Pertanian
tampaknya masih banyak. Setelah koordinasi dengan orang
tua, akhirnya saya mendaftarkan diri dan mengikuti ujian
mandiri di Fakultas Pertanian jurusan Agroteknologi.
∞
Alhamdulillahirabbil’alamin. Akhirnya ada juga
Universitas yang mau menerima saya apa adanya. Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal
Soedirman. Ah saya bangga sekali bisa masuk ke sini.
Padahal dulunya saya selalu memandang sebelah mata
kampus ini. Menganggap bahwa kuliah di luar kota jauh lebih
baik dari segi kualitas maupun pergaulan. Opini saya
berubah ketika ternyata banyak sekali mahasiswa dari luar
kota yang sangat berharap bisa diterima di kampus ini.
Sebagai putra daerah dan sekarang menjadi bagian dari
kampus ini, saya harusnya bersyukur dan tidak boleh hanya
berpikir kampus ini mau menjadikan aku apa. Tapi
59. 51
sebaliknya, apa yang bisa aku lakukan untuk kampus ini.
Lagipula, Unsoed mulai menunjukan taringnya beberapa
tahun terakhir, dan saya ingin mengasah taring tersebut
untuk menunjukan wibawanya di mata dunia.
Hari-hari di Unsoed semakin hari semakin
menyenangkan. Apalagi setelah saya bergabung dengan
Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Pertanian. Meskipun belum
menjadi anggota resmi, tapi saya sudah biasa nongkrong-
nongkrong di sekretariat mapala. Sering juga diajari
menggunakan peralatan seperti seat harnest, carabiner,
descender, dinding panjat tebing, dan sebagainya. Dan yang
paling penting adalah teman saya bertambah banyak.
Sebagai calon petani modern yang memegang harapan
masyarakat, saya harus memperbanyak relasi. Toh dengan
adanya mereka saat ini, saya jadi semakin betah dan
menjalani hari-hari di kampus dengan tanpa kebosanan.
Lagi seru-serunya di kampus baru, sebuah kabar tak
terduga datang dari STAN. Secara mengejutkan saya lolos tes
tulis dan melaju ke tahap selanjutnya yaitu tes wawancara
dan tes fisik. Kejutan berlanjut, satu bulan kemudian saya
60. 52
berhasil menaklukan kedua tes tersebut. Saya baru saja
menyingkirkan 85.000 peserta lain. Saat orang tua tahu, saya
langsung dipeluk sama mama. Ekspresi gembira terpancar
dari keduanya. Tapi bukannya sujud syukur saya malah
bengong kebingungan kemudian merasakan haru yang luar
biasa.
Meskipun saya sangat bersyukur bisa lolos USM STAN,
sejujurnya saya belum mengambil keputusan apakah akan
pindah ke STAN atau tetap di Faperta tercinta ini. Saya sudah
terlanjur betah. Sudah terlanjur banyak impian yang tergagas
setelah saya masuk ke kampus ini. Mungkin bergabung
dengan STAN memberikan jaminan pekerjaan di masa
depan, tapi benarkah saya mencintai pekerjaan tersebut?
Kalau bertani sudah jelas saya sangat tertarik dan mencintai
pekerjaan sebagai petani. Ah lagi-lagi ada pergolakan di hati
saya. Tidak diterima dimanapun bingung, sekarang diterima
di dua kampus ternyata lebih bingung lagi.
Orang tua yang dari saya SMP sudah mendambakan
anaknya bisa masuk STAN, ternyata masih konsisten dengan
cita-cita mereka. Mereka berharap saya memilih STAN.
61. 53
Karena selain masa depan yang sudah hampir terjamin,
berkuliah di sana juga meringankan beban mereka karena
gratis. Bahkan diberi uang saku setiap bulan. “Masalah
pekerjaan di masa depan bakal menyenangkan atau tidak,
tergantung seberapa besar rasa syukur kita”, begitu kata
bokap. Masuk akal juga sih. Lagipula saya sudah pernah tidak
menuruti kata orang tua, dan akhirnya terseok-seok sendiri.
Bisa jadi idealisme saya memang belum cukup penopang,
idealisme yang terbentuk tanpa ilmu yang cukup. Berbeda
dengan idealisme orang tua yang mungkin sudah dicampur-
adukan dengan segudang pengalaman dan sedikit realitas.
Tapi bukan berarti anak muda tidak boleh beridealisme ya,
maksud saya, idealisme anak muda juga harus dibumbui
nasehat orang tua.
Okelah, kali ini saya coba menahan hasrat pribadi dan
mencoba merevisi lagi rencana-rencana jangka panjang
yang telah disusun. Sembari terbayang kembali betapa
gembiranya orang tua ketika mereka tau saya lolos, saya
akhirnya memutuskan untuk memilih STAN. Besoknya saya
langsung menemui teman-teman di kampus untuk
62. 54
berpamitan. Sedih sih meninggalkan kampus hijau beserta
isi-isinya, tapi untuk sukses, terkadang seseorang harus
berani meninggalkan zona nyamannya. Setelah itu berharap
zona nyaman baru segera menyusul.
∞
Ya, begitulah saya beberapa tahun yang lalu. Sekarang,
meskipun saya sudah bergabung dengan keluarga besar
Direktorat Jenderal Pajak, tapi hasil revisi rencana jangka
panjang yang saya buat beberapa tahun lalu masih saya
pegang teguh. Rencananya, saya mau menabung sebagian
gaji untuk modal mendirikan perkebunan, dan yang akan
mengurus segala macam keperluan termasuk teknologi dan
formula-formulanya adalah teman-teman saya sewaktu
masih di Faperta dulu. Meskipun tidak bisa selalu terjun
langsung ke lahan, tapi saya berharap agar bisa berguna bagi
dunia pertanian dan tidak lupa juga perpajakan. Aamiin
*Penulis merupakan mahasiswa STAN angkatan 2013 dan merupakan alumni SMA
Negeri 2 Purwokerto.
63. 55
Sepucuk Kertas Kehidupanku
Dwi Astuti | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
ujuh belas tahun yang lalu, saya lahir disebuah desa kecil
bagian dari Kota Banjarnegara. Desa yang begitu damai,
tentram, dan jauh dari keramaian perkotaan. Kehidupnnya
masih sangat tradisional. Bahkan, akses transportasi umum
pun masih begitu langka. Terlebih, pendidikan bukan
menjadi aspek penting untuk mereka.
Saya lahir dari keluarga yang sederhana. Sebelumnya,
saya tumbuh dalam kondisi keuangan yang berkecukupan.
Namun, semuanya berubah saat saya masih duduk di kelas
empat SD. Usaha ayah saya mengalami kebangkrutan. Dan
kini, ayah saya hanyalah seorang buruh tani. Ibu saya juga
sebagai buruh pembuat genting. Kakak sayapun bekerja
sebagai buruh serabutan.
Mengingat kondisi keluarga saya yang seperti itu, saya
memiliki keinginan yang kuat untuk mengangkat derajat
T
64. 56
mereka. Cita-cita saya sangat sederhana, yakni masuk SMK
terbaik di daerah saya dan segera bekerja untuk
meringankan beban mereka. Tidak pernah terbayangkan saat
itu, saya bisa merasakan duduk dibangku perkuliahan.
Perjalanan saya hingga lulus SMP tidak semulus yang
teman-teman saya rasakan. Karena ekonomi keluarga yang
semakin memburuk, saya pernah menjajakan makanan yang
hasilnya bisa cukup untuk uang saku saya sehari-hari. Saya
juga sudah terbiasa jalan dari sekolah kerumah kurang lebih
1.5 km setiap harinya. Hal itu menjadi perjuangan saya untuk
bisa mendapatkan pendidikan di SMP. Alhamdulillah, berkat
doa dan usaha, saya mendapat beberapa beasiswa yang
cukup bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan saya sampai
lulus.
Setelah lulus SMP, sesuai rencana saya akan mendaftar
ke SMK. Tetapi, ayah saya melarang saya. Keluarga saya
adalah keluarga yang cukup agamis. Teman-teman ayah saya
menyarankan untuk memasukkan saya di SMA islam yang
didirikan oleh yayasan pengajian yang keluarga saya ikuti.
Bagi ayah saya, karakter saya itulah yang paling penting. Buat
65. 57
apa mejadi menteri kalau dia tidak tau agama. Ayah saya
berusaha menempatkan saya dalam lingkungan yang baik.
Dengan risiko yang besar bagi orang tua saya, akhirnya
saya dilepaskan jauh di kota Solo. Keluarga saya bisa dibilang
cuek dengan pendidikan. Saya tidak pernah menuntut
mereka untuk tau apa yang saya pelajari dan apa yang saya
butuhkan. Saya juga tidak marah ketika ayah saya tidak hadir
dalam awwalussanah maupun akhirussanah dan tidak pernah
mengambil nilai-nilai raport saya.
Satu tahun telah berjalan dan tiba saatnya liburan
panjang. Suatu hari, Ibu saya mendekati saya dan
mengatakan "Ndhuk, kalau nanti bapak sudah tidak sanggup
lagi membayar SPP kamu, kamu berhenti sekolah saja ya.
Kamu harus tau kondisi bapak". Spontan saya kaget dan
dalam hati kecil saya menangis. Tapi, saya harus memahami
dan mengiyakan permintaan ibu saya.
Tiba-tiba, mendekati hari masuk awal semester, saya
mendapat telepon dari sekolah. Bahwa saya mendapat
beasiswa alumni sebesar Rp 500.000,00 per bulan.
Sebelumnya, saya memang mendapatkan beasiswa dari
66. 58
sebuah bank, tetapi itu jauh dari kata cukup untuk membayar
kebutuhan bulanan saya. Rasa syukur yang tiada tara selalu
saya ucapkan. Saya semakin yakin bahwa Allah SWT tidak
akan memberikan cobaan yang diluar kemampuannya.
Namun, ditengah perjalanan, saya melakukan kesalahan
besar. Saya "mencontek" saat ujian tengah semester. Saya
tidak tau kenapa saya melakukan itu. Saya menjadi orang
paling bodoh saat itu, karena tidak mampu mengatur diri
sendiri. Akhirnya, saya menyerahkan diri ke BK dan mengakui
semua kesalahan saya. Saya siap menerima hukuman apa
saja. Cemoohan dan cacian itu menjadi hukuman sosial bagi
saya.
Ditengah kehancuran kepercayaan itu, saya berusaha
menciptakan kepercayaan baru. Saya memang sudah
menjadi seperti abu yang tak berguna di mata teman-teman
saya. Mengulang ujian, di-skors dari tim olimpiade dan
sebagainya. Namun, guru pembimbing saya selalu
menguatkan saya "Orang yang baik itu bukanlah orang yang
selalu benar. Tetapi, orang yang baik adalah orang yang
apabila salah langsung mengakui kesalahannya dan kembali
67. 59
ke jalan-Nya".
Ya, semuanya berjalan dengan baik. Saya berhasil
mendapat kepercayaan baru yang bahkan jauh lebih besar
sebelumnya. Tapi, ada satu yang tidak bisa saya kembalikan.
Kepala sekolah saya mengatakan dengan berat hati, bahwa
beasiswa saya tidak bisa diperpanjang. Namun, beliau
mengijinkan saya untuk meminta keringanan pembayaran.
Guru pembimbing saya juga menerima saya kembali
aktif di tim. Beliau juga siap membantu jika saya mendapat
masalah finansial. Saya menggunakan kesempatan ini
dengan sebaik-baiknya. Alhasil, saya dipercaya untuk
mengikuti beberapa event di perguruan tinggi. Dan berhasil
mengharumkan nama sekolah di dua event terakhir. Dan dari
situlah saya tertarik untuk kuliah. Saya mulai mengerti dan
memahami artinya pendidikan dari pengalaman-
pengalaman itu.
Guru, teman, bahkan Kepala Sekolah sangat mendukung
saya untuk kuliah, walaupun orang tua saya tidak
mengijinkan kerena masalah biaya. Saya berjanji kepada
mereka kalau saya bisa mendapatkan beasiswa untuk biaya
68. 60
kuliah nanti. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang
orang tua saya miliki, membuat saya kesulitan untuk
meyakinkan kepada mereka bahwa kuliah adalah hak untuk
semua orang.
Saya beranikan diri mendaftar lewat SNMPTN, walaupun
tidak sepenuhnya diijinkan oleh orang tua saya. Saat banyak
yang tau saya memilih ITB sebagai perguruan tinggi pilihan
saya, banyak orang mencemooh saya. Tidak mungkin saya
diterima disana. Saya tidak memiliki prestasi yang melimpah.
Pesimisme itu akhirnya berhasil mengalahkan rasa optimis
saya.
Setelah Ujian Nasional berakhir, saya ditawari
kesempatan oleh guru pembimbing saya untuk mengikuti les
SBMPTN yang mana biayanya akan ditanggung oleh beliau.
Akhirnya, saya kuatkan hati saya untuk tidak kembali ke
rumah sampai saya benar-benar mendapat kuliah. Rindu
akan kampung halaman pasti ada, tapi saya punya cita-cita
yang harus diperjuangkan.
Karena kekhawatiran saya, sayapun mencoba mendaftar
di sebuah universitas yang menjajikan beasiswa penuh bagi
69. 61
yang lolos seleksi. Dan Alhamdulillah saya lolos. Tetapi,
keraguan itu muncul lagi dalam benak saya. Saya masih
mengharapkan pengumuman SNMPTN itu. Dengan berat
hati, saya mengundurkan diri dari universitas pertama dan
menunggu hingga pengumuman SNMPTN tiba.
Hari-hari saya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
Saya dipinjami buku dari guru dan teman-teman saya untuk
mendukung usaha saya. Hingga ada teman saya yang
mengikhlaskan akun zenius yang ia beli untuk digunakan
oleh saya. Ya, sebuah keberuntungan bagi saya disaat saya
tidak memiliki apa-apa, banyak orang yang mau membantu
saya.
Tanggal 9 Juni pun tiba. Hari yang ditunggu juga paling
ditakuti bagi saya. Sejak pagi hari, pikiran saya menjadi
kacau, waktu pun berasa kian melambat. Hingga tepat pukul
lima, guru BK saya datang keasrama dan mengajak saya
untuk membantu membuka pengumuman SNMPTN untuk
satu sekolah. Dan subhanallah, sebuah keajaiban terjadi, saya
diterima menjadi mahasiswa baru di ITB.
70. 62
Segera saya pulang kampung dan mengatakan kabar
bahagia tersebut kepada mereka. Sempat saya kecewa,
karena orang tua saya malah menyuruh saya merahasiakan
kabar tersebut dari orang lain. Saya tau, karena mereka
khawatir kalau-kalau saya tidak mendapat beasiswa dan
tidak jadi kuliah.
Tetapi dengan keyakinan saya, saya kuatkan diri saya
untuk tetap melanjutkan proses berikutnya. Saya juga harus
menerima saat keluarga saya tidak ada yang mengantarkan
saya ketika daftar ulang tiba. Saya harus menyadari bahwa
kuliah adalah pilihan saya yang harus
dipertanggungjawabkan. Saya berangkat ke Bandung
dengan gambaran masa depan saya yang indah tidak
dengan diantar orang tua saya.
Mungkin, kini saya belum bisa mengajak mereka
mengunjungi kampus ini, tapi saya yakin, suatu saat nanti
kalau sudah tiba waktunya, saya akan mengajak mereka
melihat inilah kampus yang mencerahkan hidup kami. Amiin..
71. 63
Semua orang itu memiliki warna yang berbeda. Namun,
tidak akan menjadi masalah apabila kita bisa menyikapinya
dengan baik. Tidak ada kata tidak mungkin kalau mau
berusaha. "Sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan" (Qs Al-Insyirah : 5).
*penulis merupakan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri ITB angkatan 2015
72. 64
Ibu, Bapak, Izinkan Aku Kuliah
Eka Setianingsih | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
etapa senangnya hati ini ketika menginjakkan kaki di
kelas XII IPA 3, aku merasa sebentar lagi aku akan
menempuh kehidupan baru, kehidupan anak kuliahan.
Dengan berbagai kisah yang menyenangkan tentang
kehidupan anak kuliahan, siapa yang tidak tertarik untuk
segera lulus dan meneruskan ke pergururan tinggi
favoritnya.
Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, “apa
aku bisa kuliah?” pikirku. Bahkan, sebelum aku sempat
menanyakan pada orang tuaku, mereka sudah
mendahuluinya dengan menasehatiku, ”De, mama tahu
kamu ingin kuliah, tapi kamu harus tahu dan mengerti
keadaan orang tua, mama berharap kamu jangan merasa
minder kalau nantinya kamu tidak kuliah dan terpaksa kerja,
tetap semangat, kuliah atau enggak kamu tetep bisa
B
73. 65
bahagiain mama kok”. Air mata ini tidak tertahankan lagi
ketika mendengar kata-kata itu.
Aku merasa hancur disaat semua teman-teman sudah
merencanakan pendidikan masa depannya, lalu bagaimana
nasibku? Apa aku tidak diberi kesempatan untuk
melanjutkan kuliah? Aku sempat marah pada orang tuaku,
aku belum siap terjun ke dunia kerja dan aku masih ingin
merasakan indahnya pendidikan.
Padahal selama di SMA sejak semester satu hingga
semester lima, aku berusaha masuk peringkat tiga besar agar
aku bisa mengikuti tes SNMPTN. Orang tuaku sama sekali
tidak mendukung keinginanku. Aku iri pada orang tua yang
lain, walaupun mereka kondisi ekonominya sama seperti
orang tuaku, namun mereka tetap mendukung dan memberi
semangat pada anaknya agar bisa melanjutkan kuliah.
Setiap kali aku ditanya oleh teman-temanku hendak
melanjutkan kemana, pasti aku hanya bisa menjawab,
”dimana aja si, yang penting bisa membahagiakan orang
tua”. Dengan tersenyum kecil, hanya itu yang bisa aku jawab
karena aku belum punya tujuan yang pasti, ya setidaknya itu
74. 66
merupakan doa yang mudah-mudahan menjadi suatu
kenyataan.
Namun aku tidak pantang menyerah, menjelang UN aku
mengikuti les, bahkan uang untuk membayar les aku
dapatkan dari hasil usahaku berjualan martabak unyil dan
piscok di kelas serta dengan serta menghemat uang sakuku.
Hingga tiba saatnya pendaftaran SNMPTN, aku bingung
memilih universitas. Aku tidak berani memilih univeritas yang
berlabel elit. Mendengar teman-teman memilih ITB, UGM,
UNDIP, UNPAD, UI, membuatku merinding dan aku merasa
sama sekali tidak berhak memilih universitas tersebut
sebagai tujuanku, karena untuk pergi ke tempatnya pun tidak
ada biaya apalagi bayar biaya pendaftarannya. Bapakku
seorang pensiunan biasa yang sudah berumur 70 tahun dan
ibuku adalah ibu rumah tangga. Mereka harus menghidupi
dua orang anak yang sama-sama harus dibiayai
pendidikannya.
Tapi apa salahnya mencoba, dengan mengandalkan
peruntungan saat itu, aku memilih ITB sebagai tujuan
utamaku, dan fakultas teknik sipil dan lingkungan di ITB
75. 67
sebagai jurusan yang akan aku masuki. Aku mendapat info
ada beasiswa bidik misi yang diperuntukan bagi siswa yang
kurang mampu, aku dibantu oleh guru bimbingan
konselingku untuk mendaftarkan diri sebagai calon penerima
beasiswa bidik misi.
Setelah ujian nasional dilaksanakan, orang tuaku
menyuruhku melamar pekerjaan. Mereka terus mendesakku
bekerja dengan memberiku berbagai tumpukan koran yang
berisi info lowongan pekerjaan. Menyebalkan rasanya saat
itu dan aku belum berani mengatakan bahwa aku mendaftar
SMNPTN di ITB. Hingga hari pengumuman kelulusan pun
tiba, dan alhamdulliah, segala puji bagi Allah SWT, aku lulus
dengan nilai yang tidak mengecewakan. Aku senang dan
terharu, namun terharuku mulai bercampur dengan
ketakutanku yang semakin kuat kalau aku akan didorong
oleh orang tuaku untuk bekerja. Setelah pengumuman ini
berarti aku sudah memiliki SKHU yang bisa digunakan untuk
melamar kerja.
Dan benar saja ketika dua hari menjelang perayaan
wisudaku, aku dipaksa melamar pekerjaan di tempat
76. 68
percetakan foto. Benar-benar siang itu aku naik sepeda dan
ke warung membel kertas folio untuk menulis surat lamaran.
Surat lamaran dikirimkan siang hari sebelum pengumuman
hasil SNMPTN. Aku pasrah apapun hasilnya, itu aku anggap
sudah merupakan jalan takdirku, yang jelas aku sudah
berusaha dan berdoa.
Pukul 16.00 wib aku berangkat ke SMA Negeri
Banyumas. Sekolah yang selama tiga tahun merekam semua
kisah putih abu-abuku dan keesokan harinya aku akan
diwisuda, melepas semua kenangan manis dan setiap
tingkah polah kekanak-kanakanku. Sore itu aku latihan
perayaan wisuda untuk esok harinya dan hari ini juga aku
akan membuka web dikti untuk melihat hasil tes SNMPTN ku.
Seorang sahabatku yang bernama Firdha menjerit dan
menangis ketika dia mendapatkan hasilnya bahwa dia di
terima di ITB di jurusan FTTM. Syukurlah, sahabat karibku
akhirnya mendapatkan apa yang ia cita-citakan.
Lalu, apakah aku masih bisa bersama firdha lagi pikirku.
Dengan hati ragu dan perasaan pasrah aku membuka
pengumumannya. Aku mendapati sebuah tulisan sederhana
77. 69
yang begitu istimewanya hingga aku meneteskan air mata.
Ini dia kata-kata yang membawaku berada pada jalan yang
aku cita-citakan, “atas nama Eka Setianingsih dinyatakan
lulus SNMPTN ITB jurusan FTSL,” begitulah kurang lebihnya.
Sujud syukur bagi Allah SWT yang telah mengabulkan
keinginanku.
Aku langsung menghubungi mamahku dan mengatakan
aku lolos seleksi, beliau menangis dan memintaku segera
pulang. Sesampainya di rumah aku dipeluk, dan diberi
ucapan selamat. Namun, kebahagiaan itu sempat terhenti
ketika bapakku bertanya bagaimana caranya membiayaiku
kuliah di ITB ? Aku pun menjelaskan kalau aku mengikuti
besiswa bidik misi yang artinya orang tuaku tidak perlu
mengeluarkan biaya sepeserpun untuk membayar uang
kuliahku dan kehidupanku selama aku kuliah nanti.
Menyebalkan memang, bapakku masih tidak
mengijinkan aku kuliah, apalagi sampai kuliah di Bandung.
Katanya jauh dengan orang tua sangat berisiko. Aku
mencoba berbagai cara untuk meyakinkan bapakku, dibantu
dengan mamahku yang mendinginkan suasana.
78. 70
Hingga aku meminta bantuan pada seorang mahasiswa
ITB yang juga merupakan tetanggaku untuk meyakinkan
bapakku kalau semua tidak seburuk yang ia pikirkan. Hingga
akhirnya bapak luluh dan mengijinkan aku kuliah. Sebagai
calon penerima beasiswa bidik misi, aku harus mengikuti
suatu kegiatan yang disebut matrikulasi.
Bapakku harus mencari ongkos dengan meminjam uang
pada tetangga dan saudara untuk membiayai
keberangkatanku ke Bandung. Ada rasa sedikit berdosa
karena telah membebani bapakku. Hingga tiba saat
keberangkatanku ke Bandung bersama enam orang temanku
yang berasal dari SMA Negeri Banyumas juga. Semua ini
nyata dan aku benar-benar mencium tangan kedua orang
tuaku saat aku memasuki mobil yang akan mengantarkanku
ke Bandung. Aku kira hanya bermimpi dan mana mungkin
terjadi, tapi sekarang semuanya ada di depan mata.
79. 71
Terbayarlah sudah semua perjuanganku selama tiga
tahun, semua ada di genggaman, tinggal melanjutkan mimpi
dan mempertanggung jawabkan amanah yang aku emban
sebagai penerima beasiswa. Semangat dan berdoa serta
ikhlas menerima setiap kegagalan yang meyertai setiap
jalannya perjuangan adalah kunci keberhasilan.
*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Kelautan ITB angkatan 2013 yang juga
merupakan alumni dari SMA Negeri Banyumas. Naskah tersebut juga merupakan
30 besar Kisah Inspiratif Forum Bidikmisi ITB.
80. 72
Pejuang Kecil Peraih Mimpi
Esti Rahayuning Tias | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
Ku berdebar melewati gerbang yang penuh sakura
Di awal musim semi ku memulai sekolah
Orang-orang disekitar semua tampak bersinar
Hanya aku sendirilah yang tak percaya diri
asanya lirik lagu tersebut cocok sekali dengan
perasaanku saat aku pertama kali menginjakan kaki di
ITB, ya di Institut Teknologi Bandung. Saat itu aku benar-
benar berdebar melewati pintu gerbang ITB dengan bunga-
bunga ungu yang mulai bermekaran. Ku lihat banyak para
calon mahasiswa sepertiku, mereka semua tampak begitu
bersinar, sempat terlintas rasa tak percaya diri saat melihat
mereka. Karena mereka adalah putra-putri terbaik bangsa.
Desember 2014, saat itu ada sosialisasi ITB di sekolahku,
ku lihat beberapa kakak kelasku saat di SMA dengan begitu
R
81. 73
gagah memakai jas almamater ITB. Mereka menjelaskan
banyak hal tentang ITB. Sejak saat itulah aku mulai berani
untuk mengubah angan-angan semu ku menjadi mimpi yang
harus diwujudkan, ya impian untuk bisa seperti mereka
menjadi mahasiswa ITB.
Aku tahu untuk bisa masuk ITB pasti butuh perjuangan
keras. Memang benar perjuanganku untuk bisa diterima di
ITB tidak mudah. Ayah dan ibuku sempat tak setuju dengan
pilihanku. Kuliah di Bandung? Jauh dari orang tua, biaya
hidup yang mahal, dan banyak alasan lain. Bahkan, saat aku
katakan bahwa ada beasiswa bidik misi pun, ibu ku belum
sepenuhnya rela aku kuliah di ITB.
Seiring waktu berjalan, perlahan orang tuaku setuju
dengan pilihanku. Aku ceritakan bahwa ada kakak-kelas ku
yang saat ini kuliah di ITB lewat bidik misi, Aku katakan
apabila aku ingin seperti mereka, meski kurang biaya tapi
bisa mewujudkan mimpinya kuliah di ITB.
Pendaftaran SNMPTN, aku mantapkan niatku untuk
memilih ITB sebagai pilahan PTN pertamaku. Aku putuskan
untuk memilih SITH-S, aku senang belajar makhluk hidup
82. 74
dan beragam kehidupannya. Meski guruku saja kurang
mendukung pilihanku untuk memilih SITH-S, aku tetap
mantapkan niatku tersebut. Dukungan untukku pun tidak
sedikit, tapi dukungan yang paling berarti bagiku adalah
dukungan keluargaku. Setelah aku jelaskan dengan baik-
baik, keluargaku pun merestui pilihanku. Aku percaya bahwa
restu orang tua lah yang paling berarti untukku.
Setelah proses pendaftaran SNMPTN dan menunggu
hasil SNMPTN, memang membuatku resah. Untunglah,
selama menunggu, banyak hal yang harus dilakukan. Aku
fokus untuk mempersiapkan UN. Banyak teman - temanku
yang sibuk juga mendaftar berbagai universitas. Sempat ada
yang meremehkan keputusanku memilih ITB, bahkan ada
yang bilang bahwa aku terlalu percaya diri hanya
mengandalkan SNMPTN dan tidak mendaftar kesana kemari
seperti yang dia lakukan. Entah mengapa, aku yakin akan
pilhanku. Bukan berarti aku terlalu percaya diri, tapi aku
kuatkan pilihanku tersebut dengan doa yang tulus dan
penuh kepasrahan karena hanya usaha itu yang bisa aku
lakukan. Meski begitu aku tetap khawatir tentang hasilnya,
untuk itu aku mulai sedikit demi sedikit belajar untuk
83. 75
SBMPTN . Ingin rasanya seperti teman-teman yang lain bisa
ikut bimbingan belajar untuk mempersiapkan SBMPTN, tapi
aku sadar saat ini orang tuaku tak punya cukup uang untuk
membiayai keinginanku itu. Aku lakukan usaha terbaikku
dengan belajar sendiri, dan aku tetap berharap banyak bisa
lolos SNMPTN.
Ujian Nasional, akhirnya aku bisa mengikuti ujian
dengan baik. Aku yakin apapun hasilnya itulah yang terbaik
untukku. Aku telah berusaha sekuat tenaga. Karena hasil tak
akan pernah mengkhianati usahanya, aku percaya itu.
9 Juni 2015, pengumuman SNMPTN saat itulah yang
telah aku nantikan. Ternyata bukan hanya aku yang khawatir,
kedua orang tuaku pun ikut khawatir. Mereka tetap
menguatkan dan meyakinku bahwa apapun hasilnya itulah
yang terbaik. Air mataku tak kuasa ku tahan saat terpampang
namaku dinyatakan lolos SNMPTN dan diterima di ITB. Ku
ucap syukur sembari memeluk kedua orang tuaku. Raut
wajah mereka tampak haru dan bahagia . Ibuku pun tak
kuasa menahan tangis. Kami larut dalam rasa syukur.
84. 76
Apa yang aku rasa? Senang, terharu, tidak percaya,
semua bercampur menjadi satu. Aku sangat bersyukur bisa
lolos, tapi ternyata dari sekolahku hanya ada lima orang yang
dinyatakan lolos SNMPTN, dan dari kelasku hanya aku yang
lolos. Sedih dan kecewa, kenapa teman-temanku tidak ada
yang lolos? Bahkan ada dari mereka yang begitu kecewa dan
melampiaskannya padaku, aku tahu itu pasti hanya bentuk
kekecewaannya dan aku tak marah padanya, tidak akan .
Untunglah semangat mereka tak putus. Meraka berjuang
untuk SBMPTN dan UMPTN, dan aku berharap mereka bisa
lolos dan diterima.
Pasca pengumuman, aku mulai menyiapkan berkas-
berkas yang diperlukan. Aku bersyukur karena ada satu
teman sekolahku yang sama-sama diterima di ITB sehingga
kami bisa menyiapkannya bersama-sama. Perjuanganku
dimulai, saat itu aku semakin merasakan betapa besar
dukungan ayah, ibu dan kakakku. Mereka memberi yang
terbaik untukku, saat aku merasa lelah mereka lah yang
mengembalikan semangatku. Saat itu untuk tes kesehatan
aku harus pergi ke kota, saat itu ayahku sedang sakit tapi
beliau dengan rela mengantar ku.
85. 77
Bukan hanya aku. Di sisi lain, kakakku yang sudah
dewasa akan segera menikah. Sayang, belum ada cukup dana
yang terkumpul. Karena sejak ia bekerja banyak uangnya
digunakan untuk biaya sekolahku. Kakakku rela menunda
keinginannya demi aku. Dia terus memberi yang terbaik
untukku. Ayah dan ibuku pun bekerja keras untuk bisa
membiayai ku ke Bandung karena memang tak sedikit uang
yang dibutuhkan. Oleh karena itu, aku bertekad untuk bisa
membahagiakan keluarga ku. Aku perbaiki niat dan
semangatku untuk belajar di ITB. Tak akan aku kecewakan
orang-orang yang begitu luar biasa mendukungku.
Aku di Bandung. Dulu saat aku berselisih pendapat
dengan orang tua, ku pikir berada jauh dengan mereka akan
jauh lebih baik. Tidak. Aku benar-benar merindukan mereka,
aku sering menangis dan ingin pulang saja. Namun, sekali
lagi, semangat dan dukungan dari mereka pula lah yang
menguatkanku. Mimpiku masih terlalu pendek untuk aku
akhiri saat ini. Aku harus berjuang demi impian-impianku
untuk membahagiakan keluargaku. Aku tahu akan banyak
tantangan yang harus aku hadapi, tapi inilah yang namanya
86. 78
perjuangan, harus dinikmati. Menikmati indahnya
perjuangan.
Orang-orang hebat. Banyak pelajaran berharga yang
aku dapat, aku malu akan sikapku yang begitu manja, aku
malu. Para pembicara di acara pengembangan karakter
begitu memotivasiku. Merekalah orang-orang hebat yang
membangkitkan semangatku. Perjuanganku tak sepadan
dengan perjuangan mereka. Oleh karena itu, aku tak berhak
untuk menyerah sebelum menjadi orang-orang hebat seperti
mereka.
Impian. Sejak itu, mimpi-mimpiku semakin berkembang.
Cita-cita kecilku untuk menjadi guru kini berubah, aku ingin
menjadi seorang dosen. Bisa belajar ke luar negeri,
mengelilingi dunia untuk mewujudkan mimpi. Lebih dari itu,
aku ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Aku yakin tidak ada kata “terlalu banyak” untuk impian dan
cita-cita yang harus diwujudkan.
Perjuangan dan doa. Tak cukup rasanya hanya
bermimpi, harus ada usaha nyata dan doa penuh harap agar
impian itu bisa menjadi kenyataan. Aku selalu teringat pesan
87. 79
ibuku, bahwa cita-cita besar akan dipaketkan dengan ujian
yang besar pula. Aku yakin setiap ada ujian dan cobaan aku
harus kuat, karena ujian itulah jalanku untuk bisa meraih
mimi-mimpiku.
Bukan si jenius. Aku ada di antara orang-orang hebat
yang memiliki mimpi-mimpi luar biasa. Aku bukan si jenius,
aku perlu belajar keras dan bersungguh-sungguh demi
impianku. Oleh karenanya aku harus semangat, semangat,
dan terus semangat.
Aku percaya bahwa usaha keras itu tak akan
mengkhianati. Man jadda wa jadda. Demi impian yang harus
aku perjuangkan untuk menjadi kenyataan, demi cita-cita,
demi keluarga tercinta. Demi mengharap ridho dari mu, ya
Allah . Aku berjuang. Aku harus berjuang.
Sekarang inilah aku, seorang pemimpi kecil yang punya
impian besar. Ceritaku mungkin tak seindah dan se-inspiratif
seperti orang-orang hebat yang hidup penuh perjuangan.
Tapi aku percaya, setiap kisah pasti punya makna. Inilah
kisahku, sebuah kisah kecil yang terus diperjuangkan. Karena
hidup adalah perjuangan. Nikmatilah, petik hasil usaha dan
88. 80
perjuangan itu. Sekali lagi, percayalah. Usaha keras itu tak
akan mengkhianati, man jadda wa jadda.
*Penulis merupakan mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati program Sains
ITB angkatan 2015 dan merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang
89. 81
Perjuangan Menggapai Impian
Indah Nur’aini | Universitas Gadjah Mada
----------------------------------------------------------------------------
Assalamu’alaikum wr.wb
“Ilmu adalah mutiara yang ada di samudra kehidupan,
yang harus direngkuh dalam asa dan cita, sebagai harapan
untuk terus berjuang melawan kebodohan”, Kalimat mutiara
ini untuk adik-adikku di Banyumas, generasi muda pengubah
masa depan bangsa, dan sebagai pembuka cerita yang
sederhana ini dari seseorang yang juga sederhana
“Mbak mbaaakk, ingkang dereng ngaos diaturi ngaos
seniki!”
Teriak salah satu teman kamar, mengagetkanku. Seperti
biasa, segera aku lirik jam di aula kompleks El Hawa. Jam
07.30! Astaga. Aku terlalu asyik menulis laporan. Untunglah,
jam di aula dipercepat 10 menit, masih ada waktu untuk ngaji
Al-Qur’an. Dengan cepat aku menuju aula Pondok Pesantren
90. 82
Al-Barokah. Ramai, banyak yang antri. Aku urutan ke-5.
Bagaimana cukup waktu untuk aku menunggu, pikirku. Aku
ada jadwal kuliah jam 08.05.
“Mbak-mbak ingkang ngaos Al-Quran bin nadhor maju
riyin...” ngendhikanipun ibu nyai Anita Durrotul Yatimah
“Nggih Bu” jawabku.
Alhamdulillah ternyata yang antri di depanku mbak-
mbak yang sedang menghapal Al-Quran bil ghaib. Segera
aku baca ta’awudz, Al-Fatihah dan aku baca halaman demi
halaman mushaf tercinta, panduan hidup umat manusia.
Cukup 3 halaman, lagi-lagi aku melirik jam di aula, jam 07.45!!
Jam di aula pondok ini tepat waktu berbeda dengan jam
yang ada di aula kompleks El-Hawa.
“Shodaqollahul’adziiimm.” Segera aku salim ke ibu nyai,
lalu dengan cepat naik tangga lagi ke kompleks El Hawa.
Tenang, tenang, jangan terburu-buru. Diriku mencoba
tenang. Segera aku masukkan laptop, buku catatan, kertas
91. 83
laporan, dan jas lab yang ada di almari segera aku ambil,
sekaligus pamitan ke teman-teman kamar, “mbak-mbak aku
berangkat dulu yaa.. assalamu’alaikum”.
“Hati-hati mba Indah.. wa’alaikumsalaaam” jawab
teman-teman. Dengan segera aku menuju parkiran sepeda
yang ada di belakang pondok.
Dengan berlari-lari kecil aku membawa sepeda mini
warna ungu merk phoenix keluar komplek pondok, aku mulai
mengayuh sepeda itu setelah melewati ndalem Pak Kyai.
Dalam perjalanan aku berdoa semoga tidak telat. Lima menit
kemudian, peluh keringat bertetesan dari dahi, bajuku serasa
mulai basah oleh keringat, maklum aku terburu-buru
mengayuh pagi itu. Lima belas menit kemudian,
alhamdulillah sampai di fakultas tercinta, Fakultas Biologi,
Universitas Gadjah Mada. Segera aku parkir sepeda yang
telah setia menemaniku selama hampir 3 tahun ini. Meskipun
nampak telah berkarat di beberapa bagian, tapi sehari saja
tanpa sepeda ini, perjalanan ke kampus menjadi sangat lama
karena harus berjalan kaki atau mencari tebengan. Perjalanan
ke kampus sekitar 4,5 km tidak pernah menyurutkan
92. 84
langkahku untuk bersemangat menuntut ilmu di kampus
terbesar di Indonesia ini.
Sudah kuduga, aku telat 10 menit. “Assalamu’alaikum
Bu, maaf saya telat”, kataku sambil tersenyum. “Tidak apa-
apa, silahkan duduk”, kata dosen immunobiologi cantik dan
keibuan. Beliau bernama Bu Nastiti. Aku langsung duduk di
meja paling depan pojok karena hanya meja ini yang tersisa.
“Ndah.. bajumu basah?” kata teman yang duduk di
sampingku, dia nampak kaget melihat keringatku
bercucuran..
“Eh, iya, gapapa, nanti juga kering”, kataku, sambil
mengeluarkan buku catatan ukuran kwarto berwarna biru
yang ada di tas.
Pagi itu, aku kuliah di laboratorium biologi dasar barat
lantai satu. Lima menit pertama aku belum bisa fokus,
nafasku masih terengah-angah. Berulang kali aku menatap
jendela tepat 5 meter di hadapanku, berusaha mencari
pemandangan yang menyejukkan. Bukan pemandangan
yang aku lihat tetapi dua orang bapak tukang bangunan
93. 85
yang sedang merenovasi toilet di samping laboratorium ini.
Tiba-tiba aku teringat sosok laki-laki yang telah berumur 44
tahun, seorang bapak yang tidak kenal lelah menyemangati
dan mendoakan anak-anaknya. Tiba-tiba terlintas di pikiran
“Sedang apa yaa bapak sekarang?” Rasa lelah yang aku
rasakan sekarang ini tidaklah sebanding dengan perjuangan
bapak. Bapak bukanlah seorang yang berpendidikan, dia
hanya lulusan SMP dan setiap hari bekerja sebagai buruh
harian lepas. Walaupun begitu, kecintaannya terhadap ilmu
sangat besar. Begitu pula semangatnya. Tidak pernah
sedikitpun keluhan keluar dari bibirnya.
Sudah sebulan ini bapak pergi merantau ke ibu kota dan
bekerja sebagai kuli bangunan juga, sama dengan dua orang
bapak itu. Biasanya jam 08.00 bapak mulai bekerja, kadang
sampai malam, kadang hanya sampai sore, tergantung
pekerjaan apa yang dilakukan. Banyak orang yang tidak
percaya, bagaimana mungkin anak seorang buruh bisa kuliah
di UGM? Sebuah universitas ternama, yang identik dengan
mahasiswa kaya. Ditambah lagi dengan nyantri di pondok
pesantren. Jawabannya adalah niat dan doa. Semua bisa
94. 86
terjadi itu karena kehendak Allah SWT. Tidak ada yang dapat
mencegah kalau Allah sudah berkehendak. Oleh karena itu,
usaha saja tidak cukup, perlu doa yang mengiringi. Apabila
doa saja yang kita panjatkan, juga sama saja, tidak akan
cukup mengantarkan pada kesuksesan, perlu usaha dan niat
yang kuat. Ingatanku terlempar lagi ke masa pendaftaran
SNMPTN 3,5 tahun yang lalu.
“Bapak yakin kamu bisa diterima di Biologi UGM,
belajarlah dan berdoalah”, begitu doa bapak ketika
mengantarkanku untuk mengikuti tes tertulis. Saat itu aku
hanya bisa meng-amin-i doa bapak. Dua hari mengikuti
SNMPTN Jalur tertulis aku lalui ditemani bapak. Tentu tidak
di ruang ujian. Bapak dengan sabar menunggu di masjid
fakultas Biologi UNSOED, tempat di mana aku ujian. Jarak
dari rumah menuju UNSOED terbilang cukup jauh, butuh
sekitar 1,5-2 jam untuk mencapai lokasi ini dengan naik
kendaraan umum. Dulu aku dan bapak berangkat dari rumah
tepat sehabis sholat Shubuh. Saat itu bapak bekerja bukan
sebagai kuli bangunan tapi penjaga warung makan milik
saudaraku. Warung itu buka 24 jam, tetapi bapak hanya jaga
95. 87
yang malam saja. Jadi, bapak berangkat bekerja setelah
Ashar dan pulang Shubuh. Aku sudah bersiap-siap sejak
pukul 03.30. Sholat malam tak terlewatkan sebagai ikhtiar
untuk meraih ridho-Nya. Setelah itu, aku mandi. Udara masih
sangat dingin, tapi alhamdulillah ibuku sangat baik dan
perhatian, ibu telah menyiapkan air panas untuk mandi. Tak
seperti biasanya, pagi itu bapak pulang lebih awal sebelum
Shubuh dengan membawa makanan kesukaanku, nasi
kucing dan combro. Seusai sholat Shubuh, aku makan
dengan lahap, walaupun rasanya aneh juga sarapan jam
04.30. Tapi tak mengapa, daripada nanti kelaparan saat
mengerjakan soal, lebih baik sarapan di awal saja.
Hari pertama ujian aku hampir telat, aku belum tahu
lokasi ruangan ujian, aku juga tidak pernah pergi ke gedung
biologi UNSOED. Tepat pukul 06.50 aku dan bapak sampai di
depan gerbang biologi UNSOED. Kami bingung ke arah
mana, ditambah motor dan mobil yang ramai berlalu lalang
semakin menambah kegundahan hatiku. Dari jauh aku lihat
ada kakak kelas SMAN Ajibarang yang sedang duduk di
depan gedung. Langsung saja aku tanya lokasi ujian itu,
96. 88
alhamdulillah dengan baik hati mas itu mengantarkanku ke
gedung tempat ujian.
“Bapak, maturnuwun nggih, doakan Indah nggih Pak”,
kataku terharu mengingat kembali perjuangan bapak yang
dapat menyekolahkanku hingga SMA dan memiliki niat tulus
ingin anaknya terus belajar, melanjutkan studinya agar
anaknya yang tidak terlalu pintar ini dapat menjadi
seseorang yang berilmu dan bermanfaat.
“Iya, semoga sukses. Sudah bel, segera saja masuk
ruangan”, begitu kata bapak. Aku cium punggung tangan
bapak, langsung aku masuk ruangan tempat perang dimulai.
Perang yang harus aku menangkan, demi ilmu yang manfaat
itu.
Saat aku menuliskan namaku di lembar soal I N D A H N
U R A I N… Belum lengkap, tiba-tiba ada suara sedikit keras,
“Mba, lepas sandalnya!” astaga! Aku tidak tahu kalau saat
ujian harus memakai sepatu, aku memakai sandal jepit
kesukaanku. Malu, itu yang aku rasakan. Dengan berjalan
pelan, aku lepas sandal itu di dekat pintu. Lalu aku duduk
97. 89
kembali dan berusaha fokus mengerjakan soal-soal TPA.
Beberapa pasang mata melirikku, mungkin dalam hati
mereka tertawa karena kesalahanku ini. Tapi aku memang
benar-benar tidak tahu.
Aku tidak memiliki banyak informasi dan cerita
mengenai dunia kampus dan perkuliahan karena di
keluargaku, akulah yang pertama menempuh pendidikan
sampai perguruan tinggi. Selama ini, dari belasan cucu mbah
Sudar, nama mbahku, tidak ada yang kuliah. Paling tinggi
sampai lulus pendidikan SMA. Itu pun hanya beberapa.
Mungkin orang jaman dahulu berpikiran bahwa
pendidikan itu tidak penting, apalagi untuk seorang wanita
yang pada akhirnya nanti akan jaga tungku di dapur. Aku
tidak setuju dengan perkataan itu, menuntut ilmu dilakukan
sejak lahir sampai akhir hayat. Dengan ilmu, Allah akan
memuliakan hamba-Nya. Dengan ilmu, segala hal yang
dikerjakan akan ada maknanya.
Teeeeettttt. Waktu untuk mengerjakan soal-soal TPA
telah habis. Aku segera memakai sandalku lalu keluar
98. 90
ruangan. Di balik pintu tanpa kusangka, ada sesosok yang
tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Bapak, kok ngga pulang saja istirahat di rumah. Bapak
kan capek habis bekerja semalam suntuk malah nungguin
aku. Insya Allah aku bisa pulang sendiri Pak”, kataku, lagi-lagi
dengan air mata berlinang.
“Sudah, ngga papa, Bapak nanti tunggu dari masjid ya.
Bapak selalu ada menemani perjuangan Indah. Sekarang
manfaatkan waktu istirahat untuk istirahat saja, tenangkan
pikiran, jangan belajar terus, udah belajar dari dulu kan?
Bapak tinggal dulu ya. Semangat mengerjakan soal
berikutnya”, kata bapak sambil berlalu. Ujian berlanjut lagi,
kemampuan dasar aku berhasil mengerjakan dengan baik.
Tak henti aku panjatkan doa semoga ada jawaban yang
menggembirakan dari perjuangan dan sebagai jawaban atas
doaku dan orang tuaku.
Kebaikan bapak dan ibu tidak mungkin aku lupakan.
Dalam kesederhanaan sikap, mereka memberikan suntikan
semangat yang luar biasa besar ke dalam diri yang lemah ini.
99. 91
Hingga detik ini, aku merasa belum bisa membalas kebaikan
mereka. Hanya dengan menuntut ilmu sebaik-baiknya dan
berusaha untuk menjadi anak yang baik dan sholehah
semoga dapat memberikan kebahagiaan di hati bapak dan
ibu tercinta.
“Mba Indah yang baru datang, coba jawab teknik apa
yang dapat digunakan dalam penelitian imunobiologi?”
Suara Bu Nastiti menghentikan lamunanku. Peluhku sudah
mulai berkurang, aku mulai lebih fokus dalam mengikuti
kuliah. Dengan tenang aku menjawab “ELISA Bu, Enzyme
Linked Immunosorbent Assay”.
“Ya benar. Jadi ada banyak teknik yang dapat digunakan
dalam penelitian imunobiologi, yaitu ELISA, presipitasi, dan
lain-lain“, Bu Nastiti melanjutkan penjelasan. Kuliah pagi itu
aku lalui dengan senang hati. Rasa lelah yang sedari tadi
kurasakan ternyata hanya hinggap sejenak, tak sebanding
dengan nikmatnya berenang di lautan ilmu.
100. 92
Hari itu aku lalui kegiatan kuliah sampai sore. Selesai
praktikum pukul 16.00, aku langsung menuju mushola untuk
sholat Ashar. Setelah itu, aku langsung pulang.
Perjalanan yang cukup membuatku berkeringat kembali
aku lalui. Satu kayuhan, dua kayuhan hingga puluhan aku
lakukan dengan senang hati. Nikmatnya menuntut ilmu ada
di sini, di kisah perjuangan ini. Bahwa yang paling penting
adalah prosesnya. Proses yang baik memiliki peluang besar
untuk menghasilkan “hasil” yang terbaik. Apabila dari niat
yang baik saja Allah telah menunjukkan keridhoan-Nya
dengan memberikan pahala. Apalagi jika kita telah
melaksanakannya dengan sepenuh hati, maka pintu
keberhasilan sesuai yang dicita-citakan akan semakin dibuka
oleh-Nya. Berniatlah, niat ikhlas menuntut ilmu agar dapat
menjadi seseorang yang bermanfaat karena sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, tidak
hanya untuk dirinya sendiri. Sekarang apalah yang
menghalangi diri untuk terus belajar menuntut ilmu? apakah
harta? kekurang percayaan terhadap kemampuan diri? Atau
kelelahan saat harus belajar dan belajar? Tidak. Tidak ada
101. 93
yang menghalangi setiap orang untuk menuntut ilmu. Harta
dapat dicari dengan ikhtiar, usaha diiringi doa.
Ketidakpercayaan diri dapat diatasi dengan semangat yang
membuncah dan keyakinan dalam hati bahwa Allah selalu
menemani langkah ini, langkah kecil namun berada di jalan-
Nya. Rasa lelah dan peluh yang mengucur pun sungguh tidak
sebanding dengan nikmatnya ilmu yang akan kita dapat.
“Nawaitutta’aluma li izaalatil jahli lillahi ta’ala”, aku
berniat menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan
karena Allah ta’ala.
Sekian tulisan singkat ini, semoga dapat bermanfaat untuk
adek-adek sekalian
Ditulis di Aula Komplek El-Hawa,
Pondok Pesantren Al-Barokah
8 November 2015 1:44
Indah Nur’aini
*Penulis merupakan mahasiswa Biologi UGM angkatan 2012 dan merupakan alumni
SMA Negeri Ajibarang.
102. 94
Kuliah? Siapa Takut
Lukito Nur Wulandari | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
alo! Perkenalkan, saya Lukito Nur Wulandari, panggil
saja dengan Wulan atau Lukito. Nama saya unik
bukan? ‘Lukito’, nama dari almarhum ayah saya yang sangat
menyukai sinden jawa ‘Candra Lukito’. Dan menurut orang-
orang, nama ini berasal dari kata bahasa Inggris ‘lucky’, yang
berarti beruntung. Apakah hidup saya seberuntung itu? Dan
mungkin ini memang semacam doa yang diberikan oleh
almarhum ayah saya pada nama saya, dan berdampak pula
dalam kehidupan pendidikan saya.
Ketika saya berada di tingkat akhir di SMA, saya
termasuk kalangan yang tidak mengikuti bimbingan belajar
di luar sekolah demi sukses untuk masuk perguruan tinggi
yang diinginkan. Ya, saya berasal dari golongan ekonomi
yang pas-pasan. Ayah saya seorang PNS saat itu, dan
menurut pandangan orang secara umum, PNS itu mampu,
namun keluarga kami, ya, pas-pasan. Saya adalah anak
H
103. 95
sulung, tidak mungkin bagi saya untuk meminta uang pada
orang tua saya untuk ikut bimbingan belajar di luar sekolah
tersebut, yang memakan biaya berjuta-juta rupiah. Nanti
bagaimana dengan biaya pendidikan kedua adik saya yang
masih kecil? Bagaimana dengan biaya hidup keluarga kami
yang sangat pas-pasan? Dan pikiran inilah yang memenuhi
otak saya ketika saya menjadi siswa baru di SMA. Ya, saya
harus belajar sebaik mungkin agar saya dapat diterima di
perguruan tinggi negeri yang saya inginkan tanpa melalui tes
atau melalui nilai rapor sehingga tidak perlu ikut bimbingan
belajar yang mahal itu, di tingkat akhir di SMA saya nanti.
Saya sangat bersyukur saya dapat mewujudkan mimpi
saya tersebut. Dengan nilai rapor saya selama 5 semester
yang cukup baik, tanpa melalui tes atau dimasa itu dibilang
‘SNMPTN UNDANGAN’ saya diterima di FTTM ITB tahun
2012. Saya sangat senang impian saya terwujud, dan saya
sampaikan kabar baik ini pada orang tua saya. Ketika orang
tua saya mendengar kabar ini, mereka tersenyum senang,
namun yang tampak pada saya ialah semacam senyum yang
dipaksakan. Mereka khawatir tidak mampu membiaya kuliah
saya di ITB. Orang tua saya justru lebih mendukung saya
104. 96
untuk meneruskan seleksi masuk Sekolah Tinggi Sandi
Negara di Bogor saja, karena jika melanjutkan pendidikan
disana, lebih terjamin untuk kerja dan tidak mengeluarkan
biaya kuliah. Ya, saya sudah memasuki tahap 3 seleksi dari 6
tahap seleksi. Saya tidak mendaftar beasiswa Bidik Misi
sebelumnya. Penghasilan orang tua saya tidak memenuhi
syarat untuk mendaftar beasiswa tersebut, dan sebenarnya
kelebihan sedikit saja penghasilannya dari syarat
pendaftaran beasiswa bidik misi tersebut yakni 3,5 juta,
bahkan penghasilan bersihnya jauh dari nilai penghasilan
kotornya karena kami memiliki beberapa hutang. Jadi, saya
harus membayar biaya kuliah tiap semesternya. Dan orang
tua saya merasa tak mampu untuk membiayai kuliah saya.
Saya pun meyakinkan mereka bahwa di ITB memiliki
beasiswa yang banyak, tak perlu khawatir untuk masalah
biaya kuliah, karena di ITB tidak akan di-DO karena masalah
biaya. Dan itu memang benar.
Saya melakukan penangguhan untuk biaya semester
satu ketika memasuki awal kuliah. Saya berusaha mencari-
cari informasi beasiswa untuk mahasiswa baru dan ternyata
beasiswa bidik misi di ITB masih terdapat kuota. Saya