Sekolah alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga menerapkan pendidikan yang memberi kebebasan pada siswa untuk belajar apa yang mereka sukai tanpa kurikulum tetap atau guru. Pendekatan ini mendorong kreativitas siswa dan menghasilkan prestasi seperti penulis buku muda dan pemenang penghargaan. Sekolah ini juga mengelola akses internet sendiri untuk memfasilitasi pembelajaran mandiri siswa.
1. 1
Sekolah Alternatif
Qaryah Thayyibah di Salatiga
Tak terbayangkan dalam benak kita ada sekolah tanpa
pagar, tanpa tiang bendera, tanpa bel, tanpa gedung sekolah,
bahkan tanpa 'plang' yang menunjukkan bahwa ada sekolah.
Tetapi itulah yang terjadi di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa
Tengah. Sebuah komunitas belajar yang mengusung ide
pendidikan alternatif muncul dan mengagetkan dunia
pendidikan kita yang carut marut ini. Gaungnya tidak hanya
bergema di negeri ini namun sudah terdengar hingga kancah
internasional.
Sudah mengendap dalam benak kita bahwa kalau ingin
menuntut ilmu berarti kita harus sekolah. Dan itu tidak
sepenuhnya salah. Masalahnya, sekolah saat ini tidak hanya
menuntut tekad bulat untuk menuntut ilmu, namun juga
harus diiringi kesediaan merogoh 'kocek' dalam-dalam. Untuk
menyekolahkan anak setingkat SD di sekolah negeri, meski
disebut gratis, tetap ada biaya yang harus dikeluarkan
orangtua saat awal masuk sekolah berkisar antara 100 hingga
500 ribu rupiah, misalnya untuk seragam, buku, dan lain-lain.
Sementara untuk masuk SD swasta, apalagi SD favorit di kota
besar, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai jutaan rupiah.
Demikian juga ketika kita ingin menyekolahkan anak
di tingkat SMP dan SMA. Biaya yang dikeluarkan tentu lebih
tinggi. Kira-kira 500 sampai 1 juta rupiah harus disediakan
orangtua pada saat penerimaan siswa baru. Uang sebesar itu
tentu tidak terasa besar bagi mereka yang berpenghasilan rutin
dengan jumlah jutaan rupiah. Namun bagi mereka yang tidak
punya penghasilan tetap tentunya uang sejumlah itu akan
sangat membebani hidup. Bayangkan saja, untuk biaya makan
sehari-hari saja sudah susah apalagi harus menanggung biaya
sekolah yang tidak sedikit.
2. 2
Keresahan mengenai mahalnya biaya pendidikan pun
mendorong Bahruddin, inisiator sekaligus penggerak model
pendidikan alternatif di Salatiga mengajukan ide untuk
membangun Learning Based Community (pendidikan berbasis
komunitas) – tepatnya Community-Based Education -- di desa
Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga. 'Sekolah' yang pada
awalnya menampung 12 siswa setingkat SMP ini diberi nama
Qaryah Thayyibah (QT) yang berarti Desa milik Allah yang
dilimpahi keberkahan. Kini QT sudah memiliki 150 siswa
setingkat SMP dan SMA.
Belajar Sesuai Kebutuhan
Pendidikan alternatif yang digagas oleh Bahruddin
merupakan konsep yang dia kembangkan sendiri berdasar
pengalaman dan buku-buku yang dibacanya. Prinsip dasarnya
adalah memberi kebebasan pada siswa untuk belajar apa pun
yang mereka sukai. Guru (di QT disebut 'pendamping', bukan
guru, apalagi ustadz atau ustadzah, yang di dalam bahasa
Arabnya dikenal dengan sebutan "mujannib") hanya
memberikan ide atau masukan, apakah nanti akan diterima
anak atau tidak, semua dikembalikan ke siswa.
Konsepnya mirip dengan homeschooling, namun ada
beberapa hal yang membedakannya. Pertama, homeschooling
masih memiliki kurikulum dan mata pelajaran yang harus
dipelajari siswa. Sedang di QT tidak ada acuan mata pelajaran.
Semua siswa bebas menentukan apa yang ingin mereka
pelajari. Kedua, pelaksanaan homeschooling sering dikritik
membatasi interaksi anak dengan orang lain. Sedangkan di
QT, lingkungan sekitar dan masyarakatnya adalah 'sekolah'
bagi siswa QT. Jadi konsep pendidikan alternatif dijamin tidak
akan mengisolasi siswa dari lingkungannya. Justeru
mendorong siswa untuk terlibat aktif di lingkungannya.
Karena berbasis pada lingkungan pulalah, siswa QT
diharapkan mampu menjawab permasalahan-permasalahan
3. 3
yang dihadapi lingkungan tempat mereka berada. “Ada
seorang warga yang mengeluh pada anaknya kalau sekarang
ini mau makan makanan yang bergizi harganya serba mahal.
Lalu anaknya membawa permasalahan itu ke sekolah, anak-
anak berdiskusi dan muncullah ide untuk membuat
peternakan belut. Lalu anak-anak belajar tentang budidaya
belut lalu sama-sama mereka praktek membudidayakannya,”
cerita Bahruddin, penggagas dan pendidiri lembaga
pendidikan ini.
Sungguh berbeda jauh dengan kebanyakan kita yang
sudah melahap berbagai pelajaran di sekolah namun tidak
mampu memberikan solusi pada permasalahan sekitar.
“Selama ini kita kan diajarkan agar banyak menyerap
pengetahuan tapi akhirnya kita malah jadi konsumtif alias
tidak produktif. Pengetahuan itu seperti vitamin, dibutuhkan
untuk tubuh kita secukupnya saja jangan sampai berlebih,”
tambah ayah 3 anak ini.
Mandiri Dalam Belajar
Pendidikan alternatif yang diusung Bahruddin
sebenarnya mendidik anak agar mandiri dalam belajar. Ini hal
penting yang Justeru sering tidak kita dapatkan di dunia
pendidikan kita. Anak-anak yang pergi ke sekolah setiap pagi,
pulang sore hari, 6 hari selama seminggu, kebanyakan datang
ke sekolah lebih sebagai formalitas bukan dengan niat murni
untuk menuntut ilmu. Sampai di sekolah pun anak
memposisikan diri sebagai 'wadah' yang siap menerima apa
pun yang diberikan oleh guru. Padahal hakekatnya, anak
bukanlah tempat kosong yang tidak berisi apa-apa. Artinya,
anak-anak itu sudah memiliki bekal-bekal yang dapat
mendorong mereka untuk belajar. Misalnya pengalaman,
informasi dari televisi, buku maupun dari tempat lain.
Hal seperti itu tidak terjadi di QT. “Aku kan emang
dari awal suka musik. Aku belajar sendiri dengan baca internet
4. 4
dan download video-video tentang musik. Terus aku mau
belajar gitar, belajarnya dengan cari di internet gimana caranya
main gitar lalu aku coba-coba sendiri sampai bisa. Terus kalau
bikin lagu, aku kan punya temen yang bisa buat lagu ya aku
belajar sama temenku itu dan ini bisa dilakukan sendiri saja
dan kadang kami juga mendatangkan guru juga. Pas mau
rekaman juga gitu. Aku ikut temen atau lihat 'Pak De' (paman-
red) yang memang pemusik, gimana caranya rekaman. Liat di
studio, aku pelajari dan aku bawa ke sini untuk dipelajari
sama-sama dengan teman-teman,” ungkap Ikhwan (19), salah
seorang lulusan QT.
Hal menarik yang bisa kita dapatkan dari QT ini, anak
jadi terbiasa belajar secara mandiri. Bayangkan, jika selama 6
tahun mereka dilatih untuk memilih sendiri apa yang akan
mereka pelajari. Juga merumuskan sendiri (bersama teman
satu forum) materi yang akan dipelajari dan menyiapkan
sendiri segala macam perangkat yang dibutuhkan untuk
belajar, maka bisa dipastikan setelah lulus 'sekolah' dia tidak
akan kesulitan untuk terus belajar meski sudah tidak berada di
lingkungan sekolah.
Sementara fenomena yang sering kita lihat, banyak
anak lulus SMA belum memiliki karya, bahkan banyak yang
menjadi 'masalah' bagi lingkungannya. Padahal dalam Islam
juga ada terminologi bahwa orang yang paling baik adalah
orang yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan kata lain
orang yang paling baik bisa menyelesaikan permasalahan
lingkungannya.
Dibebaskan Justeru berprestasi
Banyak yang berpikir bahwa untuk berprestasi anak
harus diberikan pengarahan dengan ketat. Diikutkan berbagai
les dengan jadwal yang padat, tidak banyak bermain-main dan
penuh dengan hal serius lainnya. Ternyata hal ini terpatahkan
dengan sistem pendidikan alternatif di QT. Dengan ketiadan
5. 5
jadwal pelajaran, tanpa guru, gedung sekolah, laboratorium
justeru mendorong para siswa untuk kreatif.
“Maia Rosyida, sudah menulis 20 buku. Saat ini
umurnya 18 tahun,” ungkap Bahruddin. Saat mulai bersekolah
di Qaryah Thayyibah, Maia menyampaikan kalau suka
menulis, maka yang dilakukan para pendamping adalah
mendukung dan mendorongnya untuk terus menulis.
Hasilnya, benar-benar tak terduga, karena si anak didukung
melakukan sesuatu yang sesuai minatnya, dalam waktu
singkat 20 buku berhasil ditulisnya. Sebagian dijilid, di-copy
dan disebarluaskan oleh pihak sekolah, sebagian lagi
diterbitkan oleh penerbit profesional.
Fina, Izza1 dan Siti, tiga orang siswa QT berhasil
menerima penghargaan Creative Kids Award dari Yayasan
1 Muhammad Izza Ahsin Sidqi adalah anak dari orang
tua yang menyandang predikat guru teladan. Tapi seolah
bertolak belakang dengan profesi orang tuanya.
Izza keluar sekolah di usia 15 tahun bukan karena anak
malas. Apalagi kekurangan biaya. Bagi mantan siswa sebuah
SMP terfavorit di kota Salatiga ini, formalitas sekolah
membuatnya terkekang.
Tentu saja, hal ini ditentang oleh orang tuanya. Suasana
menjadi tegang,. Namun, setelah delapan bulan negosiasi,
akhirnya hati orang tuanya pun luluh.
Tak lama, janji itu menjadi bukti. Izza meluncurkan
buku perdananya berjudul “Dunia Tanpa Sekolah”. Buku
yang diterbitkan Penerbit Read! Ini berisi biografi, ide dan
kritik Izza terhadap system sekolah formal. Hingga kini
bukunya telah terjual lebih dari 1.000 copy. Dan buku
keduanya juga sudah siap diterbitkan.
6. 6
Creatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Ketiga anak itu
membuat karya tulis berjudul “Haruskah UN Dihapus?”
Karya tulis itu dibuat sebagai tugas akhir sebelum mereka
lulus dari QT.
Belum lagi sejumlah karya berupa hasil penelitian, film,
musik yang dibuat oleh siswa-siswa QT. Semua karya tersebut
ide orisinal dari si anak dengan masukan para pendamping.
Beberapa siswa sudah biasa diminta berbicara di depan para
pejabat publik, seperti Hilmy (15) yang diminta berpidato di
depan 90 kepala sekolah berprestasi di seluruh Indonesia.
Semua karya yang mengagumkan itu bersumber pada sebuah
prinsip pendidikan yang membebaskan anak untuk
mempelajari apa yang dia suka, sambil tetap mendampingi
dan mendukung sebisa mungkin.
Mengelola Internet Sendiri
“Belajar di sekolah yang mengajarkan banyak mata
pelajaran itu ibarat menimba air dari dalam sumur dengan
susah payah, lalu mengguyurnya kembali ke tempat semula,”
ungkap Izza yang sejak kecil hobinya membaca buku.
Izza mengaku landasan kontroversialnya ini adalah
dengan nama Allah, untuk Allah, dan karena Allah. “Mudah-
mudahan buku yang saya hasilkan nantinya menjaring
perhatian banyak orang. Bukan sekedar royalty, publikasi
atau menjadi selebriti, melainkan agar orang laindapat
memetik manfaat yang luar biasa setelah membacanya,”
ungkap Izza.
“Lagipula, Allah kan tidak pernah melarangku keluar
sekolah,” tambah Izza. (Dikutip dan diselaraskan dari tulisan
Jidi al Kindi/Suara Hidayatullah, dalam Suara
Hidayatullah/Juni 2008/siapa dia).
7. 7
Salah satu perangkat yang berperan penting dalam
pelaksanaan pendidikan alternatif QT adalah akses internet
penuh 24 jam. Semua siswa 'dibiarkan' mandiri belajar, salah
satunya dengan panduan “Om” Google. Akses internet
memang ibarat samudra luas tanpa batas yang berisi segala
hal, baik yang positif maupun negatif. Di QT, semua siswa
bebas mengakses internet, tentunya tetap dengan aturan
tertentu. Sebab kebebasan yang bertanggungjawab adalah
prinsipnya.
Bagaimana komunitas ini bisa memiliki akses internet
24 jam? Awalnya memang ada seorang pengusaha yang
menyediakan internet di komunitas ini. Namun kemudian,
komunitas ini memakai jasa internet yang diluncurkan Telkom
dan dikelola secara mandiri. Mereka membuat aturan seperti
biaya Rp 2000 per-jam untuk pemakaiani internet. Dari hasil
pengelolaan internet itu mereka mampu membayar tagihan
internet plus membayar uang listrik per bulannya.
Dari pengalaman komunitas ini kita bisa belajar bahwa
jika anak-anak usia 13-19 tahun yang tinggal di lereng gunung
saja bisa mengelola 'sekolah'nya dengan baik, maka
sebenarnya hal yang sama bisa juga dilakukan di tempat lain
dan oleh siapa pun. Hanya dibutuhkan 'komitmen' 2 yang kuat
2 Salah satu definisi tentang komitmen, dari kamus
adalah: “when you are willing to give your time and energy to
something that you believe in, or a promise or firm decision to do
something" (bila Anda bersedia memberikan waktu dan energi
untuk sesuatu yang Anda percaya, atau janji atau keputusan
perusahaan untuk melakukan sesuatu). Keinginan, tekad yang
bulat, atau janji untuk memberikan waktu dan enerji untuk
melakukan sesuatu hal yang kita yakini dan percaya, ini,
sudah semakin langka ditemui.
8. 8
Memang mudah untuk mengucapkan sebuah janji,
namun seringkali terasa sulit untuk menepatinya. Komitmen
bukan sekedar janji yang tidak pasti akan ditepati, lebih dari
itu komitmen (seharusnya) memberikan makna yang lebih
pasti. Karenanya, tidak sembarangan "komitmen" itu
diucapkan atau diberikan.
Komitmen dalam sebuah pernikahan, misalnya, berupa
janji sehidup semati. Komitmen dalam pekerjaan, berupa janji
untuk berprestasi, mendahulukan kepentingan organisasi dari
kepentingan diri sendiri. Atau komitmen untuk tidak
melakukan hubungan seks sebelum menikah misalnya, di
kalangan anak muda. Apakah komitmen-komitmen seperti ini
-- yang sudah diwariskan turun-temurun sejak kakek-nenek,
dan ayah-ibu kita -- masih berlaku hingga saat ini?
Jawabannya, mungkin masih, mungkin juga tidak.
Yang jelas, manusia di peradaban sekarang, sepertinya makin
sulit untuk memberikan kepercayaan terhadap sesuatu yang
belum pasti. Nilai sebuah "pertukaran", barangkali lebih
diperhatikan/dipentingkan daripada harga sebuah komitmen,
tentu ini bukan sebuah generalisasi.
Mari lihat sekitar kita. Masih adakah suami-suami yang
mau menerima semua kelemahan dan kekurangan istrinya
tanpa menghakimi? atau, suami-suami yang rela bekerja dari
pagi sampai malam, berjuang keras demi memenuhi
kebutuhan keluarganya? masih adakah istri-istri yang mau
menunggui suaminya pulang larut malam --setelah seharian
dia juga bekerja di rumah/luar rumah dan mengurus anak?
membuatkan teh/kopi hangat, menemaninya bersantap
malam, sambil mendengarkan cerita yang terkadang
membosankan, tentang kantor? tetap setia mendampingi
suami, walau dia pulang dengan tangan kosong tanpa uang
sepeserpun?
9. 9
dan kemauan untuk mewujudkannya. Terasa berat? Bisa jadi,
sebagai awalnya. Namun tidak ada kata tidak mungkin jika
kita mau mencobanya.
(Dikutip dan diselaraskan dari http://kabar-
pendidikan.blogspot.com/2011/07/sekolah-alternatif-qaryah-
thayyibah-di.html)
Masih adakah pekerja-pekerja, atau karyawan, yang
rela berangkat pagi-pagi ke tempat kerja, membaktikan diri
menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik, biarpun
tugas-tugasnya sangat berat? ditambah lagi, upahnya tidak
atau kurang sepadan?
Masih adakah ayah dan ibu yang rela meluangkan
waktunya, menemani dan memperhatikan anak-anak,
sekalipun terkadang mereka ini mengesalkan? cenderung
tidak sopan, kurang ajar dan mengecewakan? masih adakah
ayah dan ibu yang mau mengelus kepala anaknya, atau
memeluk dia/mereka, sekalipun si anak sudah mencaci maki
orang tuanya?
Masih adakah seorang mau mengulurkan tangan
kepada teman, atau sahabatnya, ketika dia jatuh terjerembab
atau terluka, tanpa mengatakan, "tuh, apa kubilang...!"
Komitmen adalah suatu keyakinan yang membuat
seseorang rela meninggalkan semua (yang menurutnya
berharga), walau harga yang harus dibayar tidak sedikit
danmedan yang dihadapi tidaklah ringan. Komitmen adalah
sesuatu yang membuat seseorang percaya dan berani memikul
risiko, sekalipun tidak ada yang pasti (dapat dijadikan
jaminan).