Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1. Hasil LATNAS menunjukkan hanya 12% siswa yang memenuhi kriteria kelulusan, menyebabkan kegalauan bagi siswa, orang tua, dan guru.
2. Terjadi kesepakatan antara wali kelas dan orang tua untuk bekerja sama memotivasi siswa agar 100% lulus Ujian Nasional.
3. UN sering dikritik karena mengabaikan tujuan pendidikan dan menentukan nasib peserta
Siapa bilang un bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya 60
1. Siapa bilang UN bukan lagi menjadi monster bagi siswa karena porsi penentu kelulusannya hanya
60%. Kenyataannya masih ada beberapa kasus siswa yang mengalami stres menjelang UN. Bahkan
yang lebih tragis karena kekahawatiran yeng mendalam pada diri siswa, ada yang melakukan jalan
pintas bunuh diri. Ya, UN tidak hanya menjadi monster bagi siswa bahkan bagi guru dan sekolah.
Saat ini pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan UN melakukan tindakan-tindakan yang justru
menambah suasana pelaksanaan UN semakin mencekam. Penjagaan UN yang melibatkan unsur
polisi bahkan juga TNI,Penggunaan CCTV tiap ruang ujian, pengguanaan metal detector terhadap
siswa yang akan masuk ruang UN, dan berbagai tindakan lain yang terkesan lebay. Susasana yang
tercipta justru menununjukkan betapa siswa dan pengawas diposisikan bak pesakitan yang akan
berbuat kejahatan. Kondisi semacam ini juga memberi dampak negatif secara psiskis terhadap siswa.
Siswa menjadi kurang nyaman saat menjalani ujian. Tidak itu saja, pemerintah perlu mengeluarkan
biaya ekstra guna memebiayai ubo rampai alias pernak pernik UN yang sebenarnya hanya bagian
dari membangun imej bahwa UN berjalan jujur dan aman. Biaya yang sebenarnya lebih bermanafaat
guna kepentingan pendidikan lain, semisal rehabilitasi gedung sekolah atau beasiswa bagi siswa
yang tidak mampu.
Kondisi yang tercipta sebagaimana di atas tentunya membuat siswa maupaun sekolah yang akan
menjalani ujian semakin meningkatkan rasa khawatir gagal ujian. Kekahawatiran yang berelebihan
tersebut tidak jarang memunculkan perilaku atau kegiatan-kegiatan menjelang UN yang terkesan
tidak wajar. Ada sekolah yang membagi-mambegi air putih yang sudah diberi jompa- jampi orang
pintar kepada siswa dengan harapan otak siswa menjadi encer saat mengerajakan soal
ujian.Bahkan ada sekolah yang menjalankan ritual cium kaki guru yang sudah diberi air kembang
setaman guna minta do’a restu dan maaf kepada guru, sehingga lancar mengerjakan soal ujian
karena sudah terlepas aras beban bersalah .Ada juga sekolah yang mengkoordinir siswa menjelang
ujian mengunjungi makam-makam orang pintar untuk mendapatkan berkah
sehingga terinduksi oleh kepintaran tokoh yang sudah meningal tersebut.
Perilaku-perilaku tidak wajar menejelang ujian yang dilakukan tampaknya sangat beresiko tinggi bagi
siswa maupun guru terjerumus pada perilaku syirik alias menyekutukan Tuhan. Menganggap orang
pintar sebagai bagian dari faktor penentu kelulusan, ngalap berkah kepada kuburan orang terkenal
juga bentuk menduakan Tuhan. Untuk itu sudah sepantasnya sekolah menghindari aktifitas yang
dimaksud. Budaya perilaku irasional menjelang UN tentu sangat memprihatinkan. Keingianan untuk
lulus UN adalah sangat wajar, namun jika ditempuh dengan cara tidak wajar justru akan menyesatkan
secara akidah. Selayaknya siswa diberi pemahaman bahwa kesuksesan menjalani ujian bukanlah
bersifat instan. Kesuksesan dapat diraih melalui sebuah proses. Untuk itu prinsip kerja keras,
ketekunan dan keuletan dalam menggapai suskes UN perlu diberikan sejak siswa duduk di kelas
awal.
Sukses UN bukan segala-galanya. Apa guna sukses UN yang dicapai dengan cara tidak wajar yang
justru dapat menjerumuskan pada aktifias dosa besar. Dosa yang dalam agama diberi ancaman
hukuman yang maha berat. Yeng lebih penting bagi siswa adalah bagaimana menjanai UN dengan
kejujuran. Dengan dasar sikap keujujuran maka siswa akan tidak mudah diliputi rasa kekhawatiran
yang berlebihan. Sikap jujur yang ada pada diri siswa akan memberikan rasa percaya diri sehingga
UN tidak lagi menjadi monster yang menakutkan.
2. Pagi itu sekolah saya mengundang wali murid kelas 9. Mereka diundang
terkait hasil Latihan Ujian Nasional (LATNAS) yang seminggu sebelumnya
dilaksanakan. Tampak wajah para wali murid terlihat tegang. Mungkin
dalam hati mereka bertanya-tanya, sumbangan apa lagi ya yang akan
diminta sekolah. Wajar kalau di hati mereka muncul pertanyaan semacam
itu. Bukankah setiap ada undangan dari sekolah biasanya ujung-ujungnya
membicarakan sumbangan ?. He!!! tunggu dulu, belum tentu lho!!.
Untung teman saya yang menjadi pembawa acara membaca situasi di
atas. Segera saja sebelum acara dimulai yang bersangkutan mencairkan
suasana dengan mengajak para hadirin tersenyum. Dan cling!!! , sebagian
besar hadirin tersenyum. Dengan gaya kocaknya, teman saya mengajak
hadirin ngobrol ngalor ngidul. Mungkin lebih tepat mendengarkan teman
saya bermonolog tentang suka dukangopeni putra-putri hadirin menjelang
ujian nasional. Suasanapun mirip acara Stand Up Comedy, yang sedang
populer saat ini. Dengan logat khas mBanyunasan yang familiar dengan
kata Inyong alias ngapak-ngapak-nya diberitahukan kepada wali murid,
mereka diundang tidak untuk dimintai sumbangan tapi akan diberikan
laporan hasil LATNAS. Dan hadirinpun menabung rasa lega.
Tampaknya kelegaan hadirin tidak berlangsung lama. Ketika masuk acara
laporan dari urusan kurikulumm terkait hasil LATNAS yang telah dilaksanakan
wajah hadirin kembali tegang. Senyum yang tadi sempat mengembang
redup bak sinar mentari tertutup mendung hitam. Galau, mungkin istilah
anak sekarang untuk menggambarkan suasana hati orang tua siswa. Apa
sebab?, orang tua galau saat mendengar bahwa hasil LATNAS menunjukkan
bahwa hanya 12% dari 205 siswa yang memenuhi kriteria kelulusan.Suasana
galau yang menyelimuti hati orang tua siswa berakibat pada acara
berikutnya. Dari acara paparan kepala sekolah tentang pelaksanaan UN,
tanggpana komite , sampai dengan acara tanya jawab kurang menadapat
respon hadirin. Ya mereka benar-benar galau.
Pada saat penyerahan hasil LATNAS terjadi saling curhat antara wali kelas
dan wali murid. Wali kelas melaporkan anak-anak yang sulit untuk dimotivasi
agar lebih bersemangat belajar.Masalah siswa yang lebih senang bermain-
main di kelas bahkan yang sering mbolos saat tambahan pelajaran.
Sementara wali murid curhat betapa sulitnya menyuruh anak belajar di
rumah , anak lebih suka nonton TV, main HP, main game online, sampai anak
putri yang rajin pacaran. Dari saling curhat tersebut muncul kesepakatan
untuk saling bekerja sama dalam membimbing siswa, agar pada Ujian yang
sebenarnya siswa dapat lulus. Tentu saja tidak hanya 12% tetapi 100%. Amin.
Tidak hanya siswa yang tampak galau. Para gurupun juga terselimuti
kegalauan. Bagaimana tidak?, jika hasil UN nanti berakibat pada rendahnya
3. tingkat kelulusan siswa , para gurulah yang akan menjadi sorotan
masyarakat. Bagi masyarakat, yang mereka tahu bahwa saat ini dengan
adanya tunjangan sertifikasi, gaji guru sudah cukup tinggi.Tentu saja dengan
gaji tinggi seharusnya kualitas pembelajaran juga meningkat yang ditandai
dengan peningkatan tingkat kelulusan siswa dalam UN. Masyarakat tidak
mau tahu bahwa banyak faktor dalam hal kelulusan siswa. Input siswa,
sarana prasarana, motivasi belajar, dukungan orang tua dan lingkungan
adalah faktor yang tidak kalah penting. Yang mereka tahu sekolah
membuat anak bodoh menjadi pintar. Titik.
Ya, UN yang katanya diselenggarakan sebagai upaya pemetaan
pendidikan di seluruh nusantara berubah menjadi penentuan nasib peserta
didik. UN sering dikritik sebagai bentuk kegiatan yang mengabaikan tujuan
proses pendidikan sebagai pemerdekaan serta mengenyampingkan fungsi
dan tanggung jawab guru profesional dalam tugasnya membantu peserta
didik dalam proses pemerdekaannya. Ada perasaan tidak adil bagi sekolah
dengan keterbatasan sarana prasaran, input siswa rendah dan lingkungan
yang kurang mendukung dituntut diperlakukan sama dengan sekolah
dengan kondisi ideal. Meskipun demikian hal tersebut hendaknya tidak
menjadi dalih untuk tidak berusaha semaksimal mungkin meraih prestasi
dalam keterbatasan yang ada.