1. BERHIJAB DALAM HATI
KARYA : HENI HANDAYANI
Aku seorang mahasiswa salah satu universitas swasta di Kudus. Aku
mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling. Awalnya aku tak punya
alasan yang kuat mengapa aku mengambil jurusan ini. Semula aku
memilihnya hanya karena alasan ekonomi keluargaku yang dapat
dikatakan di bawah rata-rata. Aku sempat ikut program beasiswa di salah
satu universitas negeri di semarang. Namun, memang dewi fortuna tak
berpihak padaku. Aku pun tak lolos ujian masuknya. Banyak pihak yang
kecewa atas kegagalanku ini. Mereka pikir aku pantas mendapatkan peluang
ini karena memang di bidang itulah bakatku selama ini. Ya..aku
mengambil program studi Matematika dan bahasa Inggris. Dengan berbekal
piagam English Debate yang ku peroleh sewaktu kelas XI, kepercayaandiriku
pun semakin meningkat. Tapi, memang belum rejeki. Ketika melihat
pengumuman hasil seleksi, aku tak menemukan namaku tertulis di daftar
nama mahaiswa yang diterim,a. Seketika itu, tubuhku terasa lemas. Aku
merasa telah mengecewakan orang tuaku. Mereka telah mendukungku
semaksimal mungkin. Bahkan bapak rela tak bekerja sehari demi
mengantarku ke Semarang untuk mengikuti seleksi. Aku ingat benar apa
yang dilakukan bapak ketika sedang menungguku. Beliau tidur di bawah
pohon beringin yang ada di sekitar tempatku seleksi. Aku paham betul
mengapa hal ini beliau lakukan. Beliau tak tahan lagi menahan kantuk
yang menderanya karena sejak tengah malam beliau tidak tidur. Beliau
masih harus membantu pekerjaan ibu menjadi buruh pencabut bulu ayam.
Aku merasa iba padanya. Tapi, apa yang bisa aku lakukan ? Aku pikir
dengan diterimanya aku di universitas tersebut, aku akan dapat membalas
pengorbanannya. Namun, semuanya sirna. Aku tak perlu lagi berkhayal
2. seperti itu. Itu semua hanya angan semu. Semuanya sudah terjadi,
pengumuman itu telah keluar. Dan disitu telah jelas bahwa dari sekian nama
mahasiswa yang diterima, tak kujumpai namaku, Rindi Alina.
Penyesalanku semakin menjadi ketika ku ingat ibu yang berlari mengantar
jam tanganku yang tertinggal di rumah ketika aku berangkat seleksi. Aku
tak kuat mengenang itu semua. Biarlah itu menjadi memori indah yang
senantiasa memacuku dalam menggapai impianku.
Kini aku mulai menikmati profesiku sebagai seorang calon konselor.
Walaupun aku harus mengurungkan niatku untuk menjadi guru Bahasa
Inggris, tetapi aku yakin aku akan lebih berhasil dalam bidang yang ku
tekuni saat ini. Lagi pula pada jurusan ini aku juga dapat mengembangkan
bakatku dalam bidang berbahasa. Sewaktu aku masih smester satu, aku
memang tergolong mahasiswa yang pasif. Aku jarang berpendapat. Aku
masih enggan menjalani jadwal perkuliahan. Semua ini terjadi karena aku
masih terobsesi untuk menjadi guru Bahasa Inggris. Namun, jika ingat
perjuangan orang tua untuk membiayaiku kuliah, segera aku tersadar dan
semangat untuk kuliah. Hasilnya, sampai semester lima sekarang telah
banyak perubahan yang terjadi dalam diriku. Sekarang aku menjadi
mahasiswa yang aktif berpendapat. Aku sering bertanya dan memberi
tanggapan ketika diadakan sesi tanya jawab dalam presentasi. IPKku pun
selalu mengalami peningkatan dalam setiap semesternya. Ditambah lagi
dengan beberapa pujian yang sering disampaikan oleh beberapa dosen
padaku. Ini menambah semangatku dalam berprestasi di kampus. Dari
sekian banyak kata-kata dari dosen, yang paling ku ingat adalah kata-kata
Pak Surya. Beliau mengatakan bahwa aku berpotensi dalam bidang
linguistic. Apalagi didukung oleh analisisku yang tajam. Ini akan
memudahkanku meraih sukses dalam bidang ini. Betapa senangnya hatiku
mendengarnya.
3. Kata-kata itu selalu ku ingat. Ku jadikan itu sebagai cambuk bagiku
untuk meningkatkan dan mengembangkan semua potensi yang ku miliki.
Semangat ini selalu aku bawa dalam melaksanakan setiap tugas dari dosen.
Pada semester lima ini, ada tugas salah satu mata kuliah yang menuntut
mahasiswa untuk praktik di sekolah. Aku senang melaksanakannya. Aku
pikir ini akan menambah pengalamanku untuk berhadapan langsung
dengan siswa. Lagi pula memang inilah yang menjadi ending seorang guru.
Pada akhirnya memang menghadapi siswa. Awalnya aku mengalami
kesulitan dalam mencari sekolah. Namun, mau apa lagi, aku coba untuk
nekad memasuki setiap sekolah yang aku lewati. Memang banyak yang
menolakku untuk praktik di sekolah mereka. Namun, ada juga kepala
sekolah yang berbaik hati dan berkenan menerima praktik disana.
Beberapa hari kemudian, aku berkesempatan untuk praktik pelayanan
Bimbingan dan konseling di salah satu SD negeri di kabupaten Kudus.
Pertama aku memasuki kawasan sekolah itu, siswa-siswanya menyambutku
dengan gembira, walaupun mereka tentu belum tahu maksud kedatanganku.
Ketika melihat aku dan teman-temanku tiba disana, sang kepala sekolah
pun menyambutku dengan ramah. Kami langsung diantarkan menuju
kelas tempat kami praktik. Beliau memberi kami kebebasan dalam praktik.
Tak selang berapa lama, kami pun segera mulai praktik dengan layanan
masding-masing. Pada waktu itu, aku memberikan layanan Bimbingan
Kelompok dan Informasi dalam bidang agama. Sementara topic yang aku
sampaikan adalah “Manfaat Menghadiri Acara Keagamaan”. Respon dari
siswa begitu menyenagkan. Mereka begitu asyik mengikuti layanan yang
aku berikan. Melihat antusiasme mereka aku pun merasa puas. Aku merasa
telah berhasil dan pantas untukmenjadi seorang konselor. Semoga saja…..
Setelah kami menyelesaikan tugas masing-masing, kami pun berpamitan
4. pada kepala sekolah untuk kembali ke kampus. Beliau pun melepas kepergian
kami dengan senyum yang senantiasa menghiasdi bibirnya.
Perjalanan dari sekolah tersebut ke kampus kami tak begitu lama.
Kami hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di kampus.
Sepuluh menit kemudian kami tiba di parkiran kampus. Kami pun turun
dari sepeda motor dan melangkah menuju kelas tempat kami akan
menempuh perkuliahan hari ini. Kebahagiaan dari sekolah tadi masih
melekat di benakku sehingga untukberjalan ke kelas yang letaknya jauh
dari parkiran pun ku lalui tanpa terasa lelah. Ketika aku sampai, kelasmasih
tampak hening. Hanya Putra, temanku yang terkenal pendiam ini memang
selalu berangkat lebih awal dari teman yang lain. Tak berapa lama
kemudian, Nana pun datang. Dia adalah teman yang dapat dikatakan
akrab denganku, walaupun kadangagak menjengkelkan. Tapi, kalau sudah
baik, dia akan setia membantuku. Selang beberapa menit, teman yang lain
mulai berdatangan, termasuk pula Adi, sang ketua kelas. Seperti biasa,
ketika semua mahasiswa telah berkumpul, maka akan dibagi menjadi
beberapa kelompok untuk melaporkan hasil praktik yang telah di lakukan.
Pada kesempatan waktu itu, aku sekelompok dengan Safi. Dia dikenal
sebagai mahasiswa yang pandai dan rajin. Sempat aku menaruh simpati
padanya. Namun, karena semuanya sirna ketika dia pernah berkata kasar
padaku. Dia berkata bahwa itu hanya bercanda. Namun, menurutku itu buka
kata-kata dalam bercanda dan tidak layak diucapkan oleh seorang
mahasiswa.
Aku tak begitu semangat dalam presentasi waktu itu. Satu-satunya
alasanku adalah karena kehadiran mahasiswa itu. Sudah sering kata-
katanya menyinggungku. Aku pun sudah memutuskan untuk jarang
berkomunikasi dengannya. Tapi, dalam situasi seperti ini, komunikasi tak
dapat terdhindarkan lagi. Sampai pada waktunya aku untuk melaporkan
5. hasil praktikku. Karena tidak terlalu semangat, aku pun memberi
keterangan dengan singkat. Ketika aku selesai melaporkan, sudah ku duga,
safi pun memberi tanggapan.
“Sasaran Mbak Rindi itu siswa beragama apa ?” Tanyanya
“Islam mas”. Jawabku singkat
“Kok nggak pake jilbab Mbak?” tanyanya lagi
“ Ya, menurut saya, topic yang saya sampaikan kan nggak berhubungan
dengan aurat mas. Jadi, saya pikir nggak perlu” Jawabku menjelaskan
“menurut saya ya Mbak. Kalau Anda ingin memberi ceramah keagamaan
harus pake jilbab Mbak.” Sarannya
“Ya mas. Lain kali saya akan pake jilbab” kataku
“Orang kalau mau ngasih ceramah itu harus bener dulu Mbak. Mbaknya
sendiri belum bener kok mau ngasig ceramah.” Katanya sinis.
Hatiku terasa seperti tengah terselut api kemarahan. Namun, aku
sadar betul sedang dimana aku berada sehingga dengan sekuat tenaga ku
tahan amarah yang kini membara dalam hatiku. Bukan karena sarannya,
aku justru senang dengan saran yang ia berikan. Tapi, aku merasa tehina
dengan kata-katanya yang menyebutku “orang nggak bener”. Memangnya
dia pernah melihatku melakukan sesuatu yang melanggar norma? Dia tidak
mengenalku. Darimana dan apa dasarnya dia berkata seperti itu? Aku
memang belum mengenakan jilbab. Tapi, bukan berarti aku membenci jilbab.
Aku ingin suatu saat aku dapat mengenakannya. Aku ingin tak hanya
auratku yang aku jilbabi, tapi juga hatiku. Untuk melakukan semua itu tak
mudah. Butu suatu kesiapan batin. Aku tahu mengapa dia berkata begitu
padaku. Dia beranggapan bahwas orang yang berhijab pastilah manusia-
6. manusia suci. Sementara, wanita yang tak berhijab adalah manusia hina
yang tak bermoral dan tak punya akhlak. Jelas aku tak setuju dengan
anggapan picik semacam itu. Lagi pula, dia seorang mahasiswa. Tak
sepantasnya dia mempunyai pikiran sepicik itu.aku jelas merasa sakit hati
dan tidak rela dengan apa yang telah ia katakan.
Sakit hatiku ini begitu mendalam karena itu menyinggung prinsip
hidupku. Aku semakin enggan dekat dengannya. Aku tak ingin dekat
dengan orang yang tak dapat menghargai prinsip orang lain. Hari demi hari
ke lewati dengan rasa sakit yang masih melekat di benakku. Untuk
menghilangkan semua itu, ku ajak teman kosku untuk jalan-jalan ke
tempat perbelanjaan di kudus. Memang benar, seorang wanita ketika sedang
berbelanja maka hilanglah segala penat yang ia rasakan. Dan itu pula yang
aku rasakan. Ketika sedang asyiknya aku memilih-milih sepatu, aku
tertegun hebat. Aku melangkah mendekat menuju objek yang membuatku
penasaran. Aku ingin memastikan apa yang aku lihat. Ternyata memang
benar, itu dia. Dia manusia suci. Dan dia juga tengah bersama dengan
manusia suci pula, wanita berhijab. Memang serasi, sang wanita begitu
anggun mengenakan jilbab. Namun, kekagumanku itu lenyap seketika
waktu melihat mereka berciuman. Padahal, itu pusat perbelanjaan. Itu tempat
yang penuh dengan banyak pasang mata yang setia mengawasinya. Tanpa
melihat keadaan sekitar, reflex saja aku mendekati mereka dan menyapa
mereka.
“Pagi mas. Nggak nyangka ketemu disini” sapaku
“Eh, Iya Rin. Ka..kamu sedang apa?” balasnya menyimpann kecemasan
“Ya belanja lah mas. Eh ini siapa, kok nggak dikenalin? Kataku dengan
nada santai
7. “Aku pacarnya Mbak. Mbak kok kenal mas safi?” sambung wanita itu.
“Aku teman kuliahnya Mbak. Ya sudah kalian lanjutkan belanja dulu. Aku
sudah lama disini, mau pulang dulu. Mari Mbak, Mas.”kataku sembari
melenggang meninggalkan mereka.
Hatiku seakan masih tak percaya mendengar apa yang telah kulihat
tadi. Bukan benci, bukan cemburu yang aku rrasa, melainkan puas. Puas
karena bisa membuktikan bahwa pelanggaran norma tak selamanya tertuju
pada wanita tak berjilbab. Baru saja aku melihat sosok wanita yang ku kira
anggun lahir batin, ternyata melakukan apa yang belum pernah aku
lakukan tanpa rasa malu. Sementara, diantara mereka berdua belum ada
ikatan suci pernikahan.
Esok harinya aku ke kampus seperti biasa, kali ini agak siang karena
aku tahu betul pasti dosennya akan datang telat. Ketika aku sampai di
kampus ternyatta malah belum ada mahasiswa yang datang. Hanya satu
orang yang mengisi kekosongan kelas luas itu. Sosok manusia yang
kemarin telah mencuri perhatianku dengan perilakunya yang sungguh di
luar dugaan. Ku dekati dan ku sapa dia.
“Pagi mas.” Sapaku
“Pagi Rin.” Balasnya.
“Kenapa, kok mau pergi mas?” tanyaku
“nggak papa.” Jawabnya singkat.
“Malu ya?” tanyaku lagi sambil mengikutinya
“Malu kenapa?” tanyanya balik.
8. “Ya karena kemarin sudah berciuman. Atau mungkin memang sudah
nggak punya malu sampai-sampai ciuman di tempat umum.” Kataku
meluapkan emosi
“Jangan ngomongin itu.” Katanya berbisik
“Lho kenapa? Bukannya itu sudah wajar, orang ciuman di tempat umum aja
Mas sudah nggak malu kok. Apalagi sama cewek berhijab, pasti nilai
prestisnya lebih dong. Kalau cewek kayak aku sih nggak ada harganya.
Orang ciuman aja belum tahu caranya kok.” Kataku menyindir.
“Kamu bilang apa? Tutup mulutmu.” Bentaknya
“Mas, aku nggak akan ngomong kayak gini kalau kamu nggak
nyinggung prinsipku. Aku emang nggak kayak pacarmu yang berhijab.
Tapi aku juga pengen Mas. Tapi setelah ngelihat kelakuan kalian kemarin
kayaknya aku nggak akan cepet-cepet jilbabi ragaku dulu, tapi aku akan
menjilbabi hatiku. Karena aku akan berhijab dalam hati sebelum berhijab
untuk ragaku. Dan kayak yang kamu bilang kemarin, aku bukan orang
bener, jadi aku akan menjadikan diriku bener lebih dulu. Dan asal kamu
tahu, kalau aku bukan orang bener, lalu kamu siapa ? Orang yang suka
ngasih ceramah, tapi tak bisa melakukannya.” Kataku meluapkan emosi
yang masih terpendam
“Ya,maafkan perkataaanku kemarin Rin. Aku telah salah menilaimu. Aku
malu Rin.” Katanya tertunduk
“Baguslah kalau kamu menyadarinya. Aku juga minta maaf telah berkata
kasar padamu. Inget-nget aja Mas, aku akan berhijab kalau aku telah
mampu berhijab untuk hatiku karena menurutku, hijab itu suci Mas, bukan
untuk main-main apalagi sebagai mode.” Kataku sambil berlalu
meninggalkannya.
9. Aku lega, api kemarahan itu serasa telah padam seiring dengan kata
maaf yang terucap darinya.