Teks tersebut merupakan curahan hati seseorang tentang perjalanan hidupnya sejak SMA hingga kuliah. Ia mengalami kesulitan karena tidak bisa memilih sekolah sesuai minatnya, namun tetap berusaha mengembangkan soft skill dan prestasinya. Selama kuliah, ia aktif dalam organisasi serta meneliti fitoremediasi dengan penuh tantangan. Pengalaman tersebut membuatnya semakin tertarik untuk terus belajar tent
My passion, My life...Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
1. My Passion, My Life...
Beda itu Anugerah dengan Cara-Nya
Sejak lama, hmm...mungkin persisnya ketika SMA aku sudah bercita-cita untuk
bisa bekerja dengan berbagi sesuatu, bisa berupa jasa ataupun ilmu. Memang,
sejujurnya aku menempuh pendidikan bukan di SMA impian aku walaupun di atas
kertas, sekolah tersebut tergolong favorit. Ketika itulah, aku merasa unik...iya unik.
Ketika teman-teman aku begitu mencari cita-cita untuk bisa sekolah di sana, justru
aku mencari sekolah yang bisa menampung minat aku. Unik bukan? Waktu itu, ilmu
parenting mungkin belum banyak dikupas, terutama pentingnya akomodasi terhadap
minat dan bakat anak. Ketika itu, aku merasa diarahkan seolah hanya mengejar nilai
di atas kertas. Belum ada trending terhadap pentingnya nilai dari suatu softskill,
tetapi aku justru ingin memperkuat softskill yang mungkin bisa aku kembangkan.
Aku jadi teringat tentang usahaku untuk mengembangkan minatku yang tertuju
pada ekskul Paskibra. Entah kenapa, mungkin saking seringnya melihat ayah aku yang
wajib apel di kesatuannya, lalu sering beri hormat ke Sang Saka Merah Putih,
hehehe.... Maka, dengan sendirinya timbul angan-angan untuk dapat melakukan
prosesi upacara dan menjalankan tugas menjadi pengibar bendera yang ‘ahli’ (versi
imajinasi anak SD). Terlebih, kakak aku yang sudah terlebih dahulu menjadi anggota
Paskibraka di SMP dan SMA dimana dia bersekolah.
Namun, impian masa remaja itu kandas karena aku tetap ‘dijebloskan’ ke
sekolah favorit itu dengan dalih ibuku bahwa NEM aku ketika itu masih memenuhi
kualifikasi. Nama SMA yang mana telah aku tuliskan pada formulir pendaftaran
waktu itu pada akhirnya berubah sesuai dengan keinginan ibu saya. Malas sampai
harus beradu pembicaraan, akhirnya aku pun pasrah. Nama SMA yang aku inginkan
akhirnya menjadi yang ‘kedua’. Beberapa hari atau beberapa minggu kemudian,
ternyata impianku sirna dan aku pun masuk ke SMA atas hasil piliham ibuku.
Merasa bahwa aku ‘dibedakan’ perlakuannya daripada kakakku, hampir selalu
muncul ketika aku merasa “down” dengan suasana belajar di sana. Ditambah dengan
sulitnya mendapat teman yang “klik” di hati ketika kelas 1 SMA kala itu. Lengkaplah
sudah penderitaanku saat itu. Di saat SMA yang seharusnya bagi sebagian orang
menjadi tangga untuk menghantarkan cita-cita ke perguruan tinggi ternama, bagiku
itu adalah saat-saat tersulit bagi hidupku. Rasanya semua hasil prestasiku di SMP
yang selalu menghantarkan aku menjadi bintang kelas, seolah menjadi “boomerang”
bagi hidupku. I am not alive at that time. Dengan mem-flashback itu semua, aku pun
2. jadi belajar bahwa prestasi angka tidak selalu membawa kebahagiaan bagi
pemiliknya. Ironis bukan?! Setidaknya aku jadi lebih mendapatkan hikmahnya
sekarang. Sungguh benar ungkapan bahwa pengalaman adalah guru terbaik.
Di situ, aku sudah tidak merasakan ada ‘passion’ lagi dalam menjalani hari-hari
di sekolah. Aku mencoba menambah softskill berupa ekskul angklung, yang notabene
sudah punya ‘nama’ di luar sekolah. Aku ikuti dengan serius...iya, serius walaupun itu
semua di luar impian aku sebelumnya karena sejak kecil aku telah didik untuk selalu
total atas apa yang menjadi kewajiban sebagai hasil dari proses memilih. Aku terus
gali sisi yang bisa bikin aku enjoy dan bersyukur dengan pengalaman yang aku
peroleh. Setidaknya beberapa tahun kemudian, aku bisa merasakan efek positifnya
walaupun menggantungkan angan-angan dan harus melepaskan cita-cita sesuai
minatku itu bukanlah hal yang mudah.
Tibalah saatnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. “Kali ini apa yang
aku cita-citakan takkan aku biarkan melayang lagi”, itulah pikiran yang selalu mengisi
hari-hariku dari sejak menjalani proses seleksi masuk PTN dan ketika menjalani
perkuliahan di PTN favorit di Kota Bandung itu. Pada akhirnya, itu semua
membawaku pada konsekuensi bahwa semua butuh perjuangan, termasuk
meyakinkan orangtuaku, terutama ibuku. Yang dimaksud di sini adalah bahwa
walaupun ada waktu lebih yang mesti aku korbankan untuk hal-hal non-akademis
(softskills), pada akhirnya aku berjanji bahwa IPK setiap semester tidak akan kurang
dari 3.00. Alhamdulillah, itu dapat aku buktikan. Walaupun setiap hari, saya harus
berjibaku sebagai anak ‘angkoter’ yang harus meluangkan waktu 2 jam one-way
untuk menempuh jarak antara rumah dan kampus agar tidak sampai terlambat
masuk kelas perkuliahan.
Setiap nilai semester tak lupa aku update kepada orangtuaku dibarengi dengan
cerita-cerita tentang kontribusiku melalui berbagai kegiatan di kampus. Semua itu
aku lakukan dengang sungguh-sungguh dibarengi dengan ikhtiar dan doa. Pelan-
pelan orangtuaku seperti tersadar apa positifnya mencari kegiatan lain selain
akademik. Pelan-pelan mereka mengerti bahwa aku sudah paham passion-ku sendiri
dan bagaimana caraku agar aku dapat meraihnya. Ditambah lagi dengan berhasilnya
aku mendapatkan beasiswa akademik dari suatu perusahaan besar, yang justru
berhasil dikarenakan ada penilaian bahwa aku aktif berorganisasi, maka orangtuaku
makin bersyukur. Aku bahkan tidak ingat persis bagaimana aku akhirnya
mendapatkan informasi bahwa segala bentuk kegiatan kemahasiswaan dapat
dilaporkan kepada pihak kampus sehingga pada akhirnya dapat diterbitkan suatu
sertifikat yang menunjukkan keaktifan sesorang selama berkuliah. Satu-satunya yang
3. aku ingat, tanpa sengaja ketika itu aku menuju ke sebuah rapat mahasiswa, lalu
membaca sebuah pengumuman di sebidang papan pengumuman yang cukup besar.
Papan pengumuman tersebut memang selalu memuat informasi-informasi seputar
kemahasiswaan, mulai dari info beasiswa, seminar ilmiah atau kewirausahaan, dan
berbagai pengumuman resmi dari pihak rektorat.
Alhamdulillah, beasiswa akademik tersebut sangat mendukung bagi saya untuk
mengerjakan tugas akhir dimana penelitian bidang biologi tidak lepas dari material
bahan dan alat-alat pendukung selama ekserimen, apalagi bidang penelitianku
‘fitoremediasi’ terbilang baru di lab-ku ketika itu. Belum banyak juga jurnal nasional
yang membahasnya. Akan tetapi, ketika aku mulai gali lebih dalam mengenai
fitoremediasi via google, ternyata sudah banyak jurnal internasional yang sudah
membahasnya dari hulu hingga ke hilir (mulai skala laboratorium hingga penerapan
di lapangan). Hanya saja, jurnal yang pembahasannya terkait dengan regulasi
ataupun penerapan intensifnya memang baru beberapa. Oleh karena itulah,
walaupun dosen pembimbingku tertarik ke dalam dunia fitoremediasi, beliau belum
memilki link dengan pihak luar kampus untuk dapat diajak bekerja sama dalam
penelitiannya. Saya pun pada akhirnya tertantang untuk dapat terjun di dalamnya,
walaupun biaya penelitian harus diupayakan secara mandiri.
Dengan menjalani tema penelitian tersebut, saya pun harus berinisiatif
menggali sendiri dunia fitoremediasi dengan mengunduh banyak jurnal, terutama
jurnal-jurnal internasional dengan mengandalkan sarana warnet (warung internet)
yang begitu booming ketika saya masih kuliah. Fasilitas free Wi-Fi masih belum
ditemukan di berbagai kampus maupun cafe seperti sekarang. Saya bisa
menghabiskan waktu berjam-jam mencari-cari jurnal yang relevan, membaca secara
detil tiap jurnal, lalu berusaha menemukan citation jurnal yang kiranya perlu saya
pelajari lebih jauh mengenai mekanisme tumbuhan yang menjadi andalan dalam
teknologi “hijau” fitoremediasi.
Tantangan akhirnya menyerua. Di saat aku harus mengenali fitoremediasi
secara mandiri di bawah supervisi dosen pembimbing, kegiatan kemahasiswaan
dengan berbagai amanah di dalamnya tidak mungkin pula aku kesampingkan. Pulang
malam menggunakan angkot yang membutuhkan waktu hampir 2 jam untuk sampai
ke rumah pun menjadi makanan sehari-hari. Tidur pukul 2, selepas shubuh aku pun
harus kembali ke kampus untuk melanjutkan penelitian.
Faktor trial-and-error tidak terhitung lagi, karena belum ada penelitian serupa
sebelumnya yang dilakukan oleh senior-seniorku di departemen tempat aku kuliah.
Mulai dari pengadaan sampel tanaman, lokasi penelitian (laboratorium dan rumah
4. kaca), perlakuan dan cara kerja, penanganan sampling, hingga proses pengujian,
benar-benar aku harus koordinasikan dengan banyak pihak. Tidak hanya internal
jurusan, bahkan aku harus mengatur waktu untuk survei dan bertemu dengan pihak-
pihak luar kampus, semuanya harus dipastikan terjadwal dengan baik. Alhamdulillah,
dengan pengalaman seperti ini, aku bertekad dalam diri bahwa ini semua akan
menjadi pembelajaran untuk mengasah segala sisi dalam diriku, baik afeksi, kognitif,
mau softskilsl-nya. Semua itu akhirnya diakhiri dengan kesempatan bagiku untuk
lulus tepat waktu. Itu memang menjadi targetku, karena beasiswa akademik yang
digunakan untuk biaya tugas akhirku hanya aku terima dalam kurun waktu 1 tahun.
Selama melakukan penelitian sarjana tersebut, aku merasa begitu enjoy dengan
berbagai tantangan dan keberhasilan yang silih berganti. Seolah ada ritme rutinitas
yang akhirnya aku nikmati, dan aku merasa ada kepuasan tersendiri diberi
kesempatan seperti itu. Mungkin dari ritme “unik” itulah, akhirnya timbul keinginan
dariku untuk studi hingga S2 bahkan S3 dalam mempelajari dan mengembangkan
ilmu seputar fitoremediasi. Apalagi di Indonesia memang belum banyak yang
mempelajarinya, padahal polusi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.