Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Biografi ibnu sina
1. TUGAS FILSAFAT
Dosen Pembimbing: M. Asep Fathur Rozi, M.Pd.I
Amalia Damayanti
Program Studi: Ekonomi Syariah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM) TULUNGAGUNG
2016
2. A. Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā. Ibnu Sina lahir
pada 980 M di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian
Persia). Ia berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah
terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Orang tuanya adalah seorang pegawai tinggi pada
pemerintahan Dinasti Saman. Ia dibesarkan di Bukharaja serta belajar falsafah dan ilmu-ilmu
agama Islam.
Saat berusia 10 tahun dia banyak mempelajari ilmu agama Islam dan berhasil
menghafal Al-Qur'an. Ia dibimbing oleh Abu Abdellah Natili, dalam mempelajari ilmu logika
untuk mempelajari buku Isagoge dan Prophyry, Eucliddan Al-Magest Ptolemus. Setelah itu dia
juga mendalami ilmu agama dan Metaphysics Plato dan Arsitoteles.
Suatu ketika dia mengalami masalah saat belajar ilmu Metaphysics dari Arisstoteles.
Empat Puluh kali dia membacanya sampai hafal setiap kata yang tertulis dalam buku tersebut,
namun dia tidak dapat mengerti artinya. Sampai suatu hari setelah dia membaca Agradhu kitab
ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat
jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala
ilmu Metaphysics.
Setelah berhasil mendalami ilmu-ilmu alam dan ketuhanan, Ibnu Sina merasa tertarik
untuk mempelajari ilmu kedokteran. Ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya.
Meskipun secara teori dia belum matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam
mengobati orang-orang sakit. Setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Allah
agar diberikan petunjuk, maka didalam tidurnya Allah memberikan pemecahan terhadap
kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapinya.
Suatu ketika saat Amir Nuh Bin Nasr sedang menderita sakit keras. Mendengar tentang
kehebatan yang dimiliki oleh Ibnu Sina, akhirnya dia diminta datang ke Istana untuk mengobati
Amir Nuh Bin Nasr sehingga kesehatannya pulih kembali. Sejak itu, Ibnu Sina menjadi akrab
dengan Amir Nuh Bin Nasr yang mempunyai sebuah perpustakaan yang mempunyai koleksi
buku yang sangan lengkap di daerah itu. Sehingga membuat Ibnu Sina mendapat akses untuk
mengunjungi perpustakaan istana yang terlengkap yaitu Kutub Khana.
Berkat perpustakaan tersebut, Ibnu Sina mendapatkan banyak ilmu pengetahuan untuk
bahan-bahan penemuannya. Pada suatu hari perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang
3. setempat menuduh Ibnu Sina bahwa dirinya sengaja membakar perpustakaan tersebut, dengan
alasan agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.
Ibnu Sina lahir di zaman keemasan Peradaban Islam. Pada zaman tersebut ilmuwan-
ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India.
Teks Yunani dari zaman Plato, sesudahnya hingga zaman Aristoteles secara intensif banyak
diterjemahkan dan dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam.
Pengembangan ini terutama dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, Aljabar,
Trigonometri, dan ilmu pengobatan. Pada zaman Dinasti Samayid dibagian timur Persian
wilayah Khurasan dan Dinasti Buyid dibagian barat Iran dan Persian memberi suasana yang
mendukung bagi perkembangan keilmuan dan budaya. Di zaman Dinasti Samaniyah, Bukhara
dan Baghdad menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahun dunia Islam.
Saat berusia 22 tahun, ayah Ibnu Sina meninggal dunia. Pemerintahan Samanid menuju
keruntuhan. Masalah yang terjadi dalam pemerintahan tersebut akhirnya membuatnya harus
meninggalkan Bukhara. Pertama ia pindah ke Gurganj, ia tinggal selama 10 tahun di Gurganj.
Kemudia ia pindah dari Gurganj ke Nasa, kemudian pindah lagi ke Baward, dan terus berpindah-
pindah tempat untuk mempelajari ilmu baru dan mengamalkannya.
Shams al-Ma’äli Qäbtis, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibnu Sina
mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh
oleh pasukannya yang memberontak. Ia sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah.
Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, ia bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah
ruman didekat rumahnya sendiri di mana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari
buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini, dan permulaan dari buku Canon of
Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.
B. Karya-karya dari Ibnu Sina
Karya yang ditulis oleh Ibnu Sina diperkiranan antara 100 sampai 250 buah judul. Karya-
karya Ibnu Sina yang terkenal dalam Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat, dan Al-Isyarat.
Karyanya yang terkenal dalam bidang kedokteran adalah Al-Qanun. Kualitas karyanya yang
bergitu luar biasa dan keterlibatannya dalam praktik kedokteran, mengajar, dan politik,
menunjukkan tingkat kemampuan yang luar biasa. Selain itu, ia banyak menulis karangan-
karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Beberapa Karyanya diantara lain :
4. 1. Al-Qanun fi Thib (aturan pengobatan)
2. Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
3. Al-Inshaf (buku tentang keadilan sejati)
4. An-Najah (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
5. Al-Musiqa (Buku tentang musik)
6. dan sebagainya.
Selain karya filsafatnya tersebut, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan syair. Beberapa
esainya yang terkenal adalah :
1. Hayy ibn Yaqzhan
2. Risalah Ath-Thair
3. Risalah fi Sirr Al-Qadar
4. Risalah fi Al- 'Isyq
5. Tahshil As-Sa'adah
Beberapa karya puisinya yaitu :
1. Al-Urjuzah fi Ath-Thibb
2. Al-Qasidah Al-Muzdawiyyah
3. Al-Qasidah Al- 'Ainiyyah
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina memperoleh penghargaan
yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filsafat besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi
tradisi filsafat muslim beberapa abad. Kehidupan Ibnu Sina dihabiskan untuk urusan negara dan
menulis. Pada usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di
Hamazan.1
C. Pemikiran Ibnu Sina
1. Wujud
Ibnu Sina dalam masalah wujud memadukan pandangan Mutakallimin, Aristoteles dan Neo-
Platonisme, sehingga menjadi suatu metode tersendiri dalam menganalis wujud. Menurut Ibnu
1 http://www.biografipedia.com/2015/07/biografi-ibnu-sina-ilmuwan-islam.html
5. Sina sifat wujud-lah yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat yang lain
termasuk esensi (mahiyyah). Esensi(hakikat) menurut Ibnu Sina terdapat dalam akal,
sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap esensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud maka esensi tidak besar artinya, oleh karena
itu wujud lebih penting dari esensi.Menurut Ibnu Sina kalau esensidikombinasikan
dengan wujud maka akan terjadi tiga kemungkinan yaitu:
a) esensi yang tak dapat mempunyai wujud disebut “mumtana’ ”,yaitu sesuatu yang mustahil
ber-wujud (mumtana’ al-wujud). Misalnya, adanya kosmos lain sekarang ini di samping
kosmos(jagat raya)yang ada.
b) esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak, hal ini disebut mumkin, yaitu sesuatu
yang mungkin berwujud dan mungkin juga tidak ber-wujud (mumkin al-wujud). Misalnya
alam ini pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c) esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini, esensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud, esensi dan wujud sama dan satu. Di sini, esensi tidak dimulai oleh tidak ber-
wujud dan kemudian berwujud, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-
lamanya ini disebut (wajib al-wujud) Necessary Being), wajib al-wujudinilah yang
mewujudkan mumkin al-wujud dan itulah Tuhan.
Selanjutnya wajib al-wujud ini ada dua macam, yaitu:
a) wajib bidhatihi sesuatu yang kepastian wujud-Nya disebabkan oleh zat-Nya sendiri. Artinya,
adanya tidak bergantung pada adanya sebab lain selain diri-Nya. Dalam hal ini, esensi tidak
bisa dipisahkan dengan wujud, keduanya adalah satu dan wujud-Nya tidak didahului oleh
tiada (ma’dum). Ia akan tetap ada selama-lamanya. Itulah Allah swt. Yang Maha Esa, Yang
Hak; Ia adalah al-‘Aql al-Muhaddah.
b) wajib bigayrihi yaitu sesuatu yang kepastian wujudnya oleh zat yang lain, artinya sesuatu
yang berwujud karena benda lain yang mewujudkannya. Misalnya, adanya empat karena 2 +
2 atau 3 + 1, adanya basah karena ada air, kebakaran disebabkan oleh api.
2. Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi,ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancarkan akal
pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya
sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang
6. terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal
kesepuluh adalah Jibril.
Teori emanasi ini telah diperkenalkan oleh Al-Kindi yang membuka jalan bagi Al-Farabi untuk
membahasnya secara terperinci, yaitu dimulai dari Tuhan sebagai “Wujud Pertama” dan “Akal
Murni” (al-‘aql al-muhaddah) di mana ia sebagai subjek pikir sekaligus menjadi objeknya.
Dengan ta’aqqul (berpikir) mulai ciptaan Tuhan dengan pelimpahan, wujud kedua dalam urutan
emanasi yang disebut al-‘aql al-wwal) dari “akal pertama” ini ber-ta’qqul, maka terwujudlah al-
‘aql al-thani (demikian seterusnya sampai kepada “akal kesepuluh” (al-‘aql al-‘ashir) disebut
juga dengan (al-‘aql al-fa’al).
Pada dasarnya teori emanasi Ibnu Sina adalah pengeluaran akal-akal sebagaimana yang
dikemukakan oleh gurunya, Al-Farabi . Namun ada bedanya, yaitu tatkala “Akal Pertama” ber-
ta’aqqul mengeluarkan “akal kedua” di sampingnya juga mengeluarkan dua wujud yang lain,
jadi bukan satu wujud saja seperti yang dikemukakan Al-Farabi, yaitu apa yang
disebutnya jarama al-fulk al-‘aqsha (langit dengan semua planetnya) dan nafs al-fulk al-
‘aqsha (jiwa dari langit dengan semua planetnya).
3. Filsafat Jiwa
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
a) Jiwa tumbuh – tumbuhan
Jiwa tumbuh-tumbuhan memilki banyak daya diantaranya daya makan,tumbuh,berkembang biak
b) Jiwa binatang
Dengan daya Gerak,Menangkap dengan dua bagian yaitu menangkap dari luar dengan panca
indera dan menangkap dari dalam dengan indera – indera dalam.
c) Jiwa manusia
Dengan daya praktis dengan badan teoritis yang hubungannya adalah dengan hal – hal
abstrak.Daya ini mempunyai tingkatan :
Akal materiil yang semata – mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal – hal abstrak.
7. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal – hal abstrak dengan tak
perlu pada daya upaya.
Jiwa dalam keberadaan hakikinya dengan demikian merupakan suatu substansi yang independen
dan adalah diri kita yang transendental. Argumentasi Ibnu Sina tentang keabadian jiwa itu
didasarkan atas pandangan bahwa jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk
tubuh, yang kepada bentuk itu jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertentu
keduanya. Di dalam jiwa yang muncul dari substansi yang terpisah intelegasi aktif bersama
dengan muncilnya suatu tubuh dengan temperamen tertentu terdapat suatu kecenderungan
tertentu untuk mengaitkan dirinya dengan tubuh ini, merawatnya, dan mengarahkannya
sedemikian rupa sehingga saling menguntungkan. Selanjutnya, jiwa sebagai non-badani,
merupakan suatu substansi yang sederhana dan substansi ini menjamin kesinambungan hidupnya
bahkan bila tubuh itu sendiri telah rusak. Hubungan antara jiwa dan tubuh demikian erat
sehingga hal ini bisa pula mempengaruhi akal.
4. Filsafat Kenabian
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu Illahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina
telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, imajinatif, keajaiban, dan
sosiopolitis. Totalitas keempat tingkatan ini member kita petunjuk yang jelas tentang motivasi,
watak, dan arah pemikiran keagamaan.
Ibnu Sina secara drastis memodifikasi teologi dogmatis muslim dengan menyatakan
bahwa wahyu di dalam al-Qur’an pada umumnya, jika tidak seluruhnya, merupakan kebenaran
simbolis, bukan kebenaran harfiah, tetapi wahyu itu tetap harus sebagai kebenaran harfiah bagi
orang awam (ini tidak berarti bahwa al-Qur’an itu bukan firman Tuhan).
Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibnu Sina dengan akal
aktif dan diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu dan sepanjang identitas ini masih
berlaku, akal aktif itu disebut dengan ’aql mustafad (akal yang telah dicapai). Namun nabi juga
manusia yang tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu hal
internal dengan nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu itu adalah
manusia, eksternal dengannya. Oleh karena itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa nabi, dalam hal
sebagi manusia, secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal aktif.2
2 https://quran-hadis.com/pemikiran-ibnu-sina-filsafat/