Ijtihad adalah usaha maksimal seorang ahli fiqh dalam memahami hukum syariat. Terdapat beberapa jenis ijtihad seperti ijtihad fardli dan ijtihad jama'i. Ijtihad berlandaskan al-Quran, sunnah, dan dalil akal. Terdapat syarat-syarat menjadi mujtahid seperti menguasai bahasa Arab dan hadis."
2. PENGERTIAN
IJTIHAD
Ijtihad berakar dari kata “jahda” secara etimologi berarti :
mencurahkan segala kemampuan (berpikir) untuk
mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam prakteknya
digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah :
pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal)
seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat
dhanni terhadap hukum syari‟at.
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku,
objek dan target capaian ijtihad adalah :
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar‟i bidang
amali (furu‟iyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan
tingkah laku orang mukallaf.
3. Hukum syar‟i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya
3. DASAR DASAR IJTIHAD
Sebagai landasan ijtihad adalah :
1. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu‟jizat yang
diturunkan kepada nabi Muhammad, yang disampaikan secara
mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
2. As-Sunnah
As-Sunnah menurut istilah syari‟at ialah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk
qaul (ucapan), fi‟il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh
serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri‟
(pensyari‟atan) bagi ummat Islam.
3. Dalil Aqli (Rasio)
Dalil Aqli adalah dalil yang bersumber dari akal pikiran
contohnya ijma' dan Qiyas para ulama dan sahabat Nabi.
4. Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad
1. Benar atau salah dalam berijtihad
2. Mengikat atau tidak pendapat hasil Ijtihad
3. Pembatalan Ijtihad
Macam-macam Ijtihad
Ijtihad Fardli atau Ijtihad secara individual
ialah ijtihad yang dilakukan secara mandiri oleh seseorang yang mempunyai
keahlian dan ijtihadnya belum dapat persetujuan dari ulama atau mujtahid
lain. Ijtihad fardi maerupakan langkah awal atau dasar dalam mewujudkan
ijtihad kolektif. Kalau tidak teardapata individu yang mampu dan ahli ijtihad,
maka tidak akan terjadi ijtihad kolektif yang sangat dibutuhkan
keberadaannya.
Ijtihad Jama‟i atau ijtihad secara kolektif
ialah ijtihad yang dilakukan secara bersama atau bermusyawarah terhadap
suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama.
5. IJTIHAD DALAM TINJAUAN
SEJARAH
Ditinjaudari segi historis ijtihad pada dasarnya telah tumbuh
sejak zaman nabi muhammad SAW, kemudian berkembang
pada masa sahabat, dan tabiin, serta generasi berikutnya
hingga kini dan mendatang dengan memiliki ciri khusus
masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari
„amr ibn al-„ash ra. Ia mendengar rosulullah bersabda:”
apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum,
kemudian dia berijtihad dan ternyata ijtihadnya benar, maka
baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya salah baginya satu
ganjaran.”
6. HUKUM IJTIHAD
Para ulama membagi hukum melakukan ijtihad menjadi 3
bagian,yaitu:
Fardhu „ain ,bagi orang yang di mintai fatwa hukum
mengenai suatu peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir
peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian
hukumnya.Atau ia sendiri mengalami peristiwa dan ia ingin
mengetahui hukumnya.
Fardhu kifayah , bagi orang yang di mintai fatwa hukum
mengenai suatu peristiwa yang yang tidak di khawatirkan
lenyap peristiwa itu,sedangkan selain dia ada mujtahid –
mujtahid yang lainnya.Maka apabila kesemua mujtahid itu
tidak ada yang melakukan ijtihad maka mereka berdosa
semua.Tetapi apabila ada seorang dari mereka memberikan
fatwa hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Sunnat ,apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-
7. FUNGSI IJTIHAD
1.Fungsi Al-Ruju‟ (kembali): mengembalikan
ajaran-ajaran islam kepada al-Qur‟an dan
Sunnah dari segala interpretasi yang kurang
relevan.
2.Fungsi Al-ihya(kehidupan) : menghidupkan
kembali bagian-bagian dari nilai dan islam
semangat agar mampu menjawab
tantangan zaman.
3.Fungsi al-Inabah(pembenahan): memenuhi
ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh
ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
8. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
1. Menguasahi bahasa arab dari segala aspeknya,serta mengetahui
maksud yang terkandung didalamnya harus mengetahui bahasa
arab.dalam hal ini al-Ghazali memberikan batasan tentang kadar
penguasaan bahasa arab yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid yaitu,mampu mengetahui khitab(pembicaraan).
2. Memiliki kemampuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum,serta mampu membahas
ayat tersebut untuk membahas hokum.
3. Mengenal dan mengerti hadist Nabi yang berhubungan dengan
dengan hukum baik Qouliyah, filiyah maupun taqririyah.
,penguasaan hadist minimal 2500 hdist menurut Ahmad bin
Hambal.
4. Mengerti tentang usul Fiqih sebagai sarana untuk istinbat hokum.
Menurut fakhruddin Al Razi dalam kitabnya al- Mahsul mengatakn
bahwa ilmu yang sangat penting bagi seorang mujtahid.
5. Mengenal ijmak bagi yang beranggapan bahwa ijmak sebagai dalil
syara‟sehingga tidak memberikan fatwa yang bertentangan
9. TINGKATAN MUJTAHID
1. Mujtahid mutlak yaitu:mujtahid yang mempunyai
kemampuan untuk menggali hokum syara‟
langsung dari sumbernya yang pokok yakni(AlQur‟an da sunnah) dan mampu menerapkan
metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai
landasan segala aktifitas ijtihadnya.
2. Mujtahid muntasib yaitu:mujtahid menggabungkan
dirinya dan ijtihadnya dengan suatu madhab.
3. Mujtahid muqoyyad yaitu:mujtahid yang terikat
kepada imam madzhab dan tidak mau keluar dari
madzhab dalam masalah ushul maupun furu‟.
4. Mujtahid murajih yaitu: mujtahid yang
membandingkan beberapa imam mujtahid dan
10. WILAYAH IJTIHAD
Kaitanya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum
bisa menjadi objek ijtihad. Hal-hal yang tidak boleh di ijtihad
antara lain;
1. Masalah qoth‟iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan
hukumnya dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil
naqli maupun aqli, hukum qoth‟iyah sudah pasti
keberlakuannya sepanjang masa sehingga tidak mungkin
adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada peluang
menginstimbatkan hukum bagi para mujtahid.
2. Masalah-masalah yang telah diijinkan oleh ulama‟ mujtahid
dari suatu masa, demikian pula lapangan hukum yang
bersifat ta‟abbudi (gharu ma‟qulil makna) dimana kualitas
„illat hukumnya tidak dapat di cerna dan diketahui oleh akal
mujtahid.