1. Nama : Reiven Chandra Wiguna Repi
NIM : GAC 115 098
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
MK : Sosiologi Politik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang
menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Konflik” secara
etimologis berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan“fligere” yang berarti
benturan atau tabrakan. Dengan demikian, “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan
pentingan,keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.
Teori konflik menurut para ahli
A. Teori Konflik Karl Mark (1818-1883)
Mark mempunyai beberapa pandangan tentang kehidupan sosial yaitu:
1. Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan.
2. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara
lembaga-lembaga sosial, seperti milik pribadi (property),perbudakan slavery), kapital yang
menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesamaan. Kesenjangan sosial terjadi dalam
masyarakat karena berkerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara
kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial
adalah kesenjangan sosial
3. Bagi Mark, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk
memperebutkan assetaset yang bernilai. Jenis dari konflik antara individu, konflik antara
kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa. Tetapi bentuk konflik yang paling menonjol
menurut Marx adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barang barang yang
material.
4. Karl Mark memandang masyarakat terdiri dari dua kelas yang didasarkan pada
kepemilikan sarana dan alat produksi yaitu kelas borjuis dan proletar.
2. 5. Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yang dalam hal ini
adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha.
6. Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam
pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual tenaganya.
B. Konflik Ralf Dahrendof (1959)
Ralf Dahrendof menyatakan bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas atas dasar pemilikan
kewenangan (authority), yaitu kelas yang memiliki kewenangan (dominan) dan kelas yang tidak
memiliki kewenangan (subjeksi). Secara garis besar pokok-pokok teori ini adalah:
1. Setiap kehidupan sosial berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan
gejala yang bersifat permanen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial.
2. Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu
konflik merupakan gejala yang permanen yang mengisi setiap kehidupan sosial.
3. Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi pertumbuhan dua variabel
yang saling berpengaruh.
4. Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi
sejumlah kekuataan-kekuataan lain.
C. Jonathan Turner
Teori konflik dari Jonathan Turner, dia mengemukan 3 persoalan utama dalam
teori konflik yaitu,
1. Tidak ada definisi yang jelas mengenai konflik atau apa yang bukan konflik.
2. Teori konflik dilihat mengambang karena tidak menjelaskan unit analisis secara jelas,
apakah itu konflik individu, kelompok, institusi, organisasi atau konflik antar bangsa.
3. Teori konflik ini merupakan reaksi dari teori fungsionalisme struktural maka sulit
dipisahkan dari teori tersebut.
Turner memusatkan pada konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa atau fenomena
yang mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih dan Turner
juga menjelaskan konflik yang terbuka, singkatnya adalah system sosial terdiri dari unit-unit
3. yang saling berhubungan satu sama lainnya dan didalamnya terdapat ketidakkeseimbangan
atas pembagian kekuasan dan kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasan mulai
mempertanyakan legistimasi, pertanyaan tersebut mengubah kesadaran untuk mengubah
sistem alokasi kekuasan.
D. Lewis Coser (1913 - 2003)
Sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-
konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya
menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak system
sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas dimana
konflik tersebut terjadi.
Kinloch (2005) menyebutkan asumsi dari teori Coser adalah :
1. Asumsi awal Coser adalah konflik akan cenderung meningkatkan daripada menurunkan
penyesuaian sosial adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik bersifat fungsional
dan non fungsional.
2. Konflik menurut Coser muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh imbalan
sesuai dengan kerjanya. Konsekuensinya kemudian ditegaskan oleh tipe dalam struktur
sosial dan tipe perhatian masalah (isue consered), semua yang mempengaruhi fungsi proses
ini dalam masyarakat umum.
3. Tipe persoalan yang menyebabkan konflik adalah persoalan yang memperhatikan
legitimasi masyarakat dan melibatkan ketidaksetujuan asumsi dasar yang cenderung
menimbulkan konflik tingkat.
4. Secara umum, konflik fungsional akan memberikan dampak bagi sistem sosial sebagai
berikut : menstabilkan hubungan, memfungsikan kembali keberadaan keseimbangan,
menambah munculnya norma-norma baru, menyediakan mekanisme bagi penyesuaian diri
yang terus menerus dari keseimbangan kekuasaan, mengembangkan koalisi dan asosiasi
baru, menurunkan isolasi sosial, dan menyumbangkan untuk pemeliharaan garis batas
kelompok.
5. Selanjutnya di bawah kondisi khusus, konflik akan menghasilkan keadaan yang lebih
stabil, fleksibel dan sistem sosiai yang terpadu. Ringkasnya, konflik atas persoalan realistis
dalam struktur sosial yang terbuka memberikan kontribusi penyesuaian struktur yang lebih
4. hebat, fleksibilitas dan integrasi. Sebaliknya, konflik yang tidak realistis dalam lingkungan
yang fleksibel dan tertutup akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi.
E. Wright Mills (1916-1962)
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena
ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills,
sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit
kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasamya
menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling
besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya
sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab
Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh
proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks
demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur
organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki
kekuasaan politik.
Penelitian
Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasan Amerika yang dari penelitian itu
diperoleh suatu hubungan dominatif, dimana stukrur sosial dikuasi elit dan rakyat adalah
pihak ada di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul karena elit-elit
berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka
secara ekonomi dan politik. Elit-elit itu adalah militer, politisi, dan para pengusaha
(ekonomi). Mills menemukan bahwa mereka, para elit kekuasaan, mempunyai
kecederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi
eksekutif. Satu hal penting lagi, mereka yang termasuk dalam elit kekuasaan sering kali
pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain.
Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jenderal Eisenhower yang kemudian menjadi
Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mills, seperti seorang laksmana
yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan ekonomi
terkemuka. Elit-elit kekuasaan mempunyai keinginan besar terhadap perkembangan diri
5. mereka dan tentu saja secara politis mereka membutuhkan dukungan dari rakyat. Media
massa yang mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional
merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui proses
komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Proses itu merupakan bagian dari
doktrinisasi dan persuasi elit-elit kekuasaan. Masyarakat hanya bersifat pasif sebagai
penadah informasi-informasi elit kekuasan. Satu hal penting lainnya, rakyat tidak cukup
mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah menjadi salah satu pendukung
dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa. Mills nenyebut mereka
sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok
hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sejati tentang isi dari
informasi atau isu-isu para elit.
Perbandingan di Indonesia
Kita bisa menyaksikan di Indonesia elit-elit kekuasaan yang disebutkan Mills, dari
golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi mempunyai karakter dan gerakan yang
serupa. Elit-elit kekuasaan di Indonesia menciptakan hubungan dominatif antara mereka
dan rakyat. Mereka juga bergerak mencapai posisi yang tinggi ke posisi (lebih) tinggi
lainnya. Pada pemilihan presiden tahun 2004 dapat ditemukan dua orang elit dari militer
berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, yaitu presiden atau
wakil presiden. Ada dua orang calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan elit
pengusaha dan pejabat pemerintahan. Ada juga yang dulunya hanya aktifis politik dan
bersuami pengusaha bahkan tetah menjadi presiden. Tampaknya jelas sekali bahwa para
elit kekuasaan pada saat ini tengah melakukan pergerakan mendapatkan posisi yang lebih
tinggi dari sebelumnya untuk mobilitas vertikal secara ekonomi maupun politik.
Analisis kritis Mills sesungguhnya tidak langsung disebutkan sebagai bangunan teori
konflik. Tetapi ciri-ciri penting dalam analisisnya menunjukkan hubungan dominatif dalam
stuktur sosial antara kelompok-kelompok elit yang berusaha menambah kekayaannya
dengan masyarakat. Sampai di sini, secara singkat, dapat ditemukan bahwa teori Mills
tentang elit adalah pembuktian terhadap teorinya sebagai bagian dari teori konflik beraliran
kritis. Menurut C. Wright Mills (1959) keluarga struktural fungsionalisme (Parsonian),
justru telah menimbulkan konflik peran karena kedudukan para wanita dianggap sebagai
"budak kecil tercinta".