Dokumen tersebut membahas tentang konflik dan teori konflik sosial. Secara ringkas, dibahas empat poin penting dalam memahami teori konflik sosial yaitu kompetisi, ketidaksamaan struktural, individu dan kelompok yang berjuang untuk keuntungan mereka, serta perubahan sosial yang terjadi akibat konflik antara kepentingan yang berkompetisi.
1. Konflik dan Media
Konflik terjadi di setiap area, di dalam dan di antara individu, komunitas, negara dan budaya.
Konflik bersifat alami. Konflik dialami oleh orang dari berbagai latar belakang, budaya, kelas,
kebangsaan, umur dan jender setiap hari. Yang paling penting bukanlah apakah konflik itu baik
atau buruk tetapi adalah bagaimana kita menghadapinya
(Brand Jacobsen, 2005).
Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya :
1.Suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing, bertabrakan
dan akibatnya terjadilah agrasi walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (schelling).
2.Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara
beberapa orang, kelompok atau organisasi.
3.Sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok yaitu memiliki
tujuan dan pandangan berbeda dalam upaya mencapai tujuan sehingga mereka berada dalam
posisi oposisi bukan kerjasama.
2. Konteks Konflik meliputi :
Konflik domestik : isu utamanya adalah suatu kondisi dimana terdapat masalah-masalah
antara pemegang kekuasaan dengan penantangnya yang diselesaikan dengan cara damai.
Konflik regional : isu utama menekankan proses negosiasi dan hubungan antara negara
tetangga.
Bentuk hubungan bisa bersifat cooperative, competitive, dan transforming.
Konflik internasional : isunya sama dengan konflik regional tetapi cakupannya lebih luas.
Konflik dapat menjadi alat yang efektif dalam percaturan internasional. Ia dapat
mengemban fungsi sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuatan
(power), memelihara kohesifitas internal dan memeperluas hubungan ke luar.
Kekerasan seringkali menjadi alat ampuh untuk bargaining position. Meskipun demikian
penyelesaian konflik merupakan tujuan yang secara politik paling diharapkan, karena
mengurangi korban jiwa manusia, mencegah disorganisasi suatu bangsa dan memulihkan
stabilitas dalam hubungan luar negeri.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) adalah suatu jalan menuju perdamaian,
sekurang-kurangnya perdamaian negatif, dan mempunyai fungsi lain, misalnya menjamin
stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan sosial maupun ekonomi.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) didefinisikan sebagai suatu proses mencari
peluang penyelesaian konflik dimana setiap pelaku tidak lagi merasa perlunya
melanjutkan perselisihan dan mengakui bahwa dengan begitu mungkin mereka dapat
memperoleh keuntungan tertentu. (nicolson, 1991: h. 59).
3. Definisi lain mengatakan bahwa penyelesaian konflik adalah suatu proses yang berkaitan
dengan bagaimana menemukan jalan untuk mengakomodasi kepentingan eksplisit dari
pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan
respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua dimensi, pengertian terhadap hasil
tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya.
Skema menghasilkan hipotesa sebagai berikut :
1.Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan
untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2.Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan
untuk “memenangkan” konflik.
3.Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang
memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
Tidak ada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari
konflik.
Sejarah Konflik
Munculnya teori neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi lahirnya
teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat
industrial pada tahun 1959. Teorinya berbeda dengan Marx karena menganalisis konflik tanpa
4. memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx
bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas
alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan alat
produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di
luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa
sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana
dikatakan teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan
fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus
pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan
komunikasi sekaligus usaha untuk menstrukturkan konflik, mulai dari proses terjadinya hingga
intensitasnya berkaitan dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, tidak
memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh
terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas
misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi
struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat
struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi terlibat di dalamnya. Individu tidak
harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Sebelumnya, George Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah
mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu
bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat.
Dalam hal ini Simmel seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi
sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia.
5. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu
pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik
Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi
terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan
kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena
konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut
terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena
ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills,
sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme, kritiknya tentang elit kekuasaan di
Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan
bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah
uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar
isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas
kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang
kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk
pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke
bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi bahwa masyarakat atau organisasi
berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan
keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan
6. sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum
berusaha memberikan kritik pada fungsionalisme yang meyakini bahwa masyarakat dan
organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh
makhluk hidup.
Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial,
antara lain:
1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan
sebagainya. Dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS yang ditawarkan fungsionalisme,
namun KOMPETISI.
2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur
sosial.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai
revolusi.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling
berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan
revolusioner daripada evolusioner.
Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun
sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika
konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI
OBYEKTIF yang terpisah dari pola interaksi yang selalu berulang dalam sistem sosial; struktur
sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat.
Collins membagi MIKRO dan MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu
7. dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam
masyarakat tersebut. Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik,
namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu
contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan
media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar
kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula
tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam
kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan
ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah
tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme
simbolik.
Indonesia Potensial Konflik
• Indonesia merupakan negara multi etnis yang memiliki aneka ragam suku, budaya, bahasa,
dan agama bersatu di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika, namun masih belum seindah
kenyataan.
• Pakar studi konflik dari Universitas Oxford, France, Steward (Kompas 16/12/03)
menyebutkan empat kategori negara yang berpotensi konflik.
• Keaneka-ragaman dan perbedaan, potensi terpendam pemicu konflik.
• negara dengan tingkat pendapatan dan pembangunan manusianya rendah,
• dengan tingkat horizontal yang tinggi.
• negara yang rezim politiknya berada dalam transisi rezim represif menuju rezim
demokratis
8. Apa yang bisa dipelajari:
Konflik adalah keniscayaan dalam kehidupan sosial
Konflik memerlukan pengelolaan yang tepat
Perlu menghentikan dan mencegah konflik menjadi kekerasan
Kekerasan Langsung yang menggunakan kekuatan ( mis: senjata kimia, biologi, nuklir)
oleh negara atau kelompok untuk mencapai tujuan mereka ( baik ideologi, budaya, atau
ekonomi maupun politik)
Kekerasan Struktural yang berlangsung melalui kebijakan institusional dan praktek
prosedural yang menciptakan ketidak adilan, peminggiran hingga mencederai orang.
Kekerasan Langsung menggunakan kekuatan ( misal: senjata kimia, biologi,
nuklir) oleh negara atau kelompok untuk mencapai tujuan mereka ( baik ideologi,
budaya, atau ekonomi maupun politik)
Kekerasan Struktural berlangsung melalui kebijakan institusional dan praktek
prosedural yang menciptakan ketidakadilan, peminggiran hingga mencederai
orang.
Media dan Konflik
Liputan media tentang krisis digambarkan oleh Scanlon, Luuko & Morten (1978) sebagai
cenderung tidak akurat dan mengandung rumour atau desas-desus.
9. Wilbur Schramm dalam artikelnya “Communication in Crisis” (1971) telah menyatakan
bahwa laporan media tentang sebuah krisis cenderung kurang akurat dan lebih mengutamakan
kecepatan.
Dalam sebuah krisis, media cenderung lebih mengutamakan penyajian berita secara cepat
dari pada berita yang akurat, demikian pendapat Dynes (seperti yang dikutip Scanlon, Luuko
& Morten, 1978).
Bahwa isi dan hasil komunikasi tergantung pada cara mengkontruksi realitas yang akan
disampaikan.Jika konstruksinya positif dan tujuan positif dapat digunakan untuk (1)
kampanye sosial, mengajak pada kebaikan.(2) pesan juga bisa digunakan untuk perubahan,
bukan untuk konflik sosial.
Untuk mencapai dua hal tersebut, syaratnya pesan harus bebas dari prasangka. Itulah syarat
yang diperlukan untuk membentuk masyarakat yang komunikatif, masyarakat yang
didalamnya terbebas dari manipulasi, hegemoni dan dominasi.
Bangunan Sistem Politik
Orde baru, bangunan yang diyakini adalah floating mass.
Era reformasi, kebebasan dengan banyak partai, fungsi:
sosialisasi politik;
rekrutmen politik;
partisipasi politik;
pemadu kepentingan;
komunikasi politik;
pengendali konflik;
kontrol politik .
10. Sistem Pemerintahan
Kesenjangan
Orde baru, lebih sentralistik. masih
Era reformasi, otonomi luas. terjadi…
Solusi 3E 1N
• mendidik (education) Perbaiki sistem
• memberdayakan (empowering) Peran Parpol
• mencerahkan (einlightment) Peran Media
Konflik di Indonesia, Konflik dan Media di Indonesia
Manajemen konflik merupakan salah satu syarat demokrasi untuk mencegah akses
demokrasi itu sendiri. Konflik menjadi pendorong disintegrasi bangsa, keresahan masyarakat dan
kecemasan yang berlarut-larut, diperlukan managemen konflik. Konflik adalah materi politik,
faktor universal language of konflict, konflik itu adalah bahasa universal dari konflik. Jangan
heran kalau kita melihat, mendengar dan merasakan bahwa konflik seseorang merupakan suatu
menu utama ditengah masyarakat kita, apalagi didalam euforia demokrasi. Permainan politik
penuh resiko, konsentrasi dalam mempertaruhkan kepentingan warga negara, kepentingan
bangsa, kepentingan negara, baik sekarang maupun mendatang.
kK
11. Daftar caleg yang ada menimbulkan konflik, di lapangan menunjukkan tidak sedikit
konflik politik bermuara untuk mempertahankan dan memperkuat wilayah kepentingan pribadi.
Terutama dikalangan elite politik mereka itu ingin jadi menteri, ingin menjadi presiden, ingin
jadi wapres atau ingin jadi ketua DPR atau anggota DPR. Para elite politik menjadikan massa
politik rela berkorban saat berkampanye, massa tidak tahu untuk apa mereka berkampanye asal
menunjukkan kesetiaan pada partai. Sebenarnya kepentingan bangsa lebih utamakan daripada
kepentingan partai. Hal itu terjadi tidak lama saat tindakan represif dari orde baru pada rakyat
dan sekarang rakyat berbalik melawan, maka dari itu kita perlu menguasai manajemen konflik.
Dalam 32 tahun hegemoni negara terjadi disemua sektor kehidupan kita. Pemilu yang tidak jujur
dan lancar, relatif adil meskipun tidak kita katakan lebih jurdil dari pemilu lalu.
Masyarakat tidak diberi ketrampilan manajemen konflik, termasuk lurah aparat negara.
Pemerintah tidak memberi kesempatan masyarakat yang non Abri dan Golongan Karya
menguasai ketrampilan manajemen konflik. Hal ini suatu realita yang memperlemah secara total
kemampuan dan kapabilitas masyarakat untuk melaksanakan fungsi manajemen konflik.
Akibatnya pemerintah bertindak secara sepihak dalam melaksakan kehendaknya pada
masyarakat di negeri ini. Indikasinya adalah segala informasi yang berasal dari rakyat sejauh
tidak menguntungkan pemerintah mustahil akan dapat tersosialisasikan secara meluas ketengah
masyarakat, karena penguasaan jaringan komunikasi politik baik melalui media maupun
forum. Sebaliknya semua informasi yang bersumber dari pemerintah selain akan di back up
dengan segala cara oleh seluruh jaringan kekuasaan pemerintah juga akan diterima masyarakat
sebagai suatu alternatif. Solidnya watak primodialisme dan patrialisme masyarakat, membuat
kita kerap percaya apa yang dikatakan pemerintah. Media massa hanya menjadi perpanjangan
tangan pemerintah. Terbukti pembredelan Monitor, dan kasus Tempo.
12. Sedangkan di era sekarang, kasus yang terbaru adalah Dipo Alam sang sekretariat
cabinet, yang kebablasan1, setidaknya dapat dianalisis psiklogi menunjukan betapa seorang
mantan aktivis pun mampu terperangkap dalam kekuasaan/ sindrom kekuasaan. Karena sebagai
representative negara maka beliau harus menjaga sikap dan wibawanya sebagai pribadi dan
karena rakyat tidak pernah melupakan dirinya sebagai „part of the system’, maka sikap santun,
kritik yang membangun perlu, dan hendaknya disampaikan pada jalur yang ada (bisa dengan
informal, teguran keberatan atas TV One, Metro TV, Media Indonesia) sekaligus perlunya cross
and check berita oleh media sehingga tidak menimbulkan polemik. Menggunakan hak jawabnya
terlebih dulu, bukan langsung ke ranah hukum, arogansi media. Kasus Prita vs RS Omni pun
merupakan contoh konflik media dalam rangka memberikan pendidikan (politik) dan pemberi
informasi, agent of change- empowering (3E 1N), gawang demokrasi dan tranformasi budaya
Indonesia melalui sosial media, masyarakat jaringan. 2 Rakyat tidak bisa dibohongi lagi, bisa
berkreasi, sebagai akses alternatif atas kebekuan sistem, yang membuat negara patut berhitung,
demikian pula yang telah terjadi di kawasan Timur Tengah …
Kasus Nazaruddin pun memerlukan penanganan yang serius bagi Demokrat,perlunya
pressure partai politik lain (meskipun bias juga terjadi di partai lain, cuma belum terungkap)
untuk menekan SBY bertindak tegas dan membuktikan dirinya adalah orang yang memang anti
korupsi, bersih. Demokrat bias menjadi contoh untuk memulai audit keuangan partai. Kita
menunggu bagaimana bergulirnya waktu penyelesaian kasus ini, karena di Indonesia belum
1
DR.khomsahrial Romli, Pak Dipo Kebabablasan, Lampung Pos
2
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat,
Kencana Prenada Media Group, 2011, hal. 296
13. muncul tokoh media yang betul betul pejuang, seperti halnya dua jurnalis muda Amerika dalam
skandal Watergate, Bob Woodward dan Carl Bernstein 3dengan nara sumber rahasianya “ Deep
Throat”, mantan direktur deputi FBI, William Mark Felt, dan sepanjang hidupnya sebagai saksi
kunci/ nara sumber sejati identitasnya abadi , baru pada tahun 2005 ia mengungkapkan
kebenaran itu (mungkin ini berbeda dengan Nazaruddin sekiranya ia adalah whistle blower,
kasus saksi kunci yang identitasnya diketahui). Mampukah resign nya Nixon terjadi di Indonesia,
dan pidato SBY adalah yang “aku bukan penjahat” (Pidato sanggahan Nixon pada 17 Nov
1973.red)….?!. Jalan masih berliku untuk Indra Piliang, untuk negara ini terlebih lagi para elit
politik tak pernah punya malu, tak kenal budaya heroik mengakui kesalahan dan melepaskannya
dalam maaf dan mengundurkan diri…. (demi kepentingan negara, membangun sistem), semoga.
SUMBER:
http://arysakty.wordpress.com/2008/05/19/meretas-jalan-sosiologi-konflik/
http://id.shvoong.com/social-sciences/1838186-makna-konflik/#ixzz1T8tCfLodia
www.kompas.co.id
www. Wikipedia.org
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi
di Masyarakat, Kencana Prenada Media Group, 2011
George Ritzer, Dauglass J Goodman, edisi 6, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010
Other resources taken from internet, privat civic and sociology document
Kelompok :
1. Novi Eka Budilestari
2. Gustina Meliani
3. Anggiat Maruli
3
www. Wikipedia.org