4. PEMBAHASAN
(hal. 99-100)
1. CYP 450 dan enzim uridine 5’-diphospho-glucuronosyltransferase (UGT)
merupakan jalur metabolisme utama – dengan antiretroviral sebagai substrat.
2. CYP3A4 menunjukkan spesifitas substrat yang bertumpang tindih dengan
CYP3A5, merupakan jalur metabolisme utama pada 85% antiretroviral yang
umum digunakan meliputi semua NNRT dan PI.
3. CYP2B6 merupakan jalur metabolisme utama bagi efavirenz dan jalur
metabolisme alternatif pada nevirapine.
4. CYP2C9, CYP2C19, dan CYP2D6 merupakan jalur alternatif bagi nevirapine,
etravrine, dan ritonavir.
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
4
5. (lanjutan)
5. UGT merupakan jalur metabolisme utama bagi integrase inhibitors: raltegravir,
elvitegravir, dan dolutegravir.
6. CYP3A4 merupakan jalur metabolisme utama bagi protease inhibitors meliputi
lopinavir dan atazanavir ; serta bagi NNRTIs meliputi nevirapine dan
emitricibine.
7. Dolutegravir, obat alternatif untuk efavirenz atau nevirapine pada terapi lini
pertama, dimetabolisme oleh UGT secara utama dan dimetabolisme sebagian
oleh CYP3A4/5.
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
5
6. (lanjutan)
8. Meskipun belum terbukti secara klinis bahwa efek inhibisi enzim oleh isoniazid
pada penderita AIDS, ko-administrasi tanpa rifampisin (strong enzyme inducer)
dapat meningkatkan konsentrasi NNRTIs dan PI meningkatkan toksisitas.
9. Rifampisin mempengaruhi konsentrasi dolutegravir sehingga membutuhkan
dosis ganda dolutegravir pada penderita AIDS disertai infeksi TBC interaksi
dapat mengalami perburukan seiring meningkatnya dosis rifampisin.
10. Penggunaan agen MDR-TB dan antiretroviral dengan efek penghambatan
enzim yang saling bertumpang tindih dapat potensiasi inhibisi enzim-enzim ini.
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
6
7. (lanjutan)
11. Obat antiTBC yang terkait inhibisi enzim menyebabkan konsentrasi
supraterapeutik antiretroviral potensi interaksi obat merugikan.
12. Penggunaan obat antiTBC resisten terbaru seperti delamanid, pretomanid, dan
linezolid dengan cART potensi interaksi obat merugikan risiko terjadi
toksisitas rendahnya tolerabilitas penderita.
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
7
10. (lanjutan)
1. Dari 48 pasien HIV dengan koinfeksi TBC yang menerima obat antiTBC di Poliklinik
Teratai RSUP Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2013, ditemukan 109 potensi
kejadian interaksi obat dengan signifikansi mayor dari 5 jenis pasangan kombinasi
obat, 25 potensi kejadian interaksi obat dengan signifikansi moderat dari 28 jenis
pasangan kombinasi obat, dan 58 potensi kejadian interaksi obat dengan
signifikansi minor dari 7 jenis pasangan kombinasi obat.
2. Tenofovir tidak direkomendasikan digunakan bersama dengan streptomisin karena
memiliki efek samping nefrotoksik.
3. Pasien dengan infeksi toksoplasma yang menggunakan pirimetamin dan
kotrimoksazol disarankan untuk tidak menggunakan zidovudine dalam kombinasi
antiretroviral karena akan meningkatkan risiko terjadi anemia.
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
10
11. (lanjutan)
4. Pemberian antibiotik lain dan kortikosteroid membutuhkan pertimbangan dan
pemantauan karena berinteraksi dengan rifampisin.
5. Penggunaan pirimetamin untuk menangani toksoplasmosis membutuhkan
pemantauan parameter hematologi yang ketat jika digunakan bersama
kotrimoksazol sebagai profilaksis infeksi oportunistik, serta tidak
menggunakan zidovudine dalam kombinasi antiretroviral karena efek samping
hematologi.
6. Vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat aman diberikan.
7. Antihistamin yang direkomendasikan (jika dibutuhkan) yaitu cetirizine,
loratadine, dan CTM.
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
11
12. (lanjutan)
8. Antiemetik yang direkomendasikan (jika dibutuhkan) yaitu metoklopramid dan
domperidon.
9. Antifungi yang direkomendasikan (jika dibutuhkan) yaitu flukonazol.
10. Pasien yang menerima obat antiTBC kategori 1 direkomendasikan untuk
menggunakan antiretroviral tenofovir, lamivudine, dan efavirenz.
11. Pasien yang menerima obat antiTBC kategori 2 direkomendasikan untuk
menggunakan antiretroviral zidovudine, lamivudine, dan efavirenz.
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
12
13. Skema Rekomendasi Terapi Pasien
HIV/AIDS dengan Koinfeksi TBC
Nesha Mutiara (2017210155) Interaksi Obat Kelas B
13
16. et al., 2018). For both short and long term regimens Prothionamide/
clofazamine/ethambutol/pyrazinamide/high dose Isoniazid/kana-
mycin (or bedaquiline) constitute, in part or solely, the intensive
and continuous phase, respectively (Moodley et al., 2016).
In contrast, with no current cure on the immediate horizon, HIV
requires life-long uninterrupted ART. Combined antiretroviral
therapy (cART) of at least three antiretroviral drugs (ARVs) from
different classes of drugs constitute the current HIV treatments
(Moyle et al., 1998). Overall, six categories of antivirals are
currently available: protease Inhibitors (PIs), nucleoside and
nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTIs, NtRTIs), non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), fusion
inhibitors (FIs), integrase strand transfer inhibitors (INSTIs), and
chemokine receptor antagonists (CRAs). LPV/r is the most-used PI
in children today (Huang et al., 2015), and is the recommended
antiretroviral (ARV) in first-line-ART for children less than three
years old. For adults, the World Health Organization (WHO)
recommended first-line regimens comprise two nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), such as tenofovir dis-
oproxil fumarate (TDF) and lamivudine (3TC), and a nonnucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), principally efavirenz/
nevirapine (World Health Organization, 2016) or the integrase;
dolutegravir (WHO, 2015). Current recommended second-line
regimens for adults include two NRTIs such as zidovudine with
3TC, and a boosted protease inhibitor (PI), with lopinavir/ritonavir
(LPV/r) or atazanavir/ritonavir preferred.
MDR-TB specific drug interactions with cellular metabolic
pathways
MDR-TB agents exhibit overlapping enzyme inhibition and/or
induction that might affect ART outcomes. At least five drugs
constituting the recommended and commonly prescribed regimen
for treatment of MDR-TB have been reported to inhibit the major
metabolic pathways of ARVs including CYP3A4, CYP2B6, CYP2C9,
and CYP219. Clofazimine a core MDR-TB drug and cytochrome
P450 (CYP) enzyme inhibitor may cause significant CYP-enzyme
mediated DDIs with ARVs. Its co-administration is associated with
2.69, 1.60, and 1.47 fold-increase in plasma concentrations of co-
administered CYP3A4, CYP2C8, and CYP2D6 substrates respective-
ly (Sangana et al., 2018). Based upon calculated area under the
curve ratios (AUCR) of selected enzyme substrates: midazolam for
CYP3A4, repaglinide for CYP2C8, and desipramine for CYP2D6,
clofazimine is categorized as a moderate to strong inhibitor of
CYP3A4 and weak CYP2C8 and CYP2D6 inhibitor. Co-administra-
tion of drugs that are CYP3A4 substrates with the recommended
100 mg clofazimine daily dose resulted in a 2- to 6-fold increase in
AUCs of such substrates (Sangana et al., 2018).
In the context of MDR-TB, a higher isoniazid dose may be
needed to overcome resistance and elevated minimal inhibition
concentrations (MICs). In a randomized controlled trial of MDR-TB
patients in India, the use of isoniazid at 16–18 mg/kg/day when
compared with low dose (5 mg/kg) or placebo was associated with
better 6 month culture conversion rates and shorter time to culture
conversion (Katiyar et al., 2008). Isoniazid has been reported to
play a determinant role in clinical success of short-term MDR-TB
treatment regimens (Van Deun et al., 2010). Most studies however
have used an isoniazid dose closer to 10 mg/kg, which is at the
lower end of what is usually referred to as a “high-dose” range. As a
result, WHO recommends that in both children and adults, high-
dose isoniazid for use in shorter and longer MDR-TB regimens is
defined as 10–15 mg/kg per day, with dosing >15 mg/kg per day
applicable in populations in which the faster drug acetylator
phenotype is common. Notably, isoniazid exhibits pronounced and
dose-dependent inhibition of CYP3A4 and CYP2C19 at its
therapeutic level (Desta et al., 2001). Additionally, isoniazid co-
administration produced a 1.5 fold increase in AUC of triazolam (a
substrate of CYP3A4) following a single oral dose ((26.5–38.6 ng h/
mL) (Shimokawa et al., 2015; Ochs et al., 1983).
Orally administrated ethionamide and prothionamide also
inhibit the same CYP reactions. The [I]max/Ki values of ethion-
amide on CYP1A2, CYP2B6, CYP2C19, CYP3A4 (M), and CYP3A4 (T)
were 0.77, and those of prothionamide on CYP1A2, CYP2C9,
CYP3A4 (M), and CYP3A4 (T) were 0.52. The highest [I]max/Ki
value for ethionamide was 1.4 on CYP2C8, and the highest [I]max/
Ki values for prothionamide were 2.2, 1.8, and 1.3 on CYP2B6,
CYP2C19, and CYP2C8, respectively, while thioacetazone exhibited
mild CYP3A4 enzyme inhibition with a [I]max/Ki value of only 0.14
(Shimokawa et al., 2015). CYP2B6 (the major metabolic pathway
for efavirenz) is also induced by ethionamide.
Clofazimine is a strong inhibitor of the drug transporters P-gp,
BCRP and MRP1 (Te Brake et al., 2016) for which ARVs, particularly
PIs, are known substrates (Marquez and Van Bambeke, 2011).
These membrane transporters have an intrinsic efflux role, and
may regulate intracellular concentrations of drugs and other
xenobiotics. Their inhibition may therefore result in toxic plasma
concentration of such substrates.
ART drug interactions with cellular metabolic pathways
Five Cytochrome P-450 (CYP) sub-families and uridine 50
-
diphospho-glucuronosyltransferase (UGT) enzymes (Dickinson
et al., 2010) constitute the major metabolic pathways for which
antiretroviral drugs are substrates (Table 1). CYP3A4, which is
known to exhibit overlapping substrate specificity with CYP3A5
(Huang et al., 2004) constitutes the major metabolic pathway for
about 85% of commonly used ARVs, including all NNRTs and PIs
that form the backbone for first and second cART regimens.
CYP2B6 constitutes the major metabolic pathway for efavirenz and
an alternative pathway for nevirapine, while CYP2C9 and CYP2C19
and CYP2D6 constitute alternative pathways for nevirapine and
etravrine and ritonavir. UGT on the other hand, mediates the major
Table 1
Major metabolic pathways of commonly used antiretroviral drugs.
Enzyme Antiretroviral drug
NNRTIs PIs CCR5 Coreceptor
Inhibitors
Intergrase Inhibitors
CYP3A4/5 Nevirapine, Efavirenz, Etravirine, Rilpirine,
Emtricitabine
Retonavir, lopinavir, saquinavir, Fosamprenavir,
Atazanavir, duranvir
Maraviroc Elvitegravir
Dolutegravir
CYP2B6 Efavirenz, Nevirapine
CYPC9 Etravrine, Nevirapine,
CYPC19 Etravrine
CYP2D6 Nevirapine Retonavir
UGT Etravrine, Rilpivirine, abacavir Raltegravir, elvitegravir,
Dolutegravir
J. Mukonzo et al. / International Journal of Infectious Diseases 83 (2019) 98–101 99
17. metabolic pathway for integrase inhibitors: raltegravir, elvitegravir
and dolutegravir as highlighted in Table 1.
CYP3A4 is the main metabolic pathway for commonly used PIs,
including lopinavir and atazanavir and for the NNRTIs nevirapine
and emitricibine. It also constitutes a key alternative pathway for
efavirenz. Although the cumulative inhibitory effect and subse-
quent effect on plasma concentrations of co–administered
antiretroviral PIs and NNRTIs is not well defined, it is plausible
to postulate that an additive or augmented effect might result in
ART-associated toxicity.
Dolutegravir, an alternative drug to efavirenz or nevirapine in
adult first-line ART, although primarily metabolized by UGT, is
partially metabolized by CYP3A4/5 (Moss et al., 2015). Although
the impact of clofazimine on UTG is not well established, a DTG
area under the AUC ratio AUCR (AUCinhibitor/AUCcontrol) of 3.0
was reported, comparable to those reported with lopinavir and
other strongly inhibited antiviral agents during co-administration
with clofazimine (Sangana et al., 2018). Similarly AUCRs of 2.25,
2.93 and 5.59 were reported for the anti-TB drugs bedaquiline,
clarithromycin and delamanid, respectively (Ochs et al., 1983).
Therefore, the inductive effect of MDR-TB agents may affect other
drugs, including other anti-TB agents.
Potential effects of TB and HIV co-treatment related drug–drug
interactions
Although there are no clinically demonstrated enzyme-
inhibitory effect(s) of isoniazid during intermittent TB prevention
or with TB treatment among ART recipients, its coadministration in
the absence of rifampicin (a strong enzyme inducer) may elevate
concentrations of NNRTIs and PIs and contribute to related
toxicities. High dose rifampicin has been proposed for drug
sensitive TB (Boeree et al., 2017). Due to enzyme induction,
rifampicin affects dolutegravir concentrations requiring a double
dose of DTG during HIV–drug sensitive TB co-treatment. The
interaction could worsen with increasing rifampin doses. However,
its co-administration with high INH dose and other strong enzyme
inhibitors that constitute MDR-TB treatment might have clinical
benefits, but this needs to be further investigated. Although there
is limited data, rifampicin is reported to enhance clofazimine
activity against Mycobacterium tuberculosis (Zhang et al., 2017). Co-
administration of the two drugs during MDR-TB/ HIV treatment
might enhance both the efficacy and safety. Overall, concomitant
use of MDR-TB agents and ARVs with overlapping enzyme
inhibitory effects may potentiate inhibition of these enzymes.
Third, anti-TB drug inhibitory effect(s) on multiple ARV drug
metabolic pathways (singularly or in combination) might cause
multiple ARV drug toxicities, a combination of which could result
in significant clinical consequences. Fourth, anti-TB drug-related
enzyme inhibition leading to ARV supra-therapeutic concentra-
tions could result in subsequent ARV regimen drug–drug
interactions as well as ARV – non-ARV drug interactions that
otherwise would not occur. Lastly, considering that HIV patients
often receive multiple treatments for HIV co-morbidities, includ-
ing malaria and fungal infections, and non-infection related
diseases (including diabetes and AIDS defining cancers), the
enzyme inhibitory effect(s) of MDR-TB drug regimens could have a
broader impact on the overall care of HIV-infected individuals and
ART outcome. Notably, concomitant use of newly proposed
resistant TB drugs such as delamanid, pretomanid and linezolid
with cART is also faced with limitations including: possible cellular
metabolic pathway–mediated drug–drug interactions, poor toler-
ability because of toxicities and uncertainties over efficacy. Based
on a number of research results, delamanid was approved in the
European Union, Japan, and the Republic of Korea in 2014 for the
treatment of pulmonary MDR-TB. However its use is still marred by
safety concerns including QT prolongation especially in patients
with hypoalbuminemia (2.8 mg/dL) and efficacy concerns in the
elderly, children, adolescents under 18 years, pregnant women,
breast-feeding women, and patients with extra pulmonary TB.
Although delamanid (100 mM) had little potential for mechanism-
based inactivation on key CYP isoforms (CYP1A2, CYP2A6, CYP2B6,
CYP2C8, CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, and CYP3A4), its metabolites
have been reported to inhibit key CYPs. Similarly, while linezolid
neither inhibits human cytochrome P450s, CYPIA2, 2C9, 2C19, 2D6,
2E1 or 3A4 nor induces hepatic microsomal CYP1A, CYP3A and,
CYP4A, it has been associated with a 1.5-fold increase in levels of
CYPP2B and CYP2E in rats. Indeed, on the basis of these and other
potential DDI, it is recommended that caution needs to be
exercised during treatment of MDR-TB / HIV co-morbidity (HIV
Drug Interactions, 2019). Linezolid prolonged use in MDR-TB
patients is particularly limited by its cumulative dose-related
toxicity. Pretomanid on the other hand is still under study and has
not gained entry into the WHO categorization of second-line anti-
tuberculosis drugs recommended for the treatment of rifampicin-
resistant and multidrug-resistant tuberculosis.
In conclusion, there are reasonable chances of clinically
important DDIs between MDR-TB and ARVs that may account
for poor HIV treatment outcomes. Thus MDR-TB and HIV treatment
requires proper guidance due to significant drug–drug interac-
tions. Therefore pharmacokinetic (PK) and pharmacodynamic (PD)
studies to evaluate the extent of these drug interactions and their
impact on treatment outcomes including safety and efficacy are
imperative. Analyses at the sub-populations level is essential, since
ethnic-driven genetic polymorphisms in ARV metabolic pathways
could play a role in both PK and PD. In particular, the use of
rifampicin as part of MDR-TB treatment regimens might have
significant clinical consequences regarding efficacy and safety of
MDR-TB / HIV co-treatment, and this should be further evaluated.
Conflict of interest
Authors have got no conflict of interest to declare.
Ethical approval
Not applicable.
Acknowledgements
Supported in part by an IAS –CIPHER grant kij-216 to JKM,
supported in part by The Swedish Research Council (Vetenskaps-
rådet) grant 2015-03295 to JKM and EA.
Supported in part by NIH CFAR grant P30-AI-050409 (to RFS and
VM). We thank Drs. James Kohler and Selwyn Hurwitz for their
critical comments.
References
Aliyu G, El-Kamary SS, Abimiku A, Blattner W, Charurat M. Demography and the
dual epidemics of tuberculosis and HIV: analysis of cross-sectional data from
Sub-Saharan Africa. PLoS One 2018;13(9)e0191387.
Boeree MJ, Heinrich N, Aarnoutse R, Diacon AH, Dawson R, Rehal S, et al. High-dose
rifampicin, moxifloxacin, and SQ109 for treating tuberculosis: a multi-arm,
multi-stage randomised controlled trial. Lancet Infect Dis 2017;17(1):39–49.
Desta Z, Soukhova NV, Flockhart DA. Inhibition of cytochrome P450 (CYP450)
isoforms by isoniazid: potent inhibition of CYP2C19 and CYP3A. Antimicrob
Agents Chemother 2001;45(2):382–92.
Dickinson L, Khoo S, Back D. Pharmacokinetic evaluation of etravirine. Expert Opin
Drug Metab Toxicol 2010;6(12):1575–85.
Essomba NE, Ngaba PG, Halle MP, Afane-Voundi Y, Coppieters Y. Risk factors for
mortality in patients with tuberculosis and HIV in Douala (Cameroon). Med
Sante Trop 2017;27(3):286–91.
Gurumurthy P, Ramachandran G, Hemanth Kumar AK, Rajasekaran S, Padmapriya-
darsini C, Swaminathan S, et al. Malabsorption of rifampin and isoniazid in HIV-
infectedpatientswithandwithouttuberculosis.ClinInfectDis2004;38(2):280–3.
100 J. Mukonzo et al. / International Journal of Infectious Diseases 83 (2019) 98–101
18. Harausz EP, Garcia-Prats AJ, Law S, Schaaf HS, Kredo T, Seddon JA, et al. Treatment
and outcomes in children with multidrug-resistant tuberculosis: a systematic
review and individual patient data meta-analysis. PLoS Med 2018;15(7)
e1002591.
HIV Drug Interactions [updated August 2018. Available from: https://www.hiv-
druginteractions.org/prescribing-resources.
Horita Y, Alsultan A, Kwara A, Antwi S, Enimil A, Ortsin A, et al. Evaluation of the
adequacy of WHO revised dosages of the first-line antituberculosis drugs in
children with tuberculosis using population pharmacokinetic modeling and
simulations. Antimicrob Agents Chemother 2018;62(9).
Huang W, Lin YS, McConn 2nd DJ, Calamia JC, Totah RA, Isoherranen N, et al.
Evidence of significant contribution from CYP3A5 to hepatic drug metabolism.
Drug Metab Dispos 2004;32(12):1434–45.
Huang X, Xu Y, Yang Q, Chen J, Zhang T, Li Z, et al. Efficacy and biological safety of
lopinavir/ritonavir based anti-retroviral therapy in HIV-1-infected patients: a
meta-analysis of randomized controlled trials. Sci Rep 2015;5:8528.
Katiyar SK, Bihari S, Prakash S, Mamtani M, Kulkarni H. A randomised controlled
trial of high-dose isoniazid adjuvant therapy for multidrug-resistant tubercu-
losis. Int J Tuberc Lung Dis 2008;12(2):139–45.
Lange C, Alghamdi WA, Al-Shaer MH, Brighenti S, Diacon AH, DiNardo AR, et al.
Perspectives for personalized therapy for patients with multidrug-resistant
tuberculosis. J Intern Med 2018;284(2):168–88.
Marquez B, Van Bambeke F. ABC multidrug transporters: target for modulation of
drug pharmacokinetics and drug-drug interactions. Curr Drug Targets 2011;12
(5):600–20.
Mesfin YM, Hailemariam D, Biadgilign S, Kibret KT. Association between HIV/AIDS
and multi-drug resistance tuberculosis: a systematic review and meta-analysis.
PLoS One 2014;9(1)e82235.
Moodley R, Godec TR, Team ST. Short-course treatment for multidrug-resistant
tuberculosis: the STREAM trials. Eur Respir Rev 2016;25(139):29–35.
Moss L, Wagner D, Kanaoka E, Olson K, Yueh YL, Bowers GD. The comparative
disposition and metabolism of dolutegravir, a potent HIV-1 integrase inhibitor,
in mice, rats, and monkeys. Xenobiotica 2015;45(1):60–70.
Moyle GJ, Gazzard BG, Cooper DA, Gatell J. Antiretroviral therapy for HIV infection. A
knowledge-basedapproachtodrugselectionanduse.Drugs1998;55(3):383–404.
Ochs HR, Greenblatt DJ, Knuchel M. Differential effect of isoniazid on triazolam
oxidation and oxazepam conjugation. Br J Clin Pharmacol 1983;16(6):743–6.
Sangana R, Gu H, Chun DY, Einolf HJ. Evaluation of clinical drug interaction potential
of clofazimine using static and dynamic modeling approaches. Drug Metab
Dispos 2018;46(1):26–32.
Shimokawa Y, Yoda N, Kondo S, Yamamura Y, Takiguchi Y, Umehara K. Inhibitory
potential of twenty five anti-tuberculosis drugs on CYP activities in human liver
microsomes. Biol Pharm Bull 2015;38(9):1425–9.
Te Brake LH, Russel FG, van den Heuvel JJ, de Knegt GJ, de Steenwinkel JE, Burger DM,
et al. Inhibitory potential of tuberculosis drugs on ATP-binding cassette drug
transporters. Tuberculosis (Edinb) 2016;96:150–7.
Tiberi S, Carvalho AC, Sulis G, Vaghela D, Rendon A, Mello FC, et al. The cursed duet
today: tuberculosis and HIV-coinfection. Presse Med 2017;46(2 Pt 2):e23–39.
Van Deun A, Maug AK, Salim MA, Das PK, Sarker MR, Daru P, et al. Short, highly
effective, and inexpensive standardized treatment of multidrug-resistant
tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2010;182(5):684–92.
WHO. HIV Treatment and Care: what’s new in HIV treatment. 2015. http://apps.
who.int/iris/bitstream/handle/10665/204347/WHO_HIV_2015.44_eng.pdf;
jsessionid=3EEDDA05558E2079FC0D06A0B9FA1683?sequence=1.
World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral
drugs for treating and preventing HIV infection. Geneva, Switzerland: WHO;
2016.
Zhang S, Shi W, Feng J, Zhang W, Zhang Y. Varying effects of common tuberculosis
drugs on enhancing clofazimine activity in vitro. Emerg Microbes Infect 2017;6
(4):e28.
J. Mukonzo et al. / International Journal of Infectious Diseases 83 (2019) 98–101 101
19. Studi Interaksi Obat dan Reaksi Obat Merugikan pada Pasien
HIV/AIDS dengan Koinfeksi Tuberkulosis di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung
(Drug Interactions and Adverse Drug Reactions Study in
HIV/AIDS Patients with Tuberculosis at Dr. Hasan Sadikin
Hospital Bandung)
ALEXANDRA VANIAANDI1
, LIAAMALIA1*
, RUDI WISAKSANA2
1
Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Jln. Ganeca 10, Bandung.
2
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung.
Diterima 19 September 2014, Disetujui 14 Maret 2015
Vol. 13, No. 1
JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2015, hlm. 82-88
ISSN 1693-1831
* Penulis korespondensi, Hp. 081322117788
e-mail: lia_amalia@fa.itb.ac.id
Abstract: HIV/AIDS and tuberculosis require combination therapy that can lead to drug interactions and
unwanted drug effects or adverse drug reactions (ADRs). This study was aimed to determine the potential
drug interactions, estimate the occured ADRs and provide treatment recommendations for HIV/AIDS
patients with tuberculosis. This research was a descriptive study which was conducted retrospectively
in forty eight HIV/AIDS patients with tuberculosis receiving treatments in the Teratai clinic, Dr.
Hasan Sadikin Bandung Hospital in 2013. From these forty eight patients, there were 109 incidences
8 incidences of gastrointestinal disorders, 5 incidences of drug eruption, 5 drug-induced liver injury
(DILI) incidences and 4 peripheral neuropathy incidences. Patients receiving category 1 tuberculosis
therapy was recommended to use tenofovir, lamivudine, and efavirenz as antiretroviral therapy, whereas
patients receiving category 2 tuberculosis therapy was recommended to use zidovudine, lamivudine, and
efavirenz.
Keywords: tuberculosis, HIV, AIDS, drug interaction, side effect, adverse drug reaction.
Abstrak: HIV/AIDS dan tuberkulosis memerlukan terapi kombinasi obat yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya interaksi obat dan reaksi obat merugikan (ROM). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
potensi interaksi obat, kemungkinan ROM yang terjadi serta memberikan rekomendasi terapi untuk
pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang
dilakukan secara retrospektif pada 48 pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis yang menerima
pengobatan di Poliklinik Teratai, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2013. Dari 48 pasien
minor. Dugaan jumlah kejadian ROM terbanyak dalam penelitian ini meliputi 8 kejadian gangguan
saluran pencernaan, 5 kejadian drug eruption, 5 kejadian drug induced liver injury (DILI) dan 4 kejadian
neuropati perifer. Pasien yang menerima obat antituberkulosis (OAT) kategori 1 direkomendasikan untuk
menggunakan ARV tenofovir, lamivudin, dan efavirenz, sedangkan pasien yang menerima OAT kategori
2 direkomendasikan untuk menggunakan ARV zidovudin, lamivudin dan efavirenz.
Kata kunci: tuberkulosis, HIV, AIDS, interaksi obat, efek samping, reaksi obat merugikan.
Lia Amalia.indd 1 7/11/2015 12:22:03 PM
20. 83 ANDI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia
infeksi oportunistik ataupun untuk menangani
infeksi dan gejala lain pada pasien. Penggunaan
obat yang banyak atau polifarmasi dapat memicu
terjadinya interaksi antar obat serta efek obat yang
tidak diinginkan atau yang disebut juga dengan reaksi
obat merugikan (ROM) atau adverse drug reaction
(ADRs)(4)
.
Interaksi obat maupun ROM dapat mengganggu
terapi pasien, maka perlu dilakukan pemantauan agar
tidak muncul efek merugikan yang disebabkan karena
interaksi obat dan ROM. Interaksi obat dan ROM
termasuk dalam Drug Related Problems (DRPs) yang
dapat terjadi pada pasien, sehingga diperlukan peran
farmasis dalam melakukan dokumentasi dan kajian
terhadap hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan jumlah dan jenis potensi interaksi obat
pada pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis,
menentukan jumlah dan jenis dugaan ROM yang
terjadi serta memberikan rekomendasi terapi untuk
pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis
berdasarkan kajian interaksi obat dan ROM pada
penelitian ini.
BAHAN DAN METODE
BAHAN. Subyek Penelitian. Kriteria inklusi subyek
penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS dengan ko-
infeksi TB dengan usia dewasa, berjenis kelamin pria
maupun wanita, menerima terapi obat antituberkulosis
di Poliklinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung pada tahun 2013, dan tercatat menerima
terapi tuberkulosis dan terapi antiretroviral.
Pasien yang termasuk ke dalam kriteria eksklusi
berikut tidak dapat dijadikan sampel penelitian, antara
lain pasien yang baru menerima terapi OAT saja dan
belum menerimaARV tetapi sudah tidak melanjutkan
pengobatan, serta pasien yang rekam mediknya tidak
tersedia.
METODE. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang dilakukan secara retrospektif pada
pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis di
Poliklinik Teratai, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
dari bulan Januari 2014 sampai bulan Maret 2014.
Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan dalam
rentang waktu 2 bulan, dari bulan Januari 2014 sampai
bulan Maret 2014.
Tempat Penelitian. Penelitian dilakukan di
Poliklinik Teratai dan Instalasi Farmasi RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung. Poliklinik Teratai adalah
poliklinik rawat jalan untuk pasien dengan HIV/AIDS.
Sumber Data. Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain: i) catatan farmasi
Poliklinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
mengenai pasien penerima terapi obat antituberkulosis
PENDAHULUAN
INFEKSI human immunodeficiency virus (HIV)
merupakan infeksi yang dapat menyebabkan
penurunan sistem imun tubuh sehingga dari infeksi
ini dapat muncul masalah lain, seperti infeksi lain
yang disebabkan oleh infeksi HIV disebut acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Menurut
pelaporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
sampai tahun 2013, provinsi dengan angka kasus
HIV/AIDS tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Timur,
Papua, Jawa Barat dan Bali. Di dunia, Global Health
Observatory World Health Organization(WHO) tahun
2012 menyebutkan urutan daerah dengan prevalensi
infeksi HIV pada usia dewasa dari yang tertinggi
adalahAfrika,Amerika, Eropa,Asia Tenggara, Timur
(1)
.
Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang
seringkali menyertai pasien dengan HIV/AIDS. Sistem
imun pasien yang menurun menyebabkan mudahnya
bakteri Mycobacterium tuberculosis menginfeksi
pasien dan memudahkan terjadinya manifestasi dari
penyakit tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit
yang masih menjadi masalah di Indonesia. Indonesia
memegang peringkat yang cukup tinggi dalam hal
jumlah pasien tuberkulosis. Menurut Departemen
Kesehatan, pada tahun 2008, WHO menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan jumlah pasien
tuberkulosis ketiga tertiggi di dunia setelah India dan
Cina(2)
.
Pada tahun 2010, Indonesia memegang peringkat
kelima dengan jumlah pasien tuberkulosis tertinggi di
dunia setelah India, Cina,Afrika Selatan dan Nigeria.
Banyaknya masyarakat yang menderita tuberkulosis
dapat disebabkan oleh tingkat kebersihan lingkungan
yang rendah, tingkat pendidikan dan ekonomi yang
rendah, mudahnya penularan tuberkulosis, pengobatan
jangka panjang dan masih banyak lagi hal-hal
lainnya yang menyebabkan tingginya jumlah pasien
tuberkulosis di Indonesia. Tuberkulosis (TB) adalah
salah satu penyakit yang banyak muncul pada pasien
yang terinfeksi HIV, termasuk yang sudah menerima
terapi antiretroviral. Menurut WHO, secara global
terdapat sekitar 1,1 juta kasus baru TB dengan HIV
positif pada tahun 2012 dan satu dari lima kematian
pada pasien yang terinfeksi HIV disebabkan oleh TB.
Pada tahun 2012 terjadi sekitar 320.000 kematian
yang disebabkan oleh TB pada pasien yang terinfeksi
HIV(3)
.
Baik HIV/AIDS maupun TB memerlukan terapi
dengan obat yang tidak sedikit. Keduanya memerlukan
terapi dengan kombinasi obat. Selain itu masih ada
obat lain yang perlu digunakan untuk profilaksis
Lia Amalia.indd 2 7/11/2015 12:22:03 PM
21. Vol 13, 2015 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 84
pada tahun 2013; ii) rekam medik pasien mencakup
identitas pasien, diagnosis, luaran terapi, obat
yang diterima, hasil pemeriksaan laboratorium dan
perkembangan kondisi pasien; iii) hasil diskusi dengan
apoteker, dokter dan asisten apoteker untuk melakukan
Analisis Data. Analisis data yang dilakukan
dalam penelitian ini mencakup analisis data distribusi
awal pasien, penggunaan OAT dan ARV pada pasien
HIV/AIDS, potensi kejadian interaksi obat beserta
(5,6,7,8)
, serta dugaan terjadinya ROM
pada pasien. Data yang telah diolah dan dianalisis
kemudian dibandingkan dengan guideline dan tata
laksana yang sudah ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia(2,9)
.
Penarikan Kesimpulan. Berdasarkan hasil
analisis dan pengolahan data, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan mengenai jumlah dan jenis
potensi interaksi obat, jumlah dan jenis dugaan ROM
serta rekomendasi terapi untuk pasien HIV/AIDS
dengan koinfeksi tuberkulosis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Distribusi Sampel Pasien. Dari 56
pasien yang menerima terapi tuberkulosis dengan
tablet kombinasi dosis tetap (KDT) pada tahun 2013,
diperoleh 48 pasien yang memenuhi kriteria inklusi,
berikut adalah alur pengambilan data pasien.
Dari 48 pasien yang menerima OAT pada
tahun 2013, beberapa pasien sudah menjadi pasien
Poliklinik Teratai sejak beberapa tahun sebelumnya.
Data distribusi tahun terdaftarnya pasien di Poliklinik
Teratai terdapat pada Tabel 1. Gambaran distribusi
sampel pasien berdasarkan usia dan jenis kelamin
terdapat pada Tabel 2. Pasien HIV dengan infeksi
oportunistik tuberkulosis paling banyak pada rentang
usia 30-39 tahun (52,08%). Jika dilihat berdasarkan
jenis kelamin, pasien dengan jenis kelamin laki-laki
lebih banyak daripada pasien dengan jenis kelamin
perempuan, jumlah hampir dua kali lipat dari jumlah
pasien perempuan.
Dari 48 sampel pasien, sebanyak 35 pasien
(72,92%) menerima OAT kategori 1, 12 pasien
(25,00%) menerima kategori 2 dan 1 pasien (2,08%)
menerima kategori 1 dan 2. Kombinasi ARV yang
digunakan pasien berbeda-beda. Kombinasi terdiri
dari zidovudin (AZT), lamivudin (3TC), stavudin
(d4T), nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFV). Jenis
kombinasi ARV pada awal terapi OAT dan jumlah
penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Terapi TB pada pasien yang belum menerima
terapi ARV diberikan 2 minggu sampai 8 minggu
sebelum memulai ARV agar terapi dapat ditoleransi
dengan baik. Ditemukan sebanyak 31 pasien (64,58%)
yang menggunakan OATsebelum diterapiARVdan 17
pasien (35,42%) pasien yang menerima OAT setelah
terapi ARV.
Beberapa pasien dengan koinfeksi TB dan HIV
Tahun terdaftar di Poliklinik Teratai Jumlah Persentase
2013 33 68,75
2012 4 8,33
2011 2 4,17
2010 2 4,17
2009 5 10,41
2008 2 4,17
Total 48 100,00
Tabel 1. Persentase jumlah pasien berdasarkan tahun
terdaftar di Poliklinik Teratai.
Jenis kelamin
Kelompok usia (tahun)
20 20-29 30-39 40-49 ≥50 Total
∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ %
Laki-laki 0 0,00 7 14,58 19 39,58 2 4,17 3 6,25 31 64,58
Perempuan 1 2,08 10 20,84 6 12,50 0 0,00 0 0,00 17 35,42
Total 1 2,08 17 35,42 25 52,08 2 4,17 3 6,25 48 100,00
Tabel 2. Distribusi jumlah pasien berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Jenis kombinasi ARV pada
awal terapi OAT
Jumlah
penggunaan
Persentase
AZT-3TC-NVP 2 4,17
AZT-3TC-EFV 10 20,83
TDF-3TC-NVP 1 2,08
TDF-3TC-EFV 30 62,50
d4T-3TC-EFV 5 10,42
Total 48 100,00
Tabel 3. Jenis kombinasi ARV pada awal terapi OAT dan
jumlah penggunaannya.
Lia Amalia.indd 3 7/11/2015 12:22:03 PM
22. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia
85 ANDI ET AL.
dihindari. Interaksi minor berarti interaksi dengan
tidak memerlukan perhatian khusus, tetapi tetap
perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya. Tabel 7
menunjukkan jumlah potensi interaksi obat yang
terjadi pada penelitian ini.
juga mengalami infeksi lainnya, tetapi infeksi lain
tidak terjadi pada semua pasien. Jumlah pasien yang
mengalami infeksi lain serta jumlah jenis kejadian
infeksi lain pada pasien dapat dilihat pada Tabel 4 dan
Tabel 5. Untuk menangani kondisi tersebut maupun
kondisi lain pada pasien diperlukan terapi farmakologi
tambahan. Tabel 6 menunjukkan jumlah penggunaan
obat lain pada pasien yang digunakan secara sistemik.
Analisis Interaksi Obat. Interaksi yang dianalisis
potensinya dapat berupa interaksi antara OAT dengan
OAT, ARV dengan ARV, OAT dengan ARV, OAT
dengan obat lain, ARV dengan obat lain dan obat
lain dengan obat lain. Potensi interaksi obat yang
terjadi digolongkan menjadi interaksi obat dengan
signifikansi mayor, moderat dan minor. Interaksi
klinis yang tinggi sehingga kombinasi obat tersebut
perlu dihindari. Jika kombinasi tersebut tetap harus
digunakan, maka perlu dilakukan pemantauan
ketat. Penggunaan perlu dihentikan jika terjadi
efek atau reaksi yang merugikan akibat interaksi
obat tersebut. Interaksi moderat adalah interaksi
ini dapat memperburuk kondisi pasien sehingga
jika memungkinkan penggunaan bersama perlu
Kejadian infeksi lain
pada pasien
Jumlah pasien Persentase
Ada infeksi lain 23 47,92
Tidak ada infeksi lain 25 52,08
Total 48 100,00
Jenis infeksi oportunistik (selain TB) Jumlah kejadian
Toksoplasmosis serebral 5
Sifilis 1
Kandidiasis oral/orofaringeal 15
Kandidiasis vulvovaginal 1
Herpes Simplex Virus 1
Histoplasmosis 1
Vaginosis bakterial 1
Infeksi saluran kemih 1
Retinitis Cytomegalovirus 1
Varicella Zoster Virus 1
Community Acquired Pneumonia 1
Total kejadian 29
Tabel 4. Persentase jumlah pasien berdasarkan kejadian
infeksi lain.
Tabel 5. Jumlah kejadian infeksi lain (infeksi oportunistik)
selain TB pada sampel pasien.
Tabel 6. Jenis dan jumlah penggunaan obat lain pada
pasien.
Golongan obat Nama obat
Jumlah
penggunaan obat
Antihistamin Setirizin 7
Loratadin 2
Feksofenadin 1
Klorfeniramin
maleat (CTM)
5
Antijamur Flukonazol 22
Itrakonazol 1
Antibiotik Klindamisin 6
Benzil Penisilin 1
Siprofloksasin 1
Levofloksasin 3
Sefiksim 2
Metronidazol 1
Eritromisin 1
Ofloksasin 1
Kotrimoksazol 40
Kotrikosteroid Deksametason 2
Metilprednisolon 1
Inhibitor
pompa proton
Omeprazol 8
Lansoprazol 3
Antipsikotik Risperidon 1
Haloperidol 1
Antiemetik Ondansetron 2
Domperidon 3
Metoklopramid 1
Suplemen Vitamin B6 48
Vitamin B12 1
Asam folat 3
Lain-lain Pirimetamin 5
Parasetamol 5
Alopurinol 1
Asiklovir 1
Alprazolam 2
Ambroksol 2
Lia Amalia.indd 4 7/11/2015 12:22:04 PM
23. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 86
Vol 13, 2015
ROM pada pasien tidak dapat dikaji secara langsung
dan dihitung sesuai skala keparahan, probabilitas,
ataupun preventabilitasnya. Dugaan ROM diperoleh
dari catatan rekam medik yang menyatakan terjadinya
ROM, catatan kondisi pasien dan hasil laboratorium
yang berhubungan dengan kejadian ROM, serta
pemberian obat yang diduga untuk menangani kondisi
akibat ROM. Seluruh dugaan ROM yang dilaporkan
pada penelitian ini sudah terjadi pada pasien, tetapi ada
yang sudah dinyatakan ROM, ada juga yang belum
dinyatakan ROM tetapi digolongkan ke dalam dugaan
ROM dari hasil analisis rekam medik. Dugaan ROM
yang terjadi pada pasien dapat dilihat pada Tabel 8.
Dari 28 dugaan ROM yang terjadi, hanya satu kejadian
yang tidak diberi terapi farmakologi, yaitu kejadian
mual karena ARV. Pada kejadian ROM gangguan
saluran pencernaan tidak dapat ditentukan obat
ARV yang digunakan pada umumnya memiliki efek
samping terhadap saluran pencernaan, atau disebut
memiliki overlapping toxicities.
Signifikansi
interaksi
Jumlah jenis
kombinasi
Jumlah
kejadian
Persentase
Mayor 5 109 4,18
Moderat 28 299 11,45
Minor 7 58 2,22
Tidak
berinteraksi
379 2.145 82,15
Total 419 2.611 100,00
Tabel 7. Jenis dan jumlah potensi kejadian interaksi obat.
Keterangan :
• -
hindari, jika kombinasi tersebut tetap harus digunakan,
maka perlu dilakukan pemantauan ketat. Penggunaan perlu
dihentikan jika terjadi efek atau reaksi yang merugikan
akibat interaksi obat tersebut.
•
memperburuk kondisi pasien sehingga jika memungkinkan
penggunaan bersama perlu dihindari.
•
tidak memerlukan perhatian khusus, tetapi tetap perlu
diwaspadai kemungkinan terjadinya.
Reaksi obat
merugikan
Kemungkinan obat
penyebab
Jumlah
kejadian
Jumlah
penggunaan obat
(awal)
Penanganan yang dilakukan
Neuropati perifer isoniazid 2 48 Vitamin B6 ditambahkan ke regimen.
stavudin 2 5 Stavudin diganti zidovudin, tenofovir.
Hepato-toksisitas
(drug induced
liver injury)
OAT (rifampisin,
isoniazid,
pirazinamid)
5 48 Pemantauan fungsi hati, tablet KDT dihentikan,
reintroduksi OAT, penggantian obat, atau
pemberian hepatoprotektor tergantung kondisi
pasien.
Drug eruption kotrimoksazol 1 40 Kotrimoksazol tidak diberikan.
rifampisin 1 48 Tablet KDT dihentikan dan dilakukan rechallenge
OAT untuk mencari obat penyebab.
efavirenz 1 45 ARV dihentikan dulu 1 minggu, lalu diberikan
kembali dengan regimen yang sama.
nevirapin 2 3 Nevirapin diganti efavirenz.
Gangguan saluran
pencernaan
(mual, muntah,
dispepsia)
OAT 1 48 Pasien diberi omeprazol.
ARV 1 48 Tidak diberikan penanganan farmakologi.
OAT, ARV 6 48 Ondansetron, domperidon, atau metoklopramid
diberikan jika terjadi sindrom dispepsia.
Anemia zidovudin 1 12 Zidovudin diganti dengan tenofovir.
Depresi efavirenz 3 45 Pasien diberikan alprazolam, risperidon, sesuai
manifestasi klinis.
Hiperurisemia pirazinamid 1 48 Pasien diberikan allopurinol.
Pansitopenia pirimetamin,
kotrimoksazol
1 4 Pasien diberikan asam folat dan kotrimoksazol
dihentikan.
Tabel 8. Dugaan ROM yang terjadi pada pasien.
Analisis Reaksi Obat Merugikan. Karena
penelitian ini dilakukan secara retrospektif, maka
Lia Amalia.indd 5 7/11/2015 12:22:04 PM
24. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia
87 ANDI ET AL.
Rekomendasi Terapi untuk Pasien HIV/AIDS
dengan Koinfeksi Tuberkulosis. Berdasarkan kajian
interaksiobatdanreaksiobatmerugikanpadapenelitian
ini,makadiperolehbeberaparekomendasidalamterapi
pasien HIV dengan koinfeksi tuberkulosis. Untuk
pasien yang menerima OAT kategori 1 sebenarnya
dapat menggunakan kombinasi ARV zidovudin,
lamivudin, dan efavirenz. Untuk pasien yang
menerima OAT kategori 2, direkomendasikan untuk
menggunakan kombinasiARV zidovudin, lamivudin,
dan efavirenz. Tenofovir tidak direkomendasikan
karena memiliki efek samping nefrotoksik, sama
seperti streptomisin yang terdapat dalam regimen OAT
kategori 2. Keduanya bersifat nefrotoksik sehingga
menimbulkan efek aditif nefrotoksik jika digunakan
bersamaan, terutama pada pasien yang berisiko atau
memiliki riwayat gangguan ginjal. Jika memerlukan
obat lain maka antihistamin yang direkomendasikan
adalah setirizin, loratadin, atau CTM, antiemetik
yang direkomendasikan adalah metoklopramid atau
domperidon, serta antijamur yang direkomendasikan
berinteraksi atau berinteraksi minimal dibandingkan
dengan obat lain yang segolongan. Penggunaan
pirimetamin untuk menangani toksoplasmosis perlu
pemantauan parameter hematologi yang ketat jika
infeksi oportunistik, serta tidak menggunakan
zidovudin dalam kombinasiARV karena efek samping
hematologi. Suplemen asam folat dapat diberikan
untuk mencegah terjadinya pansitopenia maupun
anemia megaloblastik, tetapi tetap memerlukan
pemantauan parameter hematologi. Selain itu, pasien
dengan infeksi toksoplasma yang menggunakan
pirimetamin dan kotrimoksazol disarankan untuk
tidak menggunakan zidovudin dalam kombinasiARV
karena akan meningkatkan risiko terjadinya anemia.
Obat lain seperti antibiotik lain dan kortikosteroid
perlu pertimbangan dan pemantauan jika diberikan
karena berinteraksi dengan rifampisin. Suplemen
seperti vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat aman
diberikan. Skema rekomdasi terapi dapat dilihat pada
Gambar 1.
SIMPULAN
Dari 48 pasien HIV dengan koinfeksi tuberkulosis
yang menerima OAT di Poliklinik Teratai RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2013, ditemukan
mayor dari 5 jenis pasangan kombinasi obat, 299
potensi kejadian interaksi obat dengan signifkansi
Gambar 1. Skema rekomendasi terapi pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis.
Lia Amalia.indd 6 7/11/2015 12:22:04 PM
25. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 88
Vol 13, 2015
moderat dari 28 jenis pasangan kombinasi obat dan
58 potensi kejadian interaksi obat dengan signifkansi
minor dari 7 jenis pasangan kombinasi obat. Dugaan
ROM dengan jumlah terbanyak yang ditemukan
pada penelitian ini adalah 8 kejadian gangguan
saluran pencernaan, 5 kejadian drug eruption, 5
kejadian DILI dan 4 kejadian neuropati perifer. Dari
kajian interaksi obat dan reaksi obat merugikan pada
penelitian ini, pasien yang menerima OAT kategori
1 direkomendasikan untuk menggunakan ARV
tenofovir, lamivudin, dan efavirenz, sedangkan pasien
yang menerima OAT kategori 2 direkomendasikan
untuk menggunakan ARV zidovudin, lamivudin dan
efavirenz. Jika diperlukan obat lain untuk menangani
kondisi pasien, antihistamin yang direkomendasikan
yaitu, setirizin, loratadin dan CTM, antiemetik
yang direkomendasikan yaitu metoklopramid dan
domperidon, serta antijamur yang direkomendasikan
yaitu flukonazol. Penggunaan pirimetamin untuk
menangani toksoplasmosis perlu pemantauan
parameter hematologi yang ketat jika digunakan
oportunistik. Pemberian obat lain seperti antibiotik lain
dan obat golongan kortikosteroid perlu pertimbangan
dan pemantauan jika diberikan pada pasien yang
menerimaterapi OAT karena berinteraksi dengan
rifampisin. Suplemen seperti vitamin B6, vitamin B12,
dan asam folat aman diberikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Sekolah Farmasi ITB
serta seluruh staf Poliklinik Teratai RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global health observatory:
Adult HIV Prevalence (15-49 years) 2012. WHO
Region; 2012. Diambil dari http://www.who.int/gho/
hiv/en/. Diakses tanggal 24 Mei, 2013.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional penanggulangan tuberkulosis. Ed. 2. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
13-37.
3. World Health Organization. HIV-associated TB
facts 2013; 2013. Diambil dari http://www.who.int/
tb/challenges/hiv/tbhiv_factsheet_2013_web.pdf.
Diakses tanggal 24 Mei, 2014.
4. American Society of Consultant Pharmacists. When
Medicine Hurts; 2013. Diambil dari https://www.ascp.
com/articles/when-medicine-hurts-silent-epidemic.
Diakses 8 Desember, 2013.
5. Baxter K.(ed). Stockley’s drug interaction. 8th
Ed.
220-221, 302, 308-311, 320, 327-328, 342, 595-596,
726, 729-730, 736, 782-785, 790- 795, 800-802, 806-
807, 832, 1061, 1260.
6. Tatro DS. Drug interaction facts. St. Louis, Missouri:
Wolters Klower Health; 2008. 19, 21, 52, 205-206, 240,
246, 254, 469, 481, 728, 899, 901, 914, 1008, 1136,
1178, 1329, 1358, 1689, 1749-1750.
7. McEvoy GK (ed). AHFS drug information essentials.
Bethesda, Maryland: American Society of Health-
System Pharmacists; 2011. html version.
8. Drug Interactions Checker. Diambil dari http://www.
drugs.com/drug_interactions.php. Diakses tanggal 15
Mei, 2014.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral pada orang dewasa. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesoa; 2012. 1-94.
10. Kwara A, Flanigan TP, Carter EJ. Highly active
antiretroviral therapy (HAART) in adults with
tuberculosis: Current status. International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease. 2005. 248-57.
Lia Amalia.indd 7 7/11/2015 12:22:04 PM